“Maaf, Rani … kenapa aku semua ini jadi gara-gara aku? Bahkan, di sini … aku adalah korban, Bara menikahimu dan meninggalkanku. Lalu, setelah semua yang kalian lakukan, kenapa ini menjadi salahku?” Aku menjeda. Menarik napas sejenak. Kuatur ritme jantung yang kini berpacu lebih cepat. Perasaanku terasa diinjak-injak. “Kamu jangan marah padaku, Jingga. Aku hanya berbicara fakta. Menjauhlah dari hati Bara, Jingga. Demi pertemanan kita.” Cih! Jadi ini rupanya maksud di balik kalimat bisakah kita berteman? Dia hanya ingin memanfaatkan status itu untuk melancarkan keinginannya. Dia ingin mencampuri hidupku. “Menikahi Bara adalah pilihanmu. Adapun aku mau menikah kapan dan dengan siapa, itu urusanku. Tolong jangan rusak hariku dengan urusan rumah tanggamu, Rani. Aku tak mau mencampuri urusanmu. Jadi, tolong, jangan campuri urusanku.” Dia mengangkat wajahnya. Air mata yang mengalir pada pipi, disekanya. “Aku sudah memberimu kebaikan, Jingga. Kamu masih bisa menempati rumah yang sudah ku
Sederet kejadian menyebalkan berlarian. Bara, Rani, Tante Vamela, semuanya menyebalkan. Aku menghela napas berat, lalu menatap Ibu dengan nanar, “Baiklah, Bu … katakan pada Bu Fera, aku … mau hanya saja dengan syarat.” Senyum terbit pada bibir Ibu sekilas, lalu dia menatapku lekat, “Apa syaratnya? Ibu nanti bicara sama Bu Fera.” “Aku belum mau nikah sampai hatiku yakin. Kalau nanti kurasa gak cocok sama Pak Banyu, aku gak mau memaksakan.” “InsyaAllah nanti juga hati kamu yakin, nanti Ibu sampaikan pada Bu Fera, apa kamu mau bilang sendiri, hmmm?” Wajahku rasanya memanas. Bilang sendiri? Duh, malu rasanya. Lalu tanpa menunggu lama, aku menjawab cepat, “Ibu saja.” Senyum pada bibir perempuan paruh baya itu mengembang.Ah, semoga saja ini bukan sebuah kesalahan. Aku lelah dan capek dengan orang-orang di sekitar Bara. Meski sebetulnya aku belum siap. Aku hanya ingin terlepas dari bayang-bayang Bara dan orang-orang di sekitarnya.***Mobil yang membawa perabotan sudah berangkat duluan
“Bismillah … move on, Jingga!” Ayunan langkahku akhirnya membawaku ke hadapan pria itu. Pak Banyu tampak tengah duduk sambil menatap layar gawai. Jika dulu, Bara menungguku sambil merokok, maka berbeda dengan dia. Pak Banyu, sepertinya bukan seorang perokok. Bahkan tak pernah aku menemukan sebatang rokokpun ketika aku mengajar less di rumahnya.“Sudah siap?” Dia mendongak. Aku tersenyum kikuk sambil mengangguk. Pahatan wajahnya yang dewasa dan tampan, jujur aku akui memiliki pesonanya sendiri.Pak Banyu berdiri. Dia berjalan mendekat ke arah pintu. Aku mengernyitkan dahi. Mau apa dia? Namun akhirnya paham ketika dia memanggil Ibu dan bicara padanya. “Bu, saya mohon izin ajak Jingga jalan dulu.” Aku menatap punggung lebarnya yang membelakangiku. Dulu Bara yang selalu begitu. Ah, Tuhan tolong … hapuskan dia dari ingatanku. “Iya, Pak Banyu. Hati-hati di jalan!” Ibu tersenyum dan mengangguk. Dia tampak segan dan hormat juga pada Pak Banyu yang usianya terpaut cukup jauh dariku. Aku t
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih tertaut dengan seraut wajah dalam bingkai foto itu. Nama dan wajahnya sama. Apakah berarti itu adalah orang yang sama? “Hay, Lisa … kenalin, aku Miss Jingga. Sudah siap belajarnya?” tanyaku seraya tersenyum dan menatap wajah gadis kecil yang baru saja keluar dari dalam. “Hay, Miss! My Name Is Lisa.” “WoW! Lisa sudah pintar bahasa Inggrisnya? Kereeen!” Aku bertepuk tangan dan memujinya. Begitulah sifatnya anak-anak, jika dipuji pasti senang. Kuharap dia akan senang dan belajarnya nanti akan menyenangkan. “Iya, Miss. Diajarin Papa.” Senyum pada bibirnya merekah. “Wah hebat Papanya Lisa. What is your father’s name?” Aku mencoba mengetes bahasa inggrisnya. “My father’s name is Putra.” *** Tin! Tin! Tin! Suara klakson kencang terdengar bersama dengan satu mobil yang melaju agak kencang, aku tak terlalu memperhatikan mobil jenis apa yang hampir menyenggolku barusan. Hanya saja sekilas kulihat, mobilnya berwarna merah. Bunyi klakson yang
POV BaraKuinjak gas dengan kecepatan tinggi. Tekanan dari Mama atas pengaduan Rani---istriku, membuatku sakit kepala. Perempuan pilihan Mama tersebut benar-benar cemburuan dan dominan. Bayangan kejadian demi kejadian yang akhir-akhir ini mendominasi hidupku terbayang silih bergantian, bersatu menjadi satu kata, mumet. “Bara! Apa benar kamu masih sering pergi ke rumah perempuan itu diam-diam? Apa kamu mau sakit jantung Mama ini kambuh?" tegas kalimat yang Mama keluarkan. Aku yang baru saja pulang kerja, mendongak menatap Mama. Dari mana dia tahu? Rasanya aku hanya mampir sebentar saja setiap pulang kerja. Itu pun hanya beberapa kali dalam sepekan.Lagian di sana pun, aku hanya duduk diam menunggu. Jujur, gak ngapa-ngapain, cuma buat lihat sekilas wajahnya dari kejauhan. Apa begitupun gak boleh?“Aku baru pulang kerja, Ma.” Berusaha abaikan atas pertanyaannya dan mengalihkan jawaban. “Itu bukan jawaban dari pertanyaan Mama, Bara. Apa kamu masih sering pergi menemuinya?! Apa kamu ing
Pov RaniAku dan Mama sudah tiba di tempat kumpul-kumpul alias rumah orang tuanya Mbak Misye---kakak sepupuku. Sudah banyak yang hadir, hanya sebagian besar didominasi oleh perempuan. Ada sih beberapa orang lelaki, tapi jumlahnya gak signifikan. Hingga Bara pun akhirnya tak mau ikut dan mau pulang dulu saja. Aku tak bisa melarang, meski hati keberatan. Ya, mau gimana lagi? Mamanya pun mengijinkan. Aku menarik napas panjang ketika Bara sudah tak terlihat bersama mobilnya. Beruntung Jingga sudah pindah. Jika belum, aku akan tahu akan ke mana tujuan Bara. Pasti ke rumah Jingga. Ck, menyebalkan. Padahal dari segi penampilan dan body, jauh ke mana-mana menang akulah. Kadang heran sama pemikiran Bara. Kok bisa-bisanya jatuh cinta pada perempuan seperti JIngga. Namun, gak apa. Setidaknya aku sudah memilikinya, Jingga tetap kalah.Mbak Misye menyambutku ramah. Kami cipika cipiki seperti biasa. Terus diajak kenalan dengan beberapa koleganya. Bahkan ternyata dalam acara ini ada istri dari ora
“Selamat sore! Benar dengan Bu Jingga Nirmala?” tanyanya, merdu dan lembut. “Benar, saya sendiri. Maaf … ini dengan siapa, ya?” tanyaku pada pemilik suara di seberang sana. “Perkenalkan, saya Nirina dari daeler sepeda motor. Pada saat ini, Mbak Jingga terpilih random sebagai salah satu pemenang dari undian berhadiah yang kami selenggarakan!” "Undian? Berhadiah?” Aku semakin gagal paham. Aku tak pernah mengikuti kuis-kuis seperti itu. Jadi, wajar aku heran. “Betul, Mbak. Jadi Mbak Jingga berhak atas satu unit sepeda motor snoopy prestige white secara cuma-cuma. Boleh minta alamat lengkapnya?” Aku menggaruk kepala. Sepertinya sore-sore dikerjain orang iseng. Aku saja tak pernah ikut-ikutan undian dan semacamnya, eh tiba-tiba menang. “Mbak gak usah bercanda! Saya gak pernah ikutan undian-undian kayak gitu! Mbak salah orang mungkin!” elakku. “Ahm, maaf, Mbak Jingga. Kami tidak sedang bercanda. Apakah alamatnya masih sama seperti yang tertera di data kami?” Dia pun menyebutkan alama
“Maaf, Mas. Saya beneran gak paham. Saya gak pernah ikut undian!” Aku menatap lelaki itu. Bukan tak senang, tapi siapa juga yang tak takut. Tiba-tiba orang ngirim sepeda motor ke rumah. Kemarin iseng saja padahal kuberi alamat biar panggilan cepat selesai. Itu pun kukasih alamatnya tidak lengkap. Harusnya berhenti di perempatan saja. “Waduh, Mbak! Kalau itu, coba telepon saja ke kantor. Saya tugasnya cuma nganter.” Petugas dealer itu tampak kebingungan. “Lagian, Mas. Saya kan ngasih alamatnya gak lengkap. Kok bisa ketemu, sih?” telisikku heran. “Tadi kami pun nyasar. Telepon ke nomor Mbaknya gak diangkat. Tapi tadi nanya orang yang punya rumahnya deket perempatan, jadi ngasih tahu ke rumah ini.” Dia menjelaskan. Aku bergeming. Bingung. Kugaruk kepala yang terbungkus kerudung segi empat ini. Tiba-tiba kurasa seseorang berdiri di sampingku. “Butuh tanda tangan di mana, Mas?” Suara Pak Banyu terdengar. “Di sini, Pak!” tukasnya sopan.Tanpa babibu, Pak Banyu maen tanda tangan saja.