Home / Romansa / MADU HITAM / BAB 4 : Lelang Sang CEO

Share

BAB 4 : Lelang Sang CEO

Author: Neli Hw
last update Last Updated: 2025-09-29 19:03:37

Klien dari Jepang telah menghubungi Justin, menceritakan segalanya tanpa terkecuali. Mendengar kabar buruk itu, Justin dan Alina memutuskan untuk segera kembali ke tanah air.

Sementara itu, Cindy dilarikan ke rumah sakit akibat muntah-muntah hebat yang menyebabkan dehidrasi parah. Liana, sebagai sahabat, sangat cemas atas musibah yang menimpa temannya. Ia pun menyarankan agar menuntut pelaku tabrak lari tersebut. Cindy setuju. Pagi, siang, sore, dan malam ia habiskan untuk bekerja, hingga akhirnya terbaring di rumah sakit. Namun, mereka yang menabrak tidak menunjukkan sedikit pun tanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa ibu dan sahabatnya itu.

Uang yang diberikan Elbarac masih cukup untuk menyewa detektif, agar kasus ini bisa diajukan ke pengadilan dengan bukti yang kuat. Beruntung, Liana mengenal seseorang yang ahli dalam menangani kasus serupa. Cindy tinggal menunggu beres, tanpa perlu pusing memikirkan bukti. Sebelumnya, Liana pernah meminta salah satu karyawan toko untuk mengecek CCTV, namun ia malah diusir—padahal rekaman itu sangat dibutuhkan untuk mengusut kasus tabrak lari ini.

Sebuah pesawat yang mereka tumpangi akhirnya mendarat di tanah air. Alina memutuskan untuk langsung pulang ke vila. Tubuhnya terasa penat dan butuh istirahat, sementara Justin langsung menuju rumah Ferdi untuk meminta pertanggungjawaban mengenai pekerjaan.

Malam itu, Ferdi telah bersiap untuk pergi ke sebuah klub malam bersama teman-temannya. Ia sedang asyik bercerita, namun kedatangan Justin yang tiba-tiba membuatnya terdiam tak berkutik.

Dengan tatapan tajam, Justin mendekatkan wajahnya pada Ferdi. "Aku perlu bicara empat mata!" bisiknya pelan namun penuh tekanan.

Ferdi hanya tersenyum, lalu mengajak Justin ke suatu tempat. "Berhenti atau dipecat!" teriaknya sambil memukul setir mobil. Ferdi semakin melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, membuat Justin marah dan berteriak, namun Ferdi seakan tuli.

Sebuah mobil terparkir mulus di depan gedung pencakar langit yang tinggi. Justin menatap tajam sahabatnya, lalu turun dari mobil dengan napas memburu. "Fer, lo gila ya, ha?" katanya sambil menunjuk-nunjuk wajah Ferdi. "Masalah kantor lupakan saja! Itu semua salah sekretaris. Sekarang kita pergi ke klub!" katanya lagi, sambil menarik pergelangan tangan Justin. "Woi, lepas!" teriak Justin.

Saat mereka tiba, teman-teman Ferdi menyambut hangat. Justin diam tak berkutik, mulai merasa tidak nyaman. Diam-diam, ia mengirimkan sebuah pesan. Ferdi memecahkan sesuatu, lalu mengajak teman-temannya untuk taruhan.

Sebelum pesta miras dimulai, mereka bermain taruhan dengan pertanyaan "Fitnah atau Jujur." Taruhan itu membuat mereka semua penasaran, siapa yang akan menjawab dengan jujur dan siapa yang akan memilih berbohong demi memenangkan taruhan.

Seorang wanita membawa toples kaca berisi pertanyaan. Dengan langkah tenang, wanita itu mendekati kelompok tersebut, membawa toples kaca yang di dalamnya terdapat sejumlah kertas kecil terlipat rapi. "Ambillah satu kertas, dan jawab pertanyaan yang ada di dalamnya," katanya, sambil menempatkan toples itu di tengah-tengah mereka, menunggu siapa yang akan menjadi orang pertama.

Ferdi sangat antusias menjadi orang pertama dalam taruhan ini, sementara Justin memilih pergi tanpa pamit. Sang CEO benar-benar kecewa pada pria yang telah ia anggap sahabatnya itu. Mengetahui Justin pergi, Ferdi segera meninggalkan permainannya, lalu kembali membujuk Justin agar tetap di klub. "Istrimu tidak akan tahu, ayolah! Kali ini kita akan bersenang-senang!" katanya, kembali menarik tangan sahabatnya.

Merasa tidak enak hati, Justin kembali dan duduk bersama mereka, melihat taruhan berlangsung. Satu jam berlalu, Ferdi kalah dalam permainan karena ketahuan berbohong. Hukuman untuk Ferdi gampang-gampang susah, dan sebagai sahabat, Justin ikut terseret dalam masalah ini.

Lima puluh botol anggur merah harus habis malam ini, jika tidak, hukumannya akan jauh lebih sulit. Dengan napas berat, Justin mengambil alih hukuman ini. Satu botol diteguk hingga tandas, lanjut ke botol kedua, dan seterusnya. Sampai botol kesepuluh, tubuhnya mulai tak seimbang dengan penglihatan yang samar.

Keadaan mulai memanas, ditambah pesta miras sudah dimulai. Ferdi duduk di samping Justin, mulai meneguk anggur membasahi kerongkongannya, berharap hukuman ini segera berakhir.

Anggur merah akhirnya habis diminum oleh Justin dan Ferdi, yang tersisa hanya botol-botol bekas yang berjejer rapi. Justin memutuskan untuk pulang, disusul oleh Ferdi. Langkahnya tertatih-tatih, tubuhnya sempoyongan, kadang tak sengaja menabrak beberapa orang yang sedang berpesta.

Justin berhasil keluar, sementara Ferdi belum terlihat. Ia merasa cukup lega karena bisa keluar tanpa drama. Beberapa wanita mendekat lalu merayu Justin dengan sedikit nakal, membuat pria itu marah dan berteriak.

"Pergilah! Jangan berani mengganggunya!" Mereka pergi begitu saja, meski di dalam hati sangat kesal karena kehilangan kesempatan merayu pria mabuk berat itu. "Siapa kamu?" tanya Justin yang menepis-nepis tangan wanita tersebut. "Aku hanya ingin membantu," jawabnya, yang masih ditolak keras.

Meski begitu, wanita itu tetap bersikeras untuk membawanya pulang. Sementara di waktu yang tepat, Ferdi datang menghampiri. "Apa yang kau lakukan, Madam?" teriak Ferdi yang berlari mendekat.

"Wah, sebuah kebetulan bertemu dengan Anda, Tuan. Apa kau masih ingat tentang satu bulan yang lalu?" katanya sinis. "Sisanya nanti ditransfer, sekarang lepaskan dia!" sambungnya, berusaha memecahkan masalah ini. "Tak semudah itu, pria ini akan dilelang nanti malam setelah pesta miras." Ferdi tidak bisa menahan kepergian Justin dengan tubuhnya yang sudah tidak stabil, apalagi dengan anak buah Madam Aurora yang cukup banyak.

Ferdi hanya punya setengah jam untuk menyelamatkan Justin. Ia mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang, namun ternyata mati. Ferdi harus mencari cara agar bisa dengan cepat menghubungi seseorang. Dengan tatapan yang mulai kabur, ia masuk ke dalam mobil, mencari pengisi daya.

Di saat genting seperti ini, barang yang dibutuhkan tidak ada. Kepalanya mulai pusing karena akar masalah dari awalnya adalah dirinya. Ia menancapkan gasnya penuh lalu pergi mencari bantuan. Dengan perlahan, ia mengemudi, meski pandangan mulai kabur, Ferdi berusaha sebisa mungkin. Waktunya tinggal sepuluh menit lagi, membuatnya cemas dan ketakutan.

Alina masih berdiam diri di meja makan, memainkan sendok dan garpunya, berharap Justin segera pulang dan ikut makan malam bersama. Untuk mencicipi masakan menu baru yang ia buat. Waktu semakin larut, Alina semakin cemas dengan keadaan suaminya. Alina berjalan menuju ruang tamu, mengambil ponsel di atas nakas. Dengan mondar-mandir dan menggigit ujung jarinya, ia menggeser tombol di layar. Ponselnya berdering, Alina merasa cukup lega. Bola mata berwarna hazel fokus menatap layar ponsel, dan pada panggilan ketiga, akhirnya terhubung.

Tubuhnya bergetar lemah seakan tak berdaya, aliran darah seperti berhenti, lalu matanya berkaca-kaca dengan dada tersengal. "Alina," teriaknya, membuat Alina semakin cemas dan penuh pertanyaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MADU HITAM   BAB 37 : Bangkai yang Tercium

    Cindy, mulai goyah meski mengumpat tapi dia menikmatinya. Permainan panas ini, tanpa pengaman sama sekali. Saat berada di titik puncak permainan, seseorang datang dengan suara tepukan yang mengoyak di telinga. Aktivitas di hentikan lalu menarik kain putih untuk menutupi tubuhnya.“Ini semua salah paham, aku mohon jangan sampai Justin tau.”kata Cindy pelan, air matanya mulai menetes. “Kesempatanmu telah berakhir, Cindy. Kau bermain api di belakang cucuku, sekarang aku sudah memiliki bukti, cucuku harus tau kebenaran.”kata Jonathan, matanya membulat. Cindy mengepalkan kedua tanganya, “Kakek, aku mohon berikan aku kesempatan, apa kau lupa aku telah menyimpan banyak bukti masa kelam Williams Grup.”Jonathan melangkah maju, menatap penuh kebencian dan rasa jijik. Menampar Cindy, meninggalkan jejak kemerahan di wajah mulusnya.“Keterlaluan, bagaimana pun aku telah melahirkan Neil Williams, aku sudah memberikan cucumu gelar seorang ayah, apa ini balasanmu pria tua, ha?”hardik Cindy, seakan mena

  • MADU HITAM   BAB 36 : Kelahiran dan Masalalu

    Jackob di seret paksa keluar, permainan ini di menangkan oleh Justin. Kemenangan Justin, membuat hatinya; antara bahagia atau sedih, disisi lain Justin mempertahankan kepercayaan Jonathan. Sementara itu, di atas kemenangannya menjadi jalan penderitaan untuk Alina. Sesuai kesepakatan yang di buat Cindy, Justin harus menjauh dari kehidupan Alina, mulai saat ini dan selamanya, apakah Justin sanggup. Dua hari berlalu, seakan pertemuan itu untuk yang terakhir kalinya, Alina menunggu Justin datang bersama pengacaranya untuk membantunya di ruang sidang. Sementara di hari pertama sidang membuat Alina terhuyung, lemas dan menitikan air mata. Berharap ada secercah harapan, di tengah badai yang menghantam. Untuk membuktikan jika Alina tidak bersalah, semua telah di manipulatif. Sayangnya itu semua hanya bayangan dan harapan, yang tak kunjung nyata. Mau bagaimana pun Alina harus berjuang sendiri, apalagi dengan keadaanya yang sedang hamil. Wanita malang sepertinya harus me

  • MADU HITAM   BAB 35 : Tipu Muslihat

    Tangan Alina bergetar ketakutan, tapi mencoba untuk menetralisir keraguan di dalam hatinya. Membawa tes kehamilam ke dalam toilet, peluh seakan membasahi setiap inci tubuh. Bolak balik tanpa arah, menatap alat kehamilan dengan penuh kecemasan. Justin menatap jam dipergelangan tanganya, ia juga ikut mondar-mandir, dengan deru napas yang membuncah. Alina keluar, dan tersenyum lalu matanya menyipit. Menyerahkan alat tes kehamilan, “Garis satu.” menatap tak percaya. “Apakah Alina hamil, dok?” tanya Justin penasaran, dokter Rendi menggelengkan kepala sementara Alina menggigit ujung bibirnya.“Akhirnya aku lolos,” batin Alina, merasa cukup lega. Dokter Rendi melangkah maju, lalu tersenyum lebar. “Sekarang kita USG, biar hasilnya lebih jelas.” timpalnya menatap Alina, lalu ke Justin. Alina membuang napasnya kasar, lalu melangkah maju dengan ragu. Sementara Cindy, menguping dari luar. Meski tak ada satu kata pun yang bisa ia dengar, namun tanganya mencengkram knop pintu kuat-kuat h

  • MADU HITAM   BAB 34 : Luka yang Tersimpan Rapat

    Andre mondar-mandir tak tentu arah, mencari keberadaan Alina. Ia hanya ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Andre terpaku menatapnya.“Saya ingin bertemu dengan saudari Alina,” kata Andre kepada salah seorang polisi. Polisi itu menatap wajah Andre saksama, tersenyum kecil, lalu mengusap pundaknya. “Mohon maaf, orang yang Anda cari tidak ada di sini,” katanya pelan, kemudian berlalu begitu saja.Ponsel Andre terus berdering, panggilan dari Ruby, wanita yang baru saja dipersuntingnya. Seharusnya Andre, sebagai pengantin baru, menikmati momen indah berdua. Namun ia malah disibukkan dengan masalah wanita lain. Sebuah pesan singkat ia kirimkan untuk menghilangkan kecemasan Ruby, agar rencana yang ia buat tetap tampak sempurna.Andre keluar untuk mencari udara segar, menatap lekat motornya. Hatinya terasa berat saat meninggalkan kantor kepolisian itu. Sementara itu, Alina tergeletak p

  • MADU HITAM   BAB 33 : Terjebak dalam Konspirasi

    Alina terhuyung meringkuk di sebuah sel, hanya beralaskan tikar tipis. Hawa dingin menusuk tulang-tulangnya, air mata membasahi pelupuk dengan jeritan hati yang kian merana. Di mana Justin saat Alina dilanda masalah? Wajahnya pucat pasi, dengan rambut sedikit acak-acakan. Sementara Andre berdiri tegap menatap puing-puing kota dari balik kaca jendela, Bams telah mengurungnya di kamar. Tak ada yang bisa Andre lakukan saat ini, ponselnya disita. Seseorang datang menenteng sebuah tas, dengan gaya rambut dicepol menggandeng tangan pria. Dengan kabar yang beredar, Justin menemui Alina, menatap lekat wajah istrinya dengan penuh kecemasan. Ya, Justin menahan air matanya yang sudah terbendung lalu memeluk istrinya dengan penuh kerinduan. "Alina, apa yang terjadi, tolong katakan?!" mata Justin berkaca-kaca, tangan kekarnya melingkar. Alina melepaskan pelukan Justin, dan menatap wajah suaminya. "Aku tidak tahu Justin, aku..." ucapan Alina terhenti saat

  • MADU HITAM   BAB 32 : Cincin yang Hancur

    Keadaan memanas. Ruby menghentakkan kakinya, melepas aksesoris kepala, lalu berjalan cepat dengan wajah dilingkupi amarah dan rasa malu. Hari yang seharusnya menjadi momen indah kini berubah menjadi kenangan buruk yang harus terkubur, takkan pernah diceritakan pada anak cucunya kelak. Impiannya seakan sirna dan hancur dalam sekejap. Momen yang telah ia nantikan jauh-jauh hari itu kini berakhir dengan kekecewaan mendalam. Bayangan hidup bahagia, dilamar secara romantis dan meriah di hadapan banyak orang, kini musnah. Sepatu high heels-nya dibanting sembarangan, air mata mengalir deras. Perasaan sedih, marah, dan malu bercampur aduk. "Alina, kau keterlaluan! Seharusnya aku melenyapkanmu!" teriak Ruby, melempar alat rias ke berbagai arah. Bams Hamilton, ayah Andre, sangat geram dengan sikap anaknya yang telah melewati batas. Ia mencoba menenangkan Ruby, namun tawarannya ditolak mentah-mentah. Hati Ruby terlalu dipenuhi kekecewaan yang membuncah. B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status