ログイン
"Alena, jangan pergi, Ibu mohon!" teriaknya dengan suara parau. Namun, gadis itu tidak menghiraukan perkataan ibunya; ia berlari tanpa menoleh sedikit pun. Keputusannya telah bulat: hari ini dia akan menikah dengan Justin, pria yang sangat dicintainya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, membawa gadis cantik itu untuk dipersunting dengan balutan gaun putih selutut dan rambut yang tergerai.
Tatapannya kosong, dan entah kenapa, Alena tiba-tiba merasa khawatir tentang keselamatan ibunya. Namun, dia berusaha untuk menjauhkan pikiran buruk itu agar tidak membuatnya cemas lebih lama. Justin merasa tidak enak hati melihat keretakan hubungan Alena dan ibunya, tapi dia juga tidak mau kehilangan wanita yang dicintainya. Meskipun sedikit egois, dia percaya ini demi kebaikan hubungan mereka. Alena semakin cantik setelah dipoles dengan riasan tipis; Justin begitu terpesona melihat kecantikannya. Hari ini, mereka berdua akan melangsungkan pernikahan meskipun tanpa kehadiran keluarga Alena. Di sebuah venue dengan nuansa pernikahan intim yang bernuansa putih, para tamu sudah datang untuk menyaksikan acara sakral ini. Jantung Alena berdegup lebih kencang, matanya berkaca-kaca. Seharusnya, di hari penting ini, ibunya berada di sampingnya, namun keputusan mereka sudah tidak sejalan. Akhirnya, mereka sah menjadi suami istri. Malam ini, mereka akan menginap di sebuah vila milik keluarga Justin. Ketika siang berganti malam, Alena sibuk memasak meskipun Justin melarangnya; namun, dia tetap teguh dengan pilihannya. Makanan sudah siap dihidangkan dengan aroma masakan yang sangat menggoda. Sebelum tidur, mereka berdua makan dengan lahap. Namun, tampak canggung ketika Alena memberikan pembatas menggunakan bantal guling, sementara Justin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidur di kamar sebelah, kalau ada apa-apa jangan sungkan!" ujarnya sambil membawa bantal guling. Melihat itu, Alena merasa tidak enak hati, lalu dia berusaha mencairkan suasana dengan mengajak Justin menonton drama Korea. Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan canda dan tawa, meskipun beberapa kali terenyuh oleh adegan sedih di serial yang mereka tonton. Beberapa tisu berserakan di lantai, akibat dibawa suasana emosional. Tak lupa, beberapa makanan seperti popcorn, stik, dan minuman sudah habis tak tersisa. Mereka berdua menghabiskan malam pertama dengan penuh suka cita. Namun, hari semakin larut, Alena tak kuat menahan kantuk hingga akhirnya tertidur nyenyak di sofa. Justin hanya tersenyum, mengusap puncak kepala istrinya, membenarkan posisi tidurnya, lalu menyelimutinya. Setelah itu, dia mematikan televisi. Pagi ini, Justin sudah berangkat ke kantor karena akan ada pertemuan dengan klien dari luar negeri. Sebelum berangkat, dia hanya mengecup kening istrinya. Di kantor, suasana hening saat sekertaris baru berjalan dengan anggun menggunakan high heels warna maroon. Namun, pakaiannya yang sangat seksi, memperlihatkan lekuk tubuh dan belahan dada yang menyembul, terkesan tidak sesuai dengan peraturan kantor yang mengharuskan pakaian rapi, tidak ketat, dan sopan. Sementara itu, Justin sebagai CEO sudah berada di ruang rapat, menunggu sekertaris barunya untuk membawa beberapa berkas. "Maaf terlambat," ucap sekertaris baru itu dengan menundukkan kepala, tanpa menatap Justin sedikit pun. Justin merasa ingin menegurnya, tetapi dia menahan diri karena tidak ingin melakukannya di hadapan klien besar. Mata Cindy tak bisa lepas dari sosok CEO muda di hadapannya. Ketampanan dan karisma pria itu menyulut ambisi dalam diri Cindy: ia harus mendapatkan CEO itu, demi hidup yang lebih baik. Dengan dehaman angkuh, Cindy memecah keheningan, "Ehem, apa kita bisa memulai rapat ini?" Sang CEO, yang sebelumnya sibuk dengan dokumen, mendongak. "Bi-bisa, Tuan," jawab seorang staf tergagap. Namun, pandangan CEO itu justru terpaku pada Cindy. Penampilannya, yang jauh dari kata rapi dan sopan, sontak mengundang kerutan di dahinya. "Mohon maaf atas ketidaknyamanan ini," ujar CEO itu dengan nada datar, namun tersirat ketidaksukaan yang jelas. "Sepertinya Anda perlu keluar sebentar dan membaca peraturan di kantor ini." Ucapannya menusuk, seolah mempermalukan Cindy di depan semua orang. Babak Baru dalam Hidup Cindy "Ba-baik, Tuan," sahut Cindy, berdesir kesal. Langkahnya cepat meninggalkan ruang rapat, menyisakan aura dingin yang masih menggantung. Sepanjang waktu, klien asing dengan tatapan intens tak bisa mengalihkan pandangan dari siluet Cindy yang memikat dalam balutan busana seksi. Gejolak hasrat membara, namun ia gigih menepis bisikan iblis dalam hatinya. Beruntung, Cindy selalu siap siaga. Blazer dan rok panjang yang selalu tersimpan rapi dalam tasnya menyelamatkan drama pemecatan di hari pertamanya. Sebagai sekretaris baru, kegugupan mencengkeramnya erat. Presentasi di hadapan klien kelas kakap ini adalah medan perang pertamanya; satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Setiap kata meluncur dari bibirnya, terangkai detail, presisi, dan penuh keyakinan. Impiannya menjadi karyawan tetap di perusahaan ini, bergantung pada performa hari ini. Elbarac, klien yang berwibawa, menyimak dengan saksama. Kinerja Cindy yang luar biasa dan pemaparannya yang gamblang memuaskannya. Proyek besar ini, ia yakin, akan menjadi awal kerja sama yang gemilang. Setelah semua usai dan salam perpisahan terucap, Justin buru-buru pamit. Kekhawatiran akan istrinya yang menanti di rumah menyeruak. "Nona, tunggu!" sebuah suara berat menginterupsi. Cindy mendesah dalam hati. Berurusan dengan pria paruh baya selalu menjadi daftar terakhir. "Ada yang bisa saya bantu, tuan?" jawabnya lembut, berusaha menyembunyikan kekesalan. "Bisakah Anda membantu saya mencari hotel?" Tatapan pria itu tajam, menguliti Cindy. "Mohon maaf, tuan, ini hari pertama saya bekerja," balas Cindy, tersenyum paksa memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Soal itu, saya bisa mengurusnya. Harga bisa dibicarakan, asalkan saya puas," celetuknya, membuat bulu kuduk Cindy meremang. Kata-kata itu menusuk, seolah menelanjangi dan melabelinya sebagai wanita malam. "Maaf, tuan, saya ada rapat penting dengan klien baru. Permisi," ucap Cindy, bergegas melangkah pergi. "Tunggu! Saya tidak bermaksud buruk. Hanya saja saya merindukan masakan Indonesia. Bisakah kamu bekerja untuk saya?" Tatapan lurus pria itu menembus. "Me-memasak? Sepertinya Tuan salah orang, saya tidak bisa masak," jawab Cindy, dadanya naik turun tak beraturan. "Delapan ratus juta sebulan. Setelah kantor, kamu bisa bekerja dengan saya. Hanya menemani saya mengobrol dan berbagi tentang pekerjaan," rayu pria itu lagi, membuat Cindy terperangkap dalam kebingungan. Lidahnya kelu, tak mampu mencari celah untuk mengelak. Di tengah tarik-ulur percakapan, dering ponselnya menjadi penyelamat. Kesempatan emas untuk melarikan diri. "Tuan, saya ada urusan penting. Permisi!" ia terbirit-birit, menjauh dari jerat pria asing itu. * Pertarungan Batin dan Sebuah Takdir Hari pertama kerja, Cindy sudah dihadapkan pada pilihan pelik. Mustahil ia menampik kebutuhan uang, namun berurusan dengan pria asing yang baru ditemuinya jelas bukan opsi. Di toilet, ia meluapkan amarahnya, memaki tanpa henti, tanpa menyadari bahwa ia salah sambung. "Dasar sialan, apa yang kau lakukan, ha?" suara berat dari seberang telepon mengejutkannya, membuat Cindy ingin menenggelamkan diri dan segera mematikan panggilan. Ternyata, orang yang baru saja ia maki-maki adalah bosnya sendiri. "Gawat! Apa aku akan dipecat?" keluhnya, mondar-mandir tak karuan, giginya menggigit ujung kuku, cemas. Teriakan dari luar toilet tak ia gubris. Dunianya terasa sunyi, namun suara itu semakin lama semakin keras, menusuk telinganya. "Woi, siapa di dalam? Cepat keluar!" teriak seseorang, menggedor-gedor pintu dengan brutal. Hari ini adalah hari paling sial bagi Cindy. Ia hanya ingin pulang, rebahan di sofa, dan tenggelam dalam ponselnya. Seorang wanita memarahinya saat ia keluar dari toilet, dan Cindy hanya bisa menunduk malu, bercampur kesal. Saat jam istirahat tiba, ia berniat menuju kantin. Namun, langkahnya terhenti oleh serangkaian notifikasi di ponselnya. Layar digeser, dan seketika dunianya runtuh. Ibunya mengalami kecelakaan dan harus segera dioperasi. Biaya administrasi harus segera dibayar. Ke mana ia harus mencari uang sebanyak itu dalam sekejap? Meminjam dari kantor adalah kemustahilan; ia hanyalah karyawan baru. Dunia malam telah ia tinggalkan, dan kini ia terjebak. Uang dalam jumlah besar tak bisa didapatkan dalam sekejap. Janjinya untuk tak kembali ke masa lalu kini diuji. Tawaran Elbarac, delapan ratus juta rupiah, terngiang-ngiang. Fantastis. Uang itu bisa menyelamatkan ibunya. Sebuah sumpah terucap dalam hati: ia akan mencari keadilan bagi orang yang menabrak ibunya. "Tidak ada pilihan lain selain menerima tawaran pria asing itu," batinnya, langkahnya gontai mencari Elbarac, berharap pria itu masih di sekitar kantor. Waktu istirahat ia habiskan mencari Elbarac, klien asing yang ditemuinya. Duduk termenung di parkiran, Cindy terperanjat saat seseorang mengejutkannya. Tangannya refleks terangkat, siap memukul. "Apa yang kau lakukan, ha?" suara itu berbisik pelan, dan ia merasakan seseorang duduk di sampingnya. Suara itu familier, namun Cindy tak berani menatapnya. "Ada apa? Apakah kamu tertarik dengan tawaran tadi?" bisik suara itu lembut. "Euh, a-anu, Tu-tuan," jawab Cindy, gelagapan. Elbarac tersenyum tipis. "Kali ini delapan ratus juta semalam, bagaimana?" tanya pria jangkung itu. Nominal itu begitu menggiurkan, uang sebanyak itu bisa didapatkannya dalam semalam. "Bagaimana, apa Anda tertarik? Kesempatan tidak datang dua kali! Jika kerjamu bagus, nanti ada bonus tambahan." Tanpa berpikir panjang, Cindy langsung menganggukkan kepala. Sebelum pergi ke hotel, Cindy singgah di pusat perbelanjaan. Memilih beberapa barang kebutuhan untuk 'kencan' malam itu. Sebuah black card terulur dari tangan pria paruh baya itu. Kebahagiaan sesaat menyelimuti Cindy, berharap suatu hari nanti ia bisa memiliki kartu itu berkat kerja kerasnya sendiri. Selesai berbelanja, ia masuk ke mobil dan mengembalikan black card itu. Pikirannya mulai gelisah, keraguan menyelimuti, namun tak ada pilihan lain. Mobil melaju kencang meninggalkan pusat perbelanjaan. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?" tanya pria itu, matanya lurus ke depan, namun sesekali mencuri pandang. "Namaku Cindy, Tuan," jawab Cindy, detak jantungnya tak keruan. "Nama yang bagus! Oh ya, perkenalkan, namaku Elbarac! Panggil saja Tuan El!" * Bayangan Masa Lalu dan Ujian Hati Setibanya di hotel, Cindy meresapi ironi hidupnya. Ia ingin mengubur masa lalu kelamnya, namun demi delapan ratus juta, ia harus kembali. Kali ini, kegugupan mencengkeramnya, meski ini bukan kali pertama baginya. Untuk meredakan ketegangan, Cindy pamit ke toilet. Mandi, membersihkan diri, dan membiarkan air menghapus segala keraguan. Setelah itu, pikirannya terasa lebih tenang, tubuhnya segar kembali. Ia keluar dengan pakaian tertutup, membuat Elbarac terheran. Klien asing itu mendekat, "Apa kau belum siap?" ketusnya sinis. "Si-siap. Bukankah aku di sini hanya untuk menemani ngobrol dan masak? Apakah perutmu sudah lapar? Biar aku yang masak," ucap Cindy, memberanikan diri. "Jika untuk makan, aku bisa menyewa koki. Tapi malam ini, aku butuh seseorang untuk menghilangkan stres di pikiranku. Aku pikir kau mengerti, Cindy!" Rayuannya gagal. Ia mengira Elbarac akan menuruti, tapi ternyata bukan itu yang diinginkannya. Berat. Rasanya sangat berat kembali ke pekerjaan lamanya. Dulu, nominal yang didapatkannya selalu memompa semangatnya. "Hem, baiklah. Hanya satu malam. Setelah ini, jangan lupa delapan ratus juta," bisiknya pelan, namun penuh penekanan. Penampilan Cindy malam ini berbeda. Belahan dadanya yang tampak besar terekspos, ia berjalan melenggak-lenggok, lalu menari-nari. Balutan merah menyala memeluk tubuhnya. Tangannya melingkar di leher, jari-jarinya perlahan menelusuri, bermain aktif. "Jangan membuatku menunggu!" ungkapnya, tatapan Elbarac penuh takjub. Cindy duduk, jari-jari lentiknya bermain dari atas sampai bawah. Elbarac tak mau kalah, ia pun ikut terhanyut dalam permainan ini. Setelah 'pemanasan' usai, Cindy segera menyelesaikan pekerjaannya. Kekhawatiran akan ibunya mendorongnya. Lelah, ia tertidur di sana. Setelah pakaiannya rapi, ia akan pergi ke rumah sakit menggunakan taksi. Delapan ratus juta rupiah telah masuk ke rekeningnya. Pagi ini, Cindy akan berangkat ke kantor terlebih dahulu untuk meminta izin beberapa hari. Seluruh tubuhnya ngilu dan nyeri, ingin sekali berteriak, namun ia tak boleh menyerah. Ada ibunya yang harus ia perjuangkan. Justin hari ini tidak masuk kantor, ia masih menikmati bulan madunya. Kemarin malam, mereka telah berangkat ke bandara untuk perjalanan jauh, berkeliling Eropa. Setibanya di resepsionis, ia mencari nama ibunya. Dengan penuh kecemasan, ia berjalan menuju lantai tiga. "Ibu, maafkan aku. Kita akan berkumpul bersama lagi, aku telah membawa uangnya," batinnya, penuh kesedihan. Melihat ibunya terbaring tak sadarkan diri, tanpa ditemani siapapun, hatinya hancur. Ia bersumpah akan menuntut keadilan bagi orang yang telah menabrak ibunya. Dengan uang sebanyak ini, ia bisa memperjuangkan keadilan seadil-adilnya, karena tak ada satupun pihak yang bertanggung jawab atas perilaku tabrak lari ini. Pagi ini, ibunya akan dioperasi akibat benturan dan robekan di kepalanya. Meski hal ini menyangkut keselamatan ibunya, tak ada cara lain selain operasi. Cindy tak henti-hentinya menangis, tak kuasa melihat penderitaan ini. Jika bisa memilih, lebih baik dia yang sakit. "Ibu, maafkan aku!" lirihnya dengan isak tangis. Di tengah kesedihannya, Liana datang dan langsung memeluk sahabatnya. "Maafkan aku, Cindy, aku tidak bisa menjaga ibumu dengan baik," ucapnya lirih, kepalanya masih diperban. Liana dan ibunya Cindy mengalami tabrak lari saat mereka berjalan di zebra cross. Tubuh Liana berguling-guling dan berhenti di pembatas jalan, namun ibunya Cindy terlempar jauh, menyebabkan robekan di bagian kepalanya. "Tidak, itu bukan salahmu. Seharusnya aku tidak membiarkan ibu sendiri. Oh ya, apa kamu masih ingat plat dan warna mobilnya, Liana?" tanya Cindy penuh selidik. "Tidak, tapi warna mobilnya merah," jawab Liana, berusaha keras mengingat kejadian yang meninggalkan trauma mendalam. Di tengah percakapan mereka, dokter datang menghampiri, dengan pakaian lengkap setelah operasi. Seketika Cindy panik. Ketakutan akan kegagalan operasi mencekamnya, detak jantungnya seakan berhenti sesaat.Cindy, mulai goyah meski mengumpat tapi dia menikmatinya. Permainan panas ini, tanpa pengaman sama sekali. Saat berada di titik puncak permainan, seseorang datang dengan suara tepukan yang mengoyak di telinga. Aktivitas di hentikan lalu menarik kain putih untuk menutupi tubuhnya.“Ini semua salah paham, aku mohon jangan sampai Justin tau.”kata Cindy pelan, air matanya mulai menetes. “Kesempatanmu telah berakhir, Cindy. Kau bermain api di belakang cucuku, sekarang aku sudah memiliki bukti, cucuku harus tau kebenaran.”kata Jonathan, matanya membulat. Cindy mengepalkan kedua tanganya, “Kakek, aku mohon berikan aku kesempatan, apa kau lupa aku telah menyimpan banyak bukti masa kelam Williams Grup.”Jonathan melangkah maju, menatap penuh kebencian dan rasa jijik. Menampar Cindy, meninggalkan jejak kemerahan di wajah mulusnya.“Keterlaluan, bagaimana pun aku telah melahirkan Neil Williams, aku sudah memberikan cucumu gelar seorang ayah, apa ini balasanmu pria tua, ha?”hardik Cindy, seakan mena
Jackob di seret paksa keluar, permainan ini di menangkan oleh Justin. Kemenangan Justin, membuat hatinya; antara bahagia atau sedih, disisi lain Justin mempertahankan kepercayaan Jonathan. Sementara itu, di atas kemenangannya menjadi jalan penderitaan untuk Alina. Sesuai kesepakatan yang di buat Cindy, Justin harus menjauh dari kehidupan Alina, mulai saat ini dan selamanya, apakah Justin sanggup. Dua hari berlalu, seakan pertemuan itu untuk yang terakhir kalinya, Alina menunggu Justin datang bersama pengacaranya untuk membantunya di ruang sidang. Sementara di hari pertama sidang membuat Alina terhuyung, lemas dan menitikan air mata. Berharap ada secercah harapan, di tengah badai yang menghantam. Untuk membuktikan jika Alina tidak bersalah, semua telah di manipulatif. Sayangnya itu semua hanya bayangan dan harapan, yang tak kunjung nyata. Mau bagaimana pun Alina harus berjuang sendiri, apalagi dengan keadaanya yang sedang hamil. Wanita malang sepertinya harus me
Tangan Alina bergetar ketakutan, tapi mencoba untuk menetralisir keraguan di dalam hatinya. Membawa tes kehamilam ke dalam toilet, peluh seakan membasahi setiap inci tubuh. Bolak balik tanpa arah, menatap alat kehamilan dengan penuh kecemasan. Justin menatap jam dipergelangan tanganya, ia juga ikut mondar-mandir, dengan deru napas yang membuncah. Alina keluar, dan tersenyum lalu matanya menyipit. Menyerahkan alat tes kehamilan, “Garis satu.” menatap tak percaya. “Apakah Alina hamil, dok?” tanya Justin penasaran, dokter Rendi menggelengkan kepala sementara Alina menggigit ujung bibirnya.“Akhirnya aku lolos,” batin Alina, merasa cukup lega. Dokter Rendi melangkah maju, lalu tersenyum lebar. “Sekarang kita USG, biar hasilnya lebih jelas.” timpalnya menatap Alina, lalu ke Justin. Alina membuang napasnya kasar, lalu melangkah maju dengan ragu. Sementara Cindy, menguping dari luar. Meski tak ada satu kata pun yang bisa ia dengar, namun tanganya mencengkram knop pintu kuat-kuat h
Andre mondar-mandir tak tentu arah, mencari keberadaan Alina. Ia hanya ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Andre terpaku menatapnya.“Saya ingin bertemu dengan saudari Alina,” kata Andre kepada salah seorang polisi. Polisi itu menatap wajah Andre saksama, tersenyum kecil, lalu mengusap pundaknya. “Mohon maaf, orang yang Anda cari tidak ada di sini,” katanya pelan, kemudian berlalu begitu saja.Ponsel Andre terus berdering, panggilan dari Ruby, wanita yang baru saja dipersuntingnya. Seharusnya Andre, sebagai pengantin baru, menikmati momen indah berdua. Namun ia malah disibukkan dengan masalah wanita lain. Sebuah pesan singkat ia kirimkan untuk menghilangkan kecemasan Ruby, agar rencana yang ia buat tetap tampak sempurna.Andre keluar untuk mencari udara segar, menatap lekat motornya. Hatinya terasa berat saat meninggalkan kantor kepolisian itu. Sementara itu, Alina tergeletak p
Alina terhuyung meringkuk di sebuah sel, hanya beralaskan tikar tipis. Hawa dingin menusuk tulang-tulangnya, air mata membasahi pelupuk dengan jeritan hati yang kian merana. Di mana Justin saat Alina dilanda masalah? Wajahnya pucat pasi, dengan rambut sedikit acak-acakan. Sementara Andre berdiri tegap menatap puing-puing kota dari balik kaca jendela, Bams telah mengurungnya di kamar. Tak ada yang bisa Andre lakukan saat ini, ponselnya disita. Seseorang datang menenteng sebuah tas, dengan gaya rambut dicepol menggandeng tangan pria. Dengan kabar yang beredar, Justin menemui Alina, menatap lekat wajah istrinya dengan penuh kecemasan. Ya, Justin menahan air matanya yang sudah terbendung lalu memeluk istrinya dengan penuh kerinduan. "Alina, apa yang terjadi, tolong katakan?!" mata Justin berkaca-kaca, tangan kekarnya melingkar. Alina melepaskan pelukan Justin, dan menatap wajah suaminya. "Aku tidak tahu Justin, aku..." ucapan Alina terhenti saat
Keadaan memanas. Ruby menghentakkan kakinya, melepas aksesoris kepala, lalu berjalan cepat dengan wajah dilingkupi amarah dan rasa malu. Hari yang seharusnya menjadi momen indah kini berubah menjadi kenangan buruk yang harus terkubur, takkan pernah diceritakan pada anak cucunya kelak. Impiannya seakan sirna dan hancur dalam sekejap. Momen yang telah ia nantikan jauh-jauh hari itu kini berakhir dengan kekecewaan mendalam. Bayangan hidup bahagia, dilamar secara romantis dan meriah di hadapan banyak orang, kini musnah. Sepatu high heels-nya dibanting sembarangan, air mata mengalir deras. Perasaan sedih, marah, dan malu bercampur aduk. "Alina, kau keterlaluan! Seharusnya aku melenyapkanmu!" teriak Ruby, melempar alat rias ke berbagai arah. Bams Hamilton, ayah Andre, sangat geram dengan sikap anaknya yang telah melewati batas. Ia mencoba menenangkan Ruby, namun tawarannya ditolak mentah-mentah. Hati Ruby terlalu dipenuhi kekecewaan yang membuncah. B







