Rena berusaha tetap tenang dan cuek setelah mengetahui perselingkuhan suaminya. Alih-alih marah, ia malah mendukung dan berusaha menyatukan suami dengan wanita selingkuhannya yang tak lain adalah sahabat dekatnya. Apa yang membuatnya tetap bisa tersenyum dan tak pernah menunjukkam gurat kekecewaan diwajahnya. Apakah ia benar-benar ikhlas menerina nasib atau ada alasan lain yaitu hadir seorang lelaki yang selama ini selalu dekat dengannya?
View More“Maaf, aku adalah selingkuhan suamimu, Mbak.” Vania membuka suara.
Sejam yang lalu ia memberanikan diri menemui Renata, kakak sepupunya untuk memberi tahu sebuah rahasia yang setahun ini ia sembunyikan. Sebenarnya hal ini sangat memalukan tapi janin berumur enam minggu yang kini dikandungnya mengharuskannya melakukan semua itu.“Oh, jadi kapan kalian berencana menikah? Sudah berapa bulan kandunganmu?” tanya Rena tenang.Vani mendongakkan wajah, ia tak menyangka jika Rena bisa bersikap tenang mendapat kabar yang seharusnya sangat menyakitkan baginya. Ia juga heran dari mana Rena tahu tentang kehamilannya padahal ia sama sekali belum menceritakan hal itu. Padahal sudah hampir dua minggu Vani mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang akan ia terima dari Renata, teman kerja sekaligus keluarganya.“Apa Mbak enggak marah?”“Untuk apa aku marah? Aku bahkan tak punya waktu untuk memikirkan itu. Lagian aku masih punya Hana dan Hafiz yang lebih perlu kuperhatikan. Tenang saja, aku akan segera mengurus perceraianku dan kamu akan mendapatkan Mas Danu sepenuhnya.” Rena tersenyum sembari mengelus pipi Vani.“Aku minta maaf, Mbak.”“Sayangnya maafmu tak akan mengembalikan keutuhan keluargaku yang telah kamu hancurkan. Tapi tak apa, bukan cuma kamu yang menghancurkannya, Mas Danu juga ikut andil dalam hal itu. Jangan terlalu banyak pikiran agar janinmu tetap sehat. Biasanya saat hamil aku akan dimanja oleh Mas Danu, semoga dengan kamu juga begitu.” “Sekali lagi aku minta maaf, Mbak.” “Tak masalah, setelah ini aku pastikan Mas Danu memiliki banyak waktu untukmu. Meskipun kami masih tinggal bersama tapi bisa kupastikan jika hati dan raga Mas Danu hanya milikmu sekarang. Aku pamit dulu, ya.” Rena beranjak lalu pergi setelah menyeruput jus melo didepanya hingga tadar.Vani menarik nafas dalam setelah tubuh Rena menghilang dibalik pintu kaca. Sejak semalam ia tak bisa tidur memikirkan pertemuannya dengan Rena. Mengakui sebuah kesalahan memanglah tak mudah, apalagi hal itu menyangkut hubungan persahabatan, keluarga dan juga masa depannya.Kedekatan Vani dan Danu dimulai saat Rena terbiasa menghubunginya melalui ponsel suaminya jika ponselnya sedang dipegang oleh anaknya. Awalnya semua berjalan biasa saja, sebagai sepasang suami istri, berbagi ponsel adalah hal biasa. Namun lama kelamaan Danu mulai berani mengomentari status yang Vani buat. Sebagai seorang gadis lajang, status w******p adalah salah satu media untuk mengungkapkan isi hati. Hampir semua kegiatan dan perasaan yang sedang dirasakan Vani dituangkan dalam sebuah status yang akan mengundang banyak tanggapan dari siapa saja yang membaca dan melihatnya termasuk Danu, suami teman kantornya.[Cantik sih, tapi sayang jomblo]Vani ingat betul komentar itulah yang Danu kirimkan saat ia memajang foto dirinya yang berpakaian kebaya saat menghadiri pernikahan keluarganya.Awalnya ia mengira Rena yang mengirimkan pesan itu, bahkan ia sampai bercerita macam-macam saat itu karena memang mereka sudah terbiasa berbalas pesan dengan nomor Danu. Namun betapa terkejutnya saat Danu mengatakan jika Rena dan kedua anaknya sedang berlibur di rumah orang tuanya. Mulai saat itulah semua malapetaka itu terjadi.Dimulai dari berbalas pesan, mereka mulai berani melempar perhatian satu sama lain. Memang awalnya hanya bercanda tapi lama kelamaan hati ikut bicara. Sebagai wanita single, Vani merasa bahagia saat mengobrol juga mendapatkan perhatian-perhatian kecil dari Danu. Begitu juga Danu yang merasa mendapatkan penyegaran dari hambarnya hubungan pernikahannya dengan Rena yang sudah berjalan hampir dua belas tahun.Sebenarnya hubungan mereka sempat terendus oleh Rena, namun dengan cepat Danu dapat memulihkan suasana dengan mengatakan jika ia berbalas pesan dengan Vani untuk meneruskan obrolan yang selalu ditinggalkan oleh Rena. Lagi pula selama di rumah sikap Danu memang tak pernah berubah, ia tetap menjadi suami dan ayah yang baik untuk Rena dan kedua anaknya. Hal itu membuat Rena selalu meredam rasa curiga tentang hubungan mereka. Namun semenjak enam bulan yang lalu Danu mulai terang-terangan mengungkapkan perasaannya. Kehidupan rumah tangga yang itu-itu saja membuatnya ingin menjajal sesuatu yang sedikit memacu adrenalinnya sebagai seorang lelaki. Gayung pun bersambut, Vani yang ternyata menyimpan rasa untuk Danu nekat menjalani hubungan terlarang dengan suami sahabatnya. Saling pengertian dan berhati-hati dalam hal komunikasi membuat hubungan mereka semakin lancar. Pertemuan demi pertemuan mereka lakukan dengan rencana yang sangat rapi, tentu saja tanpa sepengetahuan Rena. Namun sepandai-pandainya mereka menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Hubungan terlarang antara dua orang dewasa yang sama-sama sedang dimabuk cinta membuat mereka lupa jika setan bisa saja mengikutinya. Vani yang telah mau menyerahkan jiwa dan raganya untuk Danu harus menanggung malu karena ia hamil anak dari suami sahabatnya yang membuatnya terpaksa mengakui hubungan gelap mereka.**“Mama pulang ...! Siapa yang mau bakso?” ucap Rena sembari berjongkok dan merentangkan tangannya menyambut Hana-anak bungsunya yang sedang berlari ke arahnya.Rena menggendong Hana kemudian berjalan menghampiri Hafiz yang sedang sibuk dengan ponselnya.“Kakak cium tangan dulu sama mama,” perintah Hana pada kakaknya.“Sebentar, tanggung, nih!” jawab Hafiz yang terus saja memainkan game di ponselnya.“Ya udah kalo main game terus, baksonya buat Hana semua.”“Jangan curang kamu, ya.” Hafiz melempar ponselnya sembarang kemudian mencium tangan Rena sebelum menyambar kresek putih yang tergeletak di atas meja.“Kakak, itu punyaku juga ...!” pekik Hana yang langsung memberontak turun untuk mengejar kakaknya yang sudah berlari ke arah dapur.Adegan kucing dan tikus akhirnya terjadi. Teriakan demi teriakan keluar dari mulut Hana yang selalu dibuat kesal dengan sikap Hafiz. Rena hanya menggeleng sembari tersenyum melihat kelakuan mereka kemudian berjalan menuju arah kamar.“Sudah pulang, Ma,” tanya Danu yang sedikit terkejut dengan kedatangan Rena.“Sudah,” jawab Rena singkat.“Bisa duduk sebentar?” perintah Danu setelah mengunci pintu kamar.“Mau mengakui kesalahan?” tebak Rena.Danu yang awalnya terlihat biasa, seketika memasang wajah pias. “Dengerin penjelasanku dulu, Ma.”“Ya, aku tahu hubungan kalian berawal dari aku yang sering menggunakan ponselmu saat menghubungi Vani. Tak apa, Mas. Aku juga salah karena menganggap semua itu hal biasa. Tak ada yang perlu diperdebatkan sekarang. Yang terpenting kita harus mulai memberi pengertian pada anak-anak jika orang tuanya sebentar lagi akan berpisah.”“Enggak! Aku enggak mau kita pisah! Aku masih sayang kamu. Tolong pikirkan perasaan Hana dan Hafiz jika kita sampai berpisah,” bujuk Danu yang terus berusaha meraih tangan Rena namun selalu ditampiknya.“Mengapa cuma aku yang harus mikirin perasaan mereka? Lalu apa yang ada dipikiran kamu saat memulai hubungan dengan Vani? Kamu merasa masih bujang? Belum punya anak istri? Atau merasa seorang lelaki bisa beristri empat? Maaf ya, Mas, aku lebih memilih hidup menderita sebagai janda daripada dimadu.” “Tapi, Ren ...”“Aku tak apa, janin dalam kandungan Vani anak kamu juga, kan?”“Rena!” bentak Danu.“Kita akan berpisah secara baik-baik. Aku tetap akan menjalankan peranku sebagai seorang istri sebelum kita resmi bercerai.” Rena mendorong Danu kemudian pergi meninggalkan kamar.Rena akui semenjak menjadi istri Danu ia diperlakukan bak ratu dirumahnya. Uang serta limpahan kasih sayang yang belum pernah Rena rasakan, ia dapatkan semenjak menjadi istri Danu. Namun sebentar lagi semua itu akan menjadi kenangan saat ia bercerai dan memilih pergi dari rumahnya.Banyak wanita berprinsip ‘Anggap saja menikahi uangnya bukan orangnya’, tapi bagi Rena uang tak akan berarti jika hati telah mati. Tak mungkin ia bertahan jika terus merasa sakit, itulah yang membuat Rena berani mengambil keputusan untuk berpisah dengan Danu.**Rena duduk di atas pasir sembari melihat deburan ombak yang menghampar luas di hadapannya. Sesekali ia menarik nafas untuk menghirup udara senja yang sejuk menerpa wajahnya. “Enak, pura-pura kuat?” Seorang lelaki menyodorkan sebotol air mineral lalu duduk disamping Rena.Dengan sekali putar Rena berhasil membuka tutup botol ditangannya lalu menenggaknya hingga setengah. “Udah izin, kan?” tanya lelaki itu lagi.Rena mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya pada langit senja yang sudah memerah.“Dari kemarin kamu enggak nangis?” lagi-lagi lelaki itu membuka suara.Rena menggeleng. Terhitung sudah lebih dari dua puluh empat jam Rena berusaha untuk tidak menangis. Semenjak pengakuan Vani kemarin hingga pulang ke rumah berdebat dengan Danu hingga sore ini ia berhasil menata hatinya untuk tak mengeluarkan air mata di depan anak dan teman kantornya. Bahkan saat sarapan tadi ia masih bisa berpura-pura tertawa dengan Danu di depan anak-anak mereka.“Kalo mau nangis, nangis aja. Kalo butuh bahu, ini ada yang nganggur.” Lelaki itu menepuk bahunya.“Apa aku akan kehilangan semuanya?” Rena akhirnya membuka suara.“Tidak, kamu masih punya aku.” Lelaki itu menoleh dan memandang wajah cantik yang mulai dihiasi bulir bening yang jatuh dari mata indahnya. Ia mengulurkan tangannya dan mengibaskannya di udara seolah tengah menyeka bulir itu. Andai saja ... Ah sudahlah ...“Ka-Kamu hamil? Hamil anak siapa?”Bagaikan tersambar petir, pertanyaan itu berhasil meruntuhkan hati Rena. Bertahun-tahun mendamba dengan sebuah keyakinan jika keturunan mutlak pemberian Tuhan, tapi saat permintaannya dikabulkan, Huda seakan tak mempercayai jika janin dalam kandungan Rena adalah darah dagingnya.“Anak jin,” jawab Rena sinis.“Mak-Maksudku, bukankah aku mandul.”“Ya, kamu memang mandu dan tak mungkin bisa menghamiliku!”Rena melempar kasar benda pipih ditangannya. Entah keyakinan apa yang selama ini bercokol di kepala Huda jika nyatanya kini ia tak bisa menerima kebesaran dan kekuasaan Tuhan karena nyatanya semua yang Huda perjuangkan selama ini hanya untuk menutupi kekurangannya saja. Ia tak terima dianggap mandul karena setiap orang melihatnya sebagai lelaki sempurna.“Kamu mau kemana? Bukankah kita bisa tes DNA dulu untuk membuktikan itu anak siapa? Kalo benar itu anakku, tentu aku akan menerimanya,” ucap Huda saat melihat Rena memasukkan bajunya ke dalam koper.“
“Sah.”Suara itu menggema di pengeras suara diikuti dengan lantunan doa yang mengiringi kebahagiaan dalam suasana haru di rumah Bu Rahmi yang saat ini sedang dilaksanakan akad nikah Zain dan Tania.Acara yang bisa terbilang sederhana malah membuat suasana terasa lebih sakral. Tak ada dekorasi megah, hanya hiasan bunga-bunga berwarna putih serta pita-pita yang terpasang hampir di setiap sudut area rumah. Atas kesepakatan keduanya, Zain maupun Tania hanya mengundang beberapa keluarga serta teman terdekat yang seluruhnya tak lebih dari lima puluh orang. Meski begitu Bu Rahmi serta Rena tetap mempersiapkan semuanya dengan sangat baik dan teliti. Keduanya ingin Zain dan Tania tetap berkesan di hari pernikahannya.“Selamat, Sayang.” Bu Rahmi tersenyum lalu memeluk Zain.“Terima kasih, Ma. Terima kasih untuk semuanya.” Zain membalas pelukan Ibu angkatnya.Bu Rahmi tak menyangka bisa setulus ini mengurus anak yang tak lain adalah hasil dari perselingkuhan suaminya. Ia ingat betul saat pertama
“Mas Danu! Jangan tinggalin aku, Mas! Lihat, anak kita sebentar lagi lahir,” teriak Vani sembari terus mengguncangkan tubuh Danu.“Sudah, Sayang. Danu sudah tenang. Ikhlas, Nak, ikhlas.” Bu Siti terus menenangkan menantunya.Memang bohong jika mulutnya terus meminta Vani untuk ikhlas sedangkan hatinya sendiri terus menjerit tak terima dengan keadaan ini. Perpisahan yang paling menyakitkan adalah kematian, karena saat itu terjadi tak akan ada hal yang dapat mengobatinya rasa rindu yang suatu saat nanti dirasakannya. Namun jika Tuhan sudah berkehendak kita bisa apa?Danu terlibat kecelakaan lalu lintas saat perjalanan pulang. Tubuh yang lelah dan pikiran tak karuan membuatnya tak fokus hingga motor yang dikendarainya hilang kendali setelah menyerempet sebuah truk. Meski langsung dibawa ke rumah sakit, namun dokter menyatakan nyawanya tak tertolong.“Bangun, Mas! Aku janji enggak akan minta apa-apa sama kamu lagi. Maafin aku, Mas.” Vani terus berteriak.Andai saja tadi ia tak berbicara m
“Kok mukamu pucat? Kamu sakit? Apa berantem sama Vani?”Danu hanya menggeleng. Niat hati ingin mencari ketenangan di luar rumah, perasaannya malah semakin tak jelas setelah bertemu dengan Rena barusan. Bagaimana tidak, bayangan wajah Rena kali ini benar-benar melekat dikepalanya. Ada perasaan tak rela saat ia melihat wanita itu tersenyum dan tertawa pada lelaki lain di depan matanya. “Woy! Ngelamun aja!” sentak lelaki yang duduk di depan Danu.“Apaan, sih?” “Kamu nyuruh aku datang ke sini, malam-malam ninggalin anak istri Cuma buat liatin kamu melamun?” geram lelaki bernama Bagas itu.“Sory, aku tadi ketemu Rena sama suaminya dan kamu tahulah apa yang aku rasakan saat ini,” ujar Danu.“Basi tau, enggak? Ingat, kamu itu udah punya Vani dan Rena hanyalah masa lalumu, dia sekarang udah bahagia ditangan lelaki yang tepat. Siapa suruh dulu main-main, sekarang rasakan sendiri akibatnya!”Bagas memang tahu sejarah hubungan Danu dan Rena sejak awal. Sebagai sahabat sekaligus Rekan kerja Dan
Danu mengusap wajahnya kasar, sudah hampir satu tahun ini usahanya menurun drastis. Memang benar kata orang jika beda istri beda rezeki nyata adanya. Meski ia dan Rena telah berdamai namun bukan berarti ia tak merindukan wanita masa lalunya serta semua kehidupannya dulu. Vani memang tak kalah perhatian dibandingkan Rena, namun tetap saja semua itu terasa berbeda.Hari ini dua toko retailnya berhenti beroperasi. Usaha yang ia rintis bersama Rena dulu untuk jaga-jaga di masa tua kini sudah tak ada lagi. Tentu saja hal itu sangat berdampak pada pendapatannya yang semakin hari semakin berkurang.“Mas, kapan kita membeli perlengkapan anak kita?” tanya Vani. “Besok, ya. Aku belum ada waktu.”Saat ini usia kandungan Vani sudah mencapai tujuh bulan, hal itu membuat keduanya harus mulai mencicil membeli perlengkapan bayi serta menabung untuk biaya persalinan. Danu ingat betul saat dulu setiap Rena mengandung entah saat Hana maupun Hafiz rejekinya selalu mengalir deras. Belum lagi Rena yang
“Tak usah datang jika hanya untuk menertawakanku.”Langkah Zain dan Huda terhenti saat lelaki tua itu bersuara. Meski belum menampakkan wajah, keduanya tahu jika Ayahnya telah mengetahui kedatangan mereka.“Apa kalian juga menginginkan nyawaku? Bukankah kalian telah puas menghancurkanku?” Lagi-lagi suara berat itu terdengar.“Kami datang dengan maksud baik. Jika saja bukan Huda yang memaksa, aku tak akan pernah mau melangkahkan kaki ke tempat ini seumur hidupku,” jawab Zain.Lelaki berperawakan kurus itu kemudian berbalik. Bagaimanapun ia bersembunyi, nyatanya kedua lelaki yang tak lain adalah darah dagingnya kini datang bersamaan untuk menemuinya. Kedua anak yang dulu ia telantarkan dan kini telah berhasil menghancurkannya.“Mau apa kalian?” tanya Pramono.Zain menoleh ke arah Huda yang kini tengah memandang tajam lelaki yang baru saja dipanggilnya dengan sebutan Ayah. Zain tahu jika Huda pasti punya kenangan tersendiri dengan lelaki tua itu, tak seperti dirinya yang ditinggalkan sej
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments