Share

SYARAT

Author: Nay Azzikra
last update Last Updated: 2022-02-02 15:58:31

Malam itu, Mas Danang tidur dengan memeluk tubuhku erat sekali. Aku hampir tidak bisa bernapas bila tidak kupaksa dirinya agak sedikit melonggarkan tangan.

Di tengah malam, aku terbangun. Kembali menatap wajahnya yang pulas.

"Apa yang harus aku lakukan, Mas? Apa yang harus aku putuskan? Aku tidak mau berbagi sekalipun itu hanya formalitas menurutmu. Aku tidak yakin," lirihku.

Hidup memang selalu penuh kejutan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok hari. Sebelum kematian Adrian, aku adalah wanita yang sangat bahagia. Tidak pernah kurang kasih sayang apalagi uang. Mas Danang memanjakanku dengan berbagai fasilitas yang cukup. Meskipun dia bukan seorang milyarder tapi, penghasilannya lebih dari cukup untuk menafkahi kami bertiga.

Orang tuanya cukup berada sehingga, tidak pernah merepotkan kami perihal keuangan. Memang, perlakuan mereka tidaklah sama antara aku dan Firna. Mungkin karena aku adalah anak yatim-piatu. Berbeda dengan Firna yang memilki keluarga yang lengkap. Namun, itu tidak menjadi masalah bagiku. Selama Mas Danang selalu ada buat kami, aku cukup bahagia.

Apakah iya, ini ujian dalam hidup yang harus aku lalui bersama?

Aku bangun dari tempat tidur karena tidak bisa memejamkan mata. Kulangkahkan kaki menuju kamar Nadine dan Raline.

Mereka terlihat pulas dalam balutan selimut tebal. Kuusap kening Raline. Bungsu lima tahun yang sangat manja pada ayahnya.

Membayangkan bila perceraian itu terjadi, pastilah mereka, sosok yang merasa sangat terluka.

Aku berbaring di tengah tubuh keduanya. Kerantangkan kedua tangan agar dapat memeluk mereka secara bersamaan. Namun akhirnya, aku memilih memeluk Nadine. Putriku yang berumur sembilan tahun. Mengusap kepalanya lembut dan terisak hingga tak sadar, aku terlelap.

Sebuah usapan lembut di pipi membuatku mengerjap. Sepasang mata indah berada di hadapanku. Tubuhku berat karena menahan Mas Danang.

"Mas, minggirlah!" bisikku di telinganya. Aku takut kalau kedua putriku melihat kami.

"Kenapa pindah?" Mas Danang acuh, malah balik bertanya.

"Mas minggir!" bentakku lirih.

"Janji dulu, balik ke kamar, baru aku minggir,"

"Ok!" jawabku cepat.

Dengan cepat pula, Mas Danang beranjak. Aku mengekor dari belakang.

"Dek, kamu mau kan, bantu aku?" tanyanya mengharap. Aku menarik napas kasar. Diam mengatur bahasa yang akan aku sampaikan.

"Baiklah, Mas! Tapi dengan beberapa syarat?" Mas Danang mengangguk.

"Apapun itu, yang penting kamu setuju aku menikahi Firna. Karena ini hanya untuk sementara saja. Selama ini, aku selalu setia terhadapmu. Tidak pernah melakukan hal yang macam-macam. Ini sungguh hal yang sulit. Tapi untuk sementara, aku iyakan saja."

"Aku mencoba percaya sama kamu, Mas. Tapi bagaimanapun, ini sakit. Jadi, aku ingin kamu menyetujui apa yang aku syaratkan. Bila tidak maka, aku memilih mundur." Mulut ini mengatur sebentar, "kamu boleh menikahi Firna asalkan, kamu tidak akan pernah tidur di sana. Temuilah Ibu bila siang hari. Dan, kita rahasiakan ini dari Nadine dan Raline."

"Baiklah, aku setuju. Aku akan menerima syarat yang kamu ajukan."

"Satu lagi! Jangan panggil tetangga ataupun saudara di saat pernikahan kalian. Cukup keluarga Firna saja yang menyaksikan." Mas Danang kembali mengangguk.

*

"Saya terima nikah dan kawinnya, Firna Ayu Lestari dengan mas kawin emas dua puluh gram dibayar tunai!" suara lelakiku mengucap janji suci untuk adik iparnya terdengar lantang di ruang tamu rumah orang tua Mas Danang. Hatiku sakit. Sangat sakit.

Apapun niat Mas Danang untuk menikahi Firna, tetap saja, aku merasa lemas. Air mata ini mengalir deras, menyaksikan tangan yang dulu mengikatku di depan wali hakim, kini, mengucapkan kembali ijab qobul untuk wanita lain.

Firna menjabat tangan Mas Danang dan menciumnya takdzim. Namun, Mas Danang segera menarik dan menoleh ke arahku.

Di ruangan ini hanya ada keluarga inti Firna, dan seorang ustadz yang

tidak aku kenal.

Selesai acara ijab qobul, acara dilanjutkan dengan makan-makan.

"Alhamdulillah, Pak Cokro, kita masih terhubung menjadi saudara meskipun Adrian sudah meninggal," ujar ayah Firna pada mertuaku laki-lakiku.

"Iya, Pak Har. Meskipun kita masih bisa menjalin hubungan kekeluargaan bila Firna tidak menjadi menantuku, tapi tetap saja, sepertinya tidak afdhol gitu rasanya. Dengan begini, kita tetap menjadi besan." Tawa mereka pecah. Hanya aku dan Mas Danang yang wajahnya diselimuti kesedihan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • MADU SATU MERTUA   EKSTRA PART 4

    Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya

  • MADU SATU MERTUA   EKSTRA PART 3

    Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b

  • MADU SATU MERTUA   EKSTRA PASRT 2

    “Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,

  • MADU SATU MERTUA   EKSTRA PART 1

    “Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt

  • MADU SATU MERTUA   ENDING

    Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru

  • MADU SATU MERTUA   ENDING

    Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status