เข้าสู่ระบบSebagai pengantin baru, Justin dan Alena memilih Eropa sebagai saksi bisu kebahagiaan mereka. Perjalanan keliling benua biru ini sengaja Justin rencanakan demi membahagiakan sang istri tercinta. Bagi Alena, ini adalah kali pertama ia bersentuhan langsung dengan salju yang lembut. Setiap momen indah mereka abadikan dalam potretan mesra, menjadi kenangan tak terlupakan.
Urusan pekerjaan, Justin telah menyerahkannya sepenuhnya pada Ferdi, asisten sekaligus sahabat karibnya. Malam ini, mereka berdua berencana mengunjungi sebuah tempat rahasia untuk menikmati indahnya matahari terbenam. Alena sudah mempersiapkan segalanya, mulai dari busana yang menawan hingga perlengkapan lainnya. Hotel mewah dengan fasilitas lengkap ini sukses membuat Alena merasa nyaman dan betah. Kasur yang empuk mengundang Alena untuk merebahkan tubuhnya, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Sementara itu, Justin asyik menyesap secangkir kopi panas, ditemani alunan musik yang menenangkan. Kebahagiaan mereka terasa lengkap, meskipun kehadiran buah hati masih tertunda. Justin ingin menunda momongan, merasa belum siap. Alena, sebagai istri penurut, hanya bisa mengikuti keputusan suaminya, percaya bahwa itu yang terbaik. Merasa gerah, Alena memutuskan untuk berendam di kolam renang. Berbagai gaya renang ia coba, merasakan tubuhnya perlahan menjadi tenang dan rileks. Melihat suaminya asyik bermain ponsel, Alena sengaja mencipratkan air, berharap Justin tak lagi acuh padanya. "Hei, hentikan! Aku sedang menikmati kopi," ketus Justin tanpa sedikit pun melirik. Merasa diabaikan, Alena langsung beranjak pergi dan mengganti pakaiannya. Sore ini, Alena ingin lebih dulu pergi ke pantai untuk mengejar matahari terbenam. Sebelum itu, ia memoles wajahnya dengan riasan tipis agar terlihat cantik dan segar. "Kamu mau ke mana?" tanya Justin heran. "Aku mau keluar sebentar," jawab Alena ketus, lalu menyambar tas dan kacamata hitamnya. Melihat suaminya tak bereaksi, kekesalan Alena memuncak. Ia bersumpah, malam ini tak akan tidur di kamar yang sama. Sementara itu, Justin tenggelam dalam dunianya sendiri: bermain game online. Tanpa terasa, siang telah berganti malam. Tawa Justin pecah beberapa kali saat ia memenangkan pertandingan game-nya. Meskipun ini kali pertama Alena bepergian sejauh ini, ia sangat mahir berbahasa Inggris, sehingga tak kesulitan berkomunikasi. Setelah puas menikmati indahnya senja, ia mengotak-atik ponselnya, berharap Justin menghubungi. Nihil. Tak ada satu pun pesan atau panggilan telepon. Hati Alena semakin merana. Orang-orang masih berlalu-lalang. Alena hanya berjalan menyusuri pesisir pantai, sesekali melempar batu-batu kecil dan menendang pasir, melampiaskan rasa kesal dan marahnya pada sang suami. Di tengah lamunannya, tak sengaja kaki seseorang terinjak olehnya. Jantung Alena berdebar kencang, gugup dan ketakutan. Perlahan, ia membalikkan badan sambil menutupi wajahnya dengan telapak tangan. "Apa kau baik-baik saja?" tanya suara di depannya, melambaikan tangan. Mendengar seseorang berbahasa Indonesia, Alena langsung menyingkirkan telapak tangannya. "Andre!" serunya lantang. "A-alena? Ternyata kamu," jawab Andre gelagapan. Mereka berdua mencari tempat duduk untuk sekadar bertukar cerita. Ya, Andre adalah salah satu pria yang sempat dijodohkan dengan Alena waktu itu. Namun, Alena menolaknya mentah-mentah, lalu pergi dan menikah dengan Justin, meskipun tanpa restu. "Bagaimana kabarmu? Apa kamu bahagia dengan pilihanmu, Alena?" lirih Andre, menatap Alena penuh kerinduan. Alena tak menyangka bisa bertemu Andre lagi, membuatnya semakin gugup. "Jangan takut, aku hanya ingin memastikan," sambungnya lagi, membuat Alena terdiam tak berkutik. Namun, sayangnya di saat pertemuan mereka, Justin tiba dengan dada kembang kempis dan wajah penuh amarah. "Oh, jadi ini alasanmu keluar, Alena?!" teriak Justin, membuat Alena ketakutan. Baru kali ini ia melihat suaminya semarah itu. Setelah itu, Justin pergi meninggalkan mereka berdua, diliputi amarah. Alena segera meninggalkan Andre dan berlari mengejar suaminya. Di tengah keramaian, ia kesulitan mencari Justin dan memutuskan kembali ke hotel, berharap suaminya ada di sana. Melihat pertengkaran kecil mereka, Andre merasa tidak enak hati, padahal pertemuan itu sungguh tak disengaja. Dengan napas terengah-engah, Alena terus mencari keberadaan suaminya. Jantungnya berdebar kencang, diselimuti rasa khawatir yang memuncak. Jam dinding di kamar menunjuk pukul 11 malam. Kegelapan hanya diterangi cahaya bulan, sementara keheningan malam mulai menyelimuti kota. Tak kuat menahan rasa kantuk, Alena tertidur di sofa yang sangat empuk. Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa, jam telah menunjukkan pukul 08.30 pagi. Matahari bersinar terang di langit, menandakan hari telah berganti. Tangan mungilnya meraba-raba kasur, seolah mencari sesuatu dengan gerakan lembut dan tak pasti. Kelopak matanya terbuka perlahan, meski terasa berat. Ia sesekali menguap, sementara pandangannya yang kabur mulai fokus mencari tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. "J-justin," teriaknya. Suara kecil itu penuh ketakutan dan kecemasan, matanya mencari sosok suaminya. Sebuah tepukan lembut terasa di hadapan Alena, menandakan kedatangan suaminya. Ia terlonjak kaget, panik, dan matanya melebar tak percaya saat melihat pria di depannya tersenyum lembut. Seluruh dunia seolah berhenti sejenak saat ia memandang mata suaminya. "Mas, an... euh Mas Justin, kamu sudah pulang?" ucapnya gelagapan, wajahnya gugup takut salah bicara. Kali ini, Justin bersikap dingin, tak sehangat sebelumnya. Mungkin kesalahpahaman yang belum terpecahkan membuat Alena merasa tidak nyaman. Pagi ini, Alena membuat sarapan untuk suaminya, berharap Justin menyukainya. Dengan beberapa bahan masakan yang sudah tersedia di kulkas, ia mulai memotong bawang, sayuran, dan mencuci daging. Diam-diam, Justin memperhatikan istrinya yang sibuk dari kejauhan. Meskipun ia masih marah dan cemburu melihat kedekatan Alena dan Andre, sosok Alena sangat sulit untuk dibenci. Wanita cantik dan mandiri sepertinya membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman. Di meja makan, Justin tersenyum kecil melihat wajah Alena yang dipenuhi tepung. Ia berjalan mendekat sambil menggandeng tangan Alena. "Apa yang kamu lakukan?" tanyanya dengan mata berkilauan menahan tawa. Alena tersenyum malu-malu sambil menundukkan kepala, merasa sedikit canggung dengan wajahnya yang belepotan tepung. Justin terus membersihkan tepung di wajahnya dengan lembut. Sentuhan tangan yang hangat membuat Alena merasa nyaman. "Kamu terlihat manis sekali dengan tepung di wajahmu," kata Justin sambil mendekatkan wajahnya. Suaranya lembut dan penuh kasih sayang. Wajah Alena merah merona, tersipu malu. Matanya menunduk, menghindari tatapan Justin yang hangat dan penuh makna. Justin tersenyum lembut melihat reaksi Alena, dan dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mendekatkan wajahnya ke Alena lagi. "Kenapa kamu membuat kekacauan seperti ini?" tanya Justin sambil terus membersihkan tepung di wajah Alena, suaranya penuh dengan kelembutan dan kehangatan. Alena hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, merasa sedikit lega karena Justin tidak marah. "Aku hanya ingin membuat kue untukmu," katanya dengan suara lembut. Sore ini, mereka akan berangkat ke Prancis, sesuai keinginan Alena untuk melihat Menara Eiffel secara langsung. Justin tersenyum sambil memegang tangan Alena. "Aku tidak sabar ingin melihat ekspresi wajahmu saat melihat Menara Eiffel pertama kalinya," katanya penuh antusias. Terdengar suara ponsel berdering berulang kali, membuat Justin merasa terganggu. Segera ia mematikan ponselnya dan merangkul Alena untuk menuju bandara. "Ayo, kita tidak ingin ketinggalan penerbangan, bukan?" Suasana di dalam mobil santai, Justin sesekali melirik Alena yang sedang menikmati pemandangan luar jendela.Cindy, mulai goyah meski mengumpat tapi dia menikmatinya. Permainan panas ini, tanpa pengaman sama sekali. Saat berada di titik puncak permainan, seseorang datang dengan suara tepukan yang mengoyak di telinga. Aktivitas di hentikan lalu menarik kain putih untuk menutupi tubuhnya.“Ini semua salah paham, aku mohon jangan sampai Justin tau.”kata Cindy pelan, air matanya mulai menetes. “Kesempatanmu telah berakhir, Cindy. Kau bermain api di belakang cucuku, sekarang aku sudah memiliki bukti, cucuku harus tau kebenaran.”kata Jonathan, matanya membulat. Cindy mengepalkan kedua tanganya, “Kakek, aku mohon berikan aku kesempatan, apa kau lupa aku telah menyimpan banyak bukti masa kelam Williams Grup.”Jonathan melangkah maju, menatap penuh kebencian dan rasa jijik. Menampar Cindy, meninggalkan jejak kemerahan di wajah mulusnya.“Keterlaluan, bagaimana pun aku telah melahirkan Neil Williams, aku sudah memberikan cucumu gelar seorang ayah, apa ini balasanmu pria tua, ha?”hardik Cindy, seakan mena
Jackob di seret paksa keluar, permainan ini di menangkan oleh Justin. Kemenangan Justin, membuat hatinya; antara bahagia atau sedih, disisi lain Justin mempertahankan kepercayaan Jonathan. Sementara itu, di atas kemenangannya menjadi jalan penderitaan untuk Alina. Sesuai kesepakatan yang di buat Cindy, Justin harus menjauh dari kehidupan Alina, mulai saat ini dan selamanya, apakah Justin sanggup. Dua hari berlalu, seakan pertemuan itu untuk yang terakhir kalinya, Alina menunggu Justin datang bersama pengacaranya untuk membantunya di ruang sidang. Sementara di hari pertama sidang membuat Alina terhuyung, lemas dan menitikan air mata. Berharap ada secercah harapan, di tengah badai yang menghantam. Untuk membuktikan jika Alina tidak bersalah, semua telah di manipulatif. Sayangnya itu semua hanya bayangan dan harapan, yang tak kunjung nyata. Mau bagaimana pun Alina harus berjuang sendiri, apalagi dengan keadaanya yang sedang hamil. Wanita malang sepertinya harus me
Tangan Alina bergetar ketakutan, tapi mencoba untuk menetralisir keraguan di dalam hatinya. Membawa tes kehamilam ke dalam toilet, peluh seakan membasahi setiap inci tubuh. Bolak balik tanpa arah, menatap alat kehamilan dengan penuh kecemasan. Justin menatap jam dipergelangan tanganya, ia juga ikut mondar-mandir, dengan deru napas yang membuncah. Alina keluar, dan tersenyum lalu matanya menyipit. Menyerahkan alat tes kehamilan, “Garis satu.” menatap tak percaya. “Apakah Alina hamil, dok?” tanya Justin penasaran, dokter Rendi menggelengkan kepala sementara Alina menggigit ujung bibirnya.“Akhirnya aku lolos,” batin Alina, merasa cukup lega. Dokter Rendi melangkah maju, lalu tersenyum lebar. “Sekarang kita USG, biar hasilnya lebih jelas.” timpalnya menatap Alina, lalu ke Justin. Alina membuang napasnya kasar, lalu melangkah maju dengan ragu. Sementara Cindy, menguping dari luar. Meski tak ada satu kata pun yang bisa ia dengar, namun tanganya mencengkram knop pintu kuat-kuat h
Andre mondar-mandir tak tentu arah, mencari keberadaan Alina. Ia hanya ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Andre terpaku menatapnya.“Saya ingin bertemu dengan saudari Alina,” kata Andre kepada salah seorang polisi. Polisi itu menatap wajah Andre saksama, tersenyum kecil, lalu mengusap pundaknya. “Mohon maaf, orang yang Anda cari tidak ada di sini,” katanya pelan, kemudian berlalu begitu saja.Ponsel Andre terus berdering, panggilan dari Ruby, wanita yang baru saja dipersuntingnya. Seharusnya Andre, sebagai pengantin baru, menikmati momen indah berdua. Namun ia malah disibukkan dengan masalah wanita lain. Sebuah pesan singkat ia kirimkan untuk menghilangkan kecemasan Ruby, agar rencana yang ia buat tetap tampak sempurna.Andre keluar untuk mencari udara segar, menatap lekat motornya. Hatinya terasa berat saat meninggalkan kantor kepolisian itu. Sementara itu, Alina tergeletak p
Alina terhuyung meringkuk di sebuah sel, hanya beralaskan tikar tipis. Hawa dingin menusuk tulang-tulangnya, air mata membasahi pelupuk dengan jeritan hati yang kian merana. Di mana Justin saat Alina dilanda masalah? Wajahnya pucat pasi, dengan rambut sedikit acak-acakan. Sementara Andre berdiri tegap menatap puing-puing kota dari balik kaca jendela, Bams telah mengurungnya di kamar. Tak ada yang bisa Andre lakukan saat ini, ponselnya disita. Seseorang datang menenteng sebuah tas, dengan gaya rambut dicepol menggandeng tangan pria. Dengan kabar yang beredar, Justin menemui Alina, menatap lekat wajah istrinya dengan penuh kecemasan. Ya, Justin menahan air matanya yang sudah terbendung lalu memeluk istrinya dengan penuh kerinduan. "Alina, apa yang terjadi, tolong katakan?!" mata Justin berkaca-kaca, tangan kekarnya melingkar. Alina melepaskan pelukan Justin, dan menatap wajah suaminya. "Aku tidak tahu Justin, aku..." ucapan Alina terhenti saat
Keadaan memanas. Ruby menghentakkan kakinya, melepas aksesoris kepala, lalu berjalan cepat dengan wajah dilingkupi amarah dan rasa malu. Hari yang seharusnya menjadi momen indah kini berubah menjadi kenangan buruk yang harus terkubur, takkan pernah diceritakan pada anak cucunya kelak. Impiannya seakan sirna dan hancur dalam sekejap. Momen yang telah ia nantikan jauh-jauh hari itu kini berakhir dengan kekecewaan mendalam. Bayangan hidup bahagia, dilamar secara romantis dan meriah di hadapan banyak orang, kini musnah. Sepatu high heels-nya dibanting sembarangan, air mata mengalir deras. Perasaan sedih, marah, dan malu bercampur aduk. "Alina, kau keterlaluan! Seharusnya aku melenyapkanmu!" teriak Ruby, melempar alat rias ke berbagai arah. Bams Hamilton, ayah Andre, sangat geram dengan sikap anaknya yang telah melewati batas. Ia mencoba menenangkan Ruby, namun tawarannya ditolak mentah-mentah. Hati Ruby terlalu dipenuhi kekecewaan yang membuncah. B







