Share

MENAKUTKAN

Vani mengelus perutnya yang masih rata, berkali-kali ia mengecek aplikasi penghitung umur kehamilan di ponselnya dan melihat perkiraan gambar janin yang ada diperutnya. Ia mengoleskan minyak angin aroma terapi untuk sedikit mengurangi sakit kepala dan mual yang selalu dirasakannya. Semenjak berbadan dua, kesehatannya menurun drastis sehingga ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ditambah lagi dengan sindiran demi sindiran yang Rena dan teman-temannya lontarkan, membuatnya tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berada di tempat kerja.

“Mas, aku hamil,” ucap Vani saat meminta Danu menemuinya sebulan yang lalu.

“Apa? Kamu hamil? Bukannya kita selalu hati-hati saat melakukan semua itu?” jawab Danu tak percaya.

“Aku juga enggak tahu, Mas. Gimana ini, Mas?” 

“Oke, aku akan tanggung jawab tapi jangan sampai Rena tahu masalah ini. Sementara kita akan menikah siri dan aku akan menanggung hidupmu mulai saat ini.”  

“Tapi, Mas, kalo kita hanya menikah siri, anak ini tak akan punya pengakuan. Aku mau anak ini lahir memiliki ayah yang sah secara hukum!”

“Bukankah dari awal kita sudah sepakat jika hubungan kita hanya sekedar bersenang-senang? Aku punya istri dan anak, Van! Dan kamu tahu itu sejak awal.”

“Dasar laki-laki egois!”

“Meskipun aku berhubungan sama kamu, bukan berarti aku bosan dengan Rena. Dia cinta pertamaku dan akan selamanya seperti itu. Sampai kapan pun aku tak akan melepaskan dia,” jelas Danu.

“Lalu mengapa kamu memulai hubungan denganku? Kamu pikir aku enggak punya hati?” geram Vani dengan mata berkaca-kaca.

“Sudahlah jangan bicara macam-macam. Yang jelas aku pasti tanggung jawab dengan anak itu.” Danu beranjak meninggalkan Vani yang mulai terisak.

Setelah kejadian itu Danu seakan menjauhi Rena. Lelaki yang biasanya selalu mengirim pesan dan memberikan perhatian-perhatian kecil pada Vani seketika menghilang bak ditelan bumi. Semakin tak tahan karena kesehatannya terus menurun dan selalu mendapatkan tekanan dari keluarga, akhirnya ia memutuskan mengakui hubungannya di depan Rena secara langsung agar Danu bisa muncul dan memenuhi janjinya untuk bertanggung jawab.

“Jadi perempuan itu jangan lemah. Kamu harus memperjuangkan hakmu dan anak dalam kandungan kamu. Jangan biarkan Danu bertindak seenaknya!” Suara seorang wanita menggelegar dari luar kamar yang pintunya sedikit terbuka.

“Apaan sih, Ma?” Vani menutup telinga berharap tak mendengar omongan Bu Septi-mamanya.

“Minta Danu secepatnya menikahi kamu. Jangan sampai perut kami udah besar tapi dia belum memberi kepastian. Dan ingat! Minta mas kawin yang banyak, jangan mentang-mentang udah hamil, ngasihnya cuma sekedarnya aja. Minta emas sama uang, jangan mau kalo hanya seperangkat alat solat.” Bu Septi terus saja menceramahi anak sulungnya.

“Udah, Ma. Kan kemarin mama dengar sendiri kalo dia mau tanggung jawab dan menikahi Vani. Dia cuma lagi nunggu sidang putusan cerai aja.”

“Oh, jadi Danu menceraikan Rena? Baguslah kalo begitu, jadi kamu enggak perlu berbagi suami sama dia.”

“Bukan Mas Danu yang menceraikan Mbak Rena. Tapi Mbak Renalah yang menggugat cerai Mas Danu,” jelas Vani.

“Terserahlah mau gimana, yang jelas kamu enggak boleh lemah di hadapan Danu. Bilang aja kalo ada yang mau dibeli, pake alasan anak kamu juga bisa yang jelas jangan sampai dia menyepelekan kamu.” Bu Septi tersenyum sinis.

Wanita berumur hampir enam puluh tahun itu memang terkenal gila harta. Ia selalu menginginkan Vani menikah dengan seorang lelaki yang sudah mapan yang bisa memenuhi segala keinginannya. Itulah mengapa ia tak pernah protes meski tahu Vani berhubungan dengan Danu yang tak lain adalah suami dari keponakan tirinya. 

**

Rena tersenyum membaca deretan huruf pada dua map yang sama-sama berwarna hijau yang baru saja diterimanya. Ia tak tahu ini kabar membahagiakan atau menyedihkan karena map itu berisi akta cerai dan akta jual beli tanah dan bangunan. Setelah berminggu-minggu berjuang seorang diri, akhirnya hari ini Rena  resmi bercerai dengan Danu dengan hak asuh anak jatuh kepadanya. Meski ia sudah berjanji tak akan egois dalam mengasuh  anak, tapi hal ini menjadi kebanggaan tersendiri karena berhasil memperjuangkan anaknya.

Di hari yang sama pula, sebuah rumah yang ia beli beberapa bulan yang lalu akhirnya selesai di renovasi dan siap untuk ditempati setelah transaksi jual beli selesai tadi. Meski ia harus mencicil beberapa tahun ke depan, paling tidak ia sudah mempunyai tempat untuk bernaung menjalani hari barunya bersama kedua anaknya.

“Rena ...” panggil Bu Siti yang datang bersama suami dan kedua cucunya.

“Mama ...” teriak Hana yang langsung mengambur ke pelukan mamanya di susul Hafiz di belakangnya.

“Ini rumah baru kamu, Nak?” tanya Pak Rudi yang tak lain adalah ayah mertuanya.

“Iya, Yah. Rena mampunya beli yang kayak gini.”

Rumah yang Rena beli berada di kompleks perumahan kelas menengah dengan tipe paling sederhana berukuran enam kali sembilan yang di dalamnya hanya terdapat ruang tamu, dua kamar, satu kamar mandi dan dapur. Jauh berbeda dengan rumah Danu yang megah dan berlantai dua.

“Maafin anak kami, Ren. Sebab dia kamu terpaksa hidup seperti ini.” Lelaki yang sejak kemarin lebih banyak diam akhirnya mengeluarkan suara.

“Tak apa, Yah. Rena bahagia kok, Yah.” 

“Ingat Rena, meski kamu sudah tak lagi menjadi istri Danu, Tapi kamu tetaplah anak kami.jadi kalo ada apa-apa jangan sungkan untuk memberi tahu kami, ya.” Lelaki berkacamata itu tersenyum lembut pada mantan menantunya.

“Terima kasih, Ya, Ma.”  

Mereka berjalan beriringan memasuki rumah bernuansa putih seperti keinginan Rena. Ia memutuskan segera menempati karena tak enak jika terus-terusan menumpang di kos sahabatnya. 

“Silakan duduk semuanya. Maaf, ya, perabotannya belum terlalu lengkap.” Reni menunjuk pada sofa ruang tamu yang baru datang beberapa saat yang lalu.

“Apa enggak sebaiknya kamu ambil barang-barang kamu di rumah lama? Lagian tak akan ada yang merawatnya di sana,” usul Bu Siti saat melihat rumah Rena masih bersih dari perabotan.

“Makasih, Ma. Tapi aku enggak mau membawa apa pun dari sana. Lagi pula besok akan ada istri Mas Danu yang bisa merawatnya,” jawab Rena.

Bu Siti merasa miris melihat rumah yang akan Rena tempat. Meski terlihat bersih dan nyaman, tapi rumah ini begitu kecil dan sempit jauh dari ukuran rumah yang ia berikan sebagai hadiah pernikahan Rena dan Danu dua belas tahun yang lalu.

Setelah berbincang agak lama, akhirnya Bu Siti dan suaminya berpamitan pulang dengan meninggalkan kedua cucunya bersama Rena. Meski Rena mengizinkan mereka bertemu kapan saja, tapi rasanya akan berbeda karena mereka tak lagi berstatus sebagai keluarga.

“Terima kasih untuk semuanya, Ma. Maafin semua kesalahan Rena.” Rena memeluk erat wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya.

“Enggak, Sayang. Kami yang seharusnya minta maaf karena tak bisa mendidik Danu dengan baik sampai dia tega menyakiti kamu. Semoga setelah ini kamu lebih bahagia ya, Nak.” Bu Siti terisak.

“Pasti, Ma. Hati-hati dijalan ya, Ma, Yah.” 

“Sehat-sehat ya cucu, Nenek. Seperti biasa kami akan menjemput kalian setiap akhir pekan, tapi kalo kangen, kalian tinggal telepon saja, kami pasti akan datang.” Bu Siti beralih memeluk kedua cucunya sebelum berjalan memasuki mobil.

“Dah, nenek ...!” Teriak Hana melambaikan tangan saat mobil mulai berjalan.

Berbeda dengan Rena dan Hana yang terlihat semringah, Hafiz adalah satu-satunya orang yang terus memasang wajah datar. Sejak orang tuanya pisah rumah, memang ia menjadi sedikit pendiam dan terkesan malas melakukan apa pun.

Baru saja ketiganya membuka pintu dan berniat masuk, mereka dikejutkan oleh kedatangan sebuah motor besar yang tiba-tiba berhenti tepat di depan rumah.

“Ayah ...!” pekik Hana yang hafal jika motor itu kepunyaan Danu.

“Hai, Sayang,” sapa Danu yang langsung menyunggingkan senyum setelah melepas helmnya.

“Hana kita beres-beres kamar, yuk! Kakak capek mau tidur,” ajak Hafiz seolah memberi kesempatan pada orang tuanya untuk bicara. 

Rena dan Danu duduk berjauhan di lantai teras rumah setelah kedua anaknya masuk. Mereka sama-sama bersandar di pilar penyangga  yang berjarak hampir tiga meter. Rena sengaja tak mengajak Danu masuk karena mereka bukan lagi suami istri. Sepuluh menit berlalu, tapi keduanya hanya terdiam sambil mengamati beberapa kendaraan yang berlalu-lalang di hadapan mereka.

“Ngapain kamu ke sini? Bukankah kita sudah resmi bercerai siang tadi?” Rena membuka suara. Sebenarnya ia ingin mengusir Danu, tapi takut lelaki itu menolak dan membuat keributan sehingga meninggalkan kesan tak baik oleh para tetangga di hari pertama kepindahannya.

“Aku hanya mengunjungi anak-anakku, kamu sendiri yang bilang kalo aku boleh mengunjunginya kapan saja,” jawab Danu santai.

Rena mengembuskan nafas kasar, mungkin ia seharusnya membuat jadwal agar mantan suaminya tak datang seenaknya.

“Seharusnya kamu mengunjungi Vani, di sana ada anakmu juga."

“Kita masih bisa berteman, kan?” tanya Danu serius.

“Enggak lah, aku takut bernasib sama kayak Vani. Awalnya berteman lalu ketemuan kemudian kencan eh malah kebobolan. Hih ..., menakutkan!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status