Melihat Mas Irsyad terkapar pingsan aku segera mengambil koper dan surat-surat yang kuperlukan untuk mengajukan gugatan cerai, lalu aku segera mengajak anak anakku pergi.
"Ayo Zahra, Raihan," ucapku. "Aku bagaimana Bunda?" tanya Aisyah dengan wajah takut, sebenarnya tak manusiawi dan berperasaan meninggalkan bocah itu dengan keadaan ayahnya yang pingsan tapi aku harus bagaimana lagi. Kuhampiri Gadis itu lalu memeluknya dan merangkul bahunya sambil menatap matanya. "Dengar Nak, ayah dan Bunda tidak bisa disatukan lagi, jadi bunda harus pergi! Ayah akan bangun dan baik baik saja." "Terus ayah kenapa, a-apakah ayah mati?" tanyanya pelan. "Tidak Nak, tidak mati, dia hanya pingsan, akan sadar sebentar lagi," balasku pelan. "A-aku ta-takut, Bunda." "Telponlah ibumu, dia akan membantu kamu dan ayah." Kukecup keningnya lalu bergegas keluar dari rumah itu. Bocah itu mengekori kami tapi aku sudah tak punya waktu lagim "Bunda ... Tidakkah kita akan dicari polisi karena membuat Om Hamdan pingsan?" Tanya Raihan gelisah. "Tidak, Bunda yakin. Ayo pergi saja." Aku dan anak anak dengan langkah cepat masuk ke dalam mobil dan terburu-buru diri ini meninggalkan garasi menuju homestay yang sudah kupesan di pinggiran kota. Selagi menyetir, sebenarnya perasaanku bergejolak takut dan berdebar-debar. Bahkan tangan dan tungkai kakiku bergetar, gelisah dan galau. Takut aka kemungkinan takut akan kemungkinan terburuk terjadi pada irsya selalu aku ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. "Bunda ... bunda gak takut?" tanya Zahra dengan suara gemetar. "Bunda akan memberanikan diri sekalipun ada takut. Kalian juga jangan takut, selama bunda masih hidup, kita akan baik-baik saja." "Bunda, Apakah Om Irsyad tak akan murka dengan ini?" "Biarkan saja dia murka! Dia tidak akan bisa apa apa." "Sekarang kita akan ke mana?" "Ke penginapan, kita akan tinggal sementara di sana." "Sebaiknya pulang saja Bunda, pulang ke rumah Kakek dan Nenek. Di desa kita punya keluarga, orang orang akan membela dan membantu Bunda," ujar Raihan dengan wajah bersungguh-sungguh. "Sebenarnya lari kayak gini udah kayak pengecut, Bund. Bunda gak pernah ngajarin begini, kalau ada masalah kita disuruh menghadapi."tiba-tiba Sahara menimpali dan membuat diri ini sesaat tertegun. Sempat tercenung sambil mengendalikan kemudi mobil hingga Aku nyari saja menabrak bumper mobil seseorang yang ada di depan sana, tapi untung saja aku bisa mengendalikan keadaan. Kurem mendadak mobil sambil mengucapkan istighfar. "Tuh kan, bunda gak konsen, yuk pulang aja deh, atau putar balik," ajak Raihan. "Enggak usah putar balik, bunda sudah putuskan pergi. Ayo pergi saja," balasku sambil melanjutkan perjalanan mobil. Dua jam berkendara dengan kecepatan yang cukup mengebut harus tiba di kota kecamatan di mana masalah men dan tinggal dan madrasah tempat Raihan belajar dulu. "Bunda aku mau mampir ke tempat ayah," ujar anak sulungku. "Untuk apa, untuk memberitahukan dia apa yang terjadi? Sebaiknya jangan Raihan!" "Tidak Bunda, aku hanya butuh ayah sekarang, tolong ... Mampirlah."aku yang tidak berdaya pada keinginan anak yang mulai dewasa akhirnya hanya bisa mengangguk sambil membelokkan mobilku ke depan ruko Raihan express. Terlihat di sana pintu rolling door terbuka dan beberapa karyawan nampak menaikkan packing-an barang ke atas mobil box, tentu saja itu adalah barang kiriman. "Aku akan naik sebentar," ucap Raihan sambil membuka pintu mobil diikuti pula oleh Zahra yang nampak sudah tidak tahan lagi berlama-lama di atas kendaraan. "Aku ikut Bund," ujarnya "Oke." Mereka terlihat naik lalu mengetuk pintu di balkon lantai 2 pintu yang menghubungkan kediaman Mas Hamdan terpisah dari kantornya. Aku menunggu di mobil dengan perasaan gelisah, harap-harap cemas takut kalau seseorang akan menelponku dari kota dan meminta pertanggungjawaban. Sekitar lima belas menit anak anak turun dan terlihat buru-buru. "Bunda, dipanggil ayah," ujar Raihan. "Tidak usah, ayo pergi, bunda lelah dan ingin berjumpa nenek," tolakki langsung. "Tapi ini penting!" "Aku sudah bilang untuk tidak bicara pada ayah perihal masalah kita!" Aku terpaksa berteriak kepada anak-anak. "Ayo naik ke mobil dan pulang!" Anak-anak yang tidak punya pilihan akhirnya ikut denganku dan naik ke mobil dengan pasrah. Tidak sampai lima menit mobil telah kuparkirkan di depan halaman rumah Ayahku. Kucari orang tuaku dan menyalami mereka dengan sujud, derai air mata dan permintaan maaf. Ayah yang sebelumnya tidak tahu tadinya bingung, sampai akhirnya diceritakan dan mengangguk paham. "Ayah tidak menyangka Nak, ayah pikir semuanya baik baik saja," ucap Ayah sedih. Saudara dan keponakan ayah yang kebetulan berkunjung dan ada di rumah duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuaku juga terlihat kaget dan tertegun tapi entah kenapa dia mulai nyinyir dan menghakimiku. "Kenapa kamu tidak bertahan dulu di rumah seharusnya kamu bertanggung jawab dulu kepada keluargamu sebelum kau kabur ini hanya masalah kesalahpahaman yang bisa diluruskan!" Ucap Tante. "Tidak bisa lagi Tante sudah terlambat Mas Irsyad sudah tidak memperoleh lagi untuk diperingatkan atau diajak bicara baik-baik!" "Emangnya secantik apa mantan istri suamimu itu?" "Jika dibilang cantik tentulah sangat cantik walau tadinya masih Irsyad mencintai saya tapi godaan wanita itu sangatlah besar, sehingga suamiku tak mampu menahannya, puncaknya, aku tahu mereka bersama dan berbagi asmara lagi," balasku. "Kesimpulan dari mana itu?!" Tanya Adik Ayah dengan suara tinggi beliau terkenal keras dan ketus sekali. "Aku mendapati bau parfum dan noda lipstik di kerah pakaian suamiku dan dia pun mengaku jika baru saja bertemu dengan mantan istrinya," jawabku sembari mengusap air mata. "Hah, dari awal sudah kuragukan tentang pernikahan ini, kau terkesan terburu-buru menikah lagi, lihat sekarang!" tudingnya dengan tangan kiri. Ibu yang merasa tak nyaman dan peduli pada perasaanku segera menegur Tante. "Dik Yuli, sebaiknya kita izinkan Aisyah untuk merenungkan masalahnya. Lagipula sejak awal, Nak irsyad datang dengan niat baik dan dia terlihat sebagai pria baik-baik pula. Kami tentu menerima pinangan jika itu disampaikan dengan santun dan sungguh-sungguh." "Omong kosong, dari awal saja ... pengandaiannya ya, jika turunnya dari mobil akan naik gerobak, mengapa kau harus segila itu, Aisyah! kau bodoh sekali!" hujat Tante dengan geramnya, ".. bikin malu keluarga." Ia mendesis sambil mengipasi wajahnya yang merah oleh make up berlebih. "Kalau saya tahu semuanya akan jadi begini saya pun tidak akan memilih jalan sulit ini saya bukan cenayang yang bisa memprediksikan masa depan!" "Tapi kau bisa membaca watak orang Dari gelagatnya!" "Dia temanku sahabat dari masa sekolahku dia juga rekan bisnis yang jujur dan santun Bagaimana aku akan menolaknya?" "Ditambah juga karena dia lebih tampan dan kaya dari Hamdan? Iya kan? Jadi kau seolah ingin membuktikan bahwa kau bisa mendapatkan yang lebih baik darinya, konyol sekali!" "Maafkan aku! Tolong jangan menghujat jika Tante tidak merasakan kesulitannya, khawatirlah karena tante juga punya anak perempuan jangan sampai nasibnya juga sama sepertiku!" jawabku yang sudah tak tahan lagi dengan ucapannya. Aku beralih ke kamarku yang ada di ruang dalam dekat dapur laku meletakkan barangku di sana. Duduk menangis sambil menutupi kedua tangan di wajah. Di luar sana, terdengar suara ayah memarahi Tante Yuli yang gegabah. "Harusnya kamu jaga dong perasaan keponakanmu." "Lho, jangan sesalkan padaku, Kak, dia memang harus diberi tamparan agar sadar. Lain kali jangan nikah lagi, biar gak kawin cerai lagi, bosan dan malu aku tuh!" "Semua orang juga malu dan canggung atas masalah ini. Tapi satu saja pintaku Yuli, tolong jangan tambahkan beban di pundak Aisyah, dia nampaknya sudah depresi dan lelah sekali, kasihan pula anak-anak dia yang dua itu, mereka bingung dan syok, Yuli ...." "Hah, kakak, kau terlalu manjakan anakmu, kau terlalu mencintai hingga lupa memberi batasan baik dan buruk, bijak an gegabah. Aku permisi, bosan ada di rumah ini!" ucapnya setengah berteriak. Aku yang ada di kamar hanya bisa menangis sedih sambil menekan kepala dan menjambak rambutku. Jujur, aku frustasi sekali, aku menyesal kesal pada takdir dan keputusanku, dadaku sakit dan aku merasa sesak nafas. Aku rasanya ingin mati saja hingga masalah bisa hilang dari hidupku.Sebelum matahari terbit dengan sempurna aku sudah berada di jalan yang menghubungkan desa dan provinsi. Kubuka sedikit jendela untuk membiarkan angin menerpa jilbabku dan kunyalakan musik yang membangkitkan mood bahagia. Kunikmati setiap irama melodi yang keluar dari sound sistem mobil, sambil tetap berpikir positif bahwa aku akan mengatasi segalanya. "Alhamdulillah jika sekarang Tuhan membuka jalan untuk kami agar saling melepaskan tanpa banyak drama dan saling menyakiti." Aku menggumam sambil sedikit mengoyangkan badan mengikuti irama lagu yang gembira. Kupikir dengan segala penerimaan positif bahwa ini sudah jalannya bagi kami untuk saling meninggalkan, Mas Irsyad mungkin sudah tidak tahan lagi aku yang selalu menagih dan memaksanya. Juga ada satu alasan lain yang membuatnya ingin segera mengakhiri pernikahan yakni mantan istrinya Elsa. Meski itu buruk bagiku karena aku harus berstatus janda, tapi ada sisi positif di mana orang lain akan melepaskan status janda Dan seorang anak
Seminggu setelah hari itu Mas Hamdan kembali berkunjung ke seperti biasa dia akan bawakan makanan kesukaan anak-anaknya dan duduk di ruang tamu seperti layaknya tamu yang tak akrab dengan tuan rumah."Makasih ya Mas, sudah bawakan kentaki, kue cubit dan martabak keju," ucapku sambil meletakkan cangkir kopi di hadapannya."Akhir-akhir ini aku jarang bertemu Raihan, aku ingin bertanya padamu tentang bagaimana ujian kenaikan kelasnya, apakah lancar?""Lancar Mas, Alhamdulillah" jawabku mencomot martabat dari kotak lalu mencicipinya."Kalau begitu, bagaimana keadaan suamimu, apakah kalian sudah bicara?""Sudah.""Hutangnya sudah lunas?""Sudah, aku mengambil rumah sebagai bayaran""Ternyata semudah itu merusak hubungan. Aku sadar membangun kepercayaan dan tanggung jawab itu sangat sulit, jadi, ketika sebuah kesalahan merusak, maka segala yang dibangun tadi akan hancur," gumam Mas Hamdan tersenyum."Benar Mas, dari lika liku hidup yang kita hadapi, aku memetik banyak pelajaran, aku jadi p
Sejujurnya aku tak suka menjadi zhalim, kesannya aku yang haus harta dan tidak membiarkan orang lain bernapas dengan lega. Apa boleh buat Irsyad berhutang maka sudah hakku menuntut pembayaran, tidak ada yang salah dengan itu.Jadi, setelah mendapatkan sertifikat rumah, seharusnya aku tidak punya urusan lagi dengan mereka kecuali jika nanti dia mempersulit proses gugatan perceraian kami. Kadang timbul ide agar tidak perlu menggugat perceraian, aku akan selamanya hidup dalam status seperti ini dan membiarkan Irsyad juga menggantung. Dia tidak akan bisa menikahi Elsa lagi karena selama aku tidak memberikan izin maka pihak dari KUA tidak akan menerima pernikahan mereka.Lagi pula tidak akan ada bedanya kan? Toh, aku tak akan menikah lagi. Aku masih bisa menumpang status sementara pria itu akan terlunta-lunta. Seperti contoh kemarin, dia sakit dan pihak rumah sakit memaksa agar aku sebagai istri yang sah yang menyetujui izin operasinya. Sangat mudah bagiku tapi menyulitkan baginya.Aku be
Mungkin begitulah jalan takdirku, selalu dimanfaatkan ketika susah dan dibuang ketika orang lain bahagia. Kini aku harus berkendara 240 km untuk menyelamatkan nyawa irsyad. Sungguh aku telah berkorban banyak sekali untuk manusia-manusia yang tidak tahu diri dan tak bisa membalas budi. Sekarang aku akan memastikan mereka membayar setiap sen padaku.Dengan langkah santai aku menapaki setiap meter koridor rumah sakit, tak perlu terburu buru toh jika Irsyad mati itu tak akan merugikanku. Dulu, aku memang sangat jatuh cinta dan berbakti padanya. Tapi kecurangannya membuat cintaku tak terhapus tak bersisa. Terbuang seperti debu di atas batu yang disiram air hujan. Aku tak memiliki rasa untuknya kecuali benci dan dendam.Dari ujung lorong kulihat Elsa sudah berdiri dan langsung terburu buru menghampiriku. "Cepetan dong Mbak," ucapnya tak sabar."Kamu tak bisa mendikte atau memaksa saya, santai dong," jawabku tersenyum miring."Mas Irsyad harus dirawat akan menjalani sedikit operasi, petugas
Kami sedang duduk di meja makan, menyantap hidangan kerang dan kepiting ketika Raihan mulai bertanya dan mengajakku diskusi."Bunda ....""Ya, gimana kelangsungan Bunda sekarang, gimana kabar Bunda dan Om Irsyad?""Bunda baik baik saja," jawabku " .... dan om irsyad juga baik baik saja.""Maksudku, kelangsungan pernikahan Bunda?""Kami akan berpisah, itu jalan terbaik," jawabku."Kasihan icha, dia pasti sedih kehilangan Mama untuk kedua kalinya," balas Raihan."Bunda tidak berdaya, Bunda tak bisa memaksa keadaan terlebih Icha adalah anak Om Irsyad. Bunda tak bisa membawanya bersama kita.""Dia pasti kecewa Bunda ...." Kini Zahra menggumam sambil menyuapi makanan ke mulutnya."Kecewa tentu saja, tapi Bunda tak bisa apa apa," balasku. "Sayang sekali," gumam Raihan."Di sekolah, anak anak lain mencibir dan bilang kalau bundaku tukang kawin," ujar Zahra sambil menatapku. Agak kaget juga diri ini karena tak menyangka anak Perempuanku harus dibully akibat masalah kedua orang tuannya."Si
Jadi beginilah ujungnya, yang jahat bergembira dan yang baik selalu merana? Tidak juga.Seseorang mungkin menang dengan kecurangan dan pengkhianatan, tapi sungguhkah mereka bisa tentram? Benarkah kebahagiaan yang mereka raih dengan tipu daya akan terasa indah. Memang, kemenangan bisa didapatkan dengan banyak cara, termasuk main kotor, hanya saja yang membedakan adalah, rasa berkahnya saja. Iya!Kalau ada yang merasa aku akan melepaskan irsyad dan Elsa maka itu salah, aku tak akan membiarkan mereka melenggang bahagia. Lewat gugatan cerai aku juga menggugat ke pidana atas perselingkuhan dan zina. Terlepas akan menang di persidangan atau tidak, namun momentum yang akan kumanfaatkan adalah lebih banyak untuk mengupas setiap aib dan mempermalukan mereka.Dan ya, hutangnya? aku akan mengambil setiap sennya, hingga tak ada yang tersisa. Akan kupastikan Irsyad membayarnya hingga habis hartanya, bahkan jika itu dengan cara menjual cawatnya.Hmm, Membayangkan saja terasa indah, apalagi jika i