Share

Bab 29

Penulis: Novi R
last update Terakhir Diperbarui: 2025-12-02 01:00:37

Anggi menatap wajah kecil bayinya yang tertidur pulas di pelukannya. Tubuh mungil itu kini jauh lebih kuat dibandingkan beberapa minggu lalu. Luka-luka yang dulu membuatnya takut dan panik perlahan menghilang, menyisakan bekas samar yang akan pudar seiring waktu. Setiap napas lembut si kecil terasa seperti janji baru, janji bahwa hidup tidak selalu sekejam yang pernah menimpanya.

Hari itu, Anggi resmi keluar dari rumah sakit. Ia berjalan perlahan keluar gerbang sambil menggendong bayinya, sementara tas kecil berisi pakaian dan dokumen digantungkan di bahu. Tidak ada yang menjemput. Tidak ada yang memanggil namanya. Dan ia merasa… lebih baik begitu.

Sebab di balik pulihnya tubuh bayi itu, ada luka lain yang masih menganga—luka yang tidak terlihat, tetapi terasa tiap kali ia mengingat kejadian itu. Claudia, istri Ardi, yang dengan kalap mencelakai bayinya. Seorang perempuan yang merasa hidupnya dihancurkan oleh kesalahan suaminya… dan melampiaskannya pada anak yang tak punya dosa.

Anggi
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Luka di Ujung Senja   Bab 44

    Setahun berlalu sejak kepindahan Anggi. Kota baru itu tidak pernah benar-benar terasa asing—hanya sunyi di awal, lalu perlahan ramah. Rafa tumbuh cepat, terlalu cepat menurut Anggi. Ia kini lebih tinggi, lebih banyak bertanya, dan mulai menyimpan rahasia kecilnya sendiri. Anggi bekerja di kantor baru yang lebih tenang. Tidak ada drama, tidak ada gosip masa lalu. Ia dikenal sebagai perempuan yang rapi, tegas, dan sedikit tertutup. Tidak dingin—hanya berhati-hati. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa perlu menjelaskan dirinya kepada siapa pun. Suatu sore, Anggi dipanggil ke sekolah Rafa. Bukan karena masalah besar—hanya insiden kecil. Rafa mendorong temannya yang mengejek asal-usul keluarganya. “Kata dia, aku anak tanpa ayah,” ucap Rafa di ruang guru, matanya merah tapi dagunya terangkat. “Aku marah.” Anggi duduk di depannya, menahan gelombang emosi yang naik perlahan. Ia tidak langsung bicara. “Kamu salah karena mendorong,” katanya akhirnya. “Tapi perasaan kamu… wajar.” R

  • Luka di Ujung Senja   Bab 43

    Tiga bulan berlalu sejak terakhir kali Anggi menjejakkan kaki di rumah Claudia. Musim berganti pelan; hujan tidak lagi deras dan lama, hanya turun sebentar lalu menghilang. Sama seperti Anggi—pernah hadir, lalu menepi tanpa drama. Hidupnya tampak tenang dari luar. Pekerjaan stabil. Rutinitas teratur. Anak Anggi—Rafa—kini duduk di bangku kelas tiga, tumbuh dengan senyum cerah dan rasa ingin tahu yang membuat Anggi sering terdiam, bertanya-tanya dari mana datangnya kekuatan itu. Namun ada satu hal yang tidak pernah benar-benar pergi: kewaspadaan. Anggi menjadi lebih hati-hati pada batas. Pada siapa yang ia izinkan masuk. Pada rasa iba yang bisa berubah menjadi jerat. Ia belajar—dengan cara yang keras—bahwa menjadi kuat bukan berarti selalu bertahan. Kadang, kuat berarti tahu kapan harus melepaskan. Suatu sore, Anggi menjemput Rafa lebih awal. Anak itu berlari ke arahnya dengan tas yang lebih besar dari punggungnya sendiri. “Bu! Hari ini aku dapat bintang,” katanya bangga. Anggi b

  • Luka di Ujung Senja   Bab 42

    Anggi tidak langsung pulang malam itu. Ia berjalan lebih jauh dari biasanya, melewati dua gang tambahan, membiarkan kakinya menentukan arah tanpa tujuan jelas. Kepalanya penuh, tapi anehnya dadanya tidak sesesak sebelumnya. Seperti ada simpul lama yang akhirnya sedikit mengendur—bukan terurai, tapi cukup longgar untuk bernapas. Di kontrakannya, ia duduk di lantai, menyandarkan punggung ke kasur. Ia menatap langit-langit yang retak, lalu tertawa kecil tanpa suara. “Kenapa sih hidup selalu muter ke sini lagi,” gumamnya. Ia teringat janji pada dirinya sendiri bertahun-tahun lalu: tidak akan pernah lagi masuk ke hidup Ardi dan Claudia. Tidak akan lagi jadi bayangan yang muncul hanya saat dibutuhkan. Tapi janji itu runtuh pelan-pelan, bukan karena Ardi—melainkan karena perempuan di baliknya. Karena Claudia bukan lagi simbol kemenangan orang lain, melainkan seorang ibu yang ketakutan. Dan Anggi tahu betul rasanya takut sambil mengandung. Hari-hari berikutnya berjalan canggung tapi stab

  • Luka di Ujung Senja   Bab 41

    Anggi berjalan keluar klinik dengan langkah cepat, seolah jika ia melambat sedikit saja, hatinya akan kembali tertarik ke dalam ruangan itu. Udara pagi terasa terlalu terang, terlalu jujur—tidak memberi ruang bagi kebohongan yang selama ini ia gunakan untuk bertahan. Ia duduk di bangku luar klinik, menunggu ojek sambil menatap ponsel tanpa benar-benar melihat apa pun. Tangannya gemetar kecil, bukan karena dingin, melainkan karena satu kesadaran yang baru saja menamparnya: ia masih peduli. Dan itu berbahaya. Dua hari berlalu. Anggi berusaha kembali ke ritme hidupnya. Bekerja, pulang, memasak sederhana, tidur. Ia tidak menghubungi Claudia. Ia juga tidak menerima telepon dari Ardi—yang sebenarnya tidak pernah menelepon lagi, seolah paham batas yang Anggi tarik dengan jelas. Namun pada hari ketiga, batas itu retak. Seorang perempuan paruh baya berdiri di depan kontrakannya sore itu. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya kelelahan namun tegas. Anggi mengenal wajah itu bahkan sebelum pere

  • Luka di Ujung Senja   Bab 40

    Anggi tidak menoleh lagi. Ia tahu, jika ia menoleh, langkahnya akan runtuh. Suara Claudia masih menggantung di udara gang—lemah, putus, tapi cukup tajam untuk menusuk sampai ke tulang. Anggi terus berjalan, menahan napas, sampai suara itu tenggelam oleh jarak dan sisa hujan. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun lalu, Anggi pulang dengan dada sesak bukan karena rasa bersalah—melainkan karena empati yang tak ia minta tumbuh. Di rumah kontrakannya yang sempit, Anggi mengganti pakaian basah, lalu duduk di tepi ranjang tanpa menyalakan lampu. Cahaya dari luar jendela cukup untuk memperlihatkan bayangan dirinya di cermin kecil—wajah yang lelah, mata yang terlalu sering menahan. Ponselnya bergetar. Satu pesan masuk. Claudia: Maaf kalau aku egois. Aku cuma takut sendirian. Anggi menatap layar lama. Jarinya menggantung di atas keyboard, lalu ia letakkan ponsel itu terbalik di kasur. Ia tidak membalas. Bukan karena benci. Tapi karena ia tahu, satu balasan bisa menjadi

  • Luka di Ujung Senja   Bab 39

    Hujan semakin deras, mengubah jalan depan rumah menjadi kilau genangan yang memantulkan lampu-lampu gang. Anggi menarik lututnya mendekat, memeluk dirinya sendiri. Selimut yang diberikan Ardi akhirnya ia letakkan di pundaknya, lebih karena dingin daripada alasan emosional. Ia tidak bicara. Ardi juga tidak. Malam itu terasa panjang, seperti ruang hening yang dibiarkan terbuka, menunggu siapa pun menjangkaunya terlebih dulu. Setelah beberapa lama, pintu rumah kembali terbuka. Ibunya Claudia keluar, memandang ke arah Anggi dengan mata merah bengkak. Sejenak, ia hanya berdiri di bawah naungan teras, menatap perempuan yang duduk sendirian di tengah hujan. Anggi bersiap mendengar kemarahan—tuduhan, atau kata-kata menyakitkan yang sering dilontarkan keluarga Claudia dulu. Ia hampir bangkit untuk menghindarinya. Namun ibunya Claudia justru berkata dengan suara lembut, “Masuklah sebentar. Kamu kedinginan.” Anggi tersentak. Ia menggeleng. “Saya nggak apa-apa, Bu. Saya cuma nunggu Claudia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status