Hujan belum berhenti sejak sore.
Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka. > “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?” Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas. Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri? --- Lima tahun lalu. Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya. > “Ibu Sulastri menderita penyakit jantung bawaan. Operasi harus segera dilakukan.” Ibunya—satu-satunya keluarga yang ia punya. Biaya operasi itu tidak kecil, dan saat itu, Nira hanyalah seorang desainer magang dengan gaji pas-pasan. Raka sempat menawari bantuan, tapi Nira menolak. Ia tahu Raka punya impian besar, dan saat itu ia sedang berada di ambang promosi besar yang akan menentukan kariernya. Ia tidak ingin menjadi beban. Ia tidak ingin Raka harus memilih antara cintanya dan masa depannya. Jadi malam itu, dengan tangan gemetar, ia mengetik pesan terakhirnya. > “Maaf, Rak. Aku harus pergi.” Dan sejak itu, ia menghilang. Ia bekerja serabutan di luar kota, menabung sedikit demi sedikit, berjuang agar ibunya bisa bertahan hidup. Hingga akhirnya operasi itu terlaksana, tapi sayangnya—takdir tetap mengambil ibunya hanya seminggu setelahnya. Sejak saat itu, hidup Nira berhenti sejenak. Ia belajar hidup tanpa siapa-siapa, tanpa cinta, tanpa tujuan… sampai akhirnya ia berani kembali ke Jakarta dan memulai segalanya dari awal. Dan kini, takdir mempertemukannya lagi dengan Raka—orang yang pernah menjadi rumah bagi seluruh hatinya. --- Suara notifikasi dari ponsel membuyarkan lamunannya. Sebuah pesan masuk dari Ayla. > “Nir, hati-hati. Barusan aku dengar dari Reza, Pak Raka mulai curiga sama kamu. Katanya, dia merasa kamu sembunyikan sesuatu soal masa lalu.” Nira terdiam. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia menatap ponsel itu lama, lalu memutuskan untuk berdiri. Kalau terus begini, semuanya akan makin rumit. Ia harus bicara dengan Raka—malam ini juga. --- Kantor sudah sepi ketika Nira tiba. Lampu di ruang utama sudah dimatikan, tapi dari celah pintu kaca ruang direksi, ia melihat cahaya masih menyala. Raka masih di sana, duduk di balik meja kerjanya, menatap laptop dengan wajah serius. Ia mengetuk pelan. “Masuk,” suara itu dalam, tapi lelah. Raka mendongak, dan untuk sesaat, mata mereka bertemu. Ada keheningan yang panjang, lalu Nira melangkah masuk perlahan. “Aku tahu ini sudah malam,” ucapnya pelan, “tapi aku harus bicara.” Raka menutup laptopnya. “Tentang apa?” Nira menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata, “Tentang kenapa aku pergi.” Ruangan itu langsung hening. Raka bersandar di kursinya, menautkan jari-jarinya di depan dada. Tatapannya tajam, tapi tak sekejam dulu. “Aku dengar,” katanya singkat. Nira menarik napas dalam. “Waktu itu, ibuku sakit keras. Dokter bilang, kalau nggak operasi, dia nggak akan bertahan. Aku nggak punya uang, Raka. Dan aku nggak mau minta bantuan kamu.” “Kenapa tidak?” suara Raka sedikit meninggi. “Aku orang yang kamu cintai waktu itu, Nir. Kenapa kamu pikir aku nggak mau bantu?” Nira menunduk, menahan tangis yang mulai mengalir. “Karena aku tahu kamu juga berjuang waktu itu. Kamu hampir dapat promosi besar, dan aku tahu kamu kerja siang malam buat itu. Aku nggak mau jadi alasan kamu gagal. Aku nggak mau kamu harus memilih antara aku dan kariermu.” Raka terdiam. Matanya melembut sedikit. “Jadi kamu pergi begitu saja tanpa bilang apa-apa?” Nira mengangguk. “Aku pikir, kalau aku pergi… kamu akan membenciku. Dan kalau kamu benci, kamu bisa lanjut hidup tanpa aku. Tapi aku salah. Aku malah bikin kamu terluka lebih dalam.” Raka memejamkan mata, mengusap wajahnya dengan kasar. “Lima tahun, Nira. Lima tahun aku nyalahin diri sendiri, mikir aku yang bikin kamu pergi. Aku gila karena nggak ngerti kenapa.” Air mata Nira jatuh tanpa bisa ditahan. “Maaf, Rak… aku cuma ingin kamu bahagia.” “Bahagia?” Raka berdiri, langkahnya mendekat, suaranya gemetar. “Kamu pikir aku bahagia? Kamu pikir karier ini bisa gantiin kamu?” Ia berdiri di hadapan Nira sekarang, jarak mereka hanya sejengkal. Tatapan mereka saling bertaut—penuh luka, tapi juga kerinduan yang belum padam. “Raka…” Nira berbisik, nyaris tak terdengar. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Suara hujan di luar makin deras, seolah ikut menyembunyikan perasaan yang menggantung di udara. Raka menatap wajah Nira lama, lalu tangannya terulur perlahan, menyentuh pipi perempuan itu. Hangat. Nyata. “Aku benci kamu karena pergi,” katanya pelan, “tapi aku lebih benci karena aku masih cinta.” Nira menutup matanya. Air mata terus mengalir. “Aku juga masih cinta, Rak. Tapi cinta kita udah nggak sama lagi.” “Kenapa nggak?” suara Raka parau. “Kita masih di sini. Kamu dan aku.” Nira menggeleng. “Karena cinta aja nggak cukup buat menebus masa lalu.” Keheningan panjang kembali menyelimuti mereka. Tak ada kata yang bisa menghapus lima tahun luka, tapi setidaknya malam itu, kebenaran sudah terucap. Dan di antara derasnya hujan, keduanya tahu—hubungan mereka belum berakhir. Belum. --- Ketika Nira keluar dari ruangan itu, matanya sembab. Tapi di wajahnya ada kelegaan. Ia tahu Raka kini tahu segalanya. Namun yang belum ia tahu adalah… rahasia itu belum selesai. Ada sesuatu yang lain—sesuatu yang jauh lebih besar—yang masih ia sembunyikan. Dan jika Raka tahu bagian itu… semuanya bisa hancur lagi.Pagi di Jakarta berjalan seperti biasa—padat, bising, dan terburu-buru. Tapi di hati Raka, segalanya terasa lambat, berat, seperti langkah yang tak tahu arah. Ia berdiri di balkon apartemennya, secangkir kopi hitam di tangan, memandangi jalanan yang mulai ramai di bawah sana.Ia tidak tidur semalaman.Kata-kata Nira terus terulang di kepalanya, seperti gema yang tak mau berhenti.> “Aku pergi karena ibuku sakit.”“Aku nggak mau jadi beban kamu, Raka.”Raka meneguk kopinya yang kini sudah dingin. Ia ingin percaya. Ia memang percaya. Tapi di balik semua itu, ada perasaan ganjil—seolah Nira masih menyembunyikan sesuatu. Ia tahu tatapan Nira semalam, cara matanya bergetar saat bicara. Itu bukan tatapan orang yang sudah berkata semuanya.Dan nalurinya jarang salah.---Beberapa jam kemudian, di kantor, suasana terasa tegang tapi tenang di permukaan. Semua orang sibuk dengan proyek masing-masing. Nira duduk di me
Hujan belum berhenti sejak sore.Langit gelap, diselimuti awan tebal, dan suara petir sesekali terdengar menggema di kejauhan. Di apartemen kecilnya, Nira duduk bersandar di sofa, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Di tangannya, secangkir teh sudah dingin. Di ponselnya, pesan dari Raka masih terbuka.> “Kamu bilang waktu itu harus memilih. Tapi siapa yang kamu pilih, Nira?”Ia menatap pesan itu lama, lalu meletakkan ponselnya di meja. Matanya terasa panas.Raka memang pantas marah. Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk memendam luka tanpa penjelasan. Tapi bagaimana ia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan hingga kini masih menghantui dirinya sendiri?---Lima tahun lalu.Hari itu, Nira berlari keluar dari rumah sakit dengan air mata menetes di wajah. Di tangannya, ia menggenggam surat hasil pemeriksaan—tulisan dokter yang dingin dan singkat, tapi menghancurkan seluruh dunianya.> “Ibu Sulastri men
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berembus lewat celah jendela ruang kerja Nira yang belum juga ia tutup, membawa aroma hujan yang menggantung di udara. Lampu-lampu gedung tinggi di luar berkelip samar, sementara di dalam ruangan, hanya bunyi kipas angin kecil dan detak jarum jam yang mengisi kesunyian. Nira menatap layar laptop yang masih menampilkan laporan desain yang belum selesai. Tapi pikirannya melayang entah ke mana. Ia mencoba fokus, tapi setiap kali menatap angka dan diagram, wajah Raka kembali muncul di benaknya—tatapan tajamnya, caranya diam tapi penuh arti, hingga nada suaranya yang kini terdengar lebih dalam, lebih dewasa… lebih dingin. Sudah dua hari sejak pertemuan itu di kafe. Dua hari sejak ia mengatakan bahwa ia tidak berniat kembali ke masa lalu, padahal hatinya berbohong. Dan dua hari juga sejak Raka mengirim pesan terakhir yang belum ia balas. “Kalau bukan cinta, lalu apa yang tersisa, Nira?” Pertanyaan itu terus menggema di kepala. Ia ing
Pagi itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya. Nira menatap bayangannya di cermin kecil meja kerja. Wajahnya tampak lelah, lingkar hitam di bawah matanya samar-samar terlihat. Ia belum tidur sejak pertemuan tadi malam — kata-kata Raka terus berputar di kepalanya seperti lagu yang tak mau berhenti. “Kali ini, jangan pergi tanpa penjelasan.” Kalimat itu seperti tusukan lembut di dada. Raka masih marah, ya. Tapi di balik nada dinginnya, Nira tahu… ada sisa perasaan yang belum padam. Dan justru itu yang membuat segalanya makin rumit. Ia meneguk kopi dingin di mejanya, mencoba fokus pada layar komputer. Tapi huruf-huruf di monitor tampak kabur. Yang ia lihat hanyalah pantulan wajahnya sendiri — seorang perempuan yang mencoba terlihat kuat, padahal hatinya masih di masa lalu. Ketukan di pintu membuatnya tersadar. “Masuk,” katanya cepat. Reza muncul dengan senyum ramah. “Pagi, Bu Nira. Pak Raka minta tolong laporan revisi kemarin dikirim ke ruangannya jam sebelas, ya.” “Bai
Nira menatap jam dinding di ruangannya. Jarum panjang sudah lewat angka delapan, tapi jemarinya masih menekan-nekan papan keyboard dengan ritme gugup. Semua karyawan lain sudah pulang, lampu-lampu kantor mulai diredupkan, hanya tersisa cahaya putih dari layar komputer yang memantul di wajahnya. Satu pesan dari Raka sejak tadi tak juga ia buka. “Temui saya di ruang rapat lantai dua puluh pukul delapan malam.” Nada pesannya pendek, formal, seperti biasa. Tapi Nira tahu — ini bukan tentang pekerjaan. Dan justru karena itu, napasnya terasa berat sejak menerima pesan itu sore tadi. Sudah lima tahun. Lima tahun ia berusaha menata hidup, meyakinkan diri bahwa semua sudah selesai. Tapi begitu Raka kembali hadir di depan matanya, semua pertahanan itu ambruk seperti pasir tersapu ombak. Ia menarik napas panjang, menegakkan tubuh. “Aku harus hadapi ini,” bisiknya pada diri sendiri, meski suaranya nyaris tak terdengar. Ruang rapat di lantai dua puluh terasa terlalu besar malam itu. Lamp
Raka berdiri di depan jendela besar ruang kerjanya. Langit Jakarta sore itu berwarna abu-abu pucat, seperti meniru isi kepalanya yang berantakan. Dari lantai dua puluh, dunia tampak kecil. Mobil-mobil berdesakan di bawah sana, orang-orang sibuk berlari mengejar waktu. Dan ia—berdiri di balik kaca, tampak tenang di luar, tapi di dalam dadanya, badai sedang berkecamuk. Lima tahun. Sudah lima tahun ia hidup dengan kesibukan, dengan kerja keras, dengan ambisi yang menumpuk—semua demi melupakan satu nama: Nira. Namun semua usahanya runtuh hanya dalam satu detik ketika pagi tadi perempuan itu melangkah masuk ke ruangannya, dengan wajah yang sama, senyum yang sama, dan tatapan yang sama… hanya sedikit lebih lelah. Ia memejamkan mata, menghembuskan napas panjang. Rasanya seperti diseret kembali ke masa lalu—ke malam terakhir sebelum Nira pergi. Ia masih ingat hujan deras di luar jendela, aroma kopi yang mulai dingin di meja, dan pesan singkat di ponselnya: “Maaf, Rak. Aku harus pergi.