Terpaan angin malam selama perjalanan membuat Aruna harus menahan dingin. Tangannya bahkan mati rasa, susah payah dia mengendalikan diri agar tetap bisa mengendarai motor. Sekuat tenaga dia meneguhkan hati agar bisa sampai ke cabang utama yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari perumahan.
“Dulu, aku matian-matian berjuang mendampingimu untuk mendapatkan semua ini, Mas. Maka kini aku tidak keberatan sedikitpun untuk berjuang sekali lagi mempertahankan milikku dan hak anak-anakku.”Empat puluh menit berlalu saat akhirnya motor yang dikendarai Aruna memasuki halaman cabang utama usaha mereka. Resto yang menyajikan makanan cepat saji itu terlihat ramai oleh pengunjung. Resto itu buka dua puluh empat jam dengan sistem shifting bagi karyawannya. Shift pertama pukul 06.00-14.00, shift kedua pukul 14.00-22.00, shift terakhir pukul 22.00-06.00.Aruna berlalu cepat menuju pintu belakang. Dia bahkan mengabaikan petugas keamanan yang sedang membicarakan entah apalah di salah satu sudut halaman. Aruna yakin mereka tidak mengenali dirinya. Bagaimanalah? Dia yang biasanya selalu tampil rapi dan modis, malam ini datang dengan keadaan baju yang basah kuyup dan jilbab yang sedikitpun tidak matching dengan warna bajunya. Tadi sebelum pergi, dia asal ambil saja jilbab di keranjang baju yang baru diantar pihak laundry.“Pak Rifal sudah pulang?” Aruna bertanya pada salah satu karyawan yang sedang memasang sepatu, sepertinya sedang bersiap untuk pulang. Aruna melirik jam di dinding, Sudah jam sepuluh lewat, waktu pergantian shift sudah berlalu.“Eh?” Lelaki berusia hampir dua puluh tahun itu mengernyitkan kening ketika menatap Aruna. Sesaat kemudian matanya melebar dan dengan sedikit keheranan dia bangkit dari duduknya yang menghalangi jalan saat menyadari wanita kuyup dengan wajah babak belur di hadapannya ini adalah bosnya.“Baru saja pulang, Bu.” Lelaki itu memindai penampilan Aruna dengan ujung matanya.Aruna mengangguk. Biasanya Pak Rifal, Food and Beverage Manager Arapi, pulang saat pergantian shift kedua. Wajar saja jika dia sudah tidak di kantor.“Bisa tolong sampaikan dulu ke Riwa untuk membuka kembali ruangan saya sebelum kamu pulang, Di?”“Baik, Bu.” Redi melepas kembali sepatunya dan berlalu ke dalam. Sementara Aruna memilih berbelok ke toilet staff, dia sudah tidak kuat untuk mengeluarkan sesuatu yang sedari tadi ditahannya karena dingin.Aruna bergegas menuju ruangannya setelah selesai. Beruntung dia menyimpan beberapa stel baju di sana. Tadinya baju-baju itu biasa dia gunakan jika ada kegiatan mendadak yang membutuhkan setelan khusus, itu akan lebih memudahkan dan menghemat waktu tidak harus pulang ke rumah dulu.Aruna duduk di kursi kerjanya setelah rapi. Dia mengambil ponsel di brankas dan mulai melakukan sinkronisasi kontak. Sambil menunggu proses selesai, wanita itu mempersiapkan beberapa kartu ATMnya.“Masuk.” Aruna sedikit berteriak saat mendengar ketukan di pintu.“Minum, Bu.” Riwa masuk sambil membawa teh melati hangat kesukaannya dan sepiring banana nugget, menu terbaru mereka yang launching seminggu lalu.“Terima kasih ya, Wa.” Aruna tersenyum. Dia sangat bersyukur mempunyai karyawan yang loyal dan pengertian. Dia bahkan belum meminta dibuatkan apapun. Namun, sepertinya tadi Redi menceritakan kondisinya yang memprihatinkan saat datang. Sehingga Riwa inisiatif menyediakan minuman hangat dan sepiring makanan ringan.“Wa, jangan cerita pada siapa-siapa kondisi saya saat ini. Hanya kamu dan Redi yang tahu keadaan saya saat datang kemari. Lampu di luar matikan saja biar tidak ada yang tahu saya sedang di dalam. Saya sedang ada masalah keluarga. Jadi tolong, mohon kerjasamanya.”Riwa mengangguk dan pamit mundur. Aruna memutuskan menjelaskan secara singkat pada karyawannya itu. Pipinya membiru dan bibirnya yang pecah. Serta tubuhnya yang terlihat jelas gemetar karena kedinginan dan menahan sakit pasti akan menimbulkan pertanyaan. Dia tidak mau justru timbul spekulasi aneh di luar sana. Dengan memberi keterangan, Riwa pasti merasa dia diberi kepercayaan sehingga akan tutup mulut tentang keberadaanya.Seteguk teh wangi beraroma melati menghangatkan tubuh Aruna. Wanita itu tersenyum lega. Setidaknya dia harus merasa nyaman lebih dulu agar bisa berpikir jernih dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan.Bercerai itu sudah pasti langkah yang akan dia ambil. Bukan dia tidak memikirkan anak-anak, tetapi Tibra sudah melanggar dua prinsip yang dia pegang teguh selama ini. Selama suami tidak melakukan kekerasan dan tidak berselingkuh, dia bisa menerima apapun kesalahannya. Karena dua hal itu dilakukan lelaki dalam keadaan sadar dan sengaja, dan Tibra melakukan dua hal itu sekaligus. Lelaki itu bahkan dengan entengnya mengatakan mereka telah menikah.“Clar? Ini aku, Aruna.” Aruna langsung menelepon kenalannya saat proses sinkronisasi selesai.“Iya, Run? Ganti nomor kamu?” Clara, sahabat kental Aruna yang tahu persis kisah perjalanan cinta dan perjuangan hidupnya dengan Tibra adalah orang pertama yang dia percaya dapat membantunya. Dia juga satu-satunya orang yang memanggilnya dengan nama kecilnya, Runa.“Tidak. Ini ponsel urusan bisnisku. Aku butuh bantuanmu, Clar.” Aruna langsung ke pokok permasalahan. Dia tidak ada waktu untuk berbasa basi.“Ada apa, Run?” Nada khawatir terdengar dari suara Clara. Jelas wanita itu khawatir, tidak biasanya Runa menelepon semalam ini.Sahabatnya itu bahkan hampir tidak pernah memegang ponsel lagi saat sudah di rumah, dia fokus pada keluarga setelah seharian sibuk di luar. Apalagi kali ini Aruna menelepon menggunakan ponsel keperluan bisnisnya. Ada apakah?“Kamu pernah cerita ada kenalan Om Zafran yang pengacara kan, Clar?” Aruna dapat memastikan kening Clara mengernyit mendengar pertanyaannya. Zafran, adik dari ibunya Clara yang sudah menganggap Aruna sebagai anaknya sendiri karena sangat dekat dengan keponakannya.“Iya, kenapa?”“Boleh hubungkan aku dengan beliau? Aku ingin menuntut cerai Tibra.”“Baik, tunggu sebentar.” Panggilan itu langsung ditutup oleh Clara.Aruna menarik napas lega. Clara memang pengertian, sedikitpun dia tidak bertanya. Sahabatnya itu tau dia butuh bantuan, nanti juga dia pasti akan bercerita jika sudah siap. Satu yang pasti, Clara tahu Aruna sedang menghadapi situasi genting.Aruna menyandarkan tubuhnya pada kursi. Dia memejamkan, namun sepersekian detik kemudian mata itu kembali terbuka. Ujung matanya sempat menangkap siluet foto yang terletak hampir di ujung meja saat akan menutup tadi.Aruna meraih foto itu. Foto keluarga mereka tiga tahun yang lalu. Aruna menggandeng Zahir yang saat itu berusia lima tahun, sementara Tibra menggendong Zafar. Tangan Aruna dan Tibra bertaut, keduanya saling menggenggam erat.Aruna ingat sekali, itu foto saat peresmian cabang keempat usaha mereka di sebuah daerah di Kota Kembang. Mereka tertawa bahagia di depan resto yang baru, zafar bahkan masih memegang pita merah yang baru saja dipotong saat peresmian tadi.Dering telepon menarik kembali kesadaran Aruna. Bergegas dia menegakkan punggung dan meletakkan foto. Sesaat sebelum mengangkat panggilan dia baru menyadari, bibirnya bahkan masih tersenyum hingga kini saat mengingat kebahagiaan mereka kala itu.“Dengan Aruna, Arapi Cabang Utama.”“Selamat malam, Bu Aruna. Saya Lendra. Saya mendapat kontak anda dari Pak Zafran.”Aruna menarik napas panjang. Inilah akhir kisah cintanya dengan Tibra. Orang yang untuk bisa hidup bersamanya, dia rela menentang kedua orang tuanya. Aruna bahkan menghabiskan masa mudanya berjuang mendampingi Tibra agar bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, saat kehidupan yang layak sudah mereka rasakan, seperti kacang lupa kulitnya lelaki itu tega mendua dan berlaku kasar padanya. Dua hal yang sangat tidak bisa ditolerir oleh Aruna.“Baik. Malam ini saya langsung membuat surat kuasa sebagai pengacara Bu Aruna. Besok pagi ibu tinggal menandatangani sebagai bukti sudah menyetujui saya bertindak sebagai kuasa hukum ibu. Kirim alamat ibu, besok jam tujuh pagi saya jemput untuk membuat aduan ke kantor polisi sambil kita diskusikan lagi secara rinci mengenai apa saja gugatan yang akan diajukan.”Aruna menarik napas lega. Setidaknya satu permasalahannya sudah berada di tangan orang yang tepat dan mengerti betul ranah kasus yang akan dia ajukan.“Bu.”Aruna langsung menoleh. Dia cukup terkejut saat Riwa menerobos masuk tanpa mengetuk pintu.“Ada Pak Tibra di depan”Wajah Aruna menegang. Apa Tibra tahu dia ada di sini?"S*ialan!" Tibra menghembuskan napas kencang seraya tangannya bergerak meninju udara. Lelaki itu berkali-kali melemparkan makian saat tidak menemukan keberadaan istrinya disana.Dia menggeleng tidak percaya. Tibra akhirnya melangkah masuk dan menutup pintu ruang kerja Aruna. Dia memperhatikan ruangan itu sejenak. Tibra menajamkan mata saat melihat seperti ada bercak air tertinggal di lantai. Sebelum dia berjongkok untuk memastikan, dia mendadak menyadari kalau bajunya sedikit basah saat berlari dari parkiran tadi.Tibra berjalan menuju meja kerja Aruna dan meletakkan kunci mobil beserta ponselnya. Ruangan itu tidak terlalu besar. Lampu dari bahan kristal berbentuk rangkaian anggur menggantung di plafon. Sofa dengan warna hijau muda senada dengan cat dinding terletak di sudut kanan. Biasanya digunakan oleh Aruna saat ada teman atau rekanan bisnis yang berkunjung kemari.Dua kursi terletak tepat di depan meja kerja Aruna. Biasanya digunakan jika ada karyawan yang datang menghadap atau a
Perasaannya menghangat saat tangan mereka berjabat. Hatinya berbisik, wanita di hadapannya ini butuh perlindungan. Sikap Andhira yang lemah seperti menjadi daya tarik tersendiri bagi Tibra. Dia langsung menyetujui saat Aruna mengusulkan untuk memberi Andhira pekerjaan. Apalagi, mereka memang sedang membutuhkan tenaga tambahan karena manajer yang lama baru saja mengundurkan diri. Seiring berjalannya waktu, pekerjaan membuat mereka sering bertemu.Dari Andhira, Tibra merasakan dirinya menjadi lelaki seutuhnya. Wanita itu rapuh dan sangat bergantung padanya. Tibra merasa kehadirannya sangat dihargai oleh Andhira. Bertahun hidup bersama Aruna yang serba bisa melakukan apa saja, membuat Tibra seperti menemukan kehidupan baru saat bersama Andhira.Bantuan-bantuan kecil yang dia berikan, sering membuat wanita itu berkaca-kaca karena terharu. Ucapan terima kasih yang tulus dari bibir mungil Andhira seolah menjadi candu bagi Tibra. Hal yang tidak pernah dia dapatkan dari Aruna. Wanita yang te
Tibra menarik napas panjang. Sejak mereka menikah beberapa bulan yang lalu, dia memang sengaja meminta Andhira tidur di rumah. Selain dia bisa tetap menjaga Zahir dan Zafar, dia juga bisa menjaga Andhira. Perasaannya sering tidak tenang meninggalkan wanita itu, berbeda dengan Aruna. Dia tidak perlu takut wanita itu akan kenapa-kenapa. Aruna pandai menjaga diri dan bisa berpikir cepat.Bisa berpikir cepat, inilah yang sedikit dikhawatirkan Tibra. Sepuluh tahun berumah tangga, dia masih kesulitan menyelami pikiran Aruna. Dia tidak bisa menebak tindakan apa yang akan diambil Aruna. Satu yang pasti, dia harus menemukan Aruna malam ini. Bukan karena dia khawatir, tetapi agar dia bisa memastikan wanita itu tidak pergi jauh dan tetap dalam pengawasannya.“Mas?” suara di seberang sana kembali terdengar.“Ah iya, Dhir. sudah dulu ya? Mas sudah mengantuk ini.” Tibra berpikir cepat mencari alasan. Lebih baik menyudahi obrolan segera daripada harus menjelaskan pada Andhira apa yang terjadi. Salah
“Saya sudah di depan, Bu.”Aruna yang baru saja menyelesaikan sarapan tersenyum tipis membaca pesan di ponselnya. Dia segera kembali ke kamar dan bergegas mengambil paper bag yang dia bawa. Wanita itu kemudian berjalan anggun menuju lobby depan hotel tempat mobil mewah warna biru tua sedang parkir.Sebelum niat Aruna mengetuk kaca mobil terlaksana. Pintu mobil terbuka, lelaki berusia kurang dari empat puluh tahun berpenampilan perlente tersenyum lebar pada Aruna. Aruna langsung masuk setelah dipersilakan.“Saya Lendra.” Lelaki itu mengulurkan tangan sambil melepaskan kaca mata hitam yang dia kenakan. "Pak, tolong suara musiknya agak dikecilkan sedikit." Lendra memberi perintah pada supirnya. Suara musik yang sedikit kencang bisa mengganggu pembicaraan serius yang akan mereka mulai.Aruna tertawa kecil menatap Lendra. Dia langsung membalas jabat tangan pria matang di sampingnya. Siapa yang tidak tahu pengacara yang sedang naik daun ini? Penampilannya yang selalu modis dan rapi namun
Lendra menatap wanita disampingnya lamat-lamat. Lipstik warna merah maroon yang Aruna gunakan tidak dapat menutupi jejak kekerasan yang dia dapatkan tadi malam. Bengkak dan sedikit pecah karena sobek, menjadi bukti kuat ucapan wanita di sampingnya ini bukan sekedar omong kosong belaka.“Saya sengaja tidak mengobatinya.” Aruna tiba-tiba berbicara sambil menoleh pada Lendra yang sedang mengamati wajahnya. Lendra tersenyum sambil mengangkat kedua alisnya, sedikit salah tingkah karena Aruna bisa membaca pikirannya.“Saya paham maksud pernyataan anda.” Aruna mengangguk pada asisten Lendra yang menawarinya permen. Dia mengambil satu untuk menyegarkan mulut. Mint, adalah rasa yang sangat disukainya.“Thank you.” Aruna tersenyum pada gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Viana.“Kita masih punya waktu hingga sampai di kantor polisi, Bu Aruna.” Lendra menatap Aruna lamat-lamat. Wanita di sampingnya ini bahkan masih dibawah tiga puluh tahun. Usia yang masih sangat muda.“Untuk?” Aruna mena
Untuk visum, dia memang berharap visum bisa segera dilakukan. Tanda-tanda penganiayaan masih terlihat jelas di tubuhnya. Lebam bekas tendangan Tibra, telapak tangannya yang membiru dan terluka karena diinjak, bibirnya yang bengkak dan pecah, bahkan kulit kepalanya terasa perih karena Tibra menarik sisir dengan kasar sehingga rambutnya ikut terseret kencang.Namun di atas semua itu, hatinya jauh lebih sakit karena pengakuan Tibra tentang pernikahannya dengan Andhira, wanita yang sudah dia anggap saudara sendiri. Seseorang yang tidak tahu cara berterima kasih pada orang yang telah mengangkat derajat hidup dan menolongnya dari kesulitan dan kesengsaraan.Bukan dia egois hanya memikirkan perasaannya sendiri. Jauh sebelum ini dia telah berpikir matang. Dia bahkan masih bertahan di rumah, bersikap seolah semua baik-baik saja di depan anak-anak setelah memergoki suaminya dan sang wanita penggoda tengah bermesraan.Namun, kejadian tadi malam benar-benar mengikis habis kebesaran hati Aruna. T
“Mas!” Andhira menerobos masuk ke ruangan Tibra. Wanita terlihat panik sehingga lupa kalau mereka sedang dalam suasana kerja. “Maaf, Pak Tibra, ada masalah genting di luar.” Andhira sedikit salah tingkah karena ternyata Tibra sedang ada tamu. Dia berdiri kikuk di depan pintu. Dengan sebelah tangan, Andhira menyibakkan rambut panjangnya yang terurai untuk menetralisir rasa gugup dalam dada. Tibra mengangguk pada Andhira dan memberi kode pada wanita itu untuk meninggalkan ruangannya dengan pandangan mata. Dia bisa melihat wanita bertubuh sintal dengan pakaian membentuk tubuh itu bergegas meninggalkan ruangan.“Maaf, boleh Saya izin sebentar?” Tibra menunjuk arah pintu dengan jempol tangannya. Wajahnya menampilkan senyum lebar pada beberapa tamunya. Mereka memang sedang ada pertemuan khusus.Jauh sebelum pertengkarannya dengan Aruna. Mereka memang berencana membuka usaha baru di luar pulau jawa. Menurut pengamatan Aruna, prospek usaha ini cukup menjanjikan. Wanita itu ingin melakukan p
“Apakah ada kemungkinan masuknya pihak ketiga?”Tibra melihat Lendra tersenyum menanggapi pertanyaan dari salah satu awak media. Sementara di sebelahnya, Andhira mencengkram lengannya kencang. Suara napas wanita itu mendengus cepat, terdengar tidak beraturan karena gugup.“Tadi anda mengatakan masalah ini sudah tidak bisa diselesaikan melalui jalan kekeluargaan. Apakah itu berarti akan ada perceraian antara Aruna dan Tibra? Bukankah kejadiannya baru tadi malam? Tidakkah terlalu cepat Aruna mengambil keputusan? Atau masalah yang mereka hadapi sangat serius?”“Betul. Setelah dari sini kami akan melakukan visum terlebih dahulu sesuai dengan surat perintah yang dikeluarkan kepolisian pada saat laporan ini dibuat. Begitu proses visum selesai, kami akan langsung menuju kantor pengadilan agama untuk memasukkan berkas pengajuan gugatan cerai.Mengenai alasan kenapa cepat sekali klein kami mengambil keputusan, masih akan dibicarakan nanti. Namun, dari keterangan yang saya dapat, dia sudah mant