“Sah.”Suara itu menggema di pengeras suara diikuti dengan lantunan doa yang mengiringi kebahagiaan dalam suasana haru di rumah Bu Rahmi yang saat ini sedang dilaksanakan akad nikah Zain dan Tania.Acara yang bisa terbilang sederhana malah membuat suasana terasa lebih sakral. Tak ada dekorasi megah, hanya hiasan bunga-bunga berwarna putih serta pita-pita yang terpasang hampir di setiap sudut area rumah. Atas kesepakatan keduanya, Zain maupun Tania hanya mengundang beberapa keluarga serta teman terdekat yang seluruhnya tak lebih dari lima puluh orang. Meski begitu Bu Rahmi serta Rena tetap mempersiapkan semuanya dengan sangat baik dan teliti. Keduanya ingin Zain dan Tania tetap berkesan di hari pernikahannya.“Selamat, Sayang.” Bu Rahmi tersenyum lalu memeluk Zain.“Terima kasih, Ma. Terima kasih untuk semuanya.” Zain membalas pelukan Ibu angkatnya.Bu Rahmi tak menyangka bisa setulus ini mengurus anak yang tak lain adalah hasil dari perselingkuhan suaminya. Ia ingat betul saat pertama
“Ka-Kamu hamil? Hamil anak siapa?”Bagaikan tersambar petir, pertanyaan itu berhasil meruntuhkan hati Rena. Bertahun-tahun mendamba dengan sebuah keyakinan jika keturunan mutlak pemberian Tuhan, tapi saat permintaannya dikabulkan, Huda seakan tak mempercayai jika janin dalam kandungan Rena adalah darah dagingnya.“Anak jin,” jawab Rena sinis.“Mak-Maksudku, bukankah aku mandul.”“Ya, kamu memang mandu dan tak mungkin bisa menghamiliku!”Rena melempar kasar benda pipih ditangannya. Entah keyakinan apa yang selama ini bercokol di kepala Huda jika nyatanya kini ia tak bisa menerima kebesaran dan kekuasaan Tuhan karena nyatanya semua yang Huda perjuangkan selama ini hanya untuk menutupi kekurangannya saja. Ia tak terima dianggap mandul karena setiap orang melihatnya sebagai lelaki sempurna.“Kamu mau kemana? Bukankah kita bisa tes DNA dulu untuk membuktikan itu anak siapa? Kalo benar itu anakku, tentu aku akan menerimanya,” ucap Huda saat melihat Rena memasukkan bajunya ke dalam koper.“
“Maaf, aku adalah selingkuhan suamimu, Mbak.” Vania membuka suara.Sejam yang lalu ia memberanikan diri menemui Renata, kakak sepupunya untuk memberi tahu sebuah rahasia yang setahun ini ia sembunyikan. Sebenarnya hal ini sangat memalukan tapi janin berumur enam minggu yang kini dikandungnya mengharuskannya melakukan semua itu.“Oh, jadi kapan kalian berencana menikah? Sudah berapa bulan kandunganmu?” tanya Rena tenang.Vani mendongakkan wajah, ia tak menyangka jika Rena bisa bersikap tenang mendapat kabar yang seharusnya sangat menyakitkan baginya. Ia juga heran dari mana Rena tahu tentang kehamilannya padahal ia sama sekali belum menceritakan hal itu. Padahal sudah hampir dua minggu Vani mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang akan ia terima dari Renata, teman kerja sekaligus keluarganya.“Apa Mbak enggak marah?”“Untuk apa aku marah? Aku bahkan tak punya waktu untuk memikirkan itu. Lagian aku masih punya Hana dan Hafiz yang lebih perlu kuperhatikan. Tenang saja, aku akan
“Ren, itu saudara kamu muntah-muntah di belakang. Sebentar lagi kita kondangan sekalian nengok bayi ini,” celetuk Shela yang baru saja kembali dari toilet.“Dasar Vani, pacaran kok sampai kebobolan kayak anak sekolah aja. Tinggal nikah apa susahnya, sih? Ke KUA doang kan gampang,” timpal yang lain.“Pacaran sama suami orang dia, makanya susah sendiri. Kalian jangan coba-coba ikutan, ya. Dilabrak istri sah baru tahu rasa!” Rena memperingatkan seraya melangkah keluar meninggalkan dua wanita yang mencondongkan bibir membentuk huruf O.Rena melangkah cepat menuju toilet yang berada di belakang gedung. Ia tahu Vani tak mungkin menggunakan toilet dalam karena malu jika suara muntahnya terdengar staf yang lain. Meskipun tak pernah memberitahu, tapi semua orang yang bekerja di kantor itu tahu jika Vani tengah berbadan dua dan nahasnya mereka menganggap semua itu hal yang wajar. “Nikmat, kan, jadi wanita hamil?” ucap Rena seraya memijat tengkuk Vani yang masih terus menunduk di atas wastafel.
Rena mengembuskan nafas lega saat tumpukan berkas di meja telah diangkut ke ruang atasannya. Setelah meregangkan badan sebentar ia kembali duduk sembari mengecek ponselnya yang sejak tadi sama sekali tak tersentuh. Pekerjaannya sebagai petugas analisa kredit di sebuah bank pembiayaan yang sedang berkembang cukup menguras tenaga dan pikirannya. Terkadang ia sampai harus lembur jika banyak nasabah yang mengajukan pinjaman.Semenjak keadaan keluarganya tak baik-baik saja, Rena lebih senang berlama-lama di kantor meski pekerjaannya telah selesai. Terkadang demi mengulur waktu, ia memilih nongkrong di cafe depan kantor dari pada harus pulang cepat dan terus melakukan sandiwara sebagai pasangan romantis di depan anak-anaknya.Rena tersenyum getir saat melihat foto-foto kebersamaannya dengan Danu yang telah tersimpan lama di ponselnya. Lebih dari seribu foto sejak pacaran, menikah, melahirkan Hafiz hingga Hana semua tersimpan rapi di folder yang ia beri nama ‘sweet family’. Namun tak lama ke
“Mas Danu selingkuh, Ma,” ucap Rena tertunduk di depan Bu Siti – ibu mertuanya.“A-Apa?” Bu Siti terperanjat, berharap perkataan yang baru saja ia dengar hanyalah bualan belaka.“Mas Danu selingkuh dan wanita selingkuhannya sedang hamil sekarang.” “Kamu enggak bohong, kan?”Rena menggeleng. “Mereka sudah mengakui semua, bahkan tanpa aku tanya.”“Astaga, Danu! Memalukan sekali!”Wanita yang masih terlihat cantik meski hampir memasuki usia senja itu terlihat frustasi. Ia tahu sebuah perselingkuhan apa lagi sampai menghamili anak orang adalah perbuatan yang sangat fatal. Mereka yang berbuat, orang lain yang merasakan sakitnya.“Aku sudah menggugat cerai Mas Danu, Ma, maaf baru bilang sekarang. Aku benar-benar sedang tak bisa berpikir jernih. Apalagi selingkuhan Mas Danu adalah Vani.”“Vani sepupu kamu?” tebak Bu Siti.“Iya, Ma.”“Benar-benar keterlaluan dia! Tega-teganya dia merusak rumah tangga saudaranya sendiri. Dasar wanita tak tahu malu! Meskipun dia mengandung anak Danu, sampai k
Waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam saat Rena menyeret dua buah koper besar keluar dari kamar yang lebih dari sepuluh tahun ia tempati. Dengan langkah pasti ia langsung melengang menuju taksi online yang sudah nenunggunya di luar. Sejam yang lalu kedua anaknya telah dijemput oleh nenek dan kakeknya untuk tinggal sementara dengan mereka. Meski berat, tapi itu sudah menjadi permintaan keduanya terutama Hafiz.“Jangan khawatir, Ma. Aku sama Hana baik-baik saja, kan kita sudah biasa tinggal di rumah nenek saat Mama dan Papa bekerja,” ucap Hafiz saat berpamitan tadi.“Maafin mama ya, Sayang.” Rena memeluk keduanya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tak mengeluarkan air mata agar anaknya tak terlalu khawatir. Sebenarnya Rena ingin membawa kedua anaknya pergi bersamanya tapi pasti akan menimbulkan masalah baru karena Danu pasti melarangnya. Bukannya tega, tapi ia butuh sedikit waktu untuk mempersiapkan tempat yang nyaman bagi mereka berdua.“Apa kita harus berakhir seperti ini?” tanya D
Vani mengelus perutnya yang masih rata, berkali-kali ia mengecek aplikasi penghitung umur kehamilan di ponselnya dan melihat perkiraan gambar janin yang ada diperutnya. Ia mengoleskan minyak angin aroma terapi untuk sedikit mengurangi sakit kepala dan mual yang selalu dirasakannya. Semenjak berbadan dua, kesehatannya menurun drastis sehingga ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ditambah lagi dengan sindiran demi sindiran yang Rena dan teman-temannya lontarkan, membuatnya tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berada di tempat kerja.“Mas, aku hamil,” ucap Vani saat meminta Danu menemuinya sebulan yang lalu.“Apa? Kamu hamil? Bukannya kita selalu hati-hati saat melakukan semua itu?” jawab Danu tak percaya.“Aku juga enggak tahu, Mas. Gimana ini, Mas?” “Oke, aku akan tanggung jawab tapi jangan sampai Rena tahu masalah ini. Sementara kita akan menikah siri dan aku akan menanggung hidupmu mulai saat ini.” “Tapi, Mas, kalo kita hanya menikah siri, anak ini tak akan punya peng