Share

Arka Cemburu

Pandangan Ocha menerawang ke luar jendela rumah sakit. Dia sedang  merenung di tempat tidur. Mencoba meredakan denyut nyeri di hatinya yang datang setiap kali ia teringat pada anak pertamanya yang tak sempat hadir ke dunia.

Bunyi pintu terbuka membuat Ocha menoleh. Matanya berkaca-kaca, berharap Arka yang datang. Ia ingin sekali menangis di pelukan Arka. Menumpahkan isi hatinya.

“Eh, Pak Indra. Nggak jadi pulang, Pak?” Ocha berbasa-basi. Suaranya masih lemah. Tubuhnya juga lemas seperti tak bertulang.

Hari sudah menjelang sore. Tadi Indra sudah berpamitan akan pulang. Ada acara yang harus dihadirinya malam ini. Tapi sudah sampai di lobby rumah sakit, dia membatalkan niatnya.

Indra duduk di samping tempat tidur Ocha, lalu menggeleng. “Saya nggak tega membiarkan kamu sendirian. Suami kamu sudah bisa dihubungi?”

Ocha menggeleng sambil menggigit bibir. “Belum, Pak.”

“Kamu mau saya bantu mencari suamimu? Berikan saya fotonya dan informasi kemana dia pergi tadi pagi. Saya bisa menyuruh anak buah saya mencari dia. Saya jamin dalam waktu singkat, saya bisa menemukan suami kamu.”

“Nggak perlu, Pak. Terima kasih. Mudah-mudahan dia segera membaca pesan dari saya dan langsung menyusul ke sini.” Ocha menolak karena tidak ingin Indra terlibat lebih jauh dalam urusan rumah tangganya. Biar saja. Cepat atau lambat Arka pasti datang.

“Ada keluarga lain yang bisa kamu hubungi, Cha? Supaya ada yang menemani kamu di sini.”

“Nggak ada, Pak. Bapak dan ibu saya tinggal di Bandung. Kakak dan mertua saya tinggal di luar kota. Tapi katanya Yasmin sebentar lagi mau datang. Sesudah urusan restoran beres.” 

Ditanya tentang keluarga membuat Ocha menahan tangis. Mendadak ia merasa sengsara seperti sendirian di dunia. Untung ada Indra yang sudah begitu baik mengurus dan menemaninya.

Indra manggut-manggut, seakan bisa merasakan keresahan Ocha. “Ya, sudah kalau begitu. Saya temani sampai ada yang datang menunggui kamu.” 

“Terima kasih, Pak.” Suara Ocha bergetar menahan haru. Indra sudah begitu baik. “Nggak usah repot-repot. Bapak pasti sibuk dan banyak urusan. Saya nggak pa-pa kok ditinggal. Ada dokter dan perawat yang siap membantu di sini.” Ocha tidak ingin memyusahkan Indra lebih banyak lagi.

Indra mengibaskan tangannya dengan santai. “Santai aja, Cha. Kebetulan malam ini saya bebas. Nggak ada urusan penting,” katanya berdusta karena ia sudah membatalkan rencana makan malam dengan beberapa orang yang akan bekerja sama dengannya untuk menggarap proyek-proyek besar.

Saya…” Ocha menelan ludah. Ternyata begini rasanya hidup sebatang kara. Tidak punya tempat untuk berbagi. Punya suami tapi sulit dihubungi. Padahal Ocha sedang tidak baik-baik saja. Dia baru saja kehilangan calon anak pertamanya. Dan suaminya tidak kunjung datang. Entah sedang berada dimana.

Tapi tidak mungkin juga curhat pada Indra. Padahal dada Ocha sudah sesak menanggung beban.

“Nangis saja, Cha,  kalau itu bisa meringankan beban pikiranmu….” Lembut suara Indra saat melihat dua titik air mata meluncur dari sudut mata Ocha.

Makin deras air mata Ocha mendengar ucapan Indra. Tangisnya tak terbendung lagi. Dia sampai terisak keras.

Indra mengambil tisu dari atas nakas, lalu mengusap pipi Ocha yang basah.

Mendadak pintu kamar perawatan Ocha terbuka. “Ocha, kamu kenapa?!” Arka masuk dan tertegun melihat seorang lelaki asing sedang mengusap pipi Ocha dengan tisue.

Ocha juga bengong melihat kedatangan Arka yang begitu tiba-tiba. Ocha jadi gugup. Tak enak hati karena pandangan menuduh yang terpancar dari sepasang bola mata Arka. Pasti suaminya sudah salah duga karena melihat Indra yang duduk di sisi pembaringan Ocha. Tempat Arka seharusnya berada. Apalagi Indra sedang menyentuh pipi Ocha dengan tisue

Indra jadi orang pertama yang menguasai keadaan. Sigap dia berdiri dan melangkah mendekati Arka yang masih terdiam di depan pintu.

“Selamat malam, kenalkan saya Indra. Ocha sedang mengawasi anak buahnya di acara kantor saya waktu tiba-tiba sakit. Karema kondisi Ocha kelihatan parah, saya langsung bawa dia ke rumah sakit.” Indra menjelaskan sambil menawarkan jabat tangan.

Enggan Arka menyambut uluran tangan Indra. Hati Arka panas terbakar cemburu, menyaksikan seorang pria tak dikenal menyentuh pipi istrinya. 

Arka harus berusaha menahan emosinya supaya tidak langsung meninju Indra. Penampilan pria itu sangat berkharisma hingga mampu mencegah niat Arka menggunakan tinjunya.

“Arka, saya suaminya Ocha.” Nada kesal terdengar jelas di suara Arka. Ia sedang terbakar cenburu. Semua pria akan begitu bila melihat istrinya berada di samping pria setampan Indra. Ditambah lagi dengan penampilannya yang rapi dan keran.

“Silakan, saya pamit dulu. Cha, pembicaraan soal kerjaan kita lanjutkan setelah kamu sembuh ya.” Indra melambai ke Ocha.

“Siapa dia, Cha?” Suara Arka sedingin es. “Ngapain dia di sini? Memangnya dia nggak tahu kamu sudah punya suami?! Seenaknya saja pegang-pegang istri orang.” Arka mendengkus kesal. 

“Bisa nggak sih kamu tanya kondisiku dulu sebelum marah-marah nggak karuan kayak gitu?!.” Kesal Ocha melihat kelakuan Arka. Sakit fisiknya belum pulih, kini ditambah dengan sakit hati gara-gara kecemburuan Arka.

“Kamu tahu nggak? Begitu membaca pesan kamu di hapeku, aku langsung ngebut. Terus lari dari tempat parkir rumah sakit sampai ke sini, cuma untuk melihat kamu dengan siapa itu namanya? Sedang berduaan.”

“Arka!” Ocha nggak mengira Arka akan setega itu menuduhnya berduaan dengan Indra. “Aku perdarahan. Dan Pak Indra yang menolong membawaku ke rumah sakit. Kalau nggak ada dia, aku bisa pingsan di ballroom hotel!” 

Tidak ada lagi air mata yang membasahi pipi Ocha. Dia terlalu sakit hati untuk menangis di depan Arka.

“Perdarahan? Yang benar? Kelihatannya kamu baik-baik saja.” Arka mengamati sambil melipat tangan di dada. Ia berdiri agak jauh dari tempat tidur Ocha, seakan ingin menjaga jarak.

“Jelas saja aku terlihat baik-baik saja. Kamu datang setelah beberapa jam aku dirawat di rumah sakit. Aku sudah diinfus dan minum obat. Kamu nggak lihat waktu tadi siang aku perdarahan.” Ocha terengah karena bicara sepanjang itu. Tapi ia perlu meluapkan sakit hatinya.

Arka tertegun. Logikanya berhasil mengalahkan perasaan. Benar juga kata-kata Ocha. Arka langsung merasa bersalah karena lebih mendahulukan emosi darpada logika  Ia mendekati Ocha dan duduk di sampingnya.

Arka memandang wajah Ocha yang pucat. Bibirnya yang tak lagi merah jambu. “Maaf ya, Cha. Aku nggak mengira kondisi kamu separah itu.’ Tangan Arka meraih jemari Ocha. 

Ocha memalingkan wajah. Enggan menanggapi karena masih sakit hati.

“Jangan marah dong, Cha. Kan aku sudah minta maaf,” bujuk Arka lagi. Kini tangannya mengusap-usap kepala Ocha.

Perlahan Ocha melirik Arka. Melihat raut wajah sendu suaminya, Ocha tahu permintaan maaf Arka benar-benar tulus. Ocha jadi tidak tega marah lebih lama lagi.

“Kata dokter kamu sakit apa? Kenapa bisa perdarahan?” tanya Arka lembut. Tak ingin lagi membahas soal Indra, Arka ingin fokus pada kesehatan Ocha.

Ocha tidak langsung menjawab. Dadanya sesak mengingat penjelasan dokter tadi.

“Kenapa, Cha? Apa kata dokter penyakitmu parah?” Arka jadi cemas. Berbagai kemungkinan buruk melintas di kepalanya.

Ocha menggeleng. Berat sekali mengatakan hal ini pada Arka. 

“A-aku k-keguguran, Ka.” Akhirnya Ocha bicara sambil memejamkan mata, untuk mengurangi pedih yang menusuki hatinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status