Share

Dendam Masa Lalu

"Mereka nggak boleh bicara empat mata?Ini bisa gawat!" batin Martin. 

"Jika Sinta sampai bicara dengan Sania, ini bisa gawat. Ini bisa merusak rumah tanggaku dengan Sinta," gumam Martin dalam hatinya.

Sinta pun bangkit dan mendekati Martin yang berdiri di depan jendela.

"Mama ragu mereka akan mempertahankan rumah tangga. Apalagi Sabrina sedang sakit parah," ujar Sinta.

"Ya, siapa yang mau sakit, Ma," timpal Martin.

"Papa nggak aneh? Melihat tingkahnya Sania yang selalu menekan Sabrina. Mama nggak ngerti, seolah dia punya sentimen pribadi terhadap keluarga kita," pikir Sinta.

"Maksud Mama?" tanya Martin.

"Kenapa sih, Pa? Jadi aneh, bingung ...." cecar Sinta.

"Ah, Papa jalan dulu," dalih Martin yang ingin menghindar dan tidak mau Sinta mengetahui lebih soal hubungannya dengan Sania di masa lalu.

"Papa takut sama Sania?" ucap Sinta membuat langkah Martin terhenti. 

Martin pun sedikit membalikkan badannya dan melirik Sinta.

"Nggaklah, masuk takut sih?" jawab Martin yang tetap berusaha terlihat tenang.

Sinta pun mendekati suaminya.

"Kalau nggak takut,berarti bisa kan antar Mama bertemu Sania?" cecar Sinta yang sudah melihat keanehan pada suaminya."

"Nggaklah, nggak usah, Ma," kata Martin.

"Kenapa Mama nggak boleh ikut?" tanya Sinta yang terus mencecar Martin.

"Gini loh, Mama dan Sania kan sama-sama perempuan. Dua-duanya mempunyai kepentingan untuk membela anaknya masing-masing. Betul nggak? Papa khawatir terjadi pembicaraan emosional. Malah jadi runyam, Ma," dalih Martin yang terus membujuk Sinta agar tetap tenang.

"Benar nggak? Biar Papa yang bicara. Papa kan Papanya Sabrina, Ma" ucap Martin yang terus meyakinkan Sinta.

"Terserah Papa. Mama percaya kok, Papa bisa memberi pengertian terhadap Sabrina," ungkap Sinta akhirnya membuat senyum merekah di bibir Martin.

****

Di rumah sakit

Perasaan Doni semakin kacau. Bahkan untuk ke kantor pun dia masih belum sanggup. Doni tidak ingin sedetikpun jauh dari Sabrina. Walau dalam keadaan koma, Doni yakin Sabrina merasakan kehadirannya.

Doni berjalan agak menjauh dari depan ruangan Sabrina. Ia berdiri di balkon lantai 2 menghadap ke bawah yang tepatnya sebuah taman indah milik rumah sakit itu. 

Ada sebuah bangku putih, di sana duduklah seorang Ibu paruh baya yang sedang duduk dan tidak lama, seorang laki-laki yang mungkin suaminya itu datang menghampiri. Doni kembali mengingat Sabrina. Hatinya begitu perih. 

"Sayang, kamu harus sembuh! Aku mau hidup menua sama kamu, Sabrina," ucap Doni dalam hati.

Tidak disadari, airmatanya pun luruh.

Doni pun kembali mengingat permintaan Bunda Sania yang memintanya untuk Berpoligami. Termasuk pembicaraan sang Bunda dengan Fani subuh pagi itu yang tanpa sengaja didengarnya.

Doni pun memutuskan kembali ke ruangan Sabrina. Di sanalah, ia merasa hatinya begitu teduh.

Sabrina masih betah dengan tidur panjangnya. Mungkin ia sudah lelah karena berbagai tekanan yang diterimanya dari keluarga sang suami. Terutama dari Prita, kakak iparnya.

"Sabrina, aku hanya mencintai kamu. Kamu adalah satu-satunya wanita yang aku cintai ...." ucap Doni menangis. 

Tidak lama, Fani pun masuk perlahan ingin menjenguk sahabatnya itu. Ia pun tidak dapat menahan tangisnya saat melihat Doni sedang menangis dengan mengenggam tangan Sabrina begitu erat. 

Fani bisa merasakan bagaimana Doni yang sangat mencintai Sabrina. Cintanya untuk Sabrina begitu dalam. Begitupun dengan Sabrina.

"Apa mungkin, aku akan sekejam ini mengkhianati cinta mereka?" batin Fani yang mengingat perjodohannya dengan Doni seperti keinginan Bunda Sania.

"Aku akan selalu mencintai kamu, Sayang. Aku tunggu kamu sembuh ...." ucap Doni, ia pun mencium kening Sabrina.

Fani pun memutuskan keluar dari kamar Sabrina dan tidak ingin menganggu dua sahabatnya itu.

****

Martin akhirnya datang ke kantor Sania menemuinya untuk membicarakan masalah rumah tangga Doni dan Sabrina yang sedang di ujung tanduk.

Sania pun mengamuk

"Mungkin sudah saatnya semuanya tahu, Martin, apa yang sudah terjadi sama kita di masa lalu," pekik Sania sinis.

"Dan kalau saja anak-anak tahu apa yang sudah kamu lakukan dulu, mungkin mereka akan membenci kamu dan mungkin akan jijik!" bentak Sania.

Sania pun mendongakkan wajahnya.

"Kamu kenapa jadi kejam begitu? Jadi manusia tanpa maaf?" ujar Martin yang bingung, kenapa Sania sekarang jauh berbeda dari Sania yang dikenalnya dulu.

"Maaf?" ejek Sania.

"Kalau aku kejam,lantas kamu gimana? Kamu tinggalin aku begitu aja. Bahkan tanpa apa-apa, tanpa pesan!" pekik Sania.

"Ka-mu tahu persis Sania, apa alasanku dulu meninggalkan kamu. Kamu tahu persis, Sania, kenapa hubungan kita nggak bisa dilanjutkan," pekik Martin.

"Dan kamu nggak perlu menjadi kejam karena masa lalu kita," sambungnya.

"Tolong. Please, lakukan demi anak-anak kita," bujuk Martin.

"Kamu minta maaf sama aku? Setelah kamu ajarkan aku untuk menjadi kejam dan sekarang kamu minta maaf? Tidak ada, Martin! Sekarang saatnya kamu membayar utang kamu di masa lalu. Mengerti kamu?!" hardik Sania. Emosinya pun meledak-ledak.

"Sania, kamu dendam sama aku?Hukum aku. lampiaskan semuanya padaku. Jangan Sabrina, jangan Doni. Mereka darah daging kita, Sania. Mereka saling mencintai," ucap Martin agar hati wanita yang pernah sangat dia cintai itu luluh.

Sania hanya menggeleng

"Kamu bilang, aku menghukum kamu? Tidak perlu saya repot-repot untuk menghukum kamu, Martin. Karena dengan doa saya, Allah sudah menghukum anak kamu. Dengan membuatnya tidak bisa mempunyai anak dan bahkan sebentar lagi anakmu akan menjadi janda dan itu semua karena kamu. Karena kelakuan Bapaknya!" bentak Sania yang menggebu-gebu.

"Sabrina tidak ada hubungannya dengan masa lalu kita. Eh, saya bersumpah. Saya nggak akan membiarkan kamu merusak hubungan anak kita," sahut Martin tegas.

"Sudah terlambat, Martin!" timpal Sania sinis.

"Saya sudah membuat keputusan. Setelah Sabrina sembuh, saya akan meminta anak saya untuk menceraikan anak kamu," pekik Sania menunjuk-nunjuk ke arah Martin yang berdiri dihadapannya.

Martin terperangah

bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status