Share

BAB 4. PROGRAM HAMIL

Aku pulang ke rumah larut malam dengan pikiran kacau. Pertengkaran dengan Mas Pandu di rumah sakit sempat membuat luka, ditambah kondisi kesehatan Abi yang sempat drop, karena mendengar kabar tentang madu yang diminta oleh ibu mertuaku.

Cukup kompleks!

Setelah membersihkan diri, aku melepas lelah di atas pembaringan, namun belum juga dapat terlelap karena Mas Pandu belum pulang. Beberapa kali, aku menghubungi ponselnya tapi tak ada jawaban.

Hampir pukul satu dini hari, akhirnya Mas Pandu pulang, dalam keadaan separuh mabuk. Saat aku membuka pintu, bau alkohol menguar menerpa hidungku. Aromanya cukup membuatku mual.

Mas Pandu melewatiku tanpa berkata sedikit pun. Dia berjalan terhuyung-huyung menuju kamar. Setelah menutup pintu aku segera menyusulnya.

Saat aku masuk ke kamar, Mas Pandu sudah berbaring dalam keadaan menelungkup di atas tempat tidur, tanpa melepas sepatu dan berganti pakaian. Dalam diamnya, aku yakin Mas Pandu belum tidur.

"Mas," desahku dengan perasaan bersalah. Tetap tak ada jawaban.

Aku berlutut di sisi tempat tidur, melepaskan sepatu yang masih melekat dikakinya.

"Mau aku buatin teh hangat, Mas?"

"Gak perlu!" Mas Pandu menggulingkan tubuhnya ke tengah dengan marah.

"Maafin aku ya, Mas. Aku bener-benar nyesel! Gak seharusnya aku berdebat tentang Ryan, seharusnya aku sadar, seorang wanita yang telah bersuami tidak pantas berduaan dengan lawan jenis selain suaminya," tuturku mencoba merendah.

"Kamu kan tau, dari dulu Mas gak suka dibantah, Mas gak suka disaingi, apalagi orang itu ada kaitannya sama masa lalu kamu."

"Iya Mas, maaf. Aku janji gak akan pernah ketemu sama dia lagi."

"Yakin?" 

Aku mengangguk mantap, "Yakin, Mas."

Setelah memastikan kemarahan yang membekukan hati Mas Pandu mulai mencair, barulah aku berani menggulingkan tubuh mendekat. Memeluknya dari belakang.

"Mas," bisikku di dekat telinga Mas Pandu.

"Aku ingin cepat punya anak."

Tidak ada jawaban. Aku mencoba mengelus dada Mas Pandu, tapi tak ada reaksi. Saat aku menegakkan kepala dan melihat ke arah wajahnya, mata Mas Pandu tertutup rapat, nafasnya naik turun dengan teratur. Ternyata, dia telah tertidur.

Dengan terpaksa aku harus menunggunya hingga besok.

***

"Program hamil?" Mas Pandu menghentikan makannya.

Aku mengangguk.

"Mas kan tau, pernikahan kita udah masuk ke tahun kedua, tapi tanda-tanda kehamilan belum juga keliatan, aku udah pengen punya anak Mas," ucapku sambil menatap kembali ke piring nasi yang belum sedikitpun aku sentuh.

"Ya udah pergi aja ke dokter, periksain rahim kamu," jawab Mas Pandu datar. 

Aku tertegun mendengar jawabannya. Tanpa rasa bersalah dia kembali menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Perasaanku menyatakan jika Mas Pandu memang menyalahkan rahimku.

"Kita pergi sama-sama ya, Mas? Kan program hamil itu menyangkut suami istri, bukan aku perorang ataupun kamu sendiri?"

"Aku gak bisa! lagi banyak kerjaan, lagian aku yakin banget kalo yang bermasalah itu rahim kamu," ucapnya cepat.

"Mas, tolonglah! Setidaknya kalo kita pergi bareng, kita jadi sama-sama tau, apa yang seharusnya kita lakuin biar program hamil itu bisa berhasil," pintaku dengan wajah memelas.

Terdengar Mas Pandu menghela napas berat.

"Ya udah, ya udah, kamu janjian dulu aja sama dokter spesialis kandungannya, ntar siang Mas jemput."

"Beneran, Mas?"

"Iyaaa, Lisa!"

"Alhamdulillah, makasih banget ya, Mas," ucapku kegirangan.

***

Pukul satu siang, aku ditemani Mas Pandu berangkat ke tempat praktek dokter Fifi.

Di awal perjumpaan, aku langsung menceritakan maksud hati untuk melakukan program hamil, melalui proses inseminasi atau bayi tabung.

"Siklus menstruasi Bu Lisa setiap bulan, lancar?" tanya dokter Fifi mengawali proses observasinya.

"Lancar dok, tiap bulan pasti datang bulan, cuma kadang maju kadang mundur, selebihnya saya gak punya keluhan apa-apa."

"Baik, sebelum melakukan program inseminasi atau bayi tabung, saya akan melakukan pengecekan tingkat kesuburan lengkap pada Bapak dan Ibu lebih dulu," ujar dokter Fifi memandang kami secara bergantian.

"Kenapa saya harus ikut-ikutan diperiksa, dok?" tanya Mas Pandu dengan nada protes, "Bukannya, cukup Lisa aja yang ngelakuin pengecekan," tambahnya lagi. Aku melirik ke arah Mas Pandu, terlihat keningnya berkerut.

"Demi keberhasilan program kehamilan, maka tes kesuburan harus dilakukan juga pada pria, yang berguna menunjang proses pembuahan nantinya, kita juga perlu melihat kualitas dan kuantitas sperma milik Pak Pandu," jelas dokter Fifi.

"Ngapain pake di periksa kualitasnya, dok? Toh udah ke bukti kalo sperma saya normal dan sehat,"

"Bukti yang Bapak maksud apa ya?"

"Ya buktinya.. buktinya saya gak punya keluhan apa-apa, saya sehat," jawab Pandu dengan nada dibuat sewajarnya.

"Tapi pak, untuk program kehamilan ini kami sangat membutuhkan hasil uji laboratorium untuk kualitas dan kuantitas sperma yang Bapak miliki, yang nantinya akan sangat membantu dalam keberhasilan proses inseminasi atau bayi tabung."

Mas Pandu terdiam. Tak ada lagi bantahan keluar dari mulutnya.

Setelah melewati serangkaian tes, aku dan Mas Pandu keluar dari ruang dokter Fifi. Terbit perasaan lega dalam diriku, setidaknya ini langkah awal yang baik, dan tentunya aku jadi punya peluang yang lebih besar untuk mendapatkan seorang anak.

Aku menggelayut manja di tangan Mas Pandu, yang nampak lelah setelah melakukan begitu banyak tes. 

"Makasih ya, Mas," ucapku dengan tatapan penuh haru. 

***

Seminggu kemudian, aku ada janji bertemu dengan dokter Fifi. Entah mengapa, hari itu aku merasa raut wajah dokter Fifi terlihat begitu tegang. Mungkinkah sesuatu yang kurang baik terjadi pada hasil tes kami berdua? Apakah benar yang dikatakan Mas Pandu jika rahimku bermasalah? Entahlah! aku harus segera mencari tahu.

'Gimana hasilnya, dok?" tanyaku tak sabar.

Dokter Fifi menyodorkan beberapa lembar kertas, berupa hasil pengujian laboratorium.

"Saya rasa proses inseminasi atau bayi tabung, pada Bu Lisa dan Pak Pandu harus ditunda terlebih dahulu."

"Loh, kenapa dok?" tanyaku dengan kening berkerut.

Ketegangan mulai menjalari wajahku. Kedua tanganku mulai basah oleh keringat dan rasa takut menghantuiku.

"Ya Allah, ada apa ini?" batinku berteriak.

Aku menunggu dokter Fifi memberi penjelasan, dengan perasaan was-was dan khawatir.

"Ada apa sebenarnya, dok?" ulangku penasaran.

Dokter Fifi menatapku dengan perhatian penuh, membuat aku semakin salah tingkah.

"Tingkat keberhasilan program inseminasi atau bayi tabung yang akan Bu Lisa lakukan, memiliki potensi yang lebih kecil, karena terdapat masalah pada diri suami Ibu,"

Aku menelan ludah yang terasa pahit. 

"Apa yang terjadi pada Mas Pandu, dok?" 

Alisku beradu. Aku semakin dibuat penasaran.

"Pak Pandu mengalami gangguan kesuburan," dokter Fifi mulai memberi keterangan.

"Maksudnya, dok?" kejarku tak tenang.

"Berdasarkan hasil uji laboratorium, suami Ibu mengalami Oligozoospermia, yaitu suatu kondisi sperma yang dikeluarkan saat ejakulasi jumlahnya sedikit. Kondisi ini yang menjadi penyebab ketidaksuburan pada pria, sehingga Ibu tak juga kunjung hamil," jelas dokter Fifi.

Aku menggigit bibir bawah mencoba menahan air mata yang mulai berkumpul di sudut mata. Namun, tak berhasil, aku menangkupkan kedua tangan di wajah, lalu membiarkan air mata itu akhirnya mengalir deras.

"Tenangkan diri Ibu dulu, kita cari solusinya," ucap dokter Fifi mencoba menenangkan.

Aku mengangkat kepala, yang menampilkan mata sembab dan basah.

"Dengan kondisi suami saya seperti itu, masih adakah harapan saya untuk hamil, dokter?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Ada harapan, tapi lebih kecil karena fase yang dialami oleh Pak Pandu cukup berat, dibutuhkan proses pengobatan yang mungkin tidak sebentar, kita juga harus melakukan observasi lanjutan untuk mengetahui faktor utama yang jadi penyebabnya, agar kami bisa melakukan tindakan yang tepat," lanjut dokter Fifi lagi.

Aku pun menarik napas dalam--tampak jelas sedang berusaha menenangkan diri.

Kemudian, aku kembali buka suara, "Baik dokter, saya akan coba bicarakan ini dengan Mas Pandu," jawabku dengan suara serak.

"Baik Bu, saya harap Ibu dan Pak Pandu bisa datang kembali minggu depan untuk observasi lanjutan," kata dokter Fifi mengakhiri konsultasinya dengan ramah.

Aku berjalan dengan gontai, meninggalkan ruangan dokter Fifi, membawa perasaan yang campur aduk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status