Share

BAB 5

Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.

“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”

Empat puluh menit berlalu saat akhirnya motor yang dikendarai Aruna memasuki halaman cabang utama usaha mereka. Resto yang menyajikan makanan cepat saji itu terlihat ramai oleh pengunjung. Resto itu buka dua puluh empat jam dengan sistem shifting bagi karyawannya. Shift pertama pukul 06.00-14.00, shift kedua pukul 14.00-22.00, shift terakhir pukul 22.00-06.00.

Aruna berlalu cepat menuju pintu belakang. Dia bahkan mengabaikan petugas keamanan yang sedang membicarakan entah apalah di salah satu sudut halaman. Aruna yakin mereka tidak mengenali dirinya. Bagaimanalah? Dia yang biasanya selalu tampil rapi dan modis, malam ini datang dengan keadaan baju yang basah kuyup dan jilbab yang sedikitpun tidak matching dengan warna bajunya. Tadi sebelum pergi, dia asal ambil saja jilbab di keranjang baju yang baru diantar pihak laundry.

“Pak Rifal sudah pulang?” Aruna bertanya pada salah satu karyawan yang sedang memasang sepatu, sepertinya sedang bersiap untuk pulang. Aruna melirik jam di dinding, Sudah jam sepuluh lewat, waktu pergantian shift sudah berlalu.

“Eh?” Lelaki berusia hampir dua puluh tahun itu mengernyitkan kening ketika menatap Aruna. Sesaat kemudian matanya melebar dan dengan sedikit keheranan dia bangkit dari duduknya yang menghalangi jalan saat menyadari wanita kuyup dengan wajah babak belur di hadapannya ini adalah bosnya.

“Baru saja pulang, Bu.” Lelaki itu memindai penampilan Aruna dengan ujung matanya.

Aruna mengangguk. Biasanya Pak Rifal, Food and Beverage Manager Arapi, pulang saat pergantian shift kedua. Wajar saja jika dia sudah tidak di kantor.

“Bisa tolong sampaikan dulu ke Riwa untuk membuka kembali ruangan saya sebelum kamu pulang, Di?”

“Baik, Bu.” Redi melepas kembali sepatunya dan berlalu ke dalam. Sementara Aruna memilih berbelok ke toilet staff, dia sudah tidak kuat untuk mengeluarkan sesuatu yang sedari tadi ditahannya karena dingin.

Aruna bergegas menuju ruangannya setelah selesai. Beruntung dia menyimpan beberapa stel baju di sana. Tadinya baju-baju itu biasa dia gunakan jika ada kegiatan mendadak yang membutuhkan setelan khusus, itu akan lebih memudahkan dan menghemat waktu tidak harus pulang ke rumah dulu.

Aruna duduk di kursi kerjanya setelah rapi. Dia mengambil ponsel di brankas dan mulai melakukan sinkronisasi kontak. Sambil menunggu proses selesai, wanita itu mempersiapkan beberapa kartu ATMnya.

“Masuk.” Aruna sedikit berteriak saat mendengar ketukan di pintu.

“Minum, Bu.” Riwa masuk sambil membawa teh melati hangat kesukaannya dan sepiring banana nugget, menu terbaru mereka yang launching seminggu lalu.

“Terima kasih ya, Wa.” Aruna tersenyum. Dia sangat bersyukur mempunyai karyawan yang loyal dan pengertian. Dia bahkan belum meminta dibuatkan apapun. Namun, sepertinya tadi Redi menceritakan kondisinya yang memprihatinkan saat datang. Sehingga Riwa inisiatif menyediakan minuman hangat dan sepiring makanan ringan.

“Wa, jangan cerita pada siapa-siapa kondisi saya saat ini. Hanya kamu dan Redi yang tahu keadaan saya saat datang kemari. Lampu di luar matikan saja biar tidak ada yang tahu saya sedang di dalam. Saya sedang ada masalah keluarga. Jadi tolong, mohon kerjasamanya.”

Riwa mengangguk dan pamit mundur. Aruna memutuskan menjelaskan secara singkat pada karyawannya itu. Pipinya membiru dan bibirnya yang pecah. Serta tubuhnya yang terlihat jelas gemetar karena kedinginan dan menahan sakit pasti akan menimbulkan pertanyaan. Dia tidak mau justru timbul spekulasi aneh di luar sana. Dengan memberi keterangan, Riwa pasti merasa dia diberi kepercayaan sehingga akan tutup mulut tentang keberadaanya.

Seteguk teh wangi beraroma melati menghangatkan tubuh Aruna. Wanita itu tersenyum lega. Setidaknya dia harus merasa nyaman lebih dulu agar bisa berpikir jernih dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.

Bercerai itu sudah pasti langkah yang akan dia ambil. Bukan dia tidak memikirkan anak-anak, tetapi Tibra sudah melanggar dua prinsip yang dia pegang teguh selama ini. Selama suami tidak melakukan kekerasan dan tidak berselingkuh, dia bisa menerima apapun kesalahannya. Karena dua hal itu dilakukan lelaki dalam keadaan sadar dan sengaja, dan Tibra melakukan dua hal itu sekaligus. Lelaki itu bahkan dengan entengnya mengatakan mereka telah menikah.

“Clar? Ini aku, Aruna.” Aruna langsung menelepon kenalannya saat proses sinkronisasi selesai.

“Iya, Run? Ganti nomor kamu?” Clara, sahabat kental Aruna yang tahu persis kisah perjalanan cinta dan perjuangan hidupnya dengan Tibra adalah orang pertama yang dia percaya dapat membantunya. Dia juga satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama kecilnya, Runa.

“Tidak. Ini ponsel urusan bisnisku. Aku butuh bantuanmu, Clar.” Aruna langsung ke pokok permasalahan. Dia tidak ada waktu untuk berbasa basi.

“Ada apa, Run?” Nada khawatir terdengar dari suara Clara. Jelas wanita itu khawatir, tidak biasanya Runa menelepon semalam ini.

Sahabatnya itu bahkan hampir tidak pernah memegang ponsel lagi saat sudah di rumah, dia fokus pada keluarga setelah seharian sibuk di luar. Apalagi kali ini Aruna menelepon menggunakan ponsel keperluan bisnisnya. Ada apakah?

“Kamu pernah cerita ada kenalan Om Zafran yang pengacara kan, Clar?” Aruna dapat memastikan kening Clara mengernyit mendengar pertanyaannya. Zafran, adik dari ibunya Clara yang sudah menganggap Aruna sebagai anaknya sendiri karena sangat dekat dengan keponakannya.

“Iya, kenapa?”

“Boleh hubungkan aku dengan beliau? Aku ingin menuntut cerai Tibra.”

“Baik, tunggu sebentar.” Panggilan itu langsung ditutup oleh Clara.

Aruna menarik napas lega. Clara memang pengertian, sedikitpun dia tidak bertanya. Sahabatnya itu tau dia butuh bantuan, nanti juga dia pasti akan bercerita jika sudah siap. Satu yang pasti, Clara tahu Aruna sedang menghadapi situasi genting.

Aruna menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia memejamkan, namun sepersekian detik kemudian mata itu kembali terbuka. Ujung matanya sempat menangkap siluet foto yang terletak hampir di ujung meja saat akan menutup tadi.

Aruna meraih foto itu. Foto keluarga mereka tiga tahun yang lalu. Aruna menggandeng Zahir yang saat itu berusia lima tahun, sementara Tibra menggendong Zafar. Tangan Aruna dan Tibra bertaut, keduanya saling menggenggam erat.

Aruna ingat sekali, itu foto saat peresmian cabang keempat usaha mereka di sebuah daerah di Kota Kembang. Mereka tertawa bahagia di depan resto yang baru, zafar bahkan masih memegang pita merah yang baru saja dipotong saat peresmian tadi.

Dering telepon menarik kembali kesadaran Aruna. Bergegas dia menegakkan punggung dan meletakkan foto. Sesaat sebelum mengangkat panggilan dia baru menyadari, bibirnya bahkan masih tersenyum hingga kini saat mengingat kebahagiaan mereka kala itu.

“Dengan Aruna, Arapi Cabang Utama.”

“Selamat malam, Bu Aruna. Saya Lendra. Saya mendapat kontak anda dari Pak Zafran.”

Aruna menarik napas panjang. Inilah akhir kisah cintanya dengan Tibra. Orang yang untuk bisa hidup bersamanya, dia rela menentang kedua orang tuanya. Aruna bahkan menghabiskan masa mudanya berjuang mendampingi Tibra agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, saat kehidupan yang layak sudah mereka rasakan, seperti kacang lupa kulitnya lelaki itu tega mendua dan berlaku kasar padanya. Dua hal yang sangat tidak bisa ditolerir oleh Aruna.

“Baik. Malam ini saya langsung membuat surat kuasa sebagai pengacara Bu Aruna. Besok pagi ibu tinggal menandatangani sebagai bukti sudah menyetujui saya bertindak sebagai kuasa hukum ibu. Kirim alamat ibu, besok jam tujuh pagi saya jemput untuk membuat aduan ke kantor polisi sambil kita diskusikan lagi secara rinci mengenai apa saja gugatan yang akan diajukan.”

Aruna menarik napas lega. Setidaknya satu permasalahannya sudah berada di tangan orang yang tepat dan mengerti betul ranah kasus yang akan dia ajukan.

“Bu.”

Aruna langsung menoleh. Dia cukup terkejut saat Riwa menerobos masuk tanpa mengetuk pintu.

“Ada Pak Tibra di depan”

Wajah Aruna menegang. Apa Tibra tahu dia ada di sini?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dasar dungu,tolol dan goblok. bukannya menyelamatkan diri malahan pergi ketempat usaha. matilah kau nyet. sok hebat,pantas kena hajar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status