Share

MAAF MAS, BUKAN SALAH RAHIMKU
MAAF MAS, BUKAN SALAH RAHIMKU
Author: Mommy_daff

BAB 1. KEINGINAN IBU MERTUA

"Saya gak perlu banyak basa-basi sama kamu, Lisa. Kita langsung ke intinya aja," ucap ibu mertuaku. Mata hitam pekatnya menatapku dengan tampak serius.

Firasatku mengatakan: itu pasti bukan sesuatu yang baik!

"Keluarga Atmaja butuh penerus, jadi saya harap kamu bisa ikhlasin Pandu buat nikah lagi."

Aku pun tercengang mendengar perkataannya. Bagaimana mungkin ibu mertuaku langsung membahas itu? Di saat kami tak bertemu dalam waktu yang cukup lama.

Aku menarik nafas, dalam-dalam, lalu dengan sedikit keberanian, aku pun membuka suara.

"Nikah lagi, Ma?" ulangku seolah tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar.

"Iya, ada yang salah?" ucapnya tegas dan seolah tak peduli dengan perasaanku yang terluka.

"Tapi, Ma? saya udah ikutin permintaan keluarga buat cek medis. Kata dokter, kondisi alat reproduksi saya sehat kok,"

"Nyatanya, kamu masih juga belum ngasih Pandu keturunan, kan?" Ibu berkata dengan sinis, alis kanannya terangkat.

"Ma, saya gak bermaksud menentang ucapan mama, tapi anak itu hak prerogatif Allah dan juga rezeki, jadi klo Allah belum..."

"Halah, gak perlu berkhutbah kamu," ucap ibu mertuaku meradang, tangannya seperti menepis udara disekeliling. Wajahnya merah padam, ibu tampak marah--mungkin karena aku menjawabnya.

"Saya rasa, 1 tahun udah terlalu lama buat keluarga kami bersabar, cuma buat nunggu keturunan dari kamu," nada suaranya terdengar datar dan tak berperasaan.

"Ma, tolong kasih saya beberapa waktu lagi, saya akan coba usaha lain, biar bisa wujutin keinginan mama untuk segera punya cucu, saya mohon, Ma," pintaku mengiba sambil menggenggam tangannya yang sejak beberapa waktu lalu bertumpu di atas meja.

"Sampe kapan?" tanyanya sambil melepas genggamanku dengan kasar.

"Saya gak bisa kasih waktu pasti Ma, tapi setelah ini saya janji untuk ngejalanin program hamil secepatnya."

Ibu mertuaku terlihat memutar bola matanya, lalu kembali terfokus ke wajahku.

"Bulan depan, kalo saya gak dapat kabar kehamilan kamu, suka gak suka, saya akan paksa Pandu untuk nikah lagi, ngerti kamu! Masih untung saya mau ngasih tau kamu dulu."

Kata-katanya membuatku membeku. 

"Ma, satu bulan itu terlalu singkat untuk sebuah program kehamilan, bagaimana bisa?" protesku.

"Saya gak mau tau! Saya cuma mau denger, kamu hamil, titik!"

Aku merasa jika ibu mertuaku itu, memang sengaja melakukannya untuk memasukkan sosok baru dalam rumah tanggaku. Bagaimana mungkin, ibu begitu dingin dan seolah tak memiliki hati. Aku sadar, sejak awal aku memang bukan menantu pilihannya.

Perjalanan cintaku dengan Pandu memang penuh dinamika, tak mudah mendapatkan restunya, karena aku dianggap tak sepadan dengan keluarganya yang tajir melintir. Sementara aku hanya terlahir dari keluarga sederhana. Ayahku pegawai sebuah perusahaan milik negara dan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga, berbanding terbalik dengan keluarga Pandu, keluarga pengusaha ternama.

"Lagian, saya kan cuma minta kamu buat ikhlasin Pandu nikah lagi, toh gak nyuruh dia ceraikan kamu, kan?"

"Iya, Ma, tapi..." ucapanku seolah mengambang di udara. Bibirku terlalu kelu untuk melanjutkannya. Namun, sebongkah daging yang ada di dalam dadaku meronta-ronta ingin keluar dan menumpahkan keresahannya, jika aku tidak ingin di madu.

"Gak ada tapi-tapian, kamu gak mau kan, kalo sampe keluarga Atmaja gak punya penerus? Siapa yang akan melanjutkan perjuangan Atmajaya Corporation, kalo bukan anaknya Pandu? Jadi, saya harap kamu gak egois untuk itu," kata ibu mertuaku penuh penekanan.

Pertanyaannya membuatku sulit membantah. Kenyataannya, memang aku belum juga berhasil hamil. Aku pikir, jika menolak tawaran ibu, hanya akan memperpanjang masalah. Namun, di sisi lain batinku tak rela, jika Mas Pandu memiliki wanita lain. Selama jadi istrinya saja aku sudah tersisih, apalagi jika pada akhirnya maduku berhasil memberi keluarga Atmaja keturunan, cepat atau lambat, selama diriku belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan, ibu mertuaku akan mengusikku dan perlahan aku akan ditendang dari keluarga Atmaja.

"Apa mama udah punya calonnya?" tanyaku penasaran. Batinku menduga jika sebelum ibu mertuaku itu datang dan berbicara empat mata, dia telah lebih dulu menyiapkan calon istri untuk suamiku.

"Masalah calonnya kamu gak perlu khawatir. Saya yang akan urus dan seleksi. Dia juga akan ngelakuin serangkaian tes lab sebelum dinikahi Pandu. Cukup adil, kan? Saya harap kamu bisa diajak kerjasama. Seperti di awal saya bilang, tugas kamu cuma ngeyakinin Pandu buat mau nikah lagi, itu aja, simpel kan?" terang ibu mertuaku enteng.

Tiba-tiba, aku teringat dengan sosok wanita cantik beberapa bulan sebelum pernikahanku dengan Mas Pandu, dia adalah Bianca--sahabat kecil Mas Pandu, yang telah saling kenal dari masih kanak-kanak hingga kuliah bersama di luar negeri. Mereka terpisah karena Bianca memilih melanjutkan studi.

Mas Pandu dan Bianca memang tak terikat hubungan spesial, tapi Ibu mertuaku begitu menyayanginya, bahkan sempat mencoba menjodohkannya dengan Mas Pandu, tapi saat itu, Mas Pandu menolak dan malah memilihku untuk jadi istrinya. Tentu saja, ibu mertuaku meradang dan sempat tak mau merestui pernikahan kami. 

"Mama pasti pengen Bianca kan yang jadi menantu mama, bukan saya? Makanya mama ngelakuin ini?" 

Mendengar tuduhanku, tergambar urat wajah ibu mertuaku menegang, emosinya tersulut.

"Lancang kamu, Lisa," pekik ibu mertuaku dengan telunjuk mengarah ke wajah.

Aku hanya bisa menggigit bibir bawah. Sampai rasanya sakit sekali, bahkan indera pengecapku merasa ada darah, yang tertelan akibat sobekan kecil, karena terlalu kuat aku menggigit bibir.

"Kalo pun iya, kamu mau apa?" tantangnya dengan pandangan mata terhunus tajam ke arahku.

Aku menunduk, tidak berani menatapnya. Hatiku seakan meledak hingga kepala terasa mau pecah. Tenyata, dugaanku benar, sejak awal ibu mertuaku itu, ingin jika Bianca bisa menjadi menantunya dan sialnya aku memiliki celah, yang sepertinya sedang dimanfaatkan oleh ibu mertuaku.

"Cukup! Saya rasa keinginan keluarga kami cukup jelas, saya gak mau ada bantahan lagi," ucapnya kembali menegaskan.

Sekuat tenaga aku menahan ledakan dalam hati, aku tak ingin terlihat lemah di hadapannya. Aku menyesap kopi, untuk menyamarkan frustasi yang mulai melanda.

"Saya tunggu kabar dari kamu secepatnya!"

Setelah mengatakan itu, ibu kemudian berdiri, kembali mengenakan kacamata hitamnya, lalu pergi. Baru beberapa langkah ibu mertuaku itu meninggalkan meja, tangisku pun pecah. Sudut-sudut mataku telah panas dan basah.

"Apa yang harus aku lakukan?" ratapku pilu.

Hatiku remuk, bukan inginku untuk menunda kehadiran seorang anak, toh aku tidak mengunakan alat apapun untuk mencegah hadirnya. Namun, keluarga Atmaja tak mau tau tentang itu. Mereka hanya ingin sosok bayi mungil itu hadir dari darah Pandu, yang nantinya akan menjadi penerus kerajaan bisnis milik Atmajaya. Mengingat hal itu, air mataku tak mau berhenti menetes. Aku menghela napas berat.

Tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah nama yang ku kenal muncul di layar ponsel. Aku mencoba mengusap air mata yang tak juga kunjung berhenti, sambil mencoba menenangkan diri, dengan berulang kali menghembuskan napas lewat mulut. Aku tak ingin isak tangis dari suaraku, membuatnya bertanya-tanya mengapa aku menangis.

Setelah cukup tenang, aku menekan menu panggil, lalu meneleponnya balik.

"Assalamualaikum, umi,"

Tak ada jawaban seperti biasanya. Aku pun kembali mengulang salam.

"Umi? Umi?" panggilku panik, umi di ujung sambungan telepon bukan menjawab salamku, malah menangis terisak-isak.

"Umi, ada apa?" tanyaku ikut cemas.

"A..apa benar kalo suamimu akan menikah lagi, Nak?"

Aku seperti tersambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin Umi bisa tahu perihal masalah itu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status