หน้าหลัก / Romansa / MADU HITAM / BAB 5 : Sandera Kekuasaan

แชร์

BAB 5 : Sandera Kekuasaan

ผู้เขียน: Neli Hw
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-29 19:05:11

Satu minggu telah berlalu. Alina semakin kurus dan pucat, selera makannya berkurang drastis meski Alinka, ibu mertuanya, telah membujuknya dengan berbagai cara.

Justin belum juga ditemukan, dan hal ini membuat kondisi Alina semakin menurun. Pencarian terus dilakukan meski belum terlihat hasilnya. Segala upaya telah dikerahkan, mulai dari penyebaran poster hingga pencarian di berbagai lokasi.

Ferdi, seperti biasa, menangani perusahaan Justin, namun ia dihantui rasa takut dan khawatir. Anak buah yang ia kerahkan belum bisa memastikan titik lokasi keberadaan Justin.

Hari-hari terasa sepi dan hampa. Alina masih mengurung diri di kamarnya. Alinka pamit untuk pergi ke kantor, sementara Alina hanyut dalam momen-momen indah saat pertama kali mereka bertemu hingga jenjang pernikahan. Tangisnya pecah, matanya sembab, hanya sebuah foto yang bisa ia peluk erat.

Tisu berserakan di setiap sudut kamar, hampir dua kotak tisu habis untuk mengusap air matanya yang tak henti.

Semenjak menikah, Alina belum bertemu kembali dengan Melodi, sahabatnya. Gadis itu selalu menghiburnya saat suasana hati Alina kurang baik. Momen-momen saat mereka bersama terlintas di benaknya, membuatnya semakin sedih.

Mereka berdua hanya terpisah oleh jarak dan waktu, sangat berbeda dengan Justin yang menghilang tanpa jejak, tanpa tahu di mana keberadaannya sekarang.

Tiga hari kemudian, Alina mendapatkan kabar baik dari Ferdi: Justin telah ditemukan. Alinka hanya meminta agar Alina tetap diam di rumah. "Alina ingin ikut mencari Justin, kenapa Mama melarang?" lirihnya pelan dengan tatapan mulai kosong. "Dengarkan Mama, Alina! Kondisimu sedang lemah! Jadi, istirahat saja di rumah!" kata Alinka, mengusap puncak kepala menantunya.

Kali ini Alina menurut dan hanya ditemani oleh Bi Sumi. Segala keperluannya akan dilayani, mulai dari memasak atau apa pun itu. Sebelumnya, di vila, Alina hanya tinggal bersama Justin tanpa asisten rumah tangga. Ini memang keinginannya untuk mengatasi semuanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Namun, semenjak Alina murung, Alinka meminta agar Bi Sumi menemaninya sampai benar-benar pulih.

Bi Sumi membawakan sup, bubur ayam, ditambah susu, dalam satu nampan penuh. "Non, ayo kita makan, biar Bibi suapi," ajak Bi Sumi, menyodorkan sendok berisi bubur. Alina merasa terharu, air matanya kembali menetes, membuat Bi Sumi menaruh mangkuk dan meminta maaf. "Non, maafkan Bibi sudah lancang," katanya, menundukkan kepala. "Bibi tidak salah, aku hanya terharu saja," ungkap Alina, lalu mengusap air matanya.

Bi Sumi merasa cukup lega, lalu ia kembali mengajak Alina mengobrol, yang membuat wanita itu tertawa. Suhu tubuh Alina sudah mulai turun, dan kini ia terlelap tidur. Dengan telaten, Bi Sumi merawat Alina yang sudah ia anggap sebagai anaknya sendiri.

Menurut petunjuk, Justin disekap di sebuah gudang dekat sungai di belantara. Alinka semakin cemas dan terpukul, berharap putranya segera ditemukan. Ferdi telah memimpin anak buahnya untuk menyusun strategi penangkapan musuh. Beberapa polisi telah menyelinap memasuki area yang sedang diselidiki.

Kasus penculikan ini menjadi topik hangat bagi para pengguna media sosial dan siaran televisi. Kehilangan Justin secara tiba-tiba membuat mereka semakin antusias untuk mengomentari berbagai hal.

"Akhirnya kau datang juga, Ferdi!" kata seseorang bersorak lalu terkekeh.

"Di mana Justin? Cepat katakan!" teriak Ferdi sambil menarik kerah Jackob.

"Aku akan menyerahkan Justin jika kau bekerja sama denganku, untuk menghancurkan Williams Group." Merasa dipermainkan, Ferdi langsung menyerang tanpa henti hingga wajah Jackob babak belur. Merasa menang, Ferdi berdiri dan menarik kerah bajunya.

Namun, pertarungan belum usai. Ferdi diserang dari belakang oleh Jackob dan anak buahnya. Sebuah isyarat ia gunakan untuk memerintahkan anak buahnya. Tubuh Ferdi digusur tanpa belas kasihan, lalu diseret ke sebuah gudang.

Cahaya mentari pagi masuk lewat celah jendela, membuat mata Justin silau. Tubuhnya sudah lemah dan tak berdaya, tenggorokannya kering. Matanya terpejam dengan rasa pusing di kepala, berusaha mengingat kejadian yang sebelumnya terjadi.

Beberapa bayangan terlintas di benak, namun semakin ia mengingatnya, kepalanya semakin terasa pusing. Justin berteriak sekeras mungkin untuk menghilangkan amarahnya.

Di luar, Alinka berteriak sekeras mungkin, "Justin, kau di mana?" Dengan napas tersengal, ia berhenti sejenak di bawah pepohonan rindang.

Tangannya mengambil sehelai daun untuk dijadikan kipas. Cuaca hari ini sangat cerah dan panas. Sementara polisi dan anak buahnya berpencar, Alinka hanya seorang diri. Ia berjanji akan menemukan putranya demi Alina, menantunya.

Hutan rimba yang cukup luas membuat mereka kesulitan menemukan markas musuh. Biasanya, Justin yang lihai dalam permainan seperti ini. "Aku harus tetap semangat untuk mencari putraku," gumamnya, mengubah posisi duduk menjadi berdiri lalu menepuk-nepuk dedaunan yang menempel pada pakaiannya.

Sebuah benturan keras membuat Alinka jatuh tergeletak di hutan. Darah segar mengalir di wajahnya. Pria berpakaian hitam membawanya pergi, lalu menghilangkan semua jejak.

Setelah dirawat oleh Bi Sumi, tubuh Alina mulai membaik. "Bi, aku pergi ke luar dulu untuk mencari angin," ujarnya tersenyum. Melihat keadaan Alina sudah membaik, Bi Sumi merasa cukup lega.

Di tempat lain, tubuh Alinka diseret paksa masuk ke dalam gudang. Justin yang melihatnya tampak kesal. Tubuhnya memberontak, ingin memberikan perlawanan, tapi tangan dan kakinya terikat, serta mulutnya disumpal kain. "Jika kalian ingin selamat, tandatangani sekarang!" bisiknya sambil mencengkeram rahang Justin dengan tatapan tajam.

Tumpukan kayu bakar yang berjejer dilempari bahan bakar, lalu sebuah korek api dilempar. Api merah menyala melalap kayu bakar, sementara mereka terbahak-bahak merayakan kemenangan.

Tangan lentik Alinka meraba keningnya yang terasa sakit dan bercucuran darah segar. Kepalanya sangat pusing. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar, menatap sekeliling. Air matanya jatuh membasahi pelupuk mata. "Justin," kata Alinka, berjalan tertatih-tatih memeluk anaknya.

Justin menatapnya dengan samar dan kosong, air mata sudah tak terbendung lagi. Alinka mengusap wajah anaknya dengan penuh kerinduan. Terdengar suara pintu terbuka, Jackob datang membawa selembar kertas untuk Justin tandatangani. "Apa penderitaan kalian belum cukup, ha?" teriaknya, lalu menendang pintu sampai kedua manusia itu ketakutan melihat kemarahan Jackob yang meluap.

"Apa yang kalian inginkan dari putraku?" kata Alinka dengan nada tegas.

"Kembalikan Williams Group!" jawab Jackob dengan nada tinggi.

"Itu semua milikku! Sampai matipun aku tidak akan melakukannya!" balas Alinka, menunjuk-nunjuk wajah Jackob. Matanya melotot, lalu Jackob mendekatkan wajahnya pada Justin. Suara deretan giginya begitu jelas. "Pengawal, bawa mereka," perintahnya tegas.

Ketiga manusia itu dibawa ke tepi jurang, yang di bawahnya terdapat sungai. Dalam waktu satu jam, mereka akan dilemparkan. Justin tampak pasrah, mulutnya masih disumpal. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha melepaskan kain hitam dari mulutnya. "Tempat ini sangat jauh dari keramaian, lebih baik kalian bertiga mati saja!" kata Jackob, lalu terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Justin. Ferdi tidak memberontak sama sekali. Akibat kecerobohannya, nyawa mereka dalam bahaya.

Mereka bertiga berjejer, siap dilemparkan ke dalam jurang dalam hitungan ketiga. "Satu," ucap Jackob, terhenti saat mendengar langkah kaki. "Angkat tangan!" Sejumlah polisi datang dan memborgol Jackob beserta anak buahnya. Alina langsung memeluk suaminya dengan rasa rindu dan khawatir yang meluap, air matanya menetes.

Alina melepaskan semua ikatan pada tubuh Justin, sementara anak buah polisi membantu Alinka dan Ferdi untuk meninggalkan tempat itu. Justin memeluk istrinya dengan kerinduan yang menggebu. Alina membantu Justin untuk berjalan.

Rasanya cukup lega, Alina akhirnya telah menemukan suaminya, meski banyak luka dan memar pada tubuh Justin. Bau alkohol terasa menyengat di hidungnya, tapi ia membuang jauh-jauh pikiran buruknya.

Dalam perjalanan, Alina tak henti-hentinya bercerita mengenai kondisinya saat ditinggal Justin. Ia begitu manja, menggenggam erat tangan suaminya, berjanji mereka akan selalu bersama. Jarak antara mereka dan ibu mertuanya cukup jauh, mereka hanya dikawal oleh Davis. Di tengah keheningan, terdengar suara tembakan peluru yang mengarah tepat pada sasaran. Sebuah tangan menyentuh luka yang telah berlumur darah segar.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • MADU HITAM   BAB 37 : Bangkai yang Tercium

    Cindy, mulai goyah meski mengumpat tapi dia menikmatinya. Permainan panas ini, tanpa pengaman sama sekali. Saat berada di titik puncak permainan, seseorang datang dengan suara tepukan yang mengoyak di telinga. Aktivitas di hentikan lalu menarik kain putih untuk menutupi tubuhnya.“Ini semua salah paham, aku mohon jangan sampai Justin tau.”kata Cindy pelan, air matanya mulai menetes. “Kesempatanmu telah berakhir, Cindy. Kau bermain api di belakang cucuku, sekarang aku sudah memiliki bukti, cucuku harus tau kebenaran.”kata Jonathan, matanya membulat. Cindy mengepalkan kedua tanganya, “Kakek, aku mohon berikan aku kesempatan, apa kau lupa aku telah menyimpan banyak bukti masa kelam Williams Grup.”Jonathan melangkah maju, menatap penuh kebencian dan rasa jijik. Menampar Cindy, meninggalkan jejak kemerahan di wajah mulusnya.“Keterlaluan, bagaimana pun aku telah melahirkan Neil Williams, aku sudah memberikan cucumu gelar seorang ayah, apa ini balasanmu pria tua, ha?”hardik Cindy, seakan mena

  • MADU HITAM   BAB 36 : Kelahiran dan Masalalu

    Jackob di seret paksa keluar, permainan ini di menangkan oleh Justin. Kemenangan Justin, membuat hatinya; antara bahagia atau sedih, disisi lain Justin mempertahankan kepercayaan Jonathan. Sementara itu, di atas kemenangannya menjadi jalan penderitaan untuk Alina. Sesuai kesepakatan yang di buat Cindy, Justin harus menjauh dari kehidupan Alina, mulai saat ini dan selamanya, apakah Justin sanggup. Dua hari berlalu, seakan pertemuan itu untuk yang terakhir kalinya, Alina menunggu Justin datang bersama pengacaranya untuk membantunya di ruang sidang. Sementara di hari pertama sidang membuat Alina terhuyung, lemas dan menitikan air mata. Berharap ada secercah harapan, di tengah badai yang menghantam. Untuk membuktikan jika Alina tidak bersalah, semua telah di manipulatif. Sayangnya itu semua hanya bayangan dan harapan, yang tak kunjung nyata. Mau bagaimana pun Alina harus berjuang sendiri, apalagi dengan keadaanya yang sedang hamil. Wanita malang sepertinya harus me

  • MADU HITAM   BAB 35 : Tipu Muslihat

    Tangan Alina bergetar ketakutan, tapi mencoba untuk menetralisir keraguan di dalam hatinya. Membawa tes kehamilam ke dalam toilet, peluh seakan membasahi setiap inci tubuh. Bolak balik tanpa arah, menatap alat kehamilan dengan penuh kecemasan. Justin menatap jam dipergelangan tanganya, ia juga ikut mondar-mandir, dengan deru napas yang membuncah. Alina keluar, dan tersenyum lalu matanya menyipit. Menyerahkan alat tes kehamilan, “Garis satu.” menatap tak percaya. “Apakah Alina hamil, dok?” tanya Justin penasaran, dokter Rendi menggelengkan kepala sementara Alina menggigit ujung bibirnya.“Akhirnya aku lolos,” batin Alina, merasa cukup lega. Dokter Rendi melangkah maju, lalu tersenyum lebar. “Sekarang kita USG, biar hasilnya lebih jelas.” timpalnya menatap Alina, lalu ke Justin. Alina membuang napasnya kasar, lalu melangkah maju dengan ragu. Sementara Cindy, menguping dari luar. Meski tak ada satu kata pun yang bisa ia dengar, namun tanganya mencengkram knop pintu kuat-kuat h

  • MADU HITAM   BAB 34 : Luka yang Tersimpan Rapat

    Andre mondar-mandir tak tentu arah, mencari keberadaan Alina. Ia hanya ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit. Andre terpaku menatapnya.“Saya ingin bertemu dengan saudari Alina,” kata Andre kepada salah seorang polisi. Polisi itu menatap wajah Andre saksama, tersenyum kecil, lalu mengusap pundaknya. “Mohon maaf, orang yang Anda cari tidak ada di sini,” katanya pelan, kemudian berlalu begitu saja.Ponsel Andre terus berdering, panggilan dari Ruby, wanita yang baru saja dipersuntingnya. Seharusnya Andre, sebagai pengantin baru, menikmati momen indah berdua. Namun ia malah disibukkan dengan masalah wanita lain. Sebuah pesan singkat ia kirimkan untuk menghilangkan kecemasan Ruby, agar rencana yang ia buat tetap tampak sempurna.Andre keluar untuk mencari udara segar, menatap lekat motornya. Hatinya terasa berat saat meninggalkan kantor kepolisian itu. Sementara itu, Alina tergeletak p

  • MADU HITAM   BAB 33 : Terjebak dalam Konspirasi

    Alina terhuyung meringkuk di sebuah sel, hanya beralaskan tikar tipis. Hawa dingin menusuk tulang-tulangnya, air mata membasahi pelupuk dengan jeritan hati yang kian merana. Di mana Justin saat Alina dilanda masalah? Wajahnya pucat pasi, dengan rambut sedikit acak-acakan. Sementara Andre berdiri tegap menatap puing-puing kota dari balik kaca jendela, Bams telah mengurungnya di kamar. Tak ada yang bisa Andre lakukan saat ini, ponselnya disita. Seseorang datang menenteng sebuah tas, dengan gaya rambut dicepol menggandeng tangan pria. Dengan kabar yang beredar, Justin menemui Alina, menatap lekat wajah istrinya dengan penuh kecemasan. Ya, Justin menahan air matanya yang sudah terbendung lalu memeluk istrinya dengan penuh kerinduan. "Alina, apa yang terjadi, tolong katakan?!" mata Justin berkaca-kaca, tangan kekarnya melingkar. Alina melepaskan pelukan Justin, dan menatap wajah suaminya. "Aku tidak tahu Justin, aku..." ucapan Alina terhenti saat

  • MADU HITAM   BAB 32 : Cincin yang Hancur

    Keadaan memanas. Ruby menghentakkan kakinya, melepas aksesoris kepala, lalu berjalan cepat dengan wajah dilingkupi amarah dan rasa malu. Hari yang seharusnya menjadi momen indah kini berubah menjadi kenangan buruk yang harus terkubur, takkan pernah diceritakan pada anak cucunya kelak. Impiannya seakan sirna dan hancur dalam sekejap. Momen yang telah ia nantikan jauh-jauh hari itu kini berakhir dengan kekecewaan mendalam. Bayangan hidup bahagia, dilamar secara romantis dan meriah di hadapan banyak orang, kini musnah. Sepatu high heels-nya dibanting sembarangan, air mata mengalir deras. Perasaan sedih, marah, dan malu bercampur aduk. "Alina, kau keterlaluan! Seharusnya aku melenyapkanmu!" teriak Ruby, melempar alat rias ke berbagai arah. Bams Hamilton, ayah Andre, sangat geram dengan sikap anaknya yang telah melewati batas. Ia mencoba menenangkan Ruby, namun tawarannya ditolak mentah-mentah. Hati Ruby terlalu dipenuhi kekecewaan yang membuncah. B

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status