Satu minggu telah berlalu. Alina semakin kurus dan pucat, selera makannya berkurang drastis meski Alinka, ibu mertuanya, telah membujuknya dengan berbagai cara.
Justin belum juga ditemukan, dan hal ini membuat kondisi Alina semakin menurun. Pencarian terus dilakukan meski belum terlihat hasilnya. Segala upaya telah dikerahkan, mulai dari penyebaran poster hingga pencarian di berbagai lokasi. Ferdi, seperti biasa, menangani perusahaan Justin, namun ia dihantui rasa takut dan khawatir. Anak buah yang ia kerahkan belum bisa memastikan titik lokasi keberadaan Justin. Hari-hari terasa sepi dan hampa. Alina masih mengurung diri di kamarnya. Alinka pamit untuk pergi ke kantor, sementara Alina hanyut dalam momen-momen indah saat pertama kali mereka bertemu hingga jenjang pernikahan. Tangisnya pecah, matanya sembab, hanya sebuah foto yang bisa ia peluk erat. Tisu berserakan di setiap sudut kamar, hampir dua kotak tisu habis untuk mengusap air matanya yang tak henti. Semenjak menikah, Alina belum bertemu kembali dengan Melodi, sahabatnya. Gadis itu selalu menghiburnya saat suasana hati Alina kurang baik. Momen-momen saat mereka bersama terlintas di benaknya, membuatnya semakin sedih. Mereka berdua hanya terpisah oleh jarak dan waktu, sangat berbeda dengan Justin yang menghilang tanpa jejak, tanpa tahu di mana keberadaannya sekarang. Tiga hari kemudian, Alina mendapatkan kabar baik dari Ferdi: Justin telah ditemukan. Alinka hanya meminta agar Alina tetap diam di rumah. "Alina ingin ikut mencari Justin, kenapa Mama melarang?" lirihnya pelan dengan tatapan mulai kosong. "Dengarkan Mama, Alina! Kondisimu sedang lemah! Jadi, istirahat saja di rumah!" kata Alinka, mengusap puncak kepala menantunya. Kali ini Alina menurut dan hanya ditemani oleh Bi Sumi. Segala keperluannya akan dilayani, mulai dari memasak atau apa pun itu. Sebelumnya, di vila, Alina hanya tinggal bersama Justin tanpa asisten rumah tangga. Ini memang keinginannya untuk mengatasi semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun, semenjak Alina murung, Alinka meminta agar Bi Sumi menemaninya sampai benar-benar pulih. Bi Sumi membawakan sup, bubur ayam, ditambah susu, dalam satu nampan penuh. "Non, ayo kita makan, biar Bibi suapi," ajak Bi Sumi, menyodorkan sendok berisi bubur. Alina merasa terharu, air matanya kembali menetes, membuat Bi Sumi menaruh mangkuk dan meminta maaf. "Non, maafkan Bibi sudah lancang," katanya, menundukkan kepala. "Bibi tidak salah, aku hanya terharu saja," ungkap Alina, lalu mengusap air matanya. Bi Sumi merasa cukup lega, lalu ia kembali mengajak Alina mengobrol, yang membuat wanita itu tertawa. Suhu tubuh Alina sudah mulai turun, dan kini ia terlelap tidur. Dengan telaten, Bi Sumi merawat Alina yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri. Menurut petunjuk, Justin disekap di sebuah gudang dekat sungai di belantara. Alinka semakin cemas dan terpukul, berharap putranya segera ditemukan. Ferdi telah memimpin anak buahnya untuk menyusun strategi penangkapan musuh. Beberapa polisi telah menyelinap memasuki area yang sedang diselidiki. Kasus penculikan ini menjadi topik hangat bagi para pengguna media sosial dan siaran televisi. Kehilangan Justin secara tiba-tiba membuat mereka semakin antusias untuk mengomentari berbagai hal. "Akhirnya kau datang juga, Ferdi!" kata seseorang bersorak lalu terkekeh. "Di mana Justin? Cepat katakan!" teriak Ferdi sambil menarik kerah Jackob. "Aku akan menyerahkan Justin jika kau bekerja sama denganku, untuk menghancurkan Williams Group." Merasa dipermainkan, Ferdi langsung menyerang tanpa henti hingga wajah Jackob babak belur. Merasa menang, Ferdi berdiri dan menarik kerah bajunya. Namun, pertarungan belum usai. Ferdi diserang dari belakang oleh Jackob dan anak buahnya. Sebuah isyarat ia gunakan untuk memerintahkan anak buahnya. Tubuh Ferdi digusur tanpa belas kasihan, lalu diseret ke sebuah gudang. Cahaya mentari pagi masuk lewat celah jendela, membuat mata Justin silau. Tubuhnya sudah lemah dan tak berdaya, tenggorokannya kering. Matanya terpejam dengan rasa pusing di kepala, berusaha mengingat kejadian yang sebelumnya terjadi. Beberapa bayangan terlintas di benak, namun semakin ia mengingatnya, kepalanya semakin terasa pusing. Justin berteriak sekeras mungkin untuk menghilangkan amarahnya. Di luar, Alinka berteriak sekeras mungkin, "Justin, kau di mana?" Dengan napas tersengal, ia berhenti sejenak di bawah pepohonan rindang. Tangannya mengambil sehelai daun untuk dijadikan kipas. Cuaca hari ini sangat cerah dan panas. Sementara polisi dan anak buahnya berpencar, Alinka hanya seorang diri. Ia berjanji akan menemukan putranya demi Alina, menantunya. Hutan rimba yang cukup luas membuat mereka kesulitan menemukan markas musuh. Biasanya, Justin yang lihai dalam permainan seperti ini. "Aku harus tetap semangat untuk mencari putraku," gumamnya, mengubah posisi duduk menjadi berdiri lalu menepuk-nepuk dedaunan yang menempel pada pakaiannya. Sebuah benturan keras membuat Alinka jatuh tergeletak di hutan. Darah segar mengalir di wajahnya. Pria berpakaian hitam membawanya pergi, lalu menghilangkan semua jejak. Setelah dirawat oleh Bi Sumi, tubuh Alina mulai membaik. "Bi, aku pergi ke luar dulu untuk mencari angin," ujarnya tersenyum. Melihat keadaan Alina sudah membaik, Bi Sumi merasa cukup lega. Di tempat lain, tubuh Alinka diseret paksa masuk ke dalam gudang. Justin yang melihatnya tampak kesal. Tubuhnya memberontak, ingin memberikan perlawanan, tapi tangan dan kakinya terikat, serta mulutnya disumpal kain. "Jika kalian ingin selamat, tandatangani sekarang!" bisiknya sambil mencengkeram rahang Justin dengan tatapan tajam. Tumpukan kayu bakar yang berjejer dilempari bahan bakar, lalu sebuah korek api dilempar. Api merah menyala melalap kayu bakar, sementara mereka terbahak-bahak merayakan kemenangan. Tangan lentik Alinka meraba keningnya yang terasa sakit dan bercucuran darah segar. Kepalanya sangat pusing. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar, menatap sekeliling. Air matanya jatuh membasahi pelupuk mata. "Justin," kata Alinka, berjalan tertatih-tatih memeluk anaknya. Justin menatapnya dengan samar dan kosong, air mata sudah tak terbendung lagi. Alinka mengusap wajah anaknya dengan penuh kerinduan. Terdengar suara pintu terbuka, Jackob datang membawa selembar kertas untuk Justin tandatangani. "Apa penderitaan kalian belum cukup, ha?" teriaknya, lalu menendang pintu sampai kedua manusia itu ketakutan melihat kemarahan Jackob yang meluap. "Apa yang kalian inginkan dari putraku?" kata Alinka dengan nada tegas. "Kembalikan Williams Group!" jawab Jackob dengan nada tinggi. "Itu semua milikku! Sampai matipun aku tidak akan melakukannya!" balas Alinka, menunjuk-nunjuk wajah Jackob. Matanya melotot, lalu Jackob mendekatkan wajahnya pada Justin. Suara deretan giginya begitu jelas. "Pengawal, bawa mereka," perintahnya tegas. Ketiga manusia itu dibawa ke tepi jurang, yang di bawahnya terdapat sungai. Dalam waktu satu jam, mereka akan dilemparkan. Justin tampak pasrah, mulutnya masih disumpal. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha melepaskan kain hitam dari mulutnya. "Tempat ini sangat jauh dari keramaian, lebih baik kalian bertiga mati saja!" kata Jackob, lalu terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Justin. Ferdi tidak memberontak sama sekali. Akibat kecerobohannya, nyawa mereka dalam bahaya. Mereka bertiga berjejer, siap dilemparkan ke dalam jurang dalam hitungan ketiga. "Satu," ucap Jackob, terhenti saat mendengar langkah kaki. "Angkat tangan!" Sejumlah polisi datang dan memborgol Jackob beserta anak buahnya. Alina langsung memeluk suaminya dengan rasa rindu dan khawatir yang meluap, air matanya menetes. Alina melepaskan semua ikatan pada tubuh Justin, sementara anak buah polisi membantu Alinka dan Ferdi untuk meninggalkan tempat itu. Justin memeluk istrinya dengan kerinduan yang menggebu. Alina membantu Justin untuk berjalan. Rasanya cukup lega, Alina akhirnya telah menemukan suaminya, meski banyak luka dan memar pada tubuh Justin. Bau alkohol terasa menyengat di hidungnya, tapi ia membuang jauh-jauh pikiran buruknya. Dalam perjalanan, Alina tak henti-hentinya bercerita mengenai kondisinya saat ditinggal Justin. Ia begitu manja, menggenggam erat tangan suaminya, berjanji mereka akan selalu bersama. Jarak antara mereka dan ibu mertuanya cukup jauh, mereka hanya dikawal oleh Davis. Di tengah keheningan, terdengar suara tembakan peluru yang mengarah tepat pada sasaran. Sebuah tangan menyentuh luka yang telah berlumur darah segar.Kasus tabrak lari akhirnya menemukan titik terang. Pelaku telah diketahui, dan Cindy serta Liana bersiap menempuh jalur hukum jika tidak ada niat baik dari pihak bersangkutan.Siang itu, di kantor polisi, sebuah dokumen diserahkan. Dengan hati berdebar, Cindy membukanya perlahan. "Ini tidak mungkin!" serunya, matanya terbelalak tak percaya. Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk di ponsel Liana. Sebuah rekaman CCTV di tempat kejadian mulai diputar.Terpampang nyata di layar, mobil yang menabrak adalah milik Justin. Tubuh Cindy bergetar hebat. Ia bersumpah akan membalas semuanya. Namun, mampukah ia menyeret seorang CEO ke pengadilan, seseorang dengan posisi yang nyaris tak tergoyahkan? Cindy merenung, lalu meminta pendapat Liana. Sahabatnya berpikir keras, menyusun strategi agar rencana mereka matang. Sebuah ide muncul, dan wajah Cindy tampak bersemangat mengikuti langkah Liana.Sementara itu, Alinka dirawat di rumah sakit akibat benturan di kepala, sebuah cedera yang cukup mengkhawatirkan.
Satu minggu telah berlalu. Alina semakin kurus dan pucat, selera makannya berkurang drastis meski Alinka, ibu mertuanya, telah membujuknya dengan berbagai cara.Justin belum juga ditemukan, dan hal ini membuat kondisi Alina semakin menurun. Pencarian terus dilakukan meski belum terlihat hasilnya. Segala upaya telah dikerahkan, mulai dari penyebaran poster hingga pencarian di berbagai lokasi.Ferdi, seperti biasa, menangani perusahaan Justin, namun ia dihantui rasa takut dan khawatir. Anak buah yang ia kerahkan belum bisa memastikan titik lokasi keberadaan Justin.Hari-hari terasa sepi dan hampa. Alina masih mengurung diri di kamarnya. Alinka pamit untuk pergi ke kantor, sementara Alina hanyut dalam momen-momen indah saat pertama kali mereka bertemu hingga jenjang pernikahan. Tangisnya pecah, matanya sembab, hanya sebuah foto yang bisa ia peluk erat.Tisu berserakan di setiap sudut kamar, hampir dua kotak tisu habis untuk mengusap air matanya yang tak henti.Semenjak menikah, Alina bel
Klien dari Jepang telah menghubungi Justin, menceritakan segalanya tanpa terkecuali. Mendengar kabar buruk itu, Justin dan Alina memutuskan untuk segera kembali ke tanah air.Sementara itu, Cindy dilarikan ke rumah sakit akibat muntah-muntah hebat yang menyebabkan dehidrasi parah. Liana, sebagai sahabat, sangat cemas atas musibah yang menimpa temannya. Ia pun menyarankan agar menuntut pelaku tabrak lari tersebut. Cindy setuju. Pagi, siang, sore, dan malam ia habiskan untuk bekerja, hingga akhirnya terbaring di rumah sakit. Namun, mereka yang menabrak tidak menunjukkan sedikit pun tanggung jawab atas kecelakaan yang menimpa ibu dan sahabatnya itu.Uang yang diberikan Elbarac masih cukup untuk menyewa detektif, agar kasus ini bisa diajukan ke pengadilan dengan bukti yang kuat. Beruntung, Liana mengenal seseorang yang ahli dalam menangani kasus serupa. Cindy tinggal menunggu beres, tanpa perlu pusing memikirkan bukti. Sebelumnya, Liana pernah meminta salah satu karyawan toko untuk mengec
Setiap hari, Cindy disibukkan dengan tumpukan pekerjaan yang menguras tenaga dan waktu tidurnya. Hari ini, ia harus menemui klien ditemani Ferdi di sebuah kafe ternama. Mereka tiba lebih awal untuk menunggu klien dari Jepang. Jika proyek ini gagal, jabatan Cindy terancam diturunkan. Pikiran itu membuatnya semakin tertekan. Dengan tubuh yang kurang istirahat, ia merasa kurang percaya diri dan sesekali menahan kantuk yang mendera.“Sepertinya klien masih dalam perjalanan, lebih baik kita pesan makanan dulu,” celetuk Ferdi sambil menyodorkan buku menu dan melirik Cindy.Mata Cindy terasa sangat berat, berulang kali ia menguap. “Kalau masalah itu, terserah Tuan Ferdi saja,” jawabnya pelan, menutupi mulut dengan tangan untuk menyembunyikan rasa kantuk.Pesanan sudah diambil. Sambil menunggu klien, Cindy lebih banyak diam, tak seceria biasanya. Beberapa jam kemudian, Justin dan Alina akhirnya tiba dengan raut wajah ceria dan gembira. Tak henti-hentinya Alina memeluk suaminya yang telah meng
Sebagai pengantin baru, Justin dan Alena memilih Eropa sebagai saksi bisu kebahagiaan mereka. Perjalanan keliling benua biru ini sengaja Justin rencanakan demi membahagiakan sang istri tercinta. Bagi Alena, ini adalah kali pertama ia bersentuhan langsung dengan salju yang lembut. Setiap momen indah mereka abadikan dalam potretan mesra, menjadi kenangan tak terlupakan.Urusan pekerjaan, Justin telah menyerahkannya sepenuhnya pada Ferdi, asisten sekaligus sahabat karibnya. Malam ini, mereka berdua berencana mengunjungi sebuah tempat rahasia untuk menikmati indahnya matahari terbenam. Alena sudah mempersiapkan segalanya, mulai dari busana yang menawan hingga perlengkapan lainnya. Hotel mewah dengan fasilitas lengkap ini sukses membuat Alena merasa nyaman dan betah.Kasur yang empuk mengundang Alena untuk merebahkan tubuhnya, melepas penat setelah seharian beraktivitas. Sementara itu, Justin asyik menyesap secangkir kopi panas, ditemani alunan musik yang menenangkan. Kebahagiaan mereka te
"Alena, jangan pergi, Ibu mohon!" teriaknya dengan suara parau. Namun, gadis itu tidak menghiraukan perkataan ibunya; ia berlari tanpa menoleh sedikit pun. Keputusannya telah bulat: hari ini dia akan menikah dengan Justin, pria yang sangat dicintainya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan di atas rata-rata, membawa gadis cantik itu untuk dipersunting dengan balutan gaun putih selutut dan rambut yang tergerai.Tatapannya kosong, dan entah kenapa, Alena tiba-tiba merasa khawatir tentang keselamatan ibunya. Namun, dia berusaha untuk menjauhkan pikiran buruk itu agar tidak membuatnya cemas lebih lama. Justin merasa tidak enak hati melihat keretakan hubungan Alena dan ibunya, tapi dia juga tidak mau kehilangan wanita yang dicintainya. Meskipun sedikit egois, dia percaya ini demi kebaikan hubungan mereka.Alena semakin cantik setelah dipoles dengan riasan tipis; Justin begitu terpesona melihat kecantikannya. Hari ini, mereka berdua akan melangsungkan pernikahan meskipun tanpa kehadiran kel