Andai aku mempertahankan ego, perasaan sesak ini tidak akan mengganggu.
Namun, rasa penasaranku mengkhianati.
Hatiku tertambat untuk terus mendekati gadis cacat itu.
***
Waktu berlalu seperti air mengalir. Ini adalah hari terakhir kegiatan masa orientasi siswa. Para anggota osis hilir mudik mengurusi sesuatu entah apa, Kak Pandu pun selaku Ketua Osis sedang berbicara dengan Kepala Sekolah.
"Hoy Reyfan!”
Suara sapaan itu membuatku menoleh ke sumber suara untuk seorang siswa melambaikan tangan sambil berkata, “Ayo, duduk sini!"
Aku pun melangkah menghampirinya. Sebelum bel berbunyi tanda upacara closing dimulai, lebih baik aku mengistirahatkan diri, duduk bersama temanku yang duduk di samping Rukly. Dialah Sagara Hardiano.
Melihat keduanya, aku jadi teringat pembicaraan tempo hari.
Saga bertanya perihal kejadian saat aku menyapa Melga. Pemuda berambut cepak itu mendengar gosip di kalangan murid baru, bahwa aku akrab dengan Melga, kemudian dengan kurang ajarnya, Rukly pun memberitahu kejadian perkenalan di Aula.
Rukly bercerita sedramatis mungkin, tak lupa ekspresinya dibuat berlebihan saat menuduhku jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap Melga.
Konyol!
Aku tidak mungkin menyukai gadis sepertinya, jika yang normal saja masih banyak.
Bukan maksudku merendahkan ciptaanMu, Tuhan. Tapi jika aku bersama dia banyak hal yang harus dipikirkan.
Sejujurnya aku termasuk golongan orang yang tak bisa menerima kekurangan fisik. Yah, tidak munafik, kelak aku pun menginginkan seorang istri yang sempurna, baik rohani maupun jasmani. Namun, kenapa hatiku memberontak?
"Lo beneran suka ama Melga, Rey?” tanya Saga. “Gue kira selama ini lo demen ama Bella.”
Positif sudah aku diapit duo tuyul resek. Bagaimana mungkin mereka menduga jika aku menyukai Melga hanya karena menyapanya.
Kepedulianku pada si gadis besi hanya sebatas manusia sosial saja, terlebih kami satu angkatan. Menurutku tidak ada yang salah dengan itu. Namun, sepertinya dua manusia labil di dekatku ini salah mengartikannya.
"Enggak. Ya, kali!" jawabku memutar mata.
"Tapi Rukly bilang ...."
"Lo percaya aja omongannya,” sahutku. “Rukly kan tukang tipu.”
"Enak aja bilang gue kangtipu,” sambernya. “Salah lo sendiri tiba-tiba deketin itu cewek,” tuding Rukly padaku. “Nggak salah dong kalau gue ngira lo main hati ama cewek cacat itu.”
Detik berikutnya tawa menggelegar keluar dari mulut si pemuda jabrik, seolah apa yang dia katakan itu lelucon. Mungkin lucu bagi Rukly, tapi belum tentu bagi Melga.
"Hush, jangan ngomong kayak gitu. Entar kualat," tegur Saga memeringati, tapi tak mempan pada Rukly, pemuda sawo matang itu malah makin mengeraskan tawanya.
Aku menghela napas, membiarkan Rukly merancau bebas. Toh, tidak ada kewajiban untuk membela Melga, dia bukan siapa-siapaku. Namun ….
Tuhan … kenapa hatiku tercekik?
***
Tin! Tin! Tiiiinnn!
Bunyi klakson mobil menghentikan pembicaraanku dengan Rukly dan Saga. Sontak kami bertiga melihat ke sumber suara, terlihat sebuah sedan silver memasuki halaman parkir.
Sejujurnya, aku sudah sering melihat mobil itu masuk lingkungan sekolah. Namun, aku tidak pernah tahu siapa pemiliknya, mungkin kendaraan salah satu guru, begitu pikirku.
Tapi prasangka itu lenyap ketika mendengar bisik seorang siswi yang berada tak jauh dari tempat dudukku. Siswi yang kuketahui bernama Amel itu bergosip dengan teman-temannya.
"Enak yah jadi Melga, dianterin terus tiap hari pake mobil, sedangkan gue harus jalan berkilo-kilo meter dari rumah,” ocehnya mengeluh.
"Hush, jangan gitu! Kita harus bersyukur nggak cacat kayak dia,” timpal siswi di sampingnya.
Amel pun tertawa. "Iya juga sih, tapi tetep aja bikin iri."
Pengakuan yang salah, tapi aku tergerak untuk menguping lebih banyak, jika saja tidak ada tepukan di bahu. Aku pun menoleh ke si terangsaka utama,
"Apa?" tanyaku pada Rukly yang memasang cengiran lebar.
"Noh, Princess lo udah dateng." Rukly menunjuk seorang siswi yang berjalan menggunakan bantuan kruk.
Gadis berkemeja putih dengan rok biru SMP itu tampak menutup pintu mobil. Rambutnya dikuncir dua menggunakan pita merah. Kacamata berframe hitam menyembunyikan iris yang kutahu berwarna kecoklatan yang gemerlap.
Melga pun melangkah perlahan menuju Aula. Hentakan tongkat di tanah menimbulkan bunyi kruk-kruk setiap dia mengayun. Anehnya pemandangan itu membuatku terpaku.
"Cieee, diliatin terus. Samperin sono!" Kembali suara sumbang Rukly mengejek.
Aku mendecak jengkel. "Ck. Gue liat dia karena penasaran aja, bukan maksud apa-apa.”
"Penasaran apa penasaran?" goda Rukly masih belum jera.
"Penasaran gimana, Rey?" Beruntung salah satu temanku masih waras, sehingga aku memfokuskan pandangan pada Saga.
"Melga itu masih punya dua kaki. Tapi kok gak bisa jalan, ya?" jawabku tidak memedulikan godaan Rukly yang semakin menjadi-jadi.
Mungkin benar, dia harus diruqiyah.
Saga menompang dagu berpikir sambil ikut melihat ke arah Melga yang sudah duduk di tempat biasanya. Kulihat gadis itu sudah memiliki satu teman. Mereka tampak mengobrol asyik. Belum pernah aku melihat Melga tertawa sebelumnya. Namun, sorot mata itu tetap sama.
Tunggu … ada binar lain di matanya.
Apa aku tidak salah melihat?! Sorot itu memancar kehangatan meski samar, tapi nyata.
"Gue denger kakinya luka gitu, jadi nggak bisa digerakin," ujar Saga.
"Lho, gue kira Melga cacat dari lahir?" timpal Rukly sama dengan apa yang kupikirkan.
"Nggak tahu juga.” Saga mengusap belakang lehernya canggung. “Gue cuman denger gitu dari gosip cewek-cewek waktu di toilet sekolah."
"Hah?! Lo ngapain di toilet cewek?" tanya Rukly heboh sendiri, sedangkan Saga terlihat gugup dengan wajah pucat pasi.
"C--cuman lewat doang.”
"Bohong! Lo pasti ngintip, kan?” tuduhnya.
“Kagak.”
“Ngaku aja.” Rukly bersedekap dada sambil menyeringai. “Kenapa nggak ajak-ajak gue?"
Aku tidak lagi memedulikan percakapan mereka yang mulai melenceng keluar jalur. Aku lebih tertarik memperhatikan Melga yang larut dengan obrolannya bersama siswi yang kalau tidak salah bernama Manda.
Sejak berkenalan langsung lima hari yang lalu, aku belum memiliki kesempatan lagi berbicara dengan gadis tongkat itu. Kegiatan pengenalan lingkungan sekolah menyita hampir sebagian besar waktu. Jika pun luang, aku gunakan untuk mengobrol dengan dua sahabatku.
Mendengar informasi dari Saga, membuatku semakin penasaran pada Melga. Sudah jelas dia termasuk orang kaya. Tidak banyak murid di sekolah ini yang diantar mobil pribadi, kebanyakan dari mereka menggunakan motor atau berjalan kaki sama sepertiku.
Melga anak orang berada, tapi kenapa sorot matanya terlihat hampa. Apa dia menyesali kondisinya?
Jika apa yang dikatakan Saga benar, bahwa Melga bisa berjalan sebelumnya. Mungkinkah dia pernah mengalami kecelakaan yang merenggut fungsi alat geraknya?!
Ah, entahlah! Kenapa aku harus peduli?!
Teeeett!
Dan suara nyaring bel menjadi pertanda untukku kembali fokus menghadapi ujian hidupku sendiri.
***
Upacara pelepasan berjalan dengan lancar. Kepala sekolah memberikan nasehat dan peringatan tentang aturan selama bersekolah di SMAN BINA HARAPAN.
Setelah semua guru pergi ke ruang kantor, kini yang tersisa hanya junior dan beberapa anggota osis. Kak Pandu berdiri di depan microphone untuk mengucapkan salam dan memulai pidatonya.
"Baik, itu saja yang bisa saya sampaikan. Maaf, jika selama seminggu ini saya memiliki salah dalam tutur kata maupun perbuatan.” Ketua osis menunduk singkat diikuti anggota osis yang lain di belakangnya.
"Banyak banget, Pandu!"
Celetukan Rukly mendapat sorakan dari teman seangkatan kami. Tapi alih-alih memarahi sikap kurang ajar sang adik, Kak Pandu malah tertawa kecil, mungkin sudah merasa puas mengerjai adik jabriknya.
Aku ingat jelas marahnya Rukly saat disuruh menyanyi di depan banyak orang. Meski sudah menolak keras, tapi perintah demi perintah nyeleneh terus didapatkan olehnya, dan sekarang saja api permusuhan antar saudara itu belum padam.
Aku dan Saga bahkan sempat merasa iri, mengingat diriku hanya memiliki seorang adik perempuan yang duduk di kelas lima sekolah dasar, sedangkan Saga anak Tunggal.
Namun, kami tidak pernah membenci hal itu. Toh, Kak Pandu juga sudah menganggap kami adiknya.
"Sudah, jangan dipedulikan omongan, Rukly. Anggap saja syaiton lewat!" kata Kak Pandu menuai raungan dari Rukly.
Pemuda jabrik itu bahkan akan menghampiri kakaknya, jika saja Saga tidak menahan tangannya.
Ck! Kakak adik yang sama jahilnya, pikirku melihat seringai di wajah Kak Pandu.
Ketua osis itu pun melangkah mundur, setelah mengucapkan terimakasih, digantikan oleh sekretaris osis yang menjelaskan tentang demontrasi klub hari sabtu nanti.
Dengan kata lain, besok para murid baru sudah bisa melepaskan astribut badut, dan menggantinya dengan baju kaos. Bisa diartikan, sabtu besok kami bebas.
Setelah selesai menjelaskan, sekretaris osis yang bernama Aruma Nurkholis mulai membagikan tiga buah permen sebagai lambang persahabatan. Gadis berambut sebahu itu berkata, jika kami bebas memberikan lolipop pada siapa pun yang dianggap spesial. Boleh dikasih ke teman seangkatan, atau pun kakak kelas.
Aku menerima permen yang disodorkan Kak Aruma. Jujur saja, tatapan gadis itu membuatku risih.
Tidak mungkin dia berharap aku memberikan lollipop ini padanya.
Namun, sikap malu-malu itu sudah menjawab semuanya.
Tapi tidak ada salahnya aku memberikan permen ini pada Kak Aruma. Toh, aku sendiri tidak tahu harus memberikan lollipop ini pada siapa saja. Tidak ada yang spesial untukku, pun tak bisa bertukar dengan kedua sahabatku yang sudah menghilang entah ke mana.
"Ini, buat kakak satu!" Aku menyerahkan permen rasa stawberry pada Kak Aruma yang langsung tersenyum lebar menerimanya.
"Makasih sudah menganggapku spesial."
"Hm, sama-sama!"
Gegas, aku pun berpamitan untuk menghampiri Kak Pandu yang terlihat di kerumuni beberapa siswi. "Kak Pandu!" sapaku.
"Eh, Reyfan. Mau kasih permen ke kakak juga?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Iya, bingung mau kasih ke siapa.”
"Nggak kasih ke Bella? Tadi kakak lihat, Rukly sama Saga lagi ngobrol ama dia.”
"Males nyarinya,” jawabku menyodorkan salah satu permen ke Kak Pandu. “Nih!”
"Wah, Rey. Lo emang adek perhatian, nggak kayak si Rukly,” oceh Kak Pandu dengan senyum mengejek. “Boleh tukeran adik nggak, sih?"
Kak Pandu tertawa renyah setelah menerima permen dariku. Aku tahu. ketua osis hanya bercanda. Meski tidak mau mengakuinya, Kak Pandu sangat menyayangi Rukly.
Aku masih ingat, betapa marahnya Kak Pandu saat Rukly mengikuti tawuran antar pelajar SMP. Pemuda itu mengamuk dan memaki adiknya di depanku maupun Saga yang saat itu bertamu ke rumah mereka.
Memang aku dan Saga tidak ikut tawuran. Kami berkunjung ke rumah Rukly pun untuk menjenguknya yang terluka cukup parah. Sejak saat itu, hubungan Rukly dan Kak Pandu menjadi lebih baik.
Mungkin Rukly merasa bersalah. Apalagi kudengar Kak Pandu sempat dimarahi orang tuanya. Mereka menganggap bahwa pemuda itu tidak becus menjaga adiknya sendiri.
"Tukeran? Lo kira gue barang!"
Tidak perlu menoleh untuk mengetahui suara siapa itu. Nada sumbang yang khas sudah menunjukan pelakunya.
Rukly bersedekap dada, mendelik pada Kak Pandu yang tidak terintimidasi sama sekali. Di samping pemuda jabrik itu terlihat Bella dan juga Saga.
Namun, bukan itu yang membuatku terkejut melainkan sekelompok siswi memegang lolipop berbagai rasa di belakang ketiganya.
Ada hal apa mereka berkumpul di sini?
Apa mereka mau memberikan permen pada Kak Pandu?
Dugaanku salah besar saat mereka berlari menyodorkan permen di depan wajahku.
"Buat gue?" tanyaku.
"Iya buat lo, masa buat gue?” sela Rukly. “Sialan! gue yang tebar pesona, tapi lo yang panen.”
Sontak tawa renyah datang dari Ketua Osis. "Mana ada yang mau ngasih permen ke preman kayak lo, Dek.”
"Berisik! Yang tua diem aja.”
"Siapa yang tua?!"
Aku hanya menatap datar pertengkaran yang kesekian kali itu, fokusku pun beralih pada Isabella Wulandari yang menyodorkan permen coklatnya.
"Buat gue juga?" tanyaku dengan tangan sibuk memasukan lolipop pemberian siswi tadi ke dalam tas plastic.
"Iya. Ambil kesukaan lo, nih.”
"Thanks!"
Dan kulihat Bella tersenyum manis, lalu melihat ke arah kanan. "Btw, permen lo ada berapa lagi, Rey?"
"Tinggal satu, nih!"
"Oh, emang lo udah kasih ke siapa aja?"
"Ke Kak Pandu sama sekertaris osis."
"Kak Aruma?" Ekspresi diwajahnya pun berubah sarat cemburu.
Sejak SMP, aku sudah menyadari jika Bella menaruh hati padaku, terlebih gadis berambut sepinggang itu memang terang-terangan mendekatiku, kerap kali dia pun memberi kode akan rasa sukanya.
Bukan tidak peka, aku hanya tidak bisa membalas perasaan Bella.
Cinta ... bagiku sesuatu yang rumit. Aku bahkan tidak tahu bagaimana cara merasakannya?
"Terus satu lagi mau dikasih ama siapa, Rey?" tanya Bella dengan iris mata berbinar penuh harap, dan sepertinya tidak ada salahnya berbagi padanya.
Aku pun menyodorkan permen terakhir itu, jika saja …
"Kak Pandu!"
… alunan lembut itu tidak mengusikku.
Andai aku melupakannya, cinta ini tak akan mengikat... Tapi kebaikan hatinya menjerat kuat.Aku tak bisa berpaling dari gadis tuna daksa itu. *** "Hoy, Reyfan. Lo bawa Kamus Inggris, gak?"Baru saja tiba di kelas, aku sudah ditodong pertanyaan seperti itu oleh Saga. Meski bingung tentang konteksnya, aku menggeleng sebagai konfirmasi. Saga pun tersenyum cerha. "Syukur, deh." "Emang kenapa?" tanyaku. "Lo lupa? Minggu lalu kan Mister Robert nyuruh kita bawa kamus satu orang satu," terang Saga mengingatkan. "Yang kagak bawa dilarang masuk kelasnya." Aku termangu, mencoba membuka memori kejadian sebelumnya, terlalu sering memikirian Melga, aku jadi lupa kewajiban sebagai pelajar. "Astaghfirullah! Gue lupa." Aku menepuk jidat pelan. "Lo sendiri bawa gak?" "Enggak. Makanya gue tanya lo," jawabnya membuatku merasa sedikit lega. Jahat memang, tapi setidaknya aku memilih teman seperjuangan. "Terus gimana?" tanyaku. "Cari ke kelas lain-lah, mumpung belum bel," usul Saga.
Andai aku tidak menemaninya, cinta ini tak akan tumbuh.Namun, aku tidak bisa mengabaikannya sendirian.Aku ingin selalu berguna bagi gadis cacat itu.***"Apa? Tolong bilang kalau gue cuman salah denger. Ini tidak nyata. Fatamorgana!"Sungguh, aku bosan menghadapi sikap dramatis bin alay, Rukly yang tak pernah ada habisnya. Selalu sukses membuat urat kesabaran ini nyaris putus. Tidak habis pikir dengan Rukly yang memiliki sifat seratus delapan puluh derajat berbeda dari Kak Pandu. Ketua Osis itu tampak elegan dan dapat diandalkan. Kenapa adiknya malah seperti ini? Ngidam apa ibunya dulu? Apa mungkin Rukly anak pungut?Oke, itu terlalu kejam. Dirasa tidak mungkin juga, mengingat wajah Kak Pandu sangat mirip dengan Rukly versi lebih dewasa. Perbedaan yang nyata dari keduanya, hanya model rambut. Kak Pandu memiliki gaya short and spicy. Rambutnya tertata rapih layaknya anggota Brimop. Berbeda dengan Rukly, semraut. Jika ada rajia rambut, Si Jabrik itu pantas masuk zona merah."Bener
Andai aku tidak peduli, cinta pahit ini tidak akan menenggelamkanNamun, melihat kesulitannya membuatku tak tega.Aku ingin lebih peduli dengan gadis cacat itu.***"Maaf, boleh minta waktunya sebentar, Kak Pandu?" Ketua Osis berbalik menatap Melga setelah mengakhiri pertengkaran kecilnya dengan Rukly, yang sejak kedatangan Melga mendadak menutup mulut rapat. Rukly terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya.Aku tidak mengerti. Sikap Rukly jauh dari kata biasa, terlebih dengan terang-terangan pemuda itu menyingkir menjauhi Melga, dan berdiri di sampingku.Apa benar Si Jabrik ini merasa jijik dengan fisik Melga yang cacat?Tapi jika iya, tidak harus menunjukan secara tersirat. Tindakan Rukly tadi, bisa saja membuat gadis imut itu sakit hati.Tunggu! Kenapa aku peduli?Dengan mengembuskan nafas pelan, aku mencoba mengatur pikiranku agar tidak terhayut pada rasa penasaran yang melenakan.Ingatlah! Bukan urusanku jika Rukly mau jijik atau pun benci pada Melga. Tidak ada untungnya juga unt
Andai aku mempertahankan ego, perasaan sesak ini tidak akan mengganggu.Namun, rasa penasaranku mengkhianati.Hatiku tertambat untuk terus mendekati gadis cacat itu.***Waktu berlalu seperti air mengalir. Ini adalah hari terakhir kegiatan masa orientasi siswa. Para anggota osis hilir mudik mengurusi sesuatu entah apa, Kak Pandu pun selaku Ketua Osis sedang berbicara dengan Kepala Sekolah."Hoy Reyfan!”Suara sapaan itu membuatku menoleh ke sumber suara untuk seorang siswa melambaikan tangan sambil berkata, “Ayo, duduk sini!"Aku pun melangkah menghampirinya. Sebelum bel berbunyi tanda upacara closing dimulai, lebih baik aku mengistirahatkan diri, duduk bersama temanku yang duduk di samping Rukly. Dialah Sagara Hardiano.Melihat keduanya, aku jadi teringat pembicaraan tempo hari.Saga bertanya perihal kejadian saat aku menyapa Melga. Pemuda berambut cepak itu mendengar gosip di kalangan murid baru, bahwa aku akrab dengan Melga, kemudian dengan kurang ajarnya, Rukly pun memberitahu kej
Andai aku tidak menyapanya, rasa sakit ini tak akan ada.Tapi saat melihatnya sendirian, aku ikut sakitAku tidak ingin seperti mereka yang menjauhinya, karena dia cacat***"Ribet amat kakak kelas nyuruh dandan kayak gini kek badut.”Aku hanya mampu menghela napas mendengar gerutuan sahabat baikku, Rukly Senjara. Sejak menginjakan kaki di Area Sekolah, tak henti-hentinya pemuda berambut jabrik itu mengoceh, memprotes tindakan anggota osis yang meminta murid baru mengenakan astribut untuk masa orientasi siswa (MOS) di sekolah kami. Dua hari yang lalu, Ketua Osis mengumumkan untuk membuat benda yang akan gunakan saat masa pengenalan sekolah, berupa topi karton, tas karung, kalung permen dan papan nama dari kardus. Penampilan kami jauh dari kata rapi, terlebih untuk para siswi disuruh mengikat rambut panjang sebelah. Mereka terlihat seperti anak kecil yang baru belajar menata rambutnya sendiri, meski ada juga beberapa yang imut. "Ngapain pake acara mos segala, sih. Kagak guna sumpah
Dia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisuDia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?Dia bisa mendengar pujian merdu, karena dia tidak tuli.Dia bisa melantunkan syair indah, karena dia tidak bisuDia bisa menari sampai senja, karena dia tidak lumpuh.Dia hanya mengalami kecacatan pada salah satu kakinya. Lalu kenapa dia diperlakukan dengan berbeda?Apa karena itu dia menolak cintaku? Dia merasa tidak pantas dicintai karena seorang tuna daksa?Aku mengingat jelas kalimat penolakannya, saat aku mengutarakan cinta dulu. "Kamu tidak pernah mencintaiku!" Pernyataan tegas yang digaungkan setiap bibirku melantunkan bahasa cinta. Seakan-akan dia mengetahui isi hatiku, bahwa aku tidak serius mencintainya.Bahwa aku ha