Share

BAB 3. CEMBURU

Pria yang sejak lama aku sukai secara diam-diam itu menatapku. Mata coklatnya selalu membuat dadaku berdebar. Sikapnya yang hangat memoles kepribadiannya menjadi tampak sempurna. Namun sayang, takdir tak berpihak pada kami. Dia terlambat menyatakan cintanya padaku, yang saat itu telah menerima pinangan seorang pria yang pada akhirnya resmi menjadi suamiku.

Kembali melihatnya seolah membuka luka lama.

Dadaku berdebar kencang, saat Mas Ryan berjalan menghampiri aku dan umi, yang masih duduk di kursi tunggu depan ruangan UGD. Senyumnya mengembang, begitu manis, tapi entah mengapa melihat senyum itu, membuat hatiku justru terasa sakit.

"Assalamualaikum Umi?" sapa Ryan.

"Wa'alikumsalam nak Ryan," jawab umi sambil membalas senyumnya.

"Gimana kabar umi? udah lama kita gak ketemu," tanya Mas Ryan kemudian setelah dirinya mencium tangan umi.

"Alhamdulillah umi baik, Nak, Umi juga gak nyangka bisa ketemu nak Ryan di sini,"

"Syukurlah kalo gitu Umi, oh iya, alhamdulillah kondisi Abi sudah mulai normal, Mi."

"Loh kok nak Ryan tau kondisi Abi?" tanya umi heran, keningnya berkerut.

"Kebetulan pas Abi masuk ruang UGD tadi, Ryan yang lagi bertugas Umi."

"Oh gitu," jawab Umi seraya mengangguk tanda mengerti.

Aku dan umi pun bangkit dari kursi.

"Apa umi udah bisa ketemu Abi, nak Ryan?"

"Oh, tentu umi, tapi mohon maaf gak bisa lama-lama ya umi, soalnya Abi masih butuh banyak istirahat," jelas Ryan lagi.

"Baik, nak Ryan, terima kasih," jawab umi lagi, "Kalo gitu umi liat Abi dulu ya, Lis?"

Aku hanya menjawab kata-kata umi dengan anggukan. Aku masih tersihir oleh kehadiran Mas Ryan yang begitu tiba-tiba.

Umi pun pergi meninggalkanku dan Mas Ryan berdua. Aku sedikit kikuk dan gugup. Aku merasa kedua telapak tanganku basah oleh keringat, mungkin karena aku tegang, bertemu dengannya setelah sekian lama.

"Apa kabar, Mas?" tanyaku mencoba mencairkan ketegangan yang terjadi.

"Alhamdulillah aku baik, Lis,"

"Mas kapan pulang?"

"Baru dua bulan lalu Lis, kamu sendiri, apa kabar?"

"Yah beginilah keadaanku, Mas," jawabku mengambang.

"Apa kamu lagi ada masalah?"

Saat sedang berbincang-bincang dengan Mas Ryan, aku dikejutkan dengan suara dehaman seorang pria yang begitu lekat di telinga. Pria itu berdiri di belakang Mas Ryan.

Aku melongok, "Mas Pandu?"panggilku terkejut.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Pandu sinis.

"Aku...."

Ryan berbalik untuk melihat sosok yang datang.

"Eh, Mas, apa kabar?" potong Ryan mencoba ramah. Dia menjulurkan tangan, tapi tidak digubris sedikit pun oleh Pandu. Dengan senyum kecut, Ryan menurunkan kembali tangannya.

"Gimana kondisi Abi?"

"Udah sadar, Mas."

"Kalo gitu anter Mas liat Abi sekarang!" perintah Pandu dengan nada datar, tanpa peduli akan sosok Ryan yang berdiri tegak di dekatnya.

"Tapi, mohon maaf Mas Pandu tolong masuknya bergantian dan gak bisa lama-lama karena...."

"Ayo cepetan!" potong Pandu seolah tak mendengar kata-kata peringatan yang dilontarkan Ryan.

Perasaanku jadi tak enak menyaksikan sikap Mas Pandu yang tidak baik terhadap Mas Ryan, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Aku memilih diam untuk meminimalisir konflik yang terjadi.

"Malah bengong! Ayo cepet!" ucapnya, seraya menarik lenganku dengan kasar hingga nyaris membuat tubuhku terjatuh.

"Aaaww Mas, sakit," keluhku dengan ekspresi meringis kesakitan.

"Makanya kalo disuruh cepat ya cepet, jangan lambat! gimana sih?" Pandu seolah tak peduli, dia terus saja menarikku paksa.

"Lepasin, Mas! Sakit!" pintaku. Lagi-lagi Pandu tak memberi tanggapan.

Ryan yang risih dengan keributan yang terjadi akhirnya buka suara.

"Lepasin dia, Mas!"

Pandu menghentikan langkahnya mendadak dan berbalik menghampiri Ryan. Pandu naik pitam. Pandu meletakkan kedua tangannya di leher bawah Ryan dan menarik kerah bajunya.

"Gak usah sok jadi pahlawan kesiangan deh lu! Dia istri gue, jadi gue berhak ngelakuin apa aja ke dia, lu gak perlu ikut campur, ngerti!"

Pandu pun mendorong tubuh Ryan ke belakang.

"Jauhin Lisa, kalo lu pengen liat dia baik-baik aja," ancam Pandu.

Fokus Pandu kembali padaku, "Ayok!" lalu berjalan meninggalkan Ryan.

Aku menengok ke belakang, dan menemukan Ryan masih melihatku dengan tatapan iba. 

Ryan hanya bisa menghela napas panjang, lalu berjalan berlawanan arah dengan kami.

"Mas gak suka ya kamu ngobrol sama Ryan, gimanapun dia pernah ada di hati kamu," ucap Pandu dengan nada marah.

Aku menghentikan langkah, lalu menarik lengan Mas Pandu, memintanya berhenti dengan paksa. 

"Apaan sih kamu?" elak Pandu.

"Ikut aku sebentar, Mas!"

Aku menariknya ke sudut koridor yang sedikit sepi, rasanya malu jika harus menjadi tontonan orang banyak.

Aku ingin menyelesaikan kesalahpahaman itu lebih dulu, sebelum melihat kondisi Abi. 

"Mas, itu kan dulu, sekarang masa depan aku ya kamu, Mas,"

"Halaaahh, Mas gak butuh kata-kata itu, Mas cuma pengen bukti, mulai sekarang kamu jauhin Ryan, ngerti!"

"Mas, aku gak ada hubungan apa-apa sama Mas Ryan, aku juga gak sengaja ketemu sama dia,"

"Gak sengaja ketemu, jadi punya alasan buat ngobrol berduaan?" sindir Pandu lagi.

"Mas, kok kamu jadi cemburu berlebihan kayak gini sih?" ucapku putus asa. Rasanya aku lelah menjelaskan.

"Berlebihan kata kamu?" balas Pandu geram, "Heh, jangan-jangan ini alasan kamu gak hamil-hamil juga,"

"Mas!" hardik Lisa tersinggung, "Kehamilan aku gak ada kaitannya sama Mas Ryan, Mas tau kan sejak awal kita nikah, aku gak pernah pake cara apapun buat nunda apalagi menghalangi kehamilan," tuturku dengan kesal.

"Yang punya kuasa atas kehamilan aku itu Allah, Mas, bukan kita! Sekarang gini aja deh Mas, setelah ini aku mau kita program hamil,"

"Gak usah bawa-bawa tuhan, udah jelas kok yang ada masalah itu kamu, bukan aku!"

"Kok Mas tega ngomong kayak gitu sih? cuma karena aku ngobrol sama Mas Ryan terus Mas bisa nuduh aku seenaknya gitu?"

"Yang punya rahim itu kan kamu bukan aku, ya pasti yang punya masalah itu kamulah!" ucap Pandu enteng dan semakin menyudutkanku.

"Ya Allah, Mas, tega banget kamu!"

"Loh, itu memang faktanya kan?"

"Mas, faktor kehamilan bukan cuma dari pihak perempuan aja tapi pihak laki-laki juga punya andil,"

Mas Pandu tersenyum mengejek, "Jadi kamu pikir aku ikut andil karena kamu gak juga hamil, gitu? jangan ngaco!" ucapnya penuh penekanan.

"Dari tadi kayaknya Mas yakin banget, atau jangan-jangan?"

"Jangan-jangan apa? Hah? Ayo ngomong! Dasar istri ga punya otak!" maki Pandu. Dia mengepalkan kedua tangannya, "Heeeuhh, ngerusak mood aku aja!"

Mas Pandu lalu pergi meninggalkanku yang masih mematung di koridor rumah sakit.

"Mas, Mas, Mas Pandu, tunggu! Mas, Mas mau ke mana?" panggilku sedikit berteriak. Tapi, Mas Pandu terus saja melanjutkan langkahnya.

Aku memejamkan mata sejenak, sambil menarik nafas dalam, mencoba menetralkan suasana hati yang sempat memanas.

"Ya Allah, kuatkan aku!" rintih batinku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status