Share

BAB 2. RUMAH SAKIT

"Umi tenang dulu ya?" kataku mencoba menenangkan, meskipun sesungguhnya batinku pun sedang bergejolak.

Aku tau, itu pasti ulah ibu mertuaku, yang berusaha memperkeruh keadaan dan membuat aku semakin terpojok. Ibu seolah mencari dukungan atas apa yang ia lakukan padaku, termasuk dari orang tuaku.

"Umi denger berita ini dari mana?" tanyaku mencoba setenang mungkin.

"Tapi, bener kan, Nak?" cecar Umi lagi.

"Gak semua yang umi denger itu bener, Mi,"

"Gak mungkin juga ibu mertua kamu, tiba-tiba nelpon dan bilang kayak gitu sama umi, kalo berita itu gak bener," tuturnya dengan nada marah dan suara serak.

Aku menebak, ada sebuah ketidakrelaan terbit dari nada suara umi. Orang tua mana yang rela harga diri anaknya diinjak-injak.

"Emangnya, mama ngomong apa aja sama umi?"

"Intinya ibu mertua kamu ingin kamu hamil secepatnya, ia juga bilang kalau sampe kamu gak hamil sampe bulan depan..." kata-kata umi berhenti di tengah jalan, sepertinya suara umi tercekat di tenggorokan.

Meskipun, umi tidak menyelesaikan kata-katanya, aku sudah tau akhir dari ucapannya itu.

Aku menarik nafas dalam, sebelum kembali menjelaskan.

"Lisa tadi emang ketemuan sama mama, terus mama bilang kalo mama sama papa udah pengen punya cucu, jadi mama minta Lisa sama Mas Pandu buat ngejalanin program hamil, Mi, karena udah setahun Lisa belum juga ada tanda-tanda kehamilan," jelasku berbohong.

"Tapi kan kamu udah cek kesehatan, alat reproduksi kamu juga baik-baik aja kan, Nak?"

"Iya Umi, sekarang Umi tenang dulu ya, aku akan coba program hamil, bantu doa aja ya Umi, mudah-mudahan programnya berhasil dan bulan depan aku udah hamil,"

"Gimana umi bisa tenang, ibu mertua kamu tadi ngancem, kalo kamu gak juga hamil sampe bulan depan, dia pengen Pandu nikah la...."

Sebelum sempat menyelesaikan ucapannya, Abi telah lebih dulu memotong ucapan Umi, "Bener Pandu mau nikah lagi, Mi?"

"A.. anu, Bi, a... anu," jawab Umi gelagapan.

Abi segera menyambar telpon yang ada di tangan Umi.

"Lisa, apa benar Pandu akan nikah lagi, Nak?"

Lagi-lagi aku mencoba bersikap tenang.

"Kok Abi ngomongnya kayak gitu?"

"Jawab yang jujur, Nak!" hardiknya, tanpa banyak basa-basi.

Bibirku mulai bergetar, air mata yang terkumpul di sudut-sudut mata mulai mengalir turun ke pipi. Akhirnya, Pertahananku pun runtuh. Gemuruh dalam dada yang sejak beberapa waktu lalu aku tahan akhirnya tumpah.

"Jadi berita itu benar, Nak?"

Aku tak mampu menjawab, hanya isak tangis yang terdengar, itu pun sudah aku redam dengan tangan, agar suara yang keluar tak terlalu keras.

Aku sibuk menenangkan diri. Tak berapa lama, aku mendengar suara benturan yang cukup keras disertai teriakan Umi.

"Bi, Abiiiiii...." panggilku kemudian,

"Mi, Umi, Abi kenapa, Mi? Umi?" tanyaku dengan panik. Namun, tak ada jawaban, hanya terdengar teriakan Umi yang meminta pertolongan. Aku yakin, sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi.

Dengan setengah berlari, aku berjalan ke pelataran parkir, dengan handphone masih menempel di telinga, mendengarkan semua yang terjadi, lalu berburu-buru naik ke mobil dan bergegas menuju ke rumah orang tuaku.

"Tolong panggilkan ambulan, Mang Karim," terdengar suara Umi meminta bantuan pada salah satu tetangga yang aku tau tinggal beberapa blok dari rumah.

Aku semakin gelisah. Jika umi sampai memanggil ambulans itu artinya kondisi abi sangat mengkhawatirkan.

"Ya Allah, Abi, ada apa?" 

Tiba-tiba telpon umi putus. Aku kehilangan kontak dengannya, perasaan gelisah, panik, khawatir bercampur aduk, hingga rasanya tanganku yang sedang menyetir basah oleh keringat sangking cemasnya. Aku memperlambat laju mobil sambil terus menghubungi umi. Aku tidak tau ke rumah sakit mana abi dilarikan.

"Aaargh," pekikku putus asa. Suara yang tertahan di kerongkongan itu terdengar pedih.

"Ayo dong umi angkat," ucapku dengan lirih. Sudah puluhan kali aku menelponnya, tapi tak juga mendapat tanggapan.

"Assalamualaikum, Lis?" terdengar suara umi dari sambungan telepon. Aku menarik nafas lega saat berhasil menghubungi umi.

"Alhamdulillah," batinku.

"Wa'alikumsalam, gimana keadaan abi, Mi?"

"Abi terkena serangan jantung, Lis, saat ini sedang di tangani dokter,"

"Innalilahi, Umi. Abi di rawat di mana?" tanyaku dengan cemas.

Aku mendengarkan dengan seksama, nama rumah sakit yang ibu sebutkan.

"Ya udah, Umi tunggu Lisa di situ!"

***

Setengah jam kemudian, aku pun sampai di pelataran parkir rumah sakit. 

Aku diam sejenak setelah mobil diparkir, lalu memiringkan kaca spion di dalam mobil tepat ke arah wajahku, memperhatikannya secara seksama.

Kaca itu, memantulkan diriku yang terlihat kusut, lipstik yang sudah memudar dan kerutan di sudut mata yang terlihat semakin jelas, karena air mata yang beberapa waktu lalu sempat mengalir. Aku mengambil alat make up, memberikan polesan sedikit agar terlihat lebih segar. Kemudian, buru-buru turun dari mobil menuju kamar tempat abi dilakukan penanganan.

Terlihat umi duduk bersandar di kursi tunggu, depan ruangan UGD dengan satu tangan menutup mata. Sementara tangan yang lainnya memeluk perut, sambil menyangga tangan yang satunya lagi.

Aku segera menghampiri umi.

"Umi," panggilku. Umi membuka mata dan merubah posisi duduknya.

"Akhirnya kamu datang juga, Nak," ungkap umi dengan mata berkaca-kaca. Aku langsung duduk di samping umi dan memberinya pelukan.

"Gimana kondisi Abi, Mi?"

"Masih ditangani dokter, nak, penyakit jantungnya abi kambuh lagi,"

"Maafin Lisa ya umi, ini semua terjadi karena Lisa, coba kalo Lisa...," ucapku terhenti. Aku tak mampu melanjutkan kata-kata, rasa sesak menyelimuti dada.

"Kamu gak salah, nak, ini semua sudah jalan takdirnya,"

"Umi! Lisa!"panggil suara bariton yang sangat lekat menyapa telinga. Suara itu seperti milik seseorang yang dulu pernah mengisi hari-hariku. Aku menggeleng perlahan, "Tak mungkin dia," pikirku lagi.

Aku pun melepaskan pelukan umi. Sejenak aku terpaku, sebelum pada akhirnya memberanikan diri untuk melihat sosok yang beberapa waktu lalu memanggil namaku.

"Mas Ryan?" tanyaku bingung saat melihat lelaki dari masa laluku itu muncul secara tiba-tiba.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status