"Aisyah!" Ketukan dipintu menghentikanmu Isakan tangisku yah tersembunyi dari anak anak dan orang tuaku. Sepertinya itu suara Lili sepupuku anak Tante Yuli.
"Ya ...?" "Wak Imam ingin bicara, segera keluar," ucapnya sambil menyebut nama ayahku. "Iya, baik," jawabku, sambil mengusap wajah lalu pergi ke wastafel untuk mencuci muka. Tak kusangka ketika sudah sampai di ruang tamu ternyata mas Hamdan sudah datang dan terlihat khawatir sekali kepada kami bertiga. "Aisyah, kamu baik baik saja?" tanyanya yang langsung bangun dan memegangi kedua bahuku. Aku sebenarnya merasa tidak enak dengan keluargaku karena orang yang memegang ku ini adalah suami orang tapi sepertinya Mas Hamdan tidak memperdulikan itu. "Aisyah benarkah insiden itu terulang lagi?" tanyanya dengan suara cemas. "Memangnya aku bisa apa lagi?" tanyaku dengan tetesan air mata yang menitik lagi. "Ya, Tuhan ....'"Mas Hamdan menatap ayah dan ibu dengan prihatin. "Jangan cemas, aku akan melindungi dan membantumu, usahaku membaik sekarang, jadi aku akan membalas kebaikanmu Aisyah." "Tidak usah Mas, aku tidak mau ada yang cemburu padaku. Masalah ini terjadi, karena Aku kurang suka suamiku bergaul dengan mantan istrinya jadi aku tidak ingin wanita lain merasakan hal yang sama seperti apa yang kurasakan. Aku tidak akan seegois itu!" "Maura cukup tau diri dan tahu betul posisinya setelah banyaknya bantuan dan pengorbananmu. Dia mendukungku untuk selalu menjaga kalian, Maura tidak jahat Aisyah, dia hanya salah keputusan dan ceroboh, tapi aku menjamin dia tak mengulanginya," balas mantan suamiku dengan penekanan serius. "Terima kasih, tapi aku akan mengatasi masalah sendiri," jawabku. "Jangan bersikeras dengan pura pura baik baik saja, jelas kau butuh dukungan dan bantuan kami semua. Aku akan berangkat ke kota untuk bertemu suamimu dan bicara dengannya." "Untuk apa? Untuk bertengkar dengannya?" "Aku juga pria yang bijak dan tidak akan terburu nafsu, aku akan coba tenang dan bicarakan ini baik baik," balas Mas Hamdan. "Aku hanya ingin tahu keputusanmu, masih mau balik dengannya atau cerai?" "Aku belum memikirkannya, tapi kurasa ... aku harus mengakhiri ini." "Tunggu dulu, sebelum mikir dan memilih cerai, sudahlah Mbak memastikan bahwa dirimu tidak sedang hamil dari suamimu." "Tidak," jawabku cepat. "Aku hanya takut kau cerai tapi tiba tiba ada isinya di perutmu, Mbak," ujar Lili ragu. "Aku yakin tidak." "Baiklah, aku hanya ingin Mbak Aisyah meninjau sekali lagi karena ini bukan perkara seperti permainan biasa ini adalah pernikahan yang tidak asal bisa diputus sambungkan begitu saja," ujar lili, sepertinya mewakili ungkapan kedua orang tua dan kerabatku yang ada. "Iya, aku sudah beri dia kesempatan untuk tak lagi mencoreng kepercayaan, tapi, sepertinya itu tak mempan, aku capek dan ingin hidup sendiri saja, aman pikiran dan hatiku," jawabku. "Perceraian tidak akan terjadi tanpa kata talak dan tanda tangan suamimu, jadi, kita harus bertemu dan bicarakan ini baik baik. Kalian harus bertemu, mau tak mau harus begitu," balas Ayah menimpali. "Aku aku bertemu, ayah, tapi tidak dalam waktu dekat ini karena aku masih sakit hati dan kesal kepada Mas Irsyad. Sebaiknya nanti saja, ketika aku sudah siap," jawabku. "Baiklah, kami memberimu waktu, ambil sepuasmu, tinggallah di sini agar kau tentram dan pria itu tidak akan mencarimu." "Aku tidak yakin kalau Irsyad tidak datang ke sini esok hari, dia pasti datang. Jika tidak ingin itu terjadi maka aku harus menghalaunya," ucap Mas Hamdan. "Jangan terlalu banyak terlibat, kau bisa kerepotan, aku tak mau merumitkan hidup orang. Pulanglah pada istrimu dan Rafa, mereka menunggu dan lebih butuh kasih sayang." "Hei, zahra dan Raihan juga butuh kasih sayang, jangan mengira aku abai pada kewajiban untuk kedua anak sulungku. Aku akan menjaga kalian dan kita tidak akan berdebat untuk ini, Kecuali kau menikah lagi dengan orang lain," balas Mas Hamdan lantang. Kadang dia menyebalkan, kadang emosian, kadang ceroboh minta ampun dan menjengkelkan. Sekarang aku heran karena dia tampil nomor satu untuk pasang badan dan mengurusi kami. Apakah ini adalah bentuk kepedulian atau memang karena dia masih berharap ingin bersama kami? Aku benar benar penasaran. "Boleh bicara berdua saja?" tanyaku pada Mas Hamdan, anggota keluarga saling melirik tapi mantan suamiku langsung mengangguk dan masuk ke ruang dalam di mana ada meja makan dan dapur. "Katakan apa yang membuatmu gelisah," ucapnya ketika sudah berada di sana." "Aku hanya bingung Mas, aku galau. Tapi abaikan itu, aku penasaran tentang apa tujuanmu menolongku, tolong jujur saja, jika kau menginginkan sesuatu," ucapku. "Astagfirullah ...." Dia menggumam dan menggeleng. "Tidak aku tidak membutuhkan sesuatu." "Lalu kenapa kau menolongku? Untuk apa?" "Karena aku mencintaimu dan anak anak?" Dia menatapku serius, sementara aku terdiam mencerna ucapannya. Kami hening untuk beberapa saat. "Kau tidak sedang merayuku kan?" "Untuk apa Bukankah aku dan kamu tahu persis bahwa itu tidak mempan?" "Benar juga," gumamku. "Aku menolongmu karena merasa perlu melakukan itu. Kupikir karena kau sudah melakukan banyak kebaikan, jadi harus Kubalas, tapi bukan karena merasa itu hutang, hanya sebuah tanggung jawab saja. Kau mengerti?" "Iya, aku paham." "Aku akan ke kota dan mengunjungi suamimu, berikan aku nomor ponselnya," ucap Mas Hamdan sambil memencet tombol ponsel miliknya. Sebenarnya aku lesu membuka kbali nomor telpon yang sudah kublokir, tapi tidak ada pilihan lain aku harus memberikan pada Hamdan. Setelah menerima nomor ponsel dariku Mas Hamdan berterima kasih dan langsung berdiri. "Aku akan bicara baik-baik dan menjaga batasan sehingga tidak terkesan bahwa kau dan aku punya hubungan khusus sehingga suamimu tidak akan curiga," ucap Mas Hamdan. "Terima kasih." "Doakan saja agar tidak terjadi pertikaian," ucapnya setengah tertawa, masih sempat sempatnya dia tersenyum dan bercanda. Dasar Mas Hamdan. * Malam hari kuterima telepon dari Maura, kupikir dia akan marah karena suaminya meninggalkan kecamatan demi menemui suamiku yang berjarak 2 jam dari tempat dia berada. Tapi ternyata dia tidak mengatakan apa apa. Hanya bertanya kabar dan menanyakan kondisi anak anak. "Mbak bisa tinggal dengan kami di ruko kalau mau, Mbak, aku akan senang," ucap Maura. "Tidak Maura... Memangnya kau sendiri akan tidur di mana? Maukah kau berikan kamar utama pada kami, lalu kau tidur di depan tivi. Rumah itu ukurannya hanya seperti apartemen studio, jadi tak akan muat kita semua. Aku berterima kasih atas tawaranmu, Maura." Aku tertawa kecil sambil mengatakannya. "Aku mengatakannya dengan tulus, Mbak, tidak ada sakit, dengki, atau dendam padamu, malah aku sangat sayang dan sungkan," balasnya. "Akan sulit serumah dengan orang yang kau segani, kau akan tersiksa," balasku tertawa. "Tidak sama sekali. Rumah ini aslinya memang milikmu bukan? Desain, perabot hingga warna cat mbak yang memilihnya, rasanya tak pantas tak memberimu tempat." "Aku punya rumah yang bisa menampung enam kepala keluarga, aku akan pulang Dik. Jangan khawatir, terima kasih atas perhatianmu," ucapku tulus. "Sama sama. Kalau begitu, akan kubiarkan kamu istirahat Mbak, terima kasih ya." "Sama sama." Malam itu kucoba redakan kegundahan hati dengan banyak berdoa dalam salat, kurendahkan diri dan suara dalam untaian harapan panjang bahwa setelah keputusan yang kuambil terakhir, kali hidupku akan baik-baik saja, anak-anak akan aman dan keluargaku tidak akan menanggung malu. Usai salat kubaurkan diri kepada ayah dan ibu, juga kerabatnya yang tiap malam datang untuk menonton tayangan berita dan hiburan bersama. Aku akan luangkan waktu untuk menjernihkan pikiran dan hatiku. Nun jauh di sana, sebenarnya aku penasaran bagaimanakah proses perjumpaan Mas Hamdan dan Mas Irsyad. Apakah akan aman, ataukah menegangkan dan penuh drama saling melecehkan seperti yang terjadi antara aku, Elsa, dan Maura."Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk mengusik keputusan Maura, dia bilang sebaiknya kami berpisah dan kurasa Itu sudah keputusan final.""Tidak mungkin semudah itu dia melupakan anda, kemarin dia begitu bahagia. Begitu bangga dan cantik saat berdampingan dengan anda. Apakah anda sungguh ingin melepaskannya? Saya rasa anda juga punya cinta yang sama untuknya.""Jujur saja, aku agak ragu melihat sifatnya yang tidak bijak seperti tempo hari itu. Aku seorang duda yang punya anak dan tujuanku menjalin hubungan adalah menghadirkan sosok istri sekaligus ibu yang dibutuhkan oleh putra-putriku. Jika dia masih kekanak-kanakan, maka aku ragu dia bisa berdampingan dengan anakku.""Fakta yang tidak Anda ketahui bahwa Raihan anakku pernah tinggal bersamanya selama beberapa bulan dan dia terlihat begitu bahagia dengan ibu sambungnya. Aku tidak melihat ke pura-puraan di wajah Raihan, karena Maura selalu berusaha menuruti kehendak putraku. Kurasa dia ibu yang baik, Meski mungkin dia tukang
"Kau sudah pulang, Bunda?" tanya suamiku saat mendapati diri ini sore hari sudah ada di rumah."Ya, aku baru saja sampai.""Sebenarnya siapa yang kau temui Sayang?" tanya suamiku dengan ungkapan lembut, aku langsung terkejut dan tersanjung mendengar pertanyaan selembut itu."Aku menemui pejabat notaris dan pengurus akta tanah.""Lalu siapa lagi, sayangku?""Tidak ada.""Kau yakin?""Hmm, iya.""Bola matamu mengembang, tandanya kau sedang berbohong.""Tidak sungguh.""Baiklah, Sayang. Aku menghargainya," jawab Mas Hamdan sambil mengulum senyum."Tapi, aku juga ingin mengakui sesuatu dengan sukarela, kuharap kau tak marah, dan menerima semuanya dengan hati terbuka," ujar Mas Hamdan penuh rahasia."Apa itu?""Ini adalah titipan dari orang yang kutemui siang tadi, dia berkendara jauh hanya untuk menemuiku dan menitipkan tas ini," ucap Mas hamdan. Aku terkejut, dia mengeluarkan kantong goodie bag yang cukup familiar dan uang yang ada di dalamnya masih utuh."I-ini, dari mana?""Maura.""Ke
Kurasaa saat ini tubuh wanita berumur 22 tahun itu tak mampu menahan beban bobotnya, dia boleh jadi akan tumbang mendengar ucapanku. Wanita bekulit putih bersih dengan wajah bak model Pakistani itu pasti linglung mendapat pukulan jawaban seperti tadi. Terbukti ia diam saja kemudian.Aku tahu, aku tidaklah lebih cantik darinya, dalam hal penampilan dia unggul, tapi, pelayanan, tentu akulah yang pertama dan paling paham tentang kemauan Mas hamdan. "Oke, Maura, jika ini akan membuatmu senang, maka mari akhiri saja," ucapku."Caranya bagaimana?" jawabnya parau. Kurasa kini tenggorokan wanita itu tersendat kering."Kita bertemu besok, di kediamanmu, aku akan membawa apa yang kau inginkan.""Tidak usah repot repot!" ucapnya."Cukup tunggu saja aku!" tegasku.Setelah mematikan ponsel, kutarik napas dalam lalu aku beralih ke kamar. Kususul segala sesuatu yang akan kuprrlukam besok untuk menemui wanita itu.Sebenarnya, tak pula harus payah terlalu jauh menjerumuskan diri, tapi karena ini be
Sejak terakhir kali bertemu Maura bayangan wanita itu seolah terus menghantui, membuat diri ini tidak nyaman, perasaanku jadi tidak aman dan was was akan hati suamiku dan bagaimana tingkah lakunya di kemudian hari.Harusnya ketika pasangan sudah berpisah dan memilih untuk menjalani kehidupan masing-masing maka tidak ada alasan lagi untuk menghubungi apalagi sampai meminta uang, terlebih saat sang mantan suami sudah punya istri dan bahagia dengan kehidupannya, tidak ada alasan untuk meminta bantuan kecuali benar-benar terdesak atau memang tidak punya malu."Astaga, aku banyak membuang waktu dengan memikirkan Maura," gumamku sambil bangkit dari sofa ruang tv lalu membereskannya. Kulanjutkan tugas membersihkan rumah dan dapur sambil menunggu cucianku kering di dalam mesin cuci otomatis.*Usai melipat pakaian, aku langsung mandi dan ganti baju, rencananya aku akan menuju kebun untuk memeriksa pekerja yang sedang menggali kolam ikan yang baru. Aku harus mengantarkan makanan dan minuman a
"Kau itu hanya mantan dan tetaplah bersikap seperti mantan, jangan coba-coba untuk merayu atau memanfaatkan kebaikan Hamdan lagi!""Aku juga tak Sudi!" balasnya sambil membuang muka.Sebenarnya aku gemas sekali ingin menjambaknya namun aku menahan diri untuk tidak mengotori tanganku.Semua orang yang ada di tempat itu membeku dan tidak bisa memberikan komentar apapun atas percakapan dan kejadian yang baru saja lewat. Semua orang terpana, lalu memandang kepada Maura yang pergi begitu saja."Ayo pergi." Mas Hamdan menarik tanganku sambil berbisik."Iya, ayo, tidak ada gunanya tetap di sini," jawabku. Kami berjalan beriringan meninggalkan kafe, dan meski di sana ada beberapa karyawan dan satpam, mereka tidak memberikan komentar apapun atau berusaha hendak mengusir kami. Mereka semua terdiam membisu.*"Aku tidak mengira bahwa kau membaca pesan yang dikirimkan Maura ke ponselku,"ucap Mas Hamdan saat kami berada di dalam mobil."Maafkan Aku, aku tidak sengaja melihatnya sekelebatan lalu se
"Mas kau ada waktu sore nanti tidak?""Aku selalu punya waktu untukmu memangnya kenapa?""Uhm, begini, aku punya janji dengan seorang teman, dan Aku ingin kau mengenalnya agar kita menjalin bisnis. Bisakah kau menemaniku bertemu dengannya?""Laki-laki atau perempuan?"tanya Mas Hamdan dengan alis yang terangkat sebelah seakan-akan dia ingin menunjukkan kecemburuan jika itu memang adalah laki-laki."Perempuan Mas ...""Alhamdulillah kalau begitu," jawab Mas Hamdan puas.Usai menandaskan kopi di dalam cangkirnya, suamiku lantas bangkit dan menciumi pipi ini lalu berpamitan untuk pergi bekerja."Aku harus ke ruko pagi sekali karena ada beberapa paket kargo penting yang harus diawasi pengirimannya.""Iya, hati hati di jalan," jawabku. Karena waktu bergulir begitu cepat dan tidak terasa Ini sudah musim hujan lagi aku selalu tidak lupa untuk mengingatkan suami agar selalu membawa payung di dalam mobilnya."Bawa payung, aku tahu bahwa kau sangat sensitif terhadap cuaca dingin, jadi jangan bia