Klien dari Jepang telah menghubungi Justin, menceritakan segalanya tanpa terkecuali. Mendengar kabar buruk itu, Justin dan Alina memutuskan untuk segera kembali ke tanah air.
Sementara itu, Cindy dilarikan ke rumah sakit akibat muntah-muntah hebat yang menyebabkan dehidrasi parah. Liana, sebagai sahabat, sangat cemas atas musibah yang menimpa temannya. Ia pun menyarankan agar menuntut pelaku tabrak lari tersebut. Cindy setuju. Pagi, siang, sore, dan malam ia habiskan untuk bekerja, hingga akhirnya terbaring di rumah sakit. Namun, mereka yang menabrak tidak menunjukkan sedikit pun tanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa ibu dan sahabatnya itu. Uang yang diberikan Elbarac masih cukup untuk menyewa detektif, agar kasus ini bisa diajukan ke pengadilan dengan bukti yang kuat. Beruntung, Liana mengenal seseorang yang ahli dalam menangani kasus serupa. Cindy tinggal menunggu beres, tanpa perlu pusing memikirkan bukti. Sebelumnya, Liana pernah meminta salah satu karyawan toko untuk mengecek CCTV, namun ia malah diusir—padahal rekaman itu sangat dibutuhkan untuk mengusut kasus tabrak lari ini. Sebuah pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat di tanah air. Alina memutuskan untuk langsung pulang ke vila. Tubuhnya terasa penat dan butuh istirahat, sementara Justin langsung menuju rumah Ferdi untuk meminta pertanggungjawaban mengenai pekerjaan. Malam itu, Ferdi telah bersiap untuk pergi ke sebuah klub malam bersama teman-temannya. Ia sedang asyik bercerita, namun kedatangan Justin yang tiba-tiba membuatnya terdiam tak berkutik. Dengan tatapan tajam, Justin mendekatkan wajahnya pada Ferdi. "Aku perlu bicara empat mata!" bisiknya pelan namun penuh tekanan. Ferdi hanya tersenyum, lalu mengajak Justin ke suatu tempat. "Berhenti atau dipecat!" teriaknya sambil memukul setir mobil. Ferdi semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membuat Justin marah dan berteriak, namun Ferdi seakan tuli. Sebuah mobil terparkir mulus di depan gedung pencakar langit yang tinggi. Justin menatap tajam sahabatnya, lalu turun dari mobil dengan napas memburu. "Fer, lo gila ya, ha?" katanya sambil menunjuk-nunjuk wajah Ferdi. "Masalah kantor lupakan saja! Itu semua salah sekretaris. Sekarang kita pergi ke klub!" katanya lagi, sambil menarik pergelangan tangan Justin. "Woi, lepas!" teriak Justin. Saat mereka tiba, teman-teman Ferdi menyambut hangat. Justin diam tak berkutik, mulai merasa tidak nyaman. Diam-diam, ia mengirimkan sebuah pesan. Ferdi memecahkan sesuatu, lalu mengajak teman-temannya untuk taruhan. Sebelum pesta miras dimulai, mereka bermain taruhan dengan pertanyaan "Fitnah atau Jujur." Taruhan itu membuat mereka semua penasaran, siapa yang akan menjawab dengan jujur dan siapa yang akan memilih berbohong demi memenangkan taruhan. Seorang wanita membawa toples kaca berisi pertanyaan. Dengan langkah tenang, wanita itu mendekati kelompok tersebut, membawa toples kaca yang di dalamnya terdapat sejumlah kertas kecil terlipat rapi. "Ambillah satu kertas, dan jawab pertanyaan yang ada di dalamnya," katanya, sambil menempatkan toples itu di tengah-tengah mereka, menunggu siapa yang akan menjadi orang pertama. Ferdi sangat antusias menjadi orang pertama dalam taruhan ini, sementara Justin memilih pergi tanpa pamit. Sang CEO benar-benar kecewa pada pria yang telah ia anggap sahabatnya itu. Mengetahui Justin pergi, Ferdi segera meninggalkan permainannya, lalu kembali membujuk Justin agar tetap di klub. "Istrimu tidak akan tahu, ayolah! Kali ini kita akan bersenang-senang!" katanya, kembali menarik tangan sahabatnya. Merasa tidak enak hati, Justin kembali dan duduk bersama mereka, melihat taruhan berlangsung. Satu jam berlalu, Ferdi kalah dalam permainan karena ketahuan berbohong. Hukuman untuk Ferdi gampang-gampang susah, dan sebagai sahabat, Justin ikut terseret dalam masalah ini. Lima puluh botol anggur merah harus habis malam ini, jika tidak, hukumannya akan jauh lebih sulit. Dengan napas berat, Justin mengambil alih hukuman ini. Satu botol diteguk hingga tandas, lanjut ke botol kedua, dan seterusnya. Sampai botol kesepuluh, tubuhnya mulai tak seimbang dengan penglihatan yang samar. Keadaan mulai memanas, ditambah pesta miras sudah dimulai. Ferdi duduk di samping Justin, mulai meneguk anggur membasahi kerongkongannya, berharap hukuman ini segera berakhir. Anggur merah akhirnya habis diminum oleh Justin dan Ferdi, yang tersisa hanya botol-botol bekas yang berjejer rapi. Justin memutuskan untuk pulang, disusul oleh Ferdi. Langkahnya tertatih-tatih, tubuhnya sempoyongan, kadang tak sengaja menabrak beberapa orang yang sedang berpesta. Justin berhasil keluar, sementara Ferdi belum terlihat. Ia merasa cukup lega karena bisa keluar tanpa drama. Beberapa wanita mendekat lalu merayu Justin dengan sedikit nakal, membuat pria itu marah dan berteriak. "Pergilah! Jangan berani mengganggunya!" Mereka pergi begitu saja, meski di dalam hati sangat kesal karena kehilangan kesempatan merayu pria mabuk berat itu. "Siapa kamu?" tanya Justin yang menepis-nepis tangan wanita tersebut. "Aku hanya ingin membantu," jawabnya, yang masih ditolak keras. Meski begitu, wanita itu tetap bersikeras untuk membawanya pulang. Sementara di waktu yang tepat, Ferdi datang menghampiri. "Apa yang kau lakukan, Madam?" teriak Ferdi yang berlari mendekat. "Wah, sebuah kebetulan bertemu dengan Anda, Tuan. Apa kau masih ingat tentang satu bulan yang lalu?" katanya sinis. "Sisanya nanti ditransfer, sekarang lepaskan dia!" sambungnya, berusaha memecahkan masalah ini. "Tak semudah itu, pria ini akan dilelang nanti malam setelah pesta miras." Ferdi tidak bisa menahan kepergian Justin dengan tubuhnya yang sudah tidak stabil, apalagi dengan anak buah Madam Aurora yang cukup banyak. Ferdi hanya punya setengah jam untuk menyelamatkan Justin. Ia mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang, namun ternyata mati. Ferdi harus mencari cara agar bisa dengan cepat menghubungi seseorang. Dengan tatapan yang mulai kabur, ia masuk ke dalam mobil, mencari pengisi daya. Di saat genting seperti ini, barang yang dibutuhkan tidak ada. Kepalanya mulai pusing karena akar masalah dari awalnya adalah dirinya. Ia menancapkan gasnya penuh lalu pergi mencari bantuan. Dengan perlahan, ia mengemudi, meski pandangan mulai kabur, Ferdi berusaha sebisa mungkin. Waktunya tinggal sepuluh menit lagi, membuatnya cemas dan ketakutan. Alina masih berdiam diri di meja makan, memainkan sendok dan garpunya, berharap Justin segera pulang dan ikut makan malam bersama. Untuk mencicipi masakan menu baru yang ia buat. Waktu semakin larut, Alina semakin cemas dengan keadaan suaminya. Alina berjalan menuju ruang tamu, mengambil ponsel di atas nakas. Dengan mondar-mandir dan menggigit ujung jarinya, ia menggeser tombol di layar. Ponselnya berdering, Alina merasa cukup lega. Bola mata berwarna hazel fokus menatap layar ponsel, dan pada panggilan ketiga, akhirnya terhubung. Tubuhnya bergetar lemah seakan tak berdaya, aliran darah seperti berhenti, lalu matanya berkaca-kaca dengan dada tersengal. "Alina," teriaknya, membuat Alina semakin cemas dan penuh pertanyaan.Kasus tabrak lari akhirnya menemukan titik terang. Pelaku telah diketahui, dan Cindy serta Liana bersiap menempuh jalur hukum jika tidak ada niat baik dari pihak bersangkutan.Siang itu, di kantor polisi, sebuah dokumen diserahkan. Dengan hati berdebar, Cindy membukanya perlahan. "Ini tidak mungkin!" serunya, matanya terbelalak tak percaya. Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk di ponsel Liana. Sebuah rekaman CCTV di tempat kejadian mulai diputar.Terpampang nyata di layar, mobil yang menabrak adalah milik Justin. Tubuh Cindy bergetar hebat. Ia bersumpah akan membalas semuanya. Namun, mampukah ia menyeret seorang CEO ke pengadilan, seseorang dengan posisi yang nyaris tak tergoyahkan? Cindy merenung, lalu meminta pendapat Liana. Sahabatnya berpikir keras, menyusun strategi agar rencana mereka matang. Sebuah ide muncul, dan wajah Cindy tampak bersemangat mengikuti langkah Liana.Sementara itu, Alinka dirawat di rumah sakit akibat benturan di kepala, sebuah cedera yang cukup mengkhawatirkan.
Satu minggu telah berlalu. Alina semakin kurus dan pucat, selera makannya berkurang drastis meski Alinka, ibu mertuanya, telah membujuknya dengan berbagai cara.Justin belum juga ditemukan, dan hal ini membuat kondisi Alina semakin menurun. Pencarian terus dilakukan meski belum terlihat hasilnya. Segala upaya telah dikerahkan, mulai dari penyebaran poster hingga pencarian di berbagai lokasi.Ferdi, seperti biasa, menangani perusahaan Justin, namun ia dihantui rasa takut dan khawatir. Anak buah yang ia kerahkan belum bisa memastikan titik lokasi keberadaan Justin.Hari-hari terasa sepi dan hampa. Alina masih mengurung diri di kamarnya. Alinka pamit untuk pergi ke kantor, sementara Alina hanyut dalam momen-momen indah saat pertama kali mereka bertemu hingga jenjang pernikahan. Tangisnya pecah, matanya sembab, hanya sebuah foto yang bisa ia peluk erat.Tisu berserakan di setiap sudut kamar, hampir dua kotak tisu habis untuk mengusap air matanya yang tak henti.Semenjak menikah, Alina bel
Klien dari Jepang telah menghubungi Justin, menceritakan segalanya tanpa terkecuali. Mendengar kabar buruk itu, Justin dan Alina memutuskan untuk segera kembali ke tanah air.Sementara itu, Cindy dilarikan ke rumah sakit akibat muntah-muntah hebat yang menyebabkan dehidrasi parah. Liana, sebagai sahabat, sangat cemas atas musibah yang menimpa temannya. Ia pun menyarankan agar menuntut pelaku tabrak lari tersebut. Cindy setuju. Pagi, siang, sore, dan malam ia habiskan untuk bekerja, hingga akhirnya terbaring di rumah sakit. Namun, mereka yang menabrak tidak menunjukkan sedikit pun tanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa ibu dan sahabatnya itu.Uang yang diberikan Elbarac masih cukup untuk menyewa detektif, agar kasus ini bisa diajukan ke pengadilan dengan bukti yang kuat. Beruntung, Liana mengenal seseorang yang ahli dalam menangani kasus serupa. Cindy tinggal menunggu beres, tanpa perlu pusing memikirkan bukti. Sebelumnya, Liana pernah meminta salah satu karyawan toko untuk mengec
Setiap hari, Cindy disibukkan dengan tumpukan pekerjaan yang menguras tenaga dan waktu tidurnya. Hari ini, ia harus menemui klien ditemani Ferdi di sebuah kafe ternama. Mereka tiba lebih awal untuk menunggu klien dari Jepang. Jika proyek ini gagal, jabatan Cindy terancam diturunkan. Pikiran itu membuatnya semakin tertekan. Dengan tubuh yang kurang istirahat, ia merasa kurang percaya diri dan sesekali menahan kantuk yang mendera.“Sepertinya klien masih dalam perjalanan, lebih baik kita pesan makanan dulu,” celetuk Ferdi sambil menyodorkan buku menu dan melirik Cindy.Mata Cindy terasa sangat berat, berulang kali ia menguap. “Kalau masalah itu, terserah Tuan Ferdi saja,” jawabnya pelan, menutupi mulut dengan tangan untuk menyembunyikan rasa kantuk.Pesanan sudah diambil. Sambil menunggu klien, Cindy lebih banyak diam, tak seceria biasanya. Beberapa jam kemudian, Justin dan Alina akhirnya tiba dengan raut wajah ceria dan gembira. Tak henti-hentinya Alina memeluk suaminya yang telah meng
Sebagai pengantin baru, Justin dan Alena memilih Eropa sebagai saksi bisu kebahagiaan mereka. Perjalanan keliling benua biru ini sengaja Justin rencanakan demi membahagiakan sang istri tercinta. Bagi Alena, ini adalah kali pertama ia bersentuhan langsung dengan salju yang lembut. Setiap momen indah mereka abadikan dalam potretan mesra, menjadi kenangan tak terlupakan.Urusan pekerjaan, Justin telah menyerahkannya sepenuhnya pada Ferdi, asisten sekaligus sahabat karibnya. Malam ini, mereka berdua berencana mengunjungi sebuah tempat rahasia untuk menikmati indahnya matahari terbenam. Alena sudah mempersiapkan segalanya, mulai dari busana yang menawan hingga perlengkapan lainnya. Hotel mewah dengan fasilitas lengkap ini sukses membuat Alena merasa nyaman dan betah.Kasur yang empuk mengundang Alena untuk merebahkan tubuhnya, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Sementara itu, Justin asyik menyesap secangkir kopi panas, ditemani alunan musik yang menenangkan. Kebahagiaan mereka te
"Alena, jangan pergi, Ibu mohon!" teriaknya dengan suara parau. Namun, gadis itu tidak menghiraukan perkataan ibunya; ia berlari tanpa menoleh sedikit pun. Keputusannya telah bulat: hari ini dia akan menikah dengan Justin, pria yang sangat dicintainya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, membawa gadis cantik itu untuk dipersunting dengan balutan gaun putih selutut dan rambut yang tergerai.Tatapannya kosong, dan entah kenapa, Alena tiba-tiba merasa khawatir tentang keselamatan ibunya. Namun, dia berusaha untuk menjauhkan pikiran buruk itu agar tidak membuatnya cemas lebih lama. Justin merasa tidak enak hati melihat keretakan hubungan Alena dan ibunya, tapi dia juga tidak mau kehilangan wanita yang dicintainya. Meskipun sedikit egois, dia percaya ini demi kebaikan hubungan mereka.Alena semakin cantik setelah dipoles dengan riasan tipis; Justin begitu terpesona melihat kecantikannya. Hari ini, mereka berdua akan melangsungkan pernikahan meskipun tanpa kehadiran kel