Setiap hari, Cindy disibukkan dengan tumpukan pekerjaan yang menguras tenaga dan waktu tidurnya. Hari ini, ia harus menemui klien ditemani Ferdi di sebuah kafe ternama. Mereka tiba lebih awal untuk menunggu klien dari Jepang. Jika proyek ini gagal, jabatan Cindy terancam diturunkan. Pikiran itu membuatnya semakin tertekan. Dengan tubuh yang kurang istirahat, ia merasa kurang percaya diri dan sesekali menahan kantuk yang mendera.
“Sepertinya klien masih dalam perjalanan, lebih baik kita pesan makanan dulu,” celetuk Ferdi sambil menyodorkan buku menu dan melirik Cindy. Mata Cindy terasa sangat berat, berulang kali ia menguap. “Kalau masalah itu, terserah Tuan Ferdi saja,” jawabnya pelan, menutupi mulut dengan tangan untuk menyembunyikan rasa kantuk. Pesanan sudah diambil. Sambil menunggu klien, Cindy lebih banyak diam, tak seceria biasanya. Beberapa jam kemudian, Justin dan Alina akhirnya tiba dengan raut wajah ceria dan gembira. Tak henti-hentinya Alina memeluk suaminya yang telah mengabulkan keinginannya. Justin tersenyum lebar melihat tingkah laku istrinya yang menggemaskan. Tanpa sadar, ia mencubit pipi Alina sampai memerah. “Sakit tahu!” kata Alina sambil cemberut, lalu kembali tertawa. Justin tak bisa menahan diri, gemas, ia memangku Alina lalu berlari kecil sambil tertawa bersama. Suara langkah kaki yang senyap membuat Cindy terlelap pulas, hanya bersandar di meja. Sementara itu, Ferdi asyik bermain game, tak menyadari kedatangan orang baru. Pria bertubuh tinggi menarik kursi dan duduk, menatap kedua manusia di hadapannya dengan heran. “Ehem,” katanya, memecah keheningan. Berulang kali Ferdi menang, membuatnya semakin tenggelam dalam permainannya, tak menyadari kehadiran orang baru, Cindy pun demikian. Sikap mereka berdua seakan menghancurkan kepercayaan Justin. Dengan raut wajah merah padam, klien dari Jepang itu memukul meja dengan telapak tangan. Ferdi sontak kaget, ponselnya jatuh ke lantai. Cindy mengerjap, meracau ketakutan seakan ada kebakaran. Ferdi menundukkan kepala, tak berani menatap. Jantungnya berdebar kencang, diam tak berkutik sedikit pun. Kecobohannya bisa membuat mereka kehilangan klien besar. “Sepertinya perusahaan kalian akan di-blacklist,” katanya dengan tatapan tajam dan dada kembang kempis. “Tidak, Tuan! Jangan! Saya mohon, tolong maafkan kami berdua,” ucap Cindy memohon. Klien dari Jepang itu pergi begitu saja, meninggalkan Ferdi dan Cindy. Keduanya saling pandang. “Kejar!” ajak Cindy, menarik pergelangan tangan Ferdi, tetapi pria itu malah sibuk mengotak-atik ponselnya. “Hei, cepat! Apa kau tidak takut dengan Tuan Justin?” desak Cindy kesal. “Permisi, Tuan, Nona... Menu yang kalian pesan sudah datang,” kata pelayan sambil menaruh makanan. “Cindy, ini kan pekerjaanmu, lebih baik kau selesaikan urusanmu dengan klien dari Jepang! Aku lapar, cepat!” ucap Ferdi lantang. Merasa kesal dengan sikap Ferdi, Cindy pergi begitu saja. Hari ini, ia memutuskan untuk pulang ke rumah, setelah beberapa hari kurang istirahat. Di seberang kota, Justin dan Alina menikmati kencan romantis di sebuah taman pada malam hari. Kelap-kelip lampu menghiasi suasana, sementara taburan kembang api di langit menampilkan nama mereka berdua. Malam itu, mereka larut dalam euforia cinta, menikmati setiap momen penuh makna. Mereka berdansa, bersulang, lalu tertawa. Setelah itu, mereka berencana pergi ke Paris untuk menyaksikan keindahan Menara Eiffel. Justin telah mengatur semuanya dengan sempurna, termasuk seorang fotografer untuk mengabadikan setiap momen berharga mereka. “Terima kasih karena kau telah hadir di waktu yang tepat, Justin,” kata Alina pelan sambil memeluk suaminya dengan penuh kasih sayang. Alina teringat pertemuannya dengan Justin. Saat itu, ia bekerja sebagai kasir di sebuah kafe ternama. Justin, sebagai pengunjung, lupa membawa dompetnya dan terburu-buru. Ia meminta Alina membayarnya terlebih dahulu dan hanya meninggalkan kartu nama. Di sisi lain, Alina sedang mencari cara untuk membatalkan perjodohannya dengan Andre, pria yang sama sekali belum ia kenal. Pertemuannya dengan Andre hanya sekali, dan Alina merasa kurang yakin untuk menikah dengannya. Ia bahkan berpura-pura sudah memiliki calon suami, meskipun sebenarnya ia tidak memiliki kekasih. Namun, Andre bersikeras untuk melanjutkan perjodohan dan memberikan waktu pada Alina agar lebih mengenalnya. Sebulan kemudian, Alina masih kukuh dengan keputusannya untuk tidak melanjutkan perjodohan. Merasa tidak enak hati dengan sikap Alina, ibunya meminta Alina membawa calonnya ke rumah. Waktu yang diberikan hanya satu minggu. Tentu saja hal ini membuat Alina kebingungan; dalam dua minggu, ia harus mendapatkan calon suami yang siap menikah. Jika gagal, ia terpaksa harus menerima Andre. Disaat suasana hatinya tidak baik, Alina sering mengunjungi sebuah danau di dekat rumah. Wajahnya murung dengan tatapan kosong, tetapi tangannya memainkan kartu nama yang diberikan seseorang. Melodi, sahabatnya, datang dan membuatnya terkejut. Merasa sudah lelah memendam seorang diri, Alina menceritakan segala keluh kesah yang saat ini dialaminya. Melodi mendengarkan dengan baik dan penuh prihatin, lalu membisikkan sebuah ide yang menurutnya bagus untuk menghindari perjodohan ini. Mata Alina terbelalak, tak percaya apa yang sedang terjadi. Namun, dengan rasa penasaran dan sedikit keberanian, dia memutuskan untuk mengikuti rencana konyol yang diberikan Melodi. Meskipun sedikit ragu, Alina mengambil ponselnya dan menelepon seseorang. “Halo…” katanya, suaranya sedikit bergetar. Setelah pertemuan mereka di sebuah restoran, Alina merasa gugup namun masih penasaran. “Sebagai tanda terima kasih, hari ini aku akan traktir,” kata Justin dengan tersenyum, membuat Alina tersipu malu. Alina dan Justin sering menghabiskan waktu bersama di saat senggang. Hubungan mereka semakin dekat dan merasa nyaman satu sama lain, hingga akhirnya mereka berpacaran. Takdir telah mempertemukan mereka. Justin dan Alina akan mengadakan pernikahan di sebuah hotel. Keputusannya sudah bulat untuk menikah. Hal ini membuat Ayahnya kecewa, pertengkaran kecil terjadi, dan Alina memilih untuk pergi. Keluarga Justin menyambut Alina dengan hangat, tanpa mempermasalahkan latar belakangnya. Sejak menikah, Alina diminta berhenti bekerja dan fokus pada rumah tangganya. Sebagai ibu, ia hanya bisa memendam kerinduan terhadap putrinya, merasa gagal karena tidak bisa menjadi penengah saat pertengkaran antara ayah dan anak itu terjadi. “Maafkan Ibu, Alina, tidak bisa hadir di pernikahan kalian,” katanya pelan, air mata berurai di wajahnya. Hari-hari Alina kian membaik, ia berhasil mengatasi masalahnya, meskipun hubungan antara Alina dan Ayahnya masih kurang baik. Sebelum tidur, Alina selalu menulis di buku hariannya, mengutarakan rasa rindu pada ibu dan adik-adiknya. Keluarga Justin ingin segera memiliki cucu, untuk menjadi ahli waris dan melanjutkan bisnis keluarga. Masalah lama sepertinya telah selesai, kini Alina harus menghadapi tekanan baru dari keluarga Justin untuk segera memiliki anak. Tekanan ini membuat Alina merasa stres dan tidak yakin apakah dia sudah siap menjadi ibu.Kasus tabrak lari akhirnya menemukan titik terang. Pelaku telah diketahui, dan Cindy serta Liana bersiap menempuh jalur hukum jika tidak ada niat baik dari pihak bersangkutan.Siang itu, di kantor polisi, sebuah dokumen diserahkan. Dengan hati berdebar, Cindy membukanya perlahan. "Ini tidak mungkin!" serunya, matanya terbelalak tak percaya. Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk di ponsel Liana. Sebuah rekaman CCTV di tempat kejadian mulai diputar.Terpampang nyata di layar, mobil yang menabrak adalah milik Justin. Tubuh Cindy bergetar hebat. Ia bersumpah akan membalas semuanya. Namun, mampukah ia menyeret seorang CEO ke pengadilan, seseorang dengan posisi yang nyaris tak tergoyahkan? Cindy merenung, lalu meminta pendapat Liana. Sahabatnya berpikir keras, menyusun strategi agar rencana mereka matang. Sebuah ide muncul, dan wajah Cindy tampak bersemangat mengikuti langkah Liana.Sementara itu, Alinka dirawat di rumah sakit akibat benturan di kepala, sebuah cedera yang cukup mengkhawatirkan.
Satu minggu telah berlalu. Alina semakin kurus dan pucat, selera makannya berkurang drastis meski Alinka, ibu mertuanya, telah membujuknya dengan berbagai cara.Justin belum juga ditemukan, dan hal ini membuat kondisi Alina semakin menurun. Pencarian terus dilakukan meski belum terlihat hasilnya. Segala upaya telah dikerahkan, mulai dari penyebaran poster hingga pencarian di berbagai lokasi.Ferdi, seperti biasa, menangani perusahaan Justin, namun ia dihantui rasa takut dan khawatir. Anak buah yang ia kerahkan belum bisa memastikan titik lokasi keberadaan Justin.Hari-hari terasa sepi dan hampa. Alina masih mengurung diri di kamarnya. Alinka pamit untuk pergi ke kantor, sementara Alina hanyut dalam momen-momen indah saat pertama kali mereka bertemu hingga jenjang pernikahan. Tangisnya pecah, matanya sembab, hanya sebuah foto yang bisa ia peluk erat.Tisu berserakan di setiap sudut kamar, hampir dua kotak tisu habis untuk mengusap air matanya yang tak henti.Semenjak menikah, Alina bel
Klien dari Jepang telah menghubungi Justin, menceritakan segalanya tanpa terkecuali. Mendengar kabar buruk itu, Justin dan Alina memutuskan untuk segera kembali ke tanah air.Sementara itu, Cindy dilarikan ke rumah sakit akibat muntah-muntah hebat yang menyebabkan dehidrasi parah. Liana, sebagai sahabat, sangat cemas atas musibah yang menimpa temannya. Ia pun menyarankan agar menuntut pelaku tabrak lari tersebut. Cindy setuju. Pagi, siang, sore, dan malam ia habiskan untuk bekerja, hingga akhirnya terbaring di rumah sakit. Namun, mereka yang menabrak tidak menunjukkan sedikit pun tanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa ibu dan sahabatnya itu.Uang yang diberikan Elbarac masih cukup untuk menyewa detektif, agar kasus ini bisa diajukan ke pengadilan dengan bukti yang kuat. Beruntung, Liana mengenal seseorang yang ahli dalam menangani kasus serupa. Cindy tinggal menunggu beres, tanpa perlu pusing memikirkan bukti. Sebelumnya, Liana pernah meminta salah satu karyawan toko untuk mengec
Setiap hari, Cindy disibukkan dengan tumpukan pekerjaan yang menguras tenaga dan waktu tidurnya. Hari ini, ia harus menemui klien ditemani Ferdi di sebuah kafe ternama. Mereka tiba lebih awal untuk menunggu klien dari Jepang. Jika proyek ini gagal, jabatan Cindy terancam diturunkan. Pikiran itu membuatnya semakin tertekan. Dengan tubuh yang kurang istirahat, ia merasa kurang percaya diri dan sesekali menahan kantuk yang mendera.“Sepertinya klien masih dalam perjalanan, lebih baik kita pesan makanan dulu,” celetuk Ferdi sambil menyodorkan buku menu dan melirik Cindy.Mata Cindy terasa sangat berat, berulang kali ia menguap. “Kalau masalah itu, terserah Tuan Ferdi saja,” jawabnya pelan, menutupi mulut dengan tangan untuk menyembunyikan rasa kantuk.Pesanan sudah diambil. Sambil menunggu klien, Cindy lebih banyak diam, tak seceria biasanya. Beberapa jam kemudian, Justin dan Alina akhirnya tiba dengan raut wajah ceria dan gembira. Tak henti-hentinya Alina memeluk suaminya yang telah meng
Sebagai pengantin baru, Justin dan Alena memilih Eropa sebagai saksi bisu kebahagiaan mereka. Perjalanan keliling benua biru ini sengaja Justin rencanakan demi membahagiakan sang istri tercinta. Bagi Alena, ini adalah kali pertama ia bersentuhan langsung dengan salju yang lembut. Setiap momen indah mereka abadikan dalam potretan mesra, menjadi kenangan tak terlupakan.Urusan pekerjaan, Justin telah menyerahkannya sepenuhnya pada Ferdi, asisten sekaligus sahabat karibnya. Malam ini, mereka berdua berencana mengunjungi sebuah tempat rahasia untuk menikmati indahnya matahari terbenam. Alena sudah mempersiapkan segalanya, mulai dari busana yang menawan hingga perlengkapan lainnya. Hotel mewah dengan fasilitas lengkap ini sukses membuat Alena merasa nyaman dan betah.Kasur yang empuk mengundang Alena untuk merebahkan tubuhnya, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Sementara itu, Justin asyik menyesap secangkir kopi panas, ditemani alunan musik yang menenangkan. Kebahagiaan mereka te
"Alena, jangan pergi, Ibu mohon!" teriaknya dengan suara parau. Namun, gadis itu tidak menghiraukan perkataan ibunya; ia berlari tanpa menoleh sedikit pun. Keputusannya telah bulat: hari ini dia akan menikah dengan Justin, pria yang sangat dicintainya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, membawa gadis cantik itu untuk dipersunting dengan balutan gaun putih selutut dan rambut yang tergerai.Tatapannya kosong, dan entah kenapa, Alena tiba-tiba merasa khawatir tentang keselamatan ibunya. Namun, dia berusaha untuk menjauhkan pikiran buruk itu agar tidak membuatnya cemas lebih lama. Justin merasa tidak enak hati melihat keretakan hubungan Alena dan ibunya, tapi dia juga tidak mau kehilangan wanita yang dicintainya. Meskipun sedikit egois, dia percaya ini demi kebaikan hubungan mereka.Alena semakin cantik setelah dipoles dengan riasan tipis; Justin begitu terpesona melihat kecantikannya. Hari ini, mereka berdua akan melangsungkan pernikahan meskipun tanpa kehadiran kel