"S*ialan!" Tibra menghembuskan napas kencang seraya tangannya bergerak meninju udara. Lelaki itu berkali-kali melemparkan makian saat tidak menemukan keberadaan istrinya disana.
Dia menggeleng tidak percaya. Tibra akhirnya melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Aruna. Dia memperhatikan ruangan itu sejenak. Tibra menajamkan mata saat melihat seperti ada bercak air tertinggal di lantai. Sebelum dia berjongkok untuk memastikan, dia mendadak menyadari kalau bajunya sedikit basah saat berlari dari parkiran tadi.Tibra berjalan menuju meja kerja Aruna dan meletakkan kunci mobil beserta ponselnya. Ruangan itu tidak terlalu besar. Lampu dari bahan kristal berbentuk rangkaian anggur menggantung di plafon. Sofa dengan warna hijau muda senada dengan cat dinding terletak di sudut kanan. Biasanya digunakan oleh Aruna saat ada teman atau rekanan bisnis yang berkunjung kemari.Dua kursi terletak tepat di depan meja kerja Aruna. Biasanya digunakan jika ada karyawan yang datang menghadap atau ada suatu hal penting yang harus dibicarakan. Tibra menarik napas panjang. Sentuhan Aruna jelas terasa dilihat dari pemilihan barang-barang yang ada di sana.“Ck!” Decakan kesal keluar dari mulutnya. Tibra akhirnya duduk di kursi Aruna setelah beberapa saat memperhatikan ruang kerja ibu dari kedua anaknya. Lelaki itu menopang kepala dengan tangan yang kedua sikunya dia gunakan sebagai tumpuan. Pikirannya buntu. Kemana lagi dia bisa menemukan Aruna malam ini? Tidak mungkin wanita itu pergi jauh dalam keadaan hujan dan hanya membawa baju yang melekat di badan saja.Tibra tiba-tiba tertawa kecil. Dia seolah merasakan hangat tubuh Aruna pada kursi yang didudukinya saat ini. Aroma minyak wangi istrinya pun seolah tercium jelas memenuhi hidungnya. Apakah sebegitu kuatnya pengaruh wanita itu sehingga saat dia tidak adapun dia seolah masih meninggalkan jejak dirinya di sana?Tibra mengangkat kepala, pandangan pertamanya jatuh pada pigura foto di sudut meja kerja Aruna. Dia meraih foto itu dan tersenyum tipis. Itu foto keluarga. Foto yang sama dengan yang dipajang di ruang tamu keluarga. Mereka berempat terlihat kompak menggunakan baju seragam di sana. Setelan batik dengan motif Megamendung khas Kota Udang.Wajah Zahir dan Zafar yang tertawa lebar, gurat wajah Aruna terpahat jelas di wajah kedua putra mereka. Kedua anaknya mewarisi hampir seluruh fisik Aruna, kecuali bagian rahang. Rahang tegas Zahir dan Zafar menurun dari Tibra. Perpaduan yang sangat cocok sehingga membuat ketampanan dua anak itu terpancar jelas.Tibra mengalihkan pandangan ke wajah Aruna yang tersenyum manis menampakkan gigi. Sebelah tangan wanita itu menggandeng Zahir, sementara sebelah tangan yang lain memeluk lengannya. Aruna terlihat sangat anggun dengan riasan natural di wajahnya.Foto itu menjadi bukti tak terbantahkan betapa bahagianya keluarga mereka di mata orang-orang. Di mata orang? Ya, kebahagiaan itu hanya bisa dirasakan dan dilihat orang lain tetapi tidak dihatinya.Jauh di dalam sana, Tibra tidak bahagia. Menikahi seorang perempuan yang sangat cerdas, mandiri, dan berani membuatnya seolah menjadi lelaki yang merasa tidak benar-benar dibutuhkan kehadirannya. Aruna bahkan sepertinya dapat hidup baik-baik saja walau tanpa ada dia di sampingnya. Wanita itu jarang sekali merepotkannya. Aruna seolah bisa mengatasi semua permasalahannya sendiri.Tibra meletakkan kembali pigura foto. Lelaki itu menyandarkan punggungnya. Dia memejamkan mata saat kelebatan bayangan Aruna kembali melintas. Bukan sekali ini mereka saling menyakiti dalam beberapa bulan terakhir. Pertengkaran-pertengkaran kecil sering terjadi sejak Aruna memergoki dia dan Andhira sedang berpelukan di ruang kerja istri sirinya itu.Ah… Andhira, Outlet Manager di cabang yang dia kelola. Dia mengenal Andhira dari Aruna. Sore itu, saat hujan membungkus hari sejak pagi, Aruna membawa Andhira ke rumah mereka dalam keadaan kuyup dan menyedihkan. Luka di sudut bibir Aruna yang bergetar dan beberapa lebam di tubuhnya membuat hatinya luluh seketika saat mata mereka bertemu."Ampun! Ampun! Maaf, Mas." Andhira memeluk lutut dan menyembunyikan kepalanya di sana. Rambut wanita itu kusut masai. Di lantai, ceceran rambutnya terserak banyak karena sering dijambak."Tolong! Tolooong … tolooooong … bantu aku, bantu aku." Andhira kembali berteriak kencang sambil menangis histeris. Tubuhnya bergetar hebat. "Jangan bunuh aku, kumohon. Biarkan aku dan anakku hidup dengan tenang. Kumohon." Andhira menghiba dengan wajah basah.Sepuluh menit kemudian, dia tertidur di lantai dalam posisi bersujud. Seperti biasa, setelah mengamuk dan berteriak histeris, Amdhira akan tertidur begitu saja karena kelelahan. Napasnya terdengar teratur. Tidak lagi menderu seperti tadi.Disini, Tibra mengepalkan tangan kencang. Hatinya perih melihat keadaan Andhira. Sejak kejadian pagi itu sebulan yang lalu, Andhira menjadi lebih pendiam. Wanita itu tidak banyak bicara. Dia bahkan semakin menjaga jarak dengan Tibra dan tidak berani membalas tatapannya setiap kali berbicara.Tepat seminggu setela
Tibra meremas selembar foto di tangannya. Lelaki itu menatap nyalang pada foto-foto lain yang berserakan. Disana terlihat foto dua orang yang sangat dia kenal. Andhira dan Devan sedang akad nikah. Keduanya juga tampak tersenyum lebar di pelaminan. Di foto lain, terlihat Devan dan Andhira sedang berfoto di ranjang rumah sakit sambil memeluk bayi mungil dengan papan nama bertuliskan nama Anna. Bukan hanya foto, tapi fotokopi kartu keluarga dan Juga fotokopi buku nikah melengkapi isi amplop coklat yang sampai ke mejanya pagi ini. "Lelucon apa ini?" Tibra tertawa kencang. Kepalanya hampir pecah mengetahui istri dan orang yang telah menghancurkan usahanya ternyata pernah menikah. Lelaki itu benar-benar meraa dipermainkan oleh kehidupan. Tibra langsung membereskan semua foto dan memasukkannya kembali ke dalam amplop besar. Setelah itu dia langsung meninggalkan outlet. Berkali-kali dia memukul kemudi dan membunyikan klakson selama perjalanan. Andai bisa, ingin rasanya dia melajukan kendara
“Devan!”Lelaki yang sedang tiduran di kasur tipis sambil menumpukan kaki kanan di atas lutut kirinya itu mengangkat kepala sedikit saat mendengar petugas menyebut namanya.“Ada tamu,” ucap petugas sambil membuka kunci. Bunyi gemerincing rantai dan kunci beradu dengan sel memenuhi pendengaran, membuat beberapa tahanan menoleh dari balik sel mereka.Devan tersenyum tipis pada wajah-wajah penasaran itu. Jangankan mereka, diapun tidak sabar ingin tahu siapa tamu yang datang ini. Hampir dua tahun dia menjalani hukuman, tidak ada yang datang berkunjung. Itulah sebabnya saat mendengar Devan ada tamu, yang lain langsung antusias.“Siapa ya tamunya?”“Bukannya dia psikopat? Ada juga yang mau mengunjungi ternyata.”“Masa sih?”“Iya, makanya itu dia sendirian di dalam sel!”“Oh jadi itu alasannya dia seperti diistimewakan dengan hanya sendiri saja?”“Iya, katanya dulu awal-awal menjadi tahanan, habis rekan satu selnya. Entah dibagaimanakan, hampir saja teman-teman satu selnya mati perlahan. Unt
“Baiklah, terima kasih pada pembicara kita yang sangat luar biasa. Sesi selanjutnya adalah penyerahan bantuan kepada teman-teman yang usahanya sedang kurang baik. Kepada teman-teman yang namanya disebutkan, harap naik ke atas panggung."Tibra meletakkan gelas minumannya. Sambil merapikan dasi, dia bergegas melangkah ke arah panggung. Beberapa teman yang usahanya juga kurang baik menepuk punggungnya. Mereka berjalan bersama.Hanya Tibra yang tidak didampingi istri. Andhira memilih menemani putri mereka daripada ikut ke sini. Acara itu disiarkan secara live di salah satu televisi swasta. Sehingga, dia bisa ikut mengikuti jalannya acara."Untuk menyerahkan secara simbolis bantuan ini, kami minta dengan hormat kepada Ibu Aruna sebagai sosok yang menginspirasi hari ini untuk memberikan amplop sebagai tanda sahnya teman-teman menerima bantuan. Semoga dengan diberikannya bantuan ini oleh Ibu Aruna, teman-teman sekalian bisa termotivasi untuk berinovasi sehingga usahanya bisa bangkit kembali.
“Ah … maaf!” Tibra yang pikirannya sedang melayang kemana-mana tanpa sengaja menabrak seseorang saat akan mengambil gelas minuman.“Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”Tibra menautkan alis saat mendengar suara yang sepertinya dia kenal. Dengan cepat, lelaki itu mengangkat kepala dan menoleh ke sumber suara.“Tibra.” Wira menarik napas panjang saat menyadari yang menabraknya barusan adalah mantan menantunya. Ada yang tercubit di dalam sana saat berjumpa lagi setelah sekian lama. Terakhir mereka bertemu di ruang persidangan perceraian saat dia mendampingi Aruna.Tibra menegakkan badan, dagunya sedikit terangkat dengan sebelah tangan masuk ke dalam kantong celana. Sejak dulu, dia dan mantan mertuanya itu tidak pernah dekat. Penolakan Wira padanya saat ingin menjadikan Aruna istri dulu masih membekas jelas dalam ingatan Tibra.“Apa kabar, Nak?” Adya tersenyum sambil mengelus tangan Tibra yang memegang gelas minuman. Hubungannya dengan Tibra memang lebih baik dibandingkan suaminya. Sepuluh tahu
“Sesi Sharing di pertemuan tahun ini kita mulai dari yang wajahnya sedang sangat wara-wiri di seluruh media, baik media cetak, radio maupun televisi. Seorang wanita yang sangat menginspirasi baik dari segi bisnis maupun perjalanan cintanya.”Ruangan itu ramai oleh suara tawa. Beberapa bahkan menutup mulut agar tidak tertawa terlalu kencang.“Beliau membangun usaha dari nol, hingga sekarang sudah sangat maju di usia yang masih terbilang muda. Beliau ini juga baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dengan kategori pernikahan termewah tahun ini. Mari kita doakan bersama-sama agar segera dikaruniai keturunan. Aamiin.”“AAMIIN ….” Kompak, hampir semua peserta mengaminkan ucapan pembawa acara. Beberapa bahkan bersuit-suit membuat yang lain tertawa geli.“Untuk menghemat waktu, saya akan segera memanggil seseorang ini. Seseorang yang sangat menginspirasi terutama bagi para wanita. Seseorang yang merupakan gambaran Kartini masa kini. Gigih, mandiri, pekerja keras dan tidak gampang menyera