"Raihan Please, buka pintunya Nak," bujukku sambil terus melihat ke pintu depan berharap agar Irsyad tidak segera masuk ke dalam rumah selagi aku membujuk putraku.
"Tidak Bunda, jika kita sudah datang baik-baik maka kita harus pergi baik-baik!" "Tapi kondisinya tidak bisa seperti itu Raihan!" "Tidak Bunda, Bundalah yang harus mendewasa dan berubah. Kami ini sudah besar, malu digandeng ke sana kemari, dibawa pindah ke sana dan ke sini, seakan-akan kami hanya koper yang berhak diseret seperti apa yang Bunda mau!" "Bunda tidak punya pilihan Raihan, tolong mengertilah, keluarkan barang-barangmu dan ayo pergi dari rumah ini!" Berkali-kali kuketuk pintu dengan hati yang galau, perasaan remuk redam dan air mata yang tertahankan. "Raihan, Nak ... Bunda mohon ...." Selagi memohon Mas Irsyad datang dan untuk beberapa saat dia mematung berdiri dari jarak 5 meter dariku. "Ada apa?" Tanyanya dengan nada datar. "Tidak ada," jawabku menghindar, aku segera melangkah, mendahuluinya ke kamar. Berniat menyembunyikan koper sebelum dia menyadari. "Bunda, tu-tunggu," ucapnya menyusul dan menarik tanganku, aku yang merasa sudah Malas ingin menghindarkan tanganku darinya " jujur saja aku senang kau masih ada di sini Bunda," ucapnya menggombali dengan tatapan mata yang menjijikkan. "Maaf, aku akan ke kamar," ucapku melepas tangannya. Tiba tiba pria itu menarikku, menyentakku dalam pelukan dan dia merangkul tubuh ini dengan erat seraya berkali kali mendaratkan ciuman di kening dan pipi. "Aku minta maaf, sungguh minta maaf, aku sungguh menyesal dan putus asa. Aku bersungguh sungguh Aisyah, tolong lupakan ucapanku pagi tadi," ucapnya. "Hah, tidak!" jawabku mendorongnya. "Jangan lepaskan aku!" ucapnya semakin mengetatkan pelukan. Selagi didekap kuat olehnya aku bisa mencium aroma parfum wanita berbaur dengan aroma tubuh dan perfum pribadi suamiku. Aku bisa menangkapnya, ya! aku sudah menikah selama lebih dari empat belas tahun, sudah menghadapi berbagai sikap suami dan gelagatnya, jadi aku pasti percaya pada instingku. "Kau habis dari mana?" "Dari resto yang di cabang Bina karya," jawabnya. "Kenapa dengan bau pakaianmu, dengan siapa kau berdekatan, dengan siapa kau bertemu?" tanyaku setengah mendorong dirinya dengan keras. Pria itu bersurut, hampir terjatuh tapi masih mampu menyeimbangkan dirinya. "Katakan padaku Mas mengapa ada noda merah di kerah belakang bajumu, siapa yang meninggalkan bekas keintiman dengan lipstiknya. Siapa yang kau temui!" Kali ini aku berteriak marah dan murka sekali. Selagi dia memelukku tadi aku mencium gelagat dan melihat bekas samar gincu wanita. "Itu hanya salah paham, itu hanya ...." "Apa? Apa yang kau ingin jelaskan padaku, kebohongan apa lagi?!" ujarku mendekat, menantang, maju, menabrak dadanya dan menatap matanya dengan tajam. Pria itu nampak gugup, menciut dan salah tingkah. Plak! Sekalinya kugampar kacamata yang biasanya ada di wajah suamiku langsung terlempar dan pecah berkeping-keping. Pecahan dan gagangnya berserakan dengan jarak berjauhan. Aisyah, ayolah, ini salah paham, aish." Plak! "Masih kurang sadar juga ya?" Pria itu hanya terdiam dan memegangi pipinya yang memerah. Bibirnya hendak mengatakan sesuatu tapi dia tidak bisa. "Sudah jelas itu noda lipstik yang berasal dari bibir seorang wanita kau tidak akan bisa mengelaknya ataupun merekayasa alasanmu." "Maaf itu hanya tidak sengaja," balasnya lirih. "Dengan siapa?" tanyaku lantang. "Tadi, aku berjumpa ...." "Elsa lagi hah?" "Maaf, kami hanya berbincang sebentar, wanita itu sedih, dia memelukku dan aku tak bisa menolaknya karena merasa kasihan," jawabnya. "Kasihan sehingga tak mampu menghindari kontak fisik?" tanyaku dengan mata terbelalak dan hati yang sangat kecewa. Ta kusangka, sifat Mas Irsyad lebih menjijikan daripada Hamdan. Bedanya mereka sama Hamdan jujur dengan perasaan dan keinginannya sementara Irsyad yang munafik ini benar-benar membuatku sudah tidak tahan lagi. Di depanku dan keluargaku dia bagaikan malaikat yang tidak berdosa tapi di belakangku dia diam-diam bermesraan dengan mantan istrinya. Kurang ajar sekali. "Aku memang akan pergi Irsyad, tadinya aku berpikir tentang pernikahan kita dan ucapan Ibuku, tapi setelah melihat tingkahmu, sungguh aku semakin kecewa dan yakin pada pendirianku," ucapku sambil menggeleng sedih. "Aish, aku mohon, kami hanya terbawa suasana," balasnya. "Jika kau hanya merangkul wanita itu untuk sekedar menghiburnya maka bekas lipstik dan aroma parfum itu tidak akan melekat di tubuhmu Kalian pasti sudah melakukan lebih dari itu!" "Tolong jangan tuduh aku dengan kalimat yang begitu lancang Aisyah!" Pria itu langsung terburu emosi dan berteriak kepadaku. Reaksinya membuatku semakin yakin bahwa apa yang barusan kukatakan memang benar adanya. "Hah, benar kan, kau mengelak dan marah untuk menutupi semua kesalahanmu." "Aku memang tidak melakukan apa-apa!" "Sudah jelas buktinya ada di depan mata!" Mungkin karena mendengar teriakan kami anak-anak berdatangan ke kamar dan mengetuk pintu. Pertengkaran kami sangat hebat hingga menarik perhatian ketiga anak kami. "Bunda, Ayah ...." Icha dari luar pintu menungguku. "Pergilah, kami sedang bicara!" Aku balas dengan kemarahan ketukan itu. "Tapi Bund, dari jalan dan rumah tetangga kami bisa mendengar teriakan Bunda," ujar Zahra, mungkin disuruh kakaknya untuk mengatakan itu. Menyadari bahwa semakin bertengkar semakin menarik perhatian dan menimbulkan rasa malu aku segera menyimpan sisa pakaian ke dalam koper. Kuambil surat berharga dan perhiasan lalu menyeretnya keluar kamar. Aku sudah sangat murka dan ingin pergi. "Kau mau ke mana?!" "Tentu saja aku mau Pergi, jangan halangi aku!" "Tidak bisa!" Pria itu menghadang, menghalangiku dengan berdiri di depan pintu. "Kenapa tidak bisa! Aku punya hak, aku bukan tahanan!" "Selagi kau istriku aku berhak untuk melarang dan mengatur hidupmu!" "Jangan persulit keadaan karena aku sudah benar-benar tidak tahan. Aku tidak tahan berjumpa denganmu, tidak tahan berdebat, tidak tahan dengan semua omongan dan harus melayanimu, maaf ya ... Aku sudah lelah sekali!" "Jangan pergi!" Aku yang hendak memutar handle pintu langsung dicekal dan didorong hingga terjatuh ke atas tempat tidur. Tas yang tersampir di bahu terlempar dan itu membuatku makin meradang. Kuambil botol parfum yang ada di kaca rias lalu melemparnya dengan cara membabi buta. Pria itu kaget, melompat dan berusaha menghindar. Anak anak berteriak dan menangis mendengar kekacauan kami. Aku kalap, Mas irsyad juga kalap. Kami saling mendorong dan mencekal, aku menggigit dan memukul sementara pria itu mencoba menahanku dengan rangkulannya. Pada akhirnya, Bugh! Gagang lampu tidur mendarat di wajahnya. Pria itu tersungkur dan hidungnya berdarah. Aku berdiri dengan mata berkilat dan kemarahan membuncah, Jilbabku terlepas pun ikatan rambutku juga ikut acak acakan, pantulanku di kaca rias sudah mirip sosok 'Ibu' di film pengabdi setan. "Jika kau menahanku, maka aku akan membunuhmu, Irsyad, kau tak lebih baik dari Hamdan rupanya!" "Jangan bandingkan aku!" Pria itu berteriak dan hendak menyerangku. Bugh! Sekali lagi, pria itu langsung pingsan."Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat untuk mengusik keputusan Maura, dia bilang sebaiknya kami berpisah dan kurasa Itu sudah keputusan final.""Tidak mungkin semudah itu dia melupakan anda, kemarin dia begitu bahagia. Begitu bangga dan cantik saat berdampingan dengan anda. Apakah anda sungguh ingin melepaskannya? Saya rasa anda juga punya cinta yang sama untuknya.""Jujur saja, aku agak ragu melihat sifatnya yang tidak bijak seperti tempo hari itu. Aku seorang duda yang punya anak dan tujuanku menjalin hubungan adalah menghadirkan sosok istri sekaligus ibu yang dibutuhkan oleh putra-putriku. Jika dia masih kekanak-kanakan, maka aku ragu dia bisa berdampingan dengan anakku.""Fakta yang tidak Anda ketahui bahwa Raihan anakku pernah tinggal bersamanya selama beberapa bulan dan dia terlihat begitu bahagia dengan ibu sambungnya. Aku tidak melihat ke pura-puraan di wajah Raihan, karena Maura selalu berusaha menuruti kehendak putraku. Kurasa dia ibu yang baik, Meski mungkin dia tukang
"Kau sudah pulang, Bunda?" tanya suamiku saat mendapati diri ini sore hari sudah ada di rumah."Ya, aku baru saja sampai.""Sebenarnya siapa yang kau temui Sayang?" tanya suamiku dengan ungkapan lembut, aku langsung terkejut dan tersanjung mendengar pertanyaan selembut itu."Aku menemui pejabat notaris dan pengurus akta tanah.""Lalu siapa lagi, sayangku?""Tidak ada.""Kau yakin?""Hmm, iya.""Bola matamu mengembang, tandanya kau sedang berbohong.""Tidak sungguh.""Baiklah, Sayang. Aku menghargainya," jawab Mas Hamdan sambil mengulum senyum."Tapi, aku juga ingin mengakui sesuatu dengan sukarela, kuharap kau tak marah, dan menerima semuanya dengan hati terbuka," ujar Mas Hamdan penuh rahasia."Apa itu?""Ini adalah titipan dari orang yang kutemui siang tadi, dia berkendara jauh hanya untuk menemuiku dan menitipkan tas ini," ucap Mas hamdan. Aku terkejut, dia mengeluarkan kantong goodie bag yang cukup familiar dan uang yang ada di dalamnya masih utuh."I-ini, dari mana?""Maura.""Ke
Kurasaa saat ini tubuh wanita berumur 22 tahun itu tak mampu menahan beban bobotnya, dia boleh jadi akan tumbang mendengar ucapanku. Wanita bekulit putih bersih dengan wajah bak model Pakistani itu pasti linglung mendapat pukulan jawaban seperti tadi. Terbukti ia diam saja kemudian.Aku tahu, aku tidaklah lebih cantik darinya, dalam hal penampilan dia unggul, tapi, pelayanan, tentu akulah yang pertama dan paling paham tentang kemauan Mas hamdan. "Oke, Maura, jika ini akan membuatmu senang, maka mari akhiri saja," ucapku."Caranya bagaimana?" jawabnya parau. Kurasa kini tenggorokan wanita itu tersendat kering."Kita bertemu besok, di kediamanmu, aku akan membawa apa yang kau inginkan.""Tidak usah repot repot!" ucapnya."Cukup tunggu saja aku!" tegasku.Setelah mematikan ponsel, kutarik napas dalam lalu aku beralih ke kamar. Kususul segala sesuatu yang akan kuprrlukam besok untuk menemui wanita itu.Sebenarnya, tak pula harus payah terlalu jauh menjerumuskan diri, tapi karena ini be
Sejak terakhir kali bertemu Maura bayangan wanita itu seolah terus menghantui, membuat diri ini tidak nyaman, perasaanku jadi tidak aman dan was was akan hati suamiku dan bagaimana tingkah lakunya di kemudian hari.Harusnya ketika pasangan sudah berpisah dan memilih untuk menjalani kehidupan masing-masing maka tidak ada alasan lagi untuk menghubungi apalagi sampai meminta uang, terlebih saat sang mantan suami sudah punya istri dan bahagia dengan kehidupannya, tidak ada alasan untuk meminta bantuan kecuali benar-benar terdesak atau memang tidak punya malu."Astaga, aku banyak membuang waktu dengan memikirkan Maura," gumamku sambil bangkit dari sofa ruang tv lalu membereskannya. Kulanjutkan tugas membersihkan rumah dan dapur sambil menunggu cucianku kering di dalam mesin cuci otomatis.*Usai melipat pakaian, aku langsung mandi dan ganti baju, rencananya aku akan menuju kebun untuk memeriksa pekerja yang sedang menggali kolam ikan yang baru. Aku harus mengantarkan makanan dan minuman a
"Kau itu hanya mantan dan tetaplah bersikap seperti mantan, jangan coba-coba untuk merayu atau memanfaatkan kebaikan Hamdan lagi!""Aku juga tak Sudi!" balasnya sambil membuang muka.Sebenarnya aku gemas sekali ingin menjambaknya namun aku menahan diri untuk tidak mengotori tanganku.Semua orang yang ada di tempat itu membeku dan tidak bisa memberikan komentar apapun atas percakapan dan kejadian yang baru saja lewat. Semua orang terpana, lalu memandang kepada Maura yang pergi begitu saja."Ayo pergi." Mas Hamdan menarik tanganku sambil berbisik."Iya, ayo, tidak ada gunanya tetap di sini," jawabku. Kami berjalan beriringan meninggalkan kafe, dan meski di sana ada beberapa karyawan dan satpam, mereka tidak memberikan komentar apapun atau berusaha hendak mengusir kami. Mereka semua terdiam membisu.*"Aku tidak mengira bahwa kau membaca pesan yang dikirimkan Maura ke ponselku,"ucap Mas Hamdan saat kami berada di dalam mobil."Maafkan Aku, aku tidak sengaja melihatnya sekelebatan lalu se
"Mas kau ada waktu sore nanti tidak?""Aku selalu punya waktu untukmu memangnya kenapa?""Uhm, begini, aku punya janji dengan seorang teman, dan Aku ingin kau mengenalnya agar kita menjalin bisnis. Bisakah kau menemaniku bertemu dengannya?""Laki-laki atau perempuan?"tanya Mas Hamdan dengan alis yang terangkat sebelah seakan-akan dia ingin menunjukkan kecemburuan jika itu memang adalah laki-laki."Perempuan Mas ...""Alhamdulillah kalau begitu," jawab Mas Hamdan puas.Usai menandaskan kopi di dalam cangkirnya, suamiku lantas bangkit dan menciumi pipi ini lalu berpamitan untuk pergi bekerja."Aku harus ke ruko pagi sekali karena ada beberapa paket kargo penting yang harus diawasi pengirimannya.""Iya, hati hati di jalan," jawabku. Karena waktu bergulir begitu cepat dan tidak terasa Ini sudah musim hujan lagi aku selalu tidak lupa untuk mengingatkan suami agar selalu membawa payung di dalam mobilnya."Bawa payung, aku tahu bahwa kau sangat sensitif terhadap cuaca dingin, jadi jangan bia