Share

Sorot Mata

Author: Mega Kembar
last update Last Updated: 2025-04-21 12:05:26

Andai aku tidak menyapanya, rasa sakit ini tak akan ada.

Tapi saat melihatnya sendirian, aku ikut sakit

Aku tidak ingin seperti mereka yang menjauhinya, karena dia cacat

***

"Ribet amat kakak kelas nyuruh dandan kayak gini kek badut.”

Aku hanya mampu menghela napas mendengar gerutuan sahabat baikku, Rukly Senjara. 

Sejak menginjakan kaki di Area Sekolah, tak henti-hentinya pemuda berambut jabrik itu mengoceh, memprotes tindakan anggota osis yang meminta murid baru mengenakan astribut untuk masa orientasi siswa (MOS) di sekolah kami. 

Dua hari yang lalu, Ketua Osis mengumumkan untuk membuat benda yang akan gunakan saat masa pengenalan sekolah, berupa topi karton, tas karung, kalung permen dan papan nama dari kardus. 

Penampilan kami jauh dari kata rapi, terlebih untuk para siswi disuruh mengikat rambut panjang sebelah. Mereka terlihat seperti anak kecil yang baru belajar menata rambutnya sendiri, meski ada juga beberapa yang imut. 

"Ngapain pake acara mos segala, sih. Kagak guna sumpah!”

"Diem aja, deh, Kuping gue sakit denger suara cempreng lo dari tadi.”

Aku balas mengomel pada Rukly, meruntuki sifat buruk sahabatku yang bawel. Aneh, dia cowok, tapi mulutnya ember seperti perempuan. 

"Emang lo kagak kesel, Rey?" tanya Rukly menatapku. Kami berdua sedang berjalan menuju lapangan tempat berkumpul para peserta didik baru. 

"Ya, kesel. Tapi ngomel doang kagak guna juga.”

"Yaiya, sih.”

“Hm.”

“Tapi lo enak, Rey. Mau tampil gimana aja tetep cakep. Nah, gue ...” Rukly menunjuk dirinya sendiri dengan bibir maju beberapa senti. “… ketampanan gue bisa terjun bebas."

"Lah, emang dari dulu udah terjun payung, kan?"

"Oyyy!" 

Aku hanya tertawa kecil menanggapi protesannya. Mengetahui benar sifat sahabat kecilku itu yang tak mungkin marah karena masalah sepele. Rukly pasti menyadari jika aku hanya bercanda. Salah sendiri mengoceh tiada henti. 

"Hey, kalian berdua, buruan ke sini!" 

Seorang kakak kelas bermantel hitam melambaikan tangan, menyuruhku dan Rukly agar berlari, ikut berbaris di tengah lapangan seperti murid baru lainnya. 

Kudengar Si Jabrik mencebik saat menyusulku yang sudah lebih dulu berlari. Namun, langkah ini terhenti melihat seorang siswi duduk di Aula. Dari penampilannya aku tahu, dia murid baru sepertiku. 

Tapi kenapa dia tidak beranjak menuju lapangan? 

Gadis yang kuakui sangat imut itu justru enak-enakan duduk santai menatap kerumunan siswa-siswi yang berbaris rapi di lapangan.

Saat akan menegurnya, aku merasakan tepukan di bahu dan teguran Rukly yang bertanya. "Kok, berhenti di sini? Itu Setan marah udah melotot-melotot, loh.”

Rukly melirik Ketua Osis yang masih berteriak-teriak memanggil kami dari Seberang.

“Ayo, buruan cabut, Rey.” 

“Ngg—bentar itu …”

Aku akan bertanya pada Rukly mengenai sosok gadis tadi. Namun, sebuah tarikan membatalkan niatan itu saat Ketua Osis yang sepertinya sudah bosan menunggu, segera datang menyusul.

Seniorku itu lalu memegang tanganku dan Rukly, menyeret kami pergi untuk segera berbaris mengikuti murid yang lain, karena acara pembukaan MOS akan dimulai. 

Namun, aku kembali menyempatkan diri menoleh pada gadis yang menyita perhatianku tadi, dan betapa terkejutnya aku saat dia balik melihatku sehingga tatapan kami bertemu.

Sebelum akhirnya dia memutuskan kontak setelah melempar senyum sekilas padaku. Apa-apaan itu, dia meledekku? 

"Tunggu, Kak!" cegatku menarik tangan Ketua Osis, Kak Pandu yang merupakan kakak Rukly. 

Kak Pandu menghentikan langkahnya, dan berbalik menoleh padaku, termasuk juga Rukly yang memiliki tingkat kepo level mematikan.

"Ada apa?" tanya Kak Pandu terburu-buru. 

"Itu,” tunjukku padanya. “Cewek itu nggak ikut berbaris juga?" tanyaku melirik gadis berkacamata yang tadi melempar senyum manis.

Tentu saja, aku tidak secara terang-terangan menunjuknya. Itu tidak sopan, dan merupakan tindakan tercela, apalagi kami belum mengenal satu sama lain. 

Kak Pandu mengikuti arah lirikan mataku, begitu juga dengan Rukly. 

"Oh, Melga." Ketua Osis mengangguk, seakan sudah mengerti duduk persoalan dari apa yang tadi ditanyakan. Sikapnya justru makin membuatku tak mengerti. 

"Kalau dia nggak bakal ikutan baris.”

"Kenapa?”

"Hm. Itu karena Melga nggak bisa jalan, takut kecapean nanti kalau panas-panasan di lapangan,” jawab Kak Pandu. “Toh, udah dibebasin sama Kepala Sekolah juga.”

"Nggak bisa jalan?" tanyaku ragu.

"Iya, dia cacat, Rey. Jalannya pake tongkat gitu,” sahut Rukly. “Sabtu kemarin lo kan buru-buru pulang. Anak-anak pada gosipin dia, loh.”

Memang sabtu kemarin aku pulang cepat karena ada urusan keluarga, bahkan aku tidak ikut berkumpul dengan alumni SMP, yang juga bersekolah di tempat sama. 

"Sudah-sudah jangan merumpi di sini. Durasi,” tegur Kak Pandu. “Ayo, cepat ke lapangan!" 

Dengan paksa Ketua Osis menghentikan pembicaraan kami, padahal masih banyak yang ingin aku tanyakan untuk menuntaskan rasa penasaran ini. 

Bukan aku suka padanya, hanya saja senyum tadi menggangguku, terlebih sorot mata itu …

Itu membuat hatiku tergelitik.

"Dan kamu, Dek" Ketua Osis menunjuk hidung Rukly yang mengerutkan alis tanya. "Jaga omongan, Melga itu teman seangkatan kamu. Jangan bicara sembarangan. Nanti kakak adukan Mama, loh," ancamnya.

Aku turut membenarkan. Memang kadang perkataan Rukly tidak difilter dulu alias asal jeplak, tidak memikirkan jika mungkin ada yang sakit hati mendengarnya.

Mungkin, gadis itu juga sama. Memang siapa yang mau disebut cacat. Walau kenyataan berkata demikian, tetap tidak akan terima dikatai kasar. 

"Iya. Maaf, Pandu!"

"Apa?"

"Eh?!” Rukly gelagapan. “Maksud gue, Kak Pandu," laratnya tersenyum canggung.

"Yang sopan. Kakak di sini Ketua Osis. Jangan pake lo gue!"

"Iye, bawel. Ketua Osis aja belagu.”

"Apa?" raung Kak Pandu mendengar suara jelek menghinanya. 

"Enggak jadi."

"Huh, sudah buruan berbaris sana! Kasihan temannya kepanasan." 

Kembali Kak Pandu menyuruh kami melanjutkan perjalanan menuju lapangan yang sempat terhenti. Aku kembali melirik gadis itu. Kembali pandangan kami berserebok. Lagi, dia melempar senyum.

Kali ini aku yang memutuskan kontak lebih dulu dan menarik napas dalam. Untuk apa gadis itu tersenyum? jika tak ada kebahagiaan memancar di matanya. 

Entahlah! aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. 

Aku tidak peduli. Toh, dia bukan siapa-siapaku. Namanya saja baru tahu tadi. 

Entah sejak kapan aku terus memikirkannya

***

Crash! Aku meremas gelas plastik bekas minum tadi dan melemparnya ke tong sampah. Di sampingku terdengar bunyi glup-glup dari Rukly meminum airnya dengan rakus, seakan tak ada hari esok. 

"Gila, cape banget!" keluhnya.

Entah, sudah berapa kali Rukly mengatakan hal sama, aku tidak menghitungnya. Namun, aku sudah sangat bosan mendengar gerutuanya. 

Seperti tidak hal positif lain yang bisa dia lakukan selain mengeluh. Aku bahkan sudah malas menegurnya. 

Kuedarkan pandangan melihat sekeliling, terlihat para peserta mos tersebar di beberapa tempat. Kegiatan di lapangan tadi memang mengurus sebagian besar tenaga kami, terlebih kakak kelas sangat menyebalkan dalam memberi tugas. 

Tidak ingin memikirkan hal yang dapat memicu amarah, aku kembali melihat sekitar, lebih tepatnya melihat ke arah gadis yang kutemui pagi tadi.

Dia masih duduk di sana. Sendirian, tidak ada yang menemani. 

Apa gadis itu tidak punya teman? 

Samar kudengar beberapa siswi dekat ruang osis membicarakannya. Mereka kasihan pada kondisi Melga, tapi tidak mau mendekati gadis itu. 

Apa mungkin mereka takut? Atau merasa jijik karena dia cacat? 

Merasa penasaran, aku pun bangkit berdiri, lalu menepuk-nepuk bagian belakang celana. Ah, harusnya aku tidak menyetujui ide gila Rukly untuk duduk di bawah pohon yang membuat seragamku jadi terkena debu tanah.

"Mau kemana, Rey?" tanya Rukly.

"Ke Aula."

"Hah? Mau ngapain?"  

"Yuk! Ikut aja." Aku menarik tangan Rukly dan melangkah menuju pinggir aula, tempat Melga berada, dia tampak sibuk membaca buku novel. 

Aku pun menyapa. "Boleh gue duduk di sini?" 

Kulihat tubuh mungil itu tersentak, kemudian mengangguk, mempersilakan aku dan Rukly duduk di sampingnya, tidak lupa senyum di wajah imut itu merekah.

Senyum palsu itu lagi ....

Rukly ikut duduk di sampingku, tapi anehnya dia tidak berbicara sepatah katapun, padahal biasanya paling comel, sekarang mulutnya seolah terkunci. 

"Nama lo sia[a?" tanyaku memecah kebisuan. 

Melga menoleh, lalu menjulurkan tangan kanannya. Ah, aku kira dia akan sangat introvert, ternyata lebih ramah. Kuputuskan untuk membalas uluran tangannya yang lembut, tidak kupedulikan senggolan Adik Kak Pandu.

Memang apa salahnya jika bersalaman dengan Melga? Dia manusia bukan kuman yang harus dijauhi.

"Melga Audreya,” ungkapnya memperkenalkan diri. “Aku biasa dipanggil Melga. Kamu sendiri siapa?"

"Reyfan.” Aku menjawab singkat tanpa berniat memperkenalkan diri lebih jauh. Sepertinya, Melga pun tidak mempermasalahkan hal itu, terbukti dengan dia yang kembali meraih bukunya. Gadis itu bahkan tidak bertanya tentang Rukly. 

Apa dugaanku salah?

Aku ingin kembali membuka obrolan, tapi suara nyaring bel menjadi tanda harus mengakhirinya. 

"Gue cabut dulu!" pamitku diiringi Rukly yang gencar menarik-narik kemeja putihku sambil mengatakan jika kami sudah telat, padahal anggota osis pun masih berleha-leha di teras ruangannya. 

"Iya. Semangat, yah!" 

Aku menautkan alis. Untuk apa Melga memberiku semangat? Bukankah dirinya yang lebih membutuhkan hal itu?

Dijauhi satu sekolah, apa tidak cukup membuatnya sakit hati?

Gadis aneh!

Tapi aku terjerat.  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MAAF! AKU CACAT   Pedang Kata

    Andai aku melupakannya, cinta ini tak akan mengikat... Tapi kebaikan hatinya menjerat kuat.Aku tak bisa berpaling dari gadis tuna daksa itu. *** "Hoy, Reyfan. Lo bawa Kamus Inggris, gak?"Baru saja tiba di kelas, aku sudah ditodong pertanyaan seperti itu oleh Saga. Meski bingung tentang konteksnya, aku menggeleng sebagai konfirmasi. Saga pun tersenyum cerha. "Syukur, deh." "Emang kenapa?" tanyaku. "Lo lupa? Minggu lalu kan Mister Robert nyuruh kita bawa kamus satu orang satu," terang Saga mengingatkan. "Yang kagak bawa dilarang masuk kelasnya." Aku termangu, mencoba membuka memori kejadian sebelumnya, terlalu sering memikirian Melga, aku jadi lupa kewajiban sebagai pelajar. "Astaghfirullah! Gue lupa." Aku menepuk jidat pelan. "Lo sendiri bawa gak?" "Enggak. Makanya gue tanya lo," jawabnya membuatku merasa sedikit lega. Jahat memang, tapi setidaknya aku memilih teman seperjuangan. "Terus gimana?" tanyaku. "Cari ke kelas lain-lah, mumpung belum bel," usul Saga.

  • MAAF! AKU CACAT   Binar Ragu

    Andai aku tidak menemaninya, cinta ini tak akan tumbuh.Namun, aku tidak bisa mengabaikannya sendirian.Aku ingin selalu berguna bagi gadis cacat itu.***"Apa? Tolong bilang kalau gue cuman salah denger. Ini tidak nyata. Fatamorgana!"Sungguh, aku bosan menghadapi sikap dramatis bin alay, Rukly yang tak pernah ada habisnya. Selalu sukses membuat urat kesabaran ini nyaris putus. Tidak habis pikir dengan Rukly yang memiliki sifat seratus delapan puluh derajat berbeda dari Kak Pandu. Ketua Osis itu tampak elegan dan dapat diandalkan. Kenapa adiknya malah seperti ini? Ngidam apa ibunya dulu? Apa mungkin Rukly anak pungut?Oke, itu terlalu kejam. Dirasa tidak mungkin juga, mengingat wajah Kak Pandu sangat mirip dengan Rukly versi lebih dewasa. Perbedaan yang nyata dari keduanya, hanya model rambut. Kak Pandu memiliki gaya short and spicy. Rambutnya tertata rapih layaknya anggota Brimop. Berbeda dengan Rukly, semraut. Jika ada rajia rambut, Si Jabrik itu pantas masuk zona merah."Bener

  • MAAF! AKU CACAT   Tekad Baja

    Andai aku tidak peduli, cinta pahit ini tidak akan menenggelamkanNamun, melihat kesulitannya membuatku tak tega.Aku ingin lebih peduli dengan gadis cacat itu.***"Maaf, boleh minta waktunya sebentar, Kak Pandu?" Ketua Osis berbalik menatap Melga setelah mengakhiri pertengkaran kecilnya dengan Rukly, yang sejak kedatangan Melga mendadak menutup mulut rapat. Rukly terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya.Aku tidak mengerti. Sikap Rukly jauh dari kata biasa, terlebih dengan terang-terangan pemuda itu menyingkir menjauhi Melga, dan berdiri di sampingku.Apa benar Si Jabrik ini merasa jijik dengan fisik Melga yang cacat?Tapi jika iya, tidak harus menunjukan secara tersirat. Tindakan Rukly tadi, bisa saja membuat gadis imut itu sakit hati.Tunggu! Kenapa aku peduli?Dengan mengembuskan nafas pelan, aku mencoba mengatur pikiranku agar tidak terhayut pada rasa penasaran yang melenakan.Ingatlah! Bukan urusanku jika Rukly mau jijik atau pun benci pada Melga. Tidak ada untungnya juga unt

  • MAAF! AKU CACAT   Suara Khas

    Andai aku mempertahankan ego, perasaan sesak ini tidak akan mengganggu.Namun, rasa penasaranku mengkhianati.Hatiku tertambat untuk terus mendekati gadis cacat itu.***Waktu berlalu seperti air mengalir. Ini adalah hari terakhir kegiatan masa orientasi siswa. Para anggota osis hilir mudik mengurusi sesuatu entah apa, Kak Pandu pun selaku Ketua Osis sedang berbicara dengan Kepala Sekolah."Hoy Reyfan!”Suara sapaan itu membuatku menoleh ke sumber suara untuk seorang siswa melambaikan tangan sambil berkata, “Ayo, duduk sini!"Aku pun melangkah menghampirinya. Sebelum bel berbunyi tanda upacara closing dimulai, lebih baik aku mengistirahatkan diri, duduk bersama temanku yang duduk di samping Rukly. Dialah Sagara Hardiano.Melihat keduanya, aku jadi teringat pembicaraan tempo hari.Saga bertanya perihal kejadian saat aku menyapa Melga. Pemuda berambut cepak itu mendengar gosip di kalangan murid baru, bahwa aku akrab dengan Melga, kemudian dengan kurang ajarnya, Rukly pun memberitahu kej

  • MAAF! AKU CACAT   Sorot Mata

    Andai aku tidak menyapanya, rasa sakit ini tak akan ada.Tapi saat melihatnya sendirian, aku ikut sakitAku tidak ingin seperti mereka yang menjauhinya, karena dia cacat***"Ribet amat kakak kelas nyuruh dandan kayak gini kek badut.”Aku hanya mampu menghela napas mendengar gerutuan sahabat baikku, Rukly Senjara. Sejak menginjakan kaki di Area Sekolah, tak henti-hentinya pemuda berambut jabrik itu mengoceh, memprotes tindakan anggota osis yang meminta murid baru mengenakan astribut untuk masa orientasi siswa (MOS) di sekolah kami. Dua hari yang lalu, Ketua Osis mengumumkan untuk membuat benda yang akan gunakan saat masa pengenalan sekolah, berupa topi karton, tas karung, kalung permen dan papan nama dari kardus. Penampilan kami jauh dari kata rapi, terlebih untuk para siswi disuruh mengikat rambut panjang sebelah. Mereka terlihat seperti anak kecil yang baru belajar menata rambutnya sendiri, meski ada juga beberapa yang imut. "Ngapain pake acara mos segala, sih. Kagak guna sumpah

  • MAAF! AKU CACAT   Prolog

    Dia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisuDia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?Dia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisuDia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?Aku mengingat jelas kalimat penolakannya, saat aku mengutarakan cinta dulu. "Kamu tidak pernah mencintaiku!" Pernyataan tegas yang digaungkan setiap bibirku melantunkan bahasa cinta. Seakan-akan dia mengetahui isi hatiku, bahwa aku tidak serius mencintainya.Bahwa aku ha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status