“Ibu salah tentang satu hal.” Ucap Leon dengan suara lemah lembut, “Aku sangat tertarik dengan seorang perempuan.” Ucap Leon dengan nada misterius yang berhasil memancing rasa penasaran ibunya.
Glak! Sura cangkir yang di taruh dengan terburu – buru.
“Kamu? Tengah menyukai perempuan?” tanya Ibu Leon, mencoba untuk mengkonfirmasi, karena ini adalah kali pertama Leon membicarakan masalah perempuan.
Leon menggeleng pelan, “Tidak. Aku hanya tertarik, karena dia secantik Ibu..... “ ucap Leon dengan keseriusan.
Namun Ibu Leon mendecakan lidahnya, l
Emma masuk ke dalam kamar yang berantakan, tentu bukan bagian kamar yang lain. Tak lain tak bukan adalah ranjang. Selimut dan seprai berada di posisi jungkir balik dan tidak bisa di katakan baik. Begitu melihat Lusia yang sangat kacau, Emma segera bergerak lebih cepat. “Nona.... “ seru Emma dengan sangat khawatir. Ia melihat bercak – da – rah di lantai dan segera melihat kondisi Lusia. “Apa ada yang terluka?” tanya Emma sungguh – sungguh. Jemari Lusia menunjuk ke arah infus yang teronggok di lantai karena di tarik paksa oleh Aaron. Emma menutup mulutnya karena terkejut. 
Saat Aaron tengah sibuk berbicara, Lusia sudah memasukan garam dapur ke masakannya dan buru – buru mengaduknya. Lusia mengaduk panci dengan kesal, “Masa bodoh, aku tidak akan peduli kalaupun dia akan sakit setelah memakan masakanku.... “ “Apa Nona? Kau menyumpahiku untuk sakit setelah memakan makananmu?” Lusia terperanjat, entah pendengaran Aaron terlalu tajam atau ia yang terlalu keras. “Tidak! Anda sepertiny berhalusinasi!” “Ah tentu, aku pasti b
Terlalu banyak ruangan, bahkan jika semua orang di sini memiliki satu kamar. Masih ada banyak kamar kosong yang tidak di tempati. “Semua ruangan di sini punya fungsinya masing – masing, dan tidak semuanya harus di tempati.” Entahlah, Lusia tak paham dengan penjelasan Emma. Bahkan meskipun Lusia menanyakan apa maksudnya, Emma sudah tidak punya waktu untuk menjawabnya. “Saya undur diri Nona.. “ Emma menunduk dan melangkah pergi. Lusia mengangguk sebagai tanda jawaban. &n
“Tunggu! Apa maskud anda dengan di lempari buku?” Mason ingin mengoreksi pendengarannya, sepertinya ia salah dengar barusan. Mason bertatapan dengan Aaron. Aaron tak langsung menjawab, ia justru menunjuk perutnya dengan telunjuknya, “Perutku baru saja di lempar dengan buku super tebal.” Jelas Aaron. Ini masuk akal, alasan kenapa luka Aaron kembali terbuka dan berdarah. Tapi Mason masih ingin tau. “Siapa yang berani melempari anda dengan buku?” &nb
“Apa anda tersesat sampai ke sini?” tanya Mason dengan sopan. Leon hanya tersenyum samar, ia tak mungkin menjawab kalau ia sengaja berkeliling hanya untuk ‘mencari’ peluang melihat Lusia. Meski pada akhirnya, upaya Leon membuahkan hasil. Ia bertemu kembali dengan perempuan yang basah kutup tempo hari. Leon mengangguk, berbohong di situasi seperti ini, lebih baik ketimbang berkata jujur. “Yah, aku sedikit tersesat.... “ jawab Leon singkat. Tak terbes
Lusia berbicara dengan Leon cukup lama. Sampai Lusia tidak menyadari keadaan. Leon terkejut begitu Lusia menepuk jidatnya dengan keras. “Kenapa?” tanya Leon dengan penuh perhatian, ia bahkan hendak berdiri namun Lusia menahannya. “Maafkan aku, aku harus kembali ke dapur. Makan siang sebentar lagi dan masih ada banyak pekerjaan di dapur.” Lusia pamit begitu saja, Leon hendak mengejar Lusia namun ia mengurungkan diri. Ini bukanlah rumahnya, sebaiknya ia tak bertindak terlalu jauh. Lusia
Rose Hill seperti biasa, berkabut dan suhunya sedingin biasa. Tapi entah daya tahan Aaron yang sudah beradaptasi dengan Rose Hill atau memang Aaron tidak peduli dengan cuaca sekitarnya. Pagi ini, Aaron duduk bersama Mason dan merundingkan sesuatu. Aaron mengambil cangkir kopinya, cuaca yang dingin memang cocok untuk menikmati kopi. Aaron tengah menunggu Mason mengeluarkan isi pikirannya. Sejak tadi, Mason seperti menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan pikirannya. Dan memang benar, Mason sejak tadi mengamati Aaron. Laki – laki di hadapannya itu nampak tak terganggu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu dari Mason.&nbs
Langit sudah berganti malam. Suasana sudah sangat sepi dan tidak terdengar suara langkah berseliweran, tapi mata Lusia masih terjaga. Matanya masih terbuka, nyalang menatap pintu. Berjaga – jaga andai seseorang membuka pintu dengan paksa. Dan seseorang itu adalah Aaron. Lusia sudah mengunci pintu, bahkan menggeser nakas super berat untuk menutupi pintu. Lusia masih tidak bisa melupakan tindakan brutal Aaron di taman sore tadi. Tapi rupanya, kecemasan Lusia tidak terjadi. Sampai tengah malam, engsel pintu tidak bergerak sedikitpun. Tubuh ringkih yang di dera kelelahan itu kini terkulai di atas ranjang dengan mata yang tertutup dan kini, Lusia mulai terlelap.*** “Nona!! Nona!!