Share

Tuduhan Mertua

Karena tidak ada tanggapan dari Arka, Ocha membuka matanya. Arka masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. Matanya membelalak lebar dan mulutnya terbuka.

“Ka! Kok kamu malah bengong sih?” tanya Ocha memelas.

Ocha mengharapkan bibir Arka mengeluarkan kata-kata hiburan dan penyemangat umtuknya. Bukankah suami istri seharusnya saling mendukung dan menguatkan saat keadaan buruk terjadi? Bahkan Indra lebih tahu cara menghibur Ocha.

Arka tergeragap. “Ke-gu-guran? K-kamu hamil?” Kening Arka berkerut.

“Tadinya aku hamil sekarang sudah nggak,” jawab Ayesha sendu.

“Tapi… kenapa kamu nggak bilang padaku kalau sedang hamil?” Sama seperti Ocha tadi, Arka juga sulit mencerna informasi ini.

“Bukannya aku nggak mau bilang ke kamu, Ka. Tapi aku juga nggak sadar kalau sedang hamil,” terang Ocha tidak sabar. “Aku juga baru tahu setelah dokter memeriksa dan bilang ternyata aku keguguran.”

Ocha menghela napas panjang. Bercerita tentang kejadian ini seperti membuka sakit hatinya.

Perlahan Arka duduk di samping Ocha. Tangannya mengusap-usap bahu istrinya.

“Maaf ya, Cha. Aku nggak sensitif banget. Sampai nggak tahu kamu sedang hamil….” Kesedihan Ayesha menular. Arka ikut merasakan hatinya sesak. Orangtua mana yang tidak sedih kala kehilangan buah hatinya.

“Jangankan kamu, Ka. Aku yang ibunya saja tidak sadar ada calon anak kita tumbuh dalam rahimku.”

“Tapi jadwal menstruasimu memang terlambat?” tanya Arka sambil mengusap-usap rambut Ocha.

“Memang sudah dua bulan ini menstruasiku nggak datang. Aku kira terlambat biasa saja, karena capek, habis nikah, honey moon, lanjut kerja,” ucap Ayesha panjang sambil terisak.

Arka membiarkan Ayesha bicara, menumpahkan isi hatinya. Mereka berpelukan merasakan kesedihan yang sama

***

“Mana mungkin Ocha hamil? Kalian kan baru dua bulan menikah?!”

Suara tajam itu menarik Ocha dari alam mimpi. Rinta, ibu mertuanya. Mau apa dia di rumah sakit?

Ocha tidak tahu jam berapa sekarang. Tapi sinar surya yang mengintip dari balik tirai, berarti hari sudah siang.

Semalaman Ocha tidak bisa tidur karena gelisah. Sedih, marah, dan bingung campur aduk dalam hatinya akibat kehilangan calon buah hati di usia kehamilan muda.

“Menurut dokter bisa saja terjadi, Mi. Kemungkinan Ocha langsung hamil, begitu kami menikah.” Suara Arka terdengar menyampaikan penjelasan dokter pada Rinta.

Ocha tetap pura-pura tetap tertidur supaya bisa mencuri dengar pembicaraan Arka dan maminya. Mereka berdua berbisik-bisik di dekat pintu. Suara mereka pelan, tapi masih bisa Ocha dengar dengan jelas.

“Nggak mungkin Arka. Coba kamu pikir menggunakan logika. Masa sih, baru nikah langsung hamil? Jangan-jangan…”

Ocha menajamkan pendengarannya, penasaran menunggu ujung kalimat Rinta.

“Jangan-jangan apa, Mi?”

“... jangan-jangan itu bukan anak kamu,” desis Rinta seperti ular berbisa. Kata-katanya beracun. Toksik.

Nyeri sekali hati Ocha mendengar kata-kata ibu mertuanya. Fisiknya belum pulih benar karena keguguran. Kini psikisnya dibuat menderita lebih parah.

Tega sekali maminya Arka memfitnah Ocha seperti itu. Ocha tahu dia bukan menantu idaman mami. Tapi bukan begitu caranya menunjukkan rasa tidak suka.

“Mami. Jangan begitu,” bantah Arka masih berbisik. Dia menoleh ke arah Ocha. “Nggak enak nanti kalau Ocha dengar.”

“Dia nggak akan dengar. Masih tidur karena pengaruh obat, Lagipula kenapa harus merasa nggak enak kalau kamu benar? Kamu harus berani memperjuangkan satu kebenaran loh, Ka. Mami nggak suka anak Mami satu-satunya dibohongin seperti itu,” ucap Rinta dengan keyakinan seribu persen. Seolah dia tahu benar masalah kehamilan Ocha.

Kalau saja badan Ocha sudah sehat dan psikisnya normal pasti ia akan melompat dari tempat tidur untuk membantah semua itu. Tapi kali ini ia masih terlalu lemah untuk menentang mami. Ocha tidak ingin kena mental sekali lagi. Ia harus memguatkan diri dulu sebelum bertindak.

“Ocha nggak mungkin berbohong, Mi. Dia istri yang setia.”

“Halah, kamu tahu dari mana dia setia? Coba kamu pikir, Ka. Katamu waktu kamu datang ada bos Ocha yang namanya Indra itu. Dia yang membawa Ocha ke rumah sakit. Dia juga membayarkan biaya perawatan Ocha di kamar VIP yang pasti mahal sekali. Apa nggak mungkin si indra-indra itu ayahnya bayi di rahim Ocha? Kalau nggak, mana mungkin dia sebaik itu? Sampai rela membayar bisya rumah sakit segala.” Rinta terus melancarkan tuduhan keji pada menantunya

“Mi. Kita nggak boleh berprasangka buruk. Ocha sudah cerita semuanya. Pak Indra membayari biaya pengobatannya karena Ocha sakit saat sedang bekerja sama dengannya.”

“Halah, itu pasti cuma alasan untuk menutupi perbuatan mereka yang sebenarnya. Kamu itu jangan gampang percaya dengan omongan istri kamu. Pokoknya kamu harus tanya sama Ocha ya, Ka. Benih siapa yang sesungguhnya ada di rahimnya.” Rinta berkeras.

“Iya… iya, Mi. Nanti aku tanyakan.” Arka asal berjanji supaya Mami tidak mendesak lagi. “Sekarang aku antar Mami pulang ya. Mami nggak boleh terlalu lama di rumah sakit. Bahaya. Di sini banyak kuman,” bujuk Arka.

Pulang? Ocha heran. Arka akan mengantar Mami pulang kemana? Rumah Mami kan perlu satu jam naik pesawat. Nggak mungkin Arka mengantar Mami ke rumahnya. Apa Mami tinggal di rumah Ocha dan Arka? Sampai berapa lama?

Ocha merinding membayangkan harus serumah dengan Mami, setelah mertuanya melontarkan kata-kata beracun seperti itu

“Begini deh kalau kamu nggak nurut sama omongan Mami. Dari awal Mami sudah bilang supaya jangan nikah dengan Ocha. Yasmin itu lebih cocok dengan kamu.” Rinta masih belum puas bicara.

Ocha, yang masih mencuri dengar, tambah sakit hati. Ia tahu Mami tidak terlalu menyukainya. Tapi sampai membandingkan dengan Yasmin, sahabatnya sendiri? Sungguh Ocha tak menyangka.

“Mami kok bawa-bawa Yasmin….” Arka menarik napas panjang. Sebagai anak tunggal dia selalu berusaha memenuhi keinginan Mami. Hanya untuk urusan pernikahan saja, Arka berkeras menikahi Ocha, walaupun Mami nggak setuju.

Ocha, Yasmin dan Arka sudah bersahabat sejak di bangku kuliah. Yasmin dan Arka bahkan sudah berteman sejak sekolah menngah. Orangtua mereka juga sangat akrab dan berasal dari lingkungan pergaulan yang sama. Tidak heran bila Rinta menginginkan Arka berjodoh dengan Yasmin.

“Karena peristiwa seperti ini nggak mungkin kejadia kalau kamu nikah sama Yasmin. Heran deh selera kamu itu memang aneh. Yasmin yang cantik, putih dan tinggi-langsing malah kamu tolak. Dia juga kalem dan lemah lembut. Hati Mami tuh adem kalau lihat dia.”

Dari dulu Ocha selalu merasa insecure bila ada yang membandingkannya dengan Yasmin. Apa lagi yang melakukannya adalah sang mertua.

Ocha selalu merasa rambutnya yang ikal, kulitnya yang sawo matang dan tubuh yang tidak terlalu tinggi ini tidak terlalu menarik bila dibandingkan dengan penampilan Yasmin yang seperti model profesional.

“Ya, sekarang, aku kan sudah nikah sama Ocha, Mi. Jangan sebut-sebut Yasmin dong. Dia juga sudah punya pacar.”

“Ah baru pacar ‘kan bisa putus.” Mami melambaikan tangannya, memandang enteng. “Yang nikah saja bisa cerai.”

Arka membelalak kaget. Ia mengerti arah pembicaraan maminya. “Mami menyuruh aku bercerai dengan Ocha?” Arka menggeleng tidak percaya. Masa bulan madu belum juga lewat, dia sudah disuruh bercerai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status