Share

Pertolongan Indra

Kelopak mata Ocha bergerak-gerak. Dia berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat.

“D-dimana saya..?” lirih Ocha bertanya karena dia berbaring di ruangan yang tidak dikenalnya. Suaranya serak. Kerongkongannya kering sekali, sampai terasa nyeri.

“Halo, Bu Rosa. Kenalkan, saya Dokter Arman, yang merawat Ibu.”

Seorang lelaki paruh baya berdiri di sisi tempat tidurnya. Ia memakai jas putih dan mengantongi stetoskop.

Ocha memandang wajah dokter Arman yang teduh. Samar Ocha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia sedang mengurus catering Group Perkasa, lalu perutnya nyeri, cairan merah, lalu dia tak ingat apa-apa lagi.

“A-apa saya pingsan, Dok?” Ocha memandang nanar selang infus yang menancap di lengannya.

“Iya, Bu. Tadi ibu pingsan sebentar. Tapi jangan khawatir. Sekarang kondisi ibu sudah mulai membaik.”

“Saya sakit apa, Dok?” Ocha cemas sekali. Darah hampir selalu berkaitan dengan penyakit yang tidak ringan.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Bu. Ibu sehat-sehat saja.” Arman menilai psikis Ocha belum cukup kuat untuk menerima penjelasan memgenai kondisinya

“Tapi saya pendarahan, Dok. Saya perlu tahu sakit apa. Tolong jelaskan.“

“Kita bicarakan masalah ini nanti setelah keluarga ibu datang ya. Sekarang Ibu istirahat dulu.”

“Nggak, Dok. Lebih baik dokter terangkan saja sekarang. Saya mau tahu tentang penyakit saya. Lebih cepat saya tahu kondisi kesehatan saya makin baik. Suami saya nggak bisa dihubungi. Saya nggak tahu kapan dia akan datang.”

Dokter Arman berpikir sejenak. Dia tidak bisa menolak keinginan pasien. Tapi rasanya kurang bijak membiarkan Ocha menghadapi masalah berat ini sendirian.

“Begini saja, Bu. Di depan ada Pak Indra yang mengantar ibu ke rumah sakit ini. Apa Ibu mau kita diskusi didampingi Pak Indra?”

“Boleh saja, Dok.” Ocha tidak peduli akan didampingi siapa. Dia hanya ingin tahu kondisi penyakitnya secepatnya.

“Pak Indra….” Akhirnya seorang dokter setengah baya keluar dari ruang perawatan Ocha.

“Bagaimana kondisi Rosa, Dok?” Rasa cemas menyusup ke hati Indra karena melihat raut wajah serius sang dokter.

Untungnya seulas senyum segera muncul di wajah dokter itu. “Ibu Rosa sudah sadar, Pak. Kondisinya sudah membaik. Hanya saya sarankan untiuk dirawat di sini dulu selama beberapa hari, sampai Ibu Rosa benar-benar pulih.”

“Syukurlah kalau begitu.” Lega sekali Indra. Seperti ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. “Jadi saya bisa jenguk dia sekarang?”

“Tentu bisa, Pak. Hanya…”

“Kenapa, Dok?”

“Ibu Rosa ingin mendiskusikan kondisi kesehatannya. Dan menurut saya sebaiknya Ibu tidak sendirian. Sekiranya Bapak bisa mendampingi?”

“Oke, Dok.” Tanpa pikir panjang, Indra langsung setuju. Baginya menolong orang jangan tanggung-tanggung.

“Jadi sebenarnya saya sakit apa, Dok?” Ocha langsung bertanya begitu Indra duduk di sampingnya.

Ternyata Dokter Arman benar, Ocha merasa lebih siap menerima penjelasannya dengan didampingi seseorang. Meskipun pasti ia akan lebih nyaman bila orang itu adalah Arka, suaminya.

“Begini, Bu. Menurut pemeriksaan kami, ibu memgalami keguguran.” Arman sengaja menjelaskan menggunakan bahasa awam agar mudah dimengerti.

Ocha melongo. Keguguran? Apa dia tidak salah dengar? Keguguran berarti, sebelumnya dia hamil?

“Nggak mungkin, Dok. Saya nggak hamil. Mama mungkin bisa keguguran?* Ocha menggeleng cepat, sampai kepalanya terasa berdenyut kencang.

“Kenapa tidak mungkin?” Dokter Arman melihat status pasien di tangannya, lalu bertanya hati-hati. “Ibu sudah menikah ‘kan?”

Ocha mengangguk. “T-tapi baru dua bulan saya menikah, Dok, dan selama ini sama sekali nggak ada tanda-tanda saya hamil.”

“Oh, begitu….” Dokter Arman mengangguk sambil tersenyum kalem. “Apa Ibu ingat, kapan terakhir kali menstruasi?”

Ocha menelan saliva. Gugup. Jadwal menstruasinya memang terlambat. Karena terlalu sibuk ia tidak terpikir untuk menggunakan testpack. Mungkinkah benar dia hamil?

“Kira-kira…” Kening Ocha berkerut. Mengingat-ingat... waktu kami menikah, Dok.”

“Berarti sekitar dua bulan yang lalu. Kehamilan bahkan bisa terjadi. sebulan setelah menikah, Bu. Bapak dan ibu tidak menggunakan alat kontrasepsi kan?” Dokter Arman kembali menggali informasi.

Ocha menggeleng pelan. Hampir tidak terlihat. Air mata menggenang di pelupuk matanya.

“Saya… saya ceroboh banget ya, Dok? Sampai tidak sadar kalau sudah hamil. Saya jadi kurang menjaga kandungan, sampai keguguran seperti ini….” Ocha menyesal sekali.

Tangan Ocha mengusap-usap perutnya yang masih rata. Seolah ingin membelai anak yang hanya sejenak berada dalam rahimnya.

Nyeri hebat yang tadi terasa sudah sangat jauh berkurang. Tapi kini hatinya justru sakit karena menanggung beban rasa bersalah.

Astaga, ibu macam apa dia ini? Sampai tidak sadar ada janin yang tumbuh dalam rahimnya.

“Jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu, Cha. Semua kejadian ini sama sekali bukan salah kamu,” ucap Indra lembut dengan nada menghibur. Pria itu seakan bisa membaca pikiran Ocha.

Kalau saja Ocha istrinya, pasti sudah dipeluknya erat. Indra tidak tahan melihat Ocha sampai menggigil menahan kesedihan. Apa daya, sebagai teman dan mitra kerja, Indra hanya bisa menepuk-nepuk punggung tangan Ocha.

***

Dari Instalasi Gawat Darurat, Ocha dipindahkan ke kamar perawatan. Indra mengatur agar Ocha dirawat di kamar terbaik.

“Pak Indra, apa saya bisa pindah ke kamar yang lain?” tanya Ocha saat perawat mendorongnya masuk ke kamar yang sangat luas. Ada dua tempat tidur di sana. Satu untuk pasien dan satu lagi bisa digunakan oleh keluarga yang menunggu.

Ocha bukan orang tak punya, tapi juga tidak cukup kaya untuk menggunakan layanan-layanan kelas VIP seperti ini.

“Kenapa, Cha? Ini kamar terbaik di rumah sakit ini. Kelas VIP, tidak ada lagi di atasnya.”

Indra salah pengertian. Dia mengira Ocha meminta dirawat di ruangan yang lebih bagus.

“Justru itu, Pak. Saya… mmmm… sepertinya saya belum mampu menggunakan kamar VIP. Ruang perawatan kelas satu atau malah kelas dua juga cukup, Pak.”

Pusing Ocha membayangkan besarnya tagihan yang harus dibayarkannya bila dirawat di ruang VIP. Pendapatan Arka sebagai fotografer freelance belum terlalu besar. Selama ini mereka masih mengandalkan penghasilan Ocha dari mengelola restoran untuk memenuhi kebutuhan.

Senyum sabar kembali terbit di wajah Indra. “Jangan pikirkan masalah biaya rumah sakit, Cha. Semua biaya perawatanmu akan ditanggung Group Perkasa,” terang Indra setelah perawat yang mengantar Ocha meninggalkan ruangan.

“Tapi… tapi kenapa, Pak?”

“Karena kamu sakit saat bekerja untuk Group Perkasa. Jadi perusahaan saya wajib bertanggungjawab mengobati sampai kamu sembuh.”

Seperti biasa raut wajah Indra selalu tenang, menyejukkan. Karena usianya hampir menginjak angka empat puluh maka kebijakan seakan tercermin dalam setiap kata dan tindakannya.

Berbeda dengan Ocha dan Arka yang usianya baru menjelang tiga puluh tahun. Masih sering emosional dan meledak-ledak.

“Bapak nggak perlu membantu sejauh ini, Saya sakit ‘kan bukan salah Bapak,” kata Ocha pelan. Tidak enak juga terus-terusan menerima kebaikan dari Indra. Walaupun Pria itu tampak tulus.

“Nggak pa-pa, Cha. Yang membiayai perusahaan bukan dari kantong pribadi saya. Anggap saja kamu salah satu karyawan Group Perkasa.”

Ocha yakin tidak semua karyawan Group Perkasa mendapat fasilitas kamar VIP. Selevel direksi mungkin. Tapi karyawan biasa? Pasti, tidak.

“Pokoknya sekarang kamu nggak boleh banyak pikiran. Harus fokus supaya cepat sehat, biar bisa kerja lagi. Proyek kita masih banyak kan?” Indra memberi semangat

“Ocha, kamu dengar saya kan?” Indra menepuk punggung tangan Ocha, karena mendadak Ocha terdiam dengan tatapan kosong.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status