共有

Bab 30

作者: Novi R
last update 最終更新日: 2025-12-04 19:33:22

Anggi mulai menata kehidupannya perlahan. Hari-hari pertama di kontrakan barunya terasa canggung. Ia harus menyesuaikan diri dengan suara-suara lingkungan yang asing, dengan keheningan malam yang kadang justru membuatnya merasa semakin sendirian. Namun setiap kali ia melihat wajah kecil bayinya, ia tahu, tidak ada yang benar-benar salah. Itu adalah awal yang baru, dan ia harus menjalaninya.

Ia mengurus administrasi kelahiran, memeriksa kembali jadwal imunisasi, hingga menghitung-hitung uang tabungannya yang tidak seberapa. Setiap rupiah terasa penting. Meski berat, ia yakin bisa bertahan—lebih baik hidup pas-pasan tapi tenang, daripada hidup nyaman namun dihantui rasa takut dan ancaman.

Pagi itu, ia menidurkan bayi di ayunan kecil yang baru ia beli bekas dari ibu-ibu di sebelah kontrakan. Anggi lalu duduk di kursi plastik, memandangi dinding kosong. Di kepalanya, suara Ardi terus terulang.

"Aku ingin bertanggung jawab."

Anggi menghembuskan napas keras. “Tanggung jawab apa? Semua s
この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
ロックされたチャプター

最新チャプター

  • Luka di Ujung Senja   Bab 46

    Anggi mulai merasakan perubahan pada dirinya sendiri. Bukan perubahan besar yang bisa ditunjuk dengan jari, melainkan pergeseran halus di dalam dada. Ia lebih sering tertawa—bukan karena terhibur, tapi karena merasa aman. Ia mulai bercerita tanpa merasa harus menyensor setiap kalimat. Dan yang paling mengejutkan: ia tidak lagi merasa bersalah ketika bahagia. Namun justru di titik itulah ketakutan lama menyelinap. Suatu malam, setelah Rafa tertidur, Anggi duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh yang sudah dingin. Rendra baru saja pulang setelah mengantar mereka makan malam. Tidak ada yang salah dengan malam itu—dan itulah yang membuat Anggi gelisah. “Kamu kenapa?” tanya Rendra sebelum pamit, seolah membaca raut wajahnya. “Tidak apa-apa,” jawab Anggi refleks. Kebohongan kecil itu menggantung di udara. Setelah pintu tertutup, Anggi memejamkan mata. Ia mengenali perasaan ini. Ketika semuanya mulai terasa baik, otaknya mencari ancaman. Seolah kebahagiaan selalu harus dibayar

  • Luka di Ujung Senja   Bab 45

    Rafa mulai terbiasa dengan kehadiran Rendra—bukan sebagai figur ayah, bukan pula sebagai orang dewasa yang berusaha terlalu keras. Rendra datang dan pergi dengan wajar. Kadang menjemput, kadang tidak. Kadang makan bersama, kadang hanya mengantar Anggi sampai depan apartemen. Dan justru karena itulah Anggi tidak merasa terancam. Suatu malam, saat Rafa tertidur di sofa dengan buku komik terbuka di dadanya, Rendra membantu mengangkat tubuh kecil itu ke kamar. Gerakannya canggung tapi hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang rapuh. “Berat juga ya,” bisik Rendra sambil tersenyum kecil. Anggi mengangguk. “Dia tumbuh cepat.” “Dan aman,” balas Rendra pelan. Kata itu—aman—menetap di kepala Anggi lebih lama dari seharusnya. Beberapa hari kemudian, Rafa sakit. Demam tinggi. Anggi panik, meski berusaha tampak tenang. Di rumah sakit kecil dekat apartemen, ia duduk di kursi plastik sambil memegang tangan anaknya yang panas. Tanpa Anggi sadari, Rendra datang setengah jam kemudian

  • Luka di Ujung Senja   Bab 44

    Setahun berlalu sejak kepindahan Anggi. Kota baru itu tidak pernah benar-benar terasa asing—hanya sunyi di awal, lalu perlahan ramah. Rafa tumbuh cepat, terlalu cepat menurut Anggi. Ia kini lebih tinggi, lebih banyak bertanya, dan mulai menyimpan rahasia kecilnya sendiri. Anggi bekerja di kantor baru yang lebih tenang. Tidak ada drama, tidak ada gosip masa lalu. Ia dikenal sebagai perempuan yang rapi, tegas, dan sedikit tertutup. Tidak dingin—hanya berhati-hati. Dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa perlu menjelaskan dirinya kepada siapa pun. Suatu sore, Anggi dipanggil ke sekolah Rafa. Bukan karena masalah besar—hanya insiden kecil. Rafa mendorong temannya yang mengejek asal-usul keluarganya. “Kata dia, aku anak tanpa ayah,” ucap Rafa di ruang guru, matanya merah tapi dagunya terangkat. “Aku marah.” Anggi duduk di depannya, menahan gelombang emosi yang naik perlahan. Ia tidak langsung bicara. “Kamu salah karena mendorong,” katanya akhirnya. “Tapi perasaan kamu… wajar.” R

  • Luka di Ujung Senja   Bab 43

    Tiga bulan berlalu sejak terakhir kali Anggi menjejakkan kaki di rumah Claudia. Musim berganti pelan; hujan tidak lagi deras dan lama, hanya turun sebentar lalu menghilang. Sama seperti Anggi—pernah hadir, lalu menepi tanpa drama. Hidupnya tampak tenang dari luar. Pekerjaan stabil. Rutinitas teratur. Anak Anggi—Rafa—kini duduk di bangku kelas tiga, tumbuh dengan senyum cerah dan rasa ingin tahu yang membuat Anggi sering terdiam, bertanya-tanya dari mana datangnya kekuatan itu. Namun ada satu hal yang tidak pernah benar-benar pergi: kewaspadaan. Anggi menjadi lebih hati-hati pada batas. Pada siapa yang ia izinkan masuk. Pada rasa iba yang bisa berubah menjadi jerat. Ia belajar—dengan cara yang keras—bahwa menjadi kuat bukan berarti selalu bertahan. Kadang, kuat berarti tahu kapan harus melepaskan. Suatu sore, Anggi menjemput Rafa lebih awal. Anak itu berlari ke arahnya dengan tas yang lebih besar dari punggungnya sendiri. “Bu! Hari ini aku dapat bintang,” katanya bangga. Anggi b

  • Luka di Ujung Senja   Bab 42

    Anggi tidak langsung pulang malam itu. Ia berjalan lebih jauh dari biasanya, melewati dua gang tambahan, membiarkan kakinya menentukan arah tanpa tujuan jelas. Kepalanya penuh, tapi anehnya dadanya tidak sesesak sebelumnya. Seperti ada simpul lama yang akhirnya sedikit mengendur—bukan terurai, tapi cukup longgar untuk bernapas. Di kontrakannya, ia duduk di lantai, menyandarkan punggung ke kasur. Ia menatap langit-langit yang retak, lalu tertawa kecil tanpa suara. “Kenapa sih hidup selalu muter ke sini lagi,” gumamnya. Ia teringat janji pada dirinya sendiri bertahun-tahun lalu: tidak akan pernah lagi masuk ke hidup Ardi dan Claudia. Tidak akan lagi jadi bayangan yang muncul hanya saat dibutuhkan. Tapi janji itu runtuh pelan-pelan, bukan karena Ardi—melainkan karena perempuan di baliknya. Karena Claudia bukan lagi simbol kemenangan orang lain, melainkan seorang ibu yang ketakutan. Dan Anggi tahu betul rasanya takut sambil mengandung. Hari-hari berikutnya berjalan canggung tapi stab

  • Luka di Ujung Senja   Bab 41

    Anggi berjalan keluar klinik dengan langkah cepat, seolah jika ia melambat sedikit saja, hatinya akan kembali tertarik ke dalam ruangan itu. Udara pagi terasa terlalu terang, terlalu jujur—tidak memberi ruang bagi kebohongan yang selama ini ia gunakan untuk bertahan. Ia duduk di bangku luar klinik, menunggu ojek sambil menatap ponsel tanpa benar-benar melihat apa pun. Tangannya gemetar kecil, bukan karena dingin, melainkan karena satu kesadaran yang baru saja menamparnya: ia masih peduli. Dan itu berbahaya. Dua hari berlalu. Anggi berusaha kembali ke ritme hidupnya. Bekerja, pulang, memasak sederhana, tidur. Ia tidak menghubungi Claudia. Ia juga tidak menerima telepon dari Ardi—yang sebenarnya tidak pernah menelepon lagi, seolah paham batas yang Anggi tarik dengan jelas. Namun pada hari ketiga, batas itu retak. Seorang perempuan paruh baya berdiri di depan kontrakannya sore itu. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya kelelahan namun tegas. Anggi mengenal wajah itu bahkan sebelum pere

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status