LOGINMalam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian.
Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ingin menjawab, ingin menjelaskan semuanya, tapi setiap kali jarinya menyentuh layar ponsel, ia mundur. Ada ketakutan yang menahannya—takut kalau kebenaran yang ia bawa akan menghancurkan Raka lebih dari sekadar kehilangan cinta. Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. “Masuk,” ucap Nira pelan. Seorang rekan kerja, Ayla, melongok dari balik pintu. “Nir, kamu belum pulang juga? Udah hampir jam sepuluh malam, lho.” Nira tersenyum tipis. “Sebentar lagi, cuma mau beresin satu file lagi.” Ayla mendekat, menatap layar Nira yang masih penuh dengan desain dan catatan revisi. “Kamu itu rajin banget, tapi jangan sampe tumbang, ya. Dengar-dengar, minggu depan Pak Raka mau evaluasi langsung semua hasil tim desain.” Tubuh Nira menegang seketika. “Pak Raka sendiri?” “Iya,” Ayla mengangguk. “Biasanya kan lewat kepala divisi, tapi kali ini dia mau turun langsung. Katanya penting.” Setelah Ayla keluar, Nira memejamkan mata. Jantungnya berdegup cepat. Jika Raka benar-benar turun langsung, berarti mereka akan berhadapan lagi. Bukan hanya sekadar pertemuan profesional, tapi dalam suasana kerja, di depan semua orang. Ia menggigit bibirnya. Bagaimana jika Raka memperlihatkan sikap dingin di depan tim? Bagaimana jika orang lain mulai curiga akan masa lalu mereka? Ia tahu Raka cukup profesional, tapi luka di antara mereka belum benar-benar sembuh. Dan terkadang, luka seperti itu mudah sekali bocor lewat tatapan yang terlalu lama, atau nada suara yang terlalu pelan. Keesokan paginya, kantor terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua karyawan di lantai desain tampak tegang. Nira datang lebih awal, mengenakan blouse putih dan rok hitam yang rapi. Ia memastikan rambutnya tertata sempurna dan senyum profesional sudah siap di wajahnya—meski di dalam dada, ada gemuruh yang sulit dijinakkan. Sekitar pukul sepuluh, pintu ruang utama terbuka. Raka masuk, diikuti Reza dan dua orang manajer. Langkahnya tenang, suaranya datar, tapi auranya membuat semua orang langsung menegakkan badan. Ia memberi salam singkat lalu mulai meninjau satu per satu hasil kerja tim. Ketika tiba di meja Nira, waktu seolah berhenti. Semua mata memperhatikan, menunggu bagaimana interaksi dua orang ini berlangsung. “Bagus,” ucap Raka tanpa ekspresi sambil melihat hasil desain di layar Nira. “Komposisinya kuat, tapi bagian tipografinya perlu sedikit revisi. Kamu tahu maksudku?” Nira mengangguk pelan. “Ya, Pak. Saya akan perbaiki secepatnya.” Raka menatapnya sekilas—tatapan cepat, tapi cukup untuk membuat dada Nira bergetar. Tidak ada nada pribadi di sana, tidak ada emosi yang tumpah, tapi justru itu yang membuatnya sesak. Karena jarak dingin seperti itu terasa lebih menyakitkan daripada kemarahan. Setelah itu, Raka melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi. Nira menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun ketika semua orang sudah bubar, Reza menghampirinya. “Bu Nira,” katanya pelan. “Pak Raka minta Anda ke ruangannya setelah makan siang. Katanya ada hal yang perlu dibahas langsung.” Nira hanya bisa mengangguk. “Baik.” Sore itu, ia berdiri di depan pintu ruang kerja Raka. Jantungnya berdebar tak karuan, tangannya dingin. Ia mengetuk pelan, dan suara berat itu menjawab dari dalam, “Masuk.” Raka sedang berdiri di dekat jendela, persis seperti malam lima tahun lalu saat mereka terakhir bertemu. Pemandangan di luar masih sama—langit mendung, lampu kota berkilau samar. Namun kali ini, tak ada cinta di udara. Hanya tegang dan hening. “Kamu panggil saya, Pak?” tanya Nira dengan suara yang dijaga agar tetap tenang. Raka berbalik perlahan, menatapnya dalam. “Ya. Tutup pintunya.” Nira menurut. Begitu pintu tertutup, suasana langsung berubah. Tak ada lagi batas antara masa lalu dan masa kini. Hanya dua orang dengan luka lama yang belum sempat sembuh. “Aku ingin tahu satu hal,” kata Raka akhirnya. “Lima tahun lalu, kamu pergi begitu saja. Sekarang kamu datang lagi. Kenapa, Nira?” Pertanyaan itu sederhana, tapi rasanya seperti pisau. Nira menatapnya, mencoba tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. “Karena waktu itu aku harus memilih, Raka,” jawabnya lirih. “Dan pilihan itu bukan tentang aku… tapi tentang orang lain.” Raka menyipitkan mata. “Orang lain?” Nira menggigit bibir. “Aku nggak bisa jelaskan sekarang. Tapi aku janji, semua akan kamu tahu. Hanya… belum sekarang.” Raka menatapnya lama, lalu tertawa kecil—tawa yang pahit, tanpa kebahagiaan. “Masih sama. Selalu menyimpan semuanya sendiri.” Air mata akhirnya menetes di pipi Nira. “Aku bukan mau menyakiti kamu, Raka. Aku cuma ingin kamu baik-baik saja.” “Terlambat untuk itu,” jawab Raka pelan. “Kamu pergi, dan itu menghancurkan aku.” Keduanya terdiam. Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela seperti irama kenangan lama. Dan untuk sesaat, tak ada lagi atasan dan bawahan di ruangan itu—hanya dua hati yang dulu saling mencintai, tapi kini terjebak di antara tanggung jawab dan rahasia yang belum sempat terungkap. Ketika Nira keluar dari ruangan itu, langkahnya gontai. Ia tahu, pertemuan barusan baru permulaan. Karena rahasia yang ia sembunyikan lima tahun lalu… kini mulai mengetuk pintu masa kini.Raka menatap langit yang baru saja berhenti menangis. Bau tanah basah menyelinap di udara malam yang dingin. Di genggamannya, darah mengering di ujung jarinya — bukan darah siapa pun yang bisa ia pastikan. Tapi ia tahu satu hal: ia terlambat.Apartemen di depannya berantakan. Pintu utama rusak, separuh kusen terhempas seperti dihantam sesuatu yang sangat kuat. Di lantai, pecahan kaca berserakan, bercampur jejak langkah yang menuju keluar… dan hilang begitu saja di lorong yang basah.“Nira…” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia menatap sekeliling, mencari tanda-tanda kehidupan. Tapi yang tersisa hanya laptop yang masih menyala di meja — satu-satunya sumber cahaya di tengah ruangan gelap itu.Raka berjalan mendekat. Di layar, file baru muncul secara otomatis.> Mirror_04.mp4Tangannya bergetar saat menekan tombol play.Layar menampilkan rekaman kabur. Di dalamnya, Nira terlihat berdiri di depan Alena. Suara mereka tak terdengar jelas, hanya gemuruh listrik dan denyut jantung dari
Udara dingin masih tertinggal, menyelusup lewat celah jendela apartemen yang setengah terbuka. Bau tanah basah bercampur aroma logam dan listrik terbakar—sisa dari gangguan yang mematikan lampu beberapa menit lalu.Nira berdiri mematung di tengah ruangan. Tatapannya terpaku pada sosok di depannya.Alena. Hidup. Nyata. Basah kuyup, tapi matanya penuh api.“Jangan takut,” suara Alena nyaris seperti bisikan.Namun tak ada yang menenangkan dalam nada itu—lebih seperti peringatan.“Gimana… bisa?” Nira berbisik, langkahnya mundur tanpa sadar. “Aku lihat sendiri datanya… kamu sudah—”“Mati?” Alena memotong, suaranya dingin. “Itu yang mereka ingin kau percayai.”Ia berjalan perlahan, setiap langkahnya memantulkan suara air dari lantai.“Raka yang menandatangani surat itu. Tapi dia pikir dia menyelamatkanku. Padahal… dia menghapusku.”Nira terdiam. Di dadanya, napasnya memburu.“Apa maksudmu, menghapusmu?”Alena berhenti satu meter di depannya. “Kesadaranku disalin. Mereka simpan duplikat piki
Suara gemuruh dari mesin tua menggema di lorong sempit itu. Lampu neon berkedip, menciptakan bayangan aneh di dinding yang lembap.Alena berdiri di depan layar besar, wajahnya diterangi cahaya biru pucat dari monitor. Di layar, dua wajah yang dulu ia kenal begitu baik — Raka dan Nira — kini tampak tegang, saling mencurigai.Ia menyentuh permukaan kaca monitor pelan, seperti membelai sesuatu yang rapuh.“Sudah mulai, ya…” gumamnya lirih, bibirnya membentuk senyum tipis yang entah sedih, entah puas.Di belakangnya, seorang pria bertubuh tinggi masuk ke ruangan. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan.“Semua sistem sudah jalan. Sinyal pengawasan dari gedung pusat terkunci. Mereka nggak akan sadar kau masih hidup.”Alena menatapnya sekilas. “Itu bagus. Tapi waktu kita nggak banyak. Raka udah mulai curiga.”Pria itu diam beberapa saat, lalu bertanya pelan, “Kau yakin masih mau lanjutkan ini, Alena? Setelah semua yang terjadi?”Alena menoleh, sorot matanya tajam. “Aku nggak punya pilihan. M
Suara hujan semakin deras malam itu. Nira masih duduk di lantai, matanya tak lepas dari jendela tempat siluet tadi berdiri. Tapi kini, bayangan itu telah menghilang.Yang tersisa hanyalah gemericik air dan pantulan lampu kota yang remang di kaca.Tangannya gemetar ketika meraih ponsel lagi. Nomor yang tadi menelepon sudah tak bisa dilacak—tidak ada riwayat, tidak ada panggilan keluar atau masuk. Seolah… panggilan itu tidak pernah terjadi.Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi jantungnya tetap berdegup tak beraturan.“‘Aku seseorang yang seharusnya sudah mati…’” gumamnya lirih, mengulang kata-kata itu.Suara itu—terdengar terlalu nyata untuk sekadar halusinasi. Terlalu dekat. Terlalu familiar.Alena.Nama itu berputar di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.Apakah mungkin… Alena masih hidup?Keesokan paginya, kantor terasa seperti labirin dingin. Semua orang berjalan terburu-buru, mata mereka menunduk, seolah ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan.Raka
Pagi itu udara terasa berat. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi suasana kantor sudah dipenuhi tekanan yang tak terlihat. Nira datang lebih pagi dari biasanya, namun entah kenapa langkahnya terasa ragu.Begitu memasuki lobi, ia melihat Reno—kepala keamanan—berbicara dengan dua orang berseragam hitam di depan ruang server. Begitu menyadari kehadirannya, Reno menunduk sopan.“Pagi, Bu Nira.”“Pagi. Ada apa di ruang server?” tanyanya pelan, mencoba terdengar tenang.Reno menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Ada beberapa rekaman yang hilang, Bu. Tepat malam sebelum email itu masuk.”Nira menegang. “Maksud kamu diretas lagi?”Reno menggeleng. “Bukan. Seseorang menghapusnya langsung dari sistem utama. Tapi yang aneh, file backup-nya juga lenyap. Seolah... orang itu tahu semua jalur penyimpanan.”Nira menatapnya dalam-dalam. “Kamu udah bilang Raka?”“Sudah, Bu. Tapi beliau minta saya nggak heboh dulu, takut bikin kepanikan di tim.”Nira hanya mengangguk. Tapi dalam hati, ia tahu—sesuatu
Pagi datang dengan sunyi yang ganjil.Langit tampak kelabu, seolah sisa hujan semalam masih menggantung di udara. Nira berdiri di depan cermin, menatap pantulan dirinya sendiri — mata sembab, bibir kering, dan tatapan yang kehilangan arah.Raka masih di ruang kerja, menatap layar laptopnya dengan wajah keras. Sejak semalam, mereka hampir tak bicara. Hanya ada diam yang menggantung, menyimpan ratusan pertanyaan yang belum berani diucapkan.“Nira,” panggil Raka akhirnya, suaranya berat. “Aku butuh kamu hari ini ikut aku ke gedung arsip lama.”Nira menoleh. “Untuk apa?”“Ada dokumen merger lima tahun lalu yang baru ditemukan. Data itu bisa jelaskan kenapa nama Alena muncul lagi di sistem.”Nira menatapnya beberapa detik, sebelum akhirnya mengangguk.Ia tahu — kalau mau menemukan jawaban, satu-satunya jalan adalah kembali ke masa lalu yang mereka hindari.Gedung arsip lama berdiri di pinggiran kota, di antara pohon-pohon tinggi dan tembok berlumut. Bangunannya sudah lama tak digunakan, se







