Share

TENANG

Waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam saat Rena menyeret dua buah koper besar keluar dari kamar yang lebih dari sepuluh tahun ia tempati. Dengan langkah pasti ia langsung melengang menuju taksi online yang sudah nenunggunya di luar. Sejam yang lalu kedua anaknya telah dijemput oleh nenek dan kakeknya untuk tinggal sementara dengan mereka. Meski berat, tapi itu sudah menjadi permintaan keduanya terutama Hafiz.

“Jangan khawatir, Ma. Aku sama Hana baik-baik saja, kan kita sudah biasa tinggal di rumah nenek saat Mama dan Papa bekerja,” ucap Hafiz saat berpamitan tadi.

“Maafin mama ya, Sayang.” Rena memeluk keduanya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tak mengeluarkan air mata agar anaknya tak terlalu khawatir. 

Sebenarnya Rena ingin membawa kedua anaknya pergi bersamanya tapi pasti akan menimbulkan masalah baru karena Danu pasti melarangnya. Bukannya tega, tapi ia butuh sedikit waktu untuk mempersiapkan tempat yang nyaman bagi mereka berdua.

“Apa kita harus berakhir seperti ini?” tanya Danu yang menghadang Rena di teras rumah.

“Ini bukan pilihanku, Mas. Kamu yang memaksa aku harus seperti ini,” jawab Rena lirih.

“Aku khilaf, Rena. Bisakah kita mencari jalan keluar terbaik tanpa perpisahan?”

Rena menggeleng, menatap sekilas lelaki yang pernah begitu dicintainya. Dulu ia selalu berharap jika Danu hanyalah miliknya, namun sekarang ia akan memberikannya pada wanita yang lebih membutuhkannya.

“Aku pergi, Mas. Terima kasih untuk semuanya. Aku tunggu kedatanganmu di sidang putusan minggu depan.” Rena melangkah pasti menuju mobil yang siap membawanya. 

“Rena, Renata, Sayang ...,” panggil Danu berulang kali namun Rena tak memedulikannya.

Air mata Rena akhirnya luruh bersamaan dengan mulai melajunya mobil yang akan membawanya pergi dari rumah bercat putih yang telah menciptakan sejuta kenangan di hidupnya. Dulu Rena datang ke rumah itu dengan perasaan bahagia dan kini ia pergi juga untuk mencari bahagia.

Tak sampai setengah jam ia sampai depan bangunan berlantai dua yang dikelilingi pagar besi tempat sahabatnya tinggal. Ia yang sudah terbiasa datang hanya perlu melapor satpam agar segera dibukakan pintu.

“Numpang ya, Shel,” ucap Rena yang tiba-tiba datang ke tempat kos Shela.

“Eh, apa maksudnya ini? Ini bukan tempat piknik. Mana suami sama anak-anakmu?” jawab Bela menunjuk koper besar yang diseret Rena.

“Astaga, Rena! Kamu ngapain malam-malam datang ke sini? Kamu marahan sama Danu? Tapi enggak harus minggat kayak gini, kan?” timpal Bela yang tinggal satu kos dengan Shela.

Selain bekerja di tempat yang sama dan bagian yang sama, Shela dan Bela yang sama-sama masih betah melajang memang tinggal ditempat kos yang sama. Meski umur mereka sudah sama-sama lebih dari tiga puluh tahun, tapi belum ada tanda-tanda dari keduanya untuk mengakhiri masa lajang, berbeda dengan Rena yang memilih menikah di usia muda.

“Tolonglah, aku numpang, bayar juga enggak apa-apa. Aku malas tinggal sendiri.” Rena memohon.

“Boleh saja, asal kami tahu alasan kamu datang ke sini. Soalnya kami enggak mau disalahkan sama Mas Danu kalo sampai dia tahu kamu ada di sini.”

“Baiklah. Kalian tahu Vani hamil, kan?”

Shela dan Bela mengangguk bersamaan.

“Mau tahu siapa yang menghamili?”

“Siapa?” jawab keduanya bersamaan.

“Mas Danu.”

“Hah? Kamu enggak bohong, kan?” Shela menelisik.

Rena menggeleng kemudian menceritakan semua hal yang terjadi pada dirinya tanpa satu pun terlewatkan juga rencana yang akan dilakukan berikutnya.

“Sabar ya, Ren.” Shela dan Bela memeluk Rena bersamaan. Keduanya terisak mendengar kisah hidup Rena yang begitu memilukan.

“Aku yang diselingkuhi kenapa kalian yang nangis? Aneh!” celetuk Rena yang membuat kedua sahabatnya seketika tersenyum.

“Kamu hebat banget, Ren, bisa bersikap tenang gitu. Kalo aku jadi kamu, udah tak bejek-bejek si Vani. Dasar wanita tak tahu malu! Jijik aku temenan sama dia,” ucap Bela.

“Itu enggak penting. Biar mereka mendapatkan karmanya sendiri. Entah cepat atau lambat mereka akan mendapatkan balasan atas apa yang telah diperbuatnya.”

Ketiganya kembali berpelukan. Rena yakin tak ada masalah yang tak mempunyai jalan keluar. Kita hanya perlu berusaha dan bersabar sampai Tuhan memberi jalan untuk menyelesaikan masalah itu.

**

“Terima kasih, Mbak. Tadi malam Mas Danu sudah datang dan dia bersedia menikahiku,” ucap Vani yang baru hari ini masuk kerja setelah cuti lebih dari seminggu.

“Syukurlah kalo begitu. Selamat atas pernikahannya, ya.” Rena menoleh dan tersenyum sekilas kemudian kembali fokus ke komputernya.

Rena sedikit terkejut dengan wajah Vani yang kini berubah drastis. Wajah yang biasanya glowing dengan riasan make up sederhana kini terlihat pucat dan timbul jerawat di beberapa bagian. Tubuhnya yang saat terakhir bertemu masih padat berisi kini terlihat sedikit kurus. 

“Masih muntah-muntah?” tanya Rena kemudian.

“Masih, Mbak.”

“Ayahnya suruh ngelus-elus, pasti langsung sembuh,” ucap Rena datar.

Tanpa sengaja, Vani meneteskan air mata. Semenjak dinyatakan hamil, perasaannya memang sedikit sensitif. Ditambah lagi dengan sindiran-sindiran yang selaku Rena lontarkan membuat hatinya semakin menciut.

“Beruntung banget kamu, Van, punya saudara kayak Rena. Udah dikasih suami, enggak dilaporin ke atasan lagi.” Shela ikut menyindir.

Kedatangan Vani ke kantor memang hanya untuk memberikan surat pengunduran diri sebelum atasannya tahu jika ia hamil diluar nikah dan terancam diberhentikan tanpa pesangon. Karena memang ada beberapa perusahaan yang tak bisa mentolerir karyawannya yang hamil di luar nikah apalagi dengan mengambil cuti yang cukup banyak.

Rena memang tak berniat membuka kasus ini sejak awal dan hanya teman satu ruangan yang tahu kehamilan Vani. Hal itu Rena lakukan untuk menunjukkan jika ia benar-benar kuat dan Vani tak mampu meremehkannya. Dan benar saja, sampai saat ini Vani memang tak bisa berkata macam-macam seperti pelakor-pelakor dalam film dan malah terkesan takut pada Rena.

“Shela, mbok ya hibahin pacarmu buat aku. Kamu kan baik kayak Rena,” goda Bela yang sedari tadi serius menyimak obrolan ketiga temannya.

“Hibah-hibah, emang pacarku bangunan, bisa dihibahin? Kamu yakin suka sama pacarku? Dia  gendut dan banyak makan, enggak kayak Mas Danu yang ganteng dan kaya. Iya enggak, Van?” 

“Cukuupp ...! Aku tahu aku salah, tapi tolong jangan hukum aku seperti ini. Aku juga punya hati.”

“Oh, masih punya hati rupanya. Tapi sayang hatimu busuk!” cibir Shela yang membuat Vani beranjak keluar.

Rena hanya tersenyum melihat adegan drama di hadapannya. Ia tak perlu menangis, berkelahi atau melakukan hal-hal yang menguras tenaga hanya untuk menghadapi seorang pelakor. Cukup dengan bersikap tenang, pelakor itu akan kalah dengan sendirinya.

“Asal masih tampak di depan mataku, akan kubuat kau lebih sakit dari pada itu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status