Share

part 6

Setelah berberes aku dan Nisa menyusul keruang tamu, kulihat wajah mas Pras memerah seperti tengah meredam amarah, apa mereka habis berdebat.

"Run, papa ingin kekamar?" pinta papa saat aku baru saja sampai disana, keningku mengkerut menatap mas Pras.

"Berhenti meracuni Aruna, pa? Papa tidak tahu bagaimana terlukanya Aruna." tukas mas Pras, aku bingung tidak mengerti arah pembicaraan mereka.

"Mas! Aku mendelikkan mata kearah mas Pras, aku hanya tidak inhin jika keadaan papa drop lagi.

"Biar Aruna antar, pa!" balasku seraya mendorong kursi roda, mama menyusul dibelakangku.

Aku dan mama membantu papa berbaring ditempat tidur saat sampai dikamar.

"Run, maafkan papa?" ujar sang papa.

Aku tersenyum lalu duduk disisi ranjang membawa tangan pria paruh baya tersebut kedalam genggamanku.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, pa! Aruna ikhlas." ujar Aruna, kebahagiaan sang papa adalah yang utama baginya.

"Papa istirahat ya?" Aruna menyelimuti tubuh sang papa, lalu mengecup kening lelaki yang telah dia anggap seperti ayahnya sendiri.

"Jangan terlalu banyak fikir, Aruna baik-baik saja." balas Aruna meyakinkan, lelaki itu hanya menganggukan pelan kepalanya.

"Ma, Aruna keluar dulu." pamit Aruna setelah izin dengan sang mama.

Aruna kembali keruang tamu, disana sudah tidak ada lagi suaminya maupun Nisa, apa mereka sudah kembali kekamar? gumam Aruna.

Dada Aruna langsung berdenyut nyeri, apa mereka akan menghabiskan malam bersama malam ini? ya Allah, hamba tidak sanggup, apa yang harus hamba lakukan, Aruna mulai terisak.

Aruna tertatih melangkahkan kakinya menuju kamar, sampai kapan aku harus bertahan dengan kesakitan ini.

"Ma-mas!" aku terkejut saat melihat mas Pras tengah bersandar dikepala ranjang, ternyata perkiraanku salah, mas Pras berada dikamar kami bukan sedang bersama Nisa.

Setelah pernikahan kedua mas Pras, aku tidak bisa lagi berfikiran positif terhadap suamiku sendiri, bahkan saat dia tidak bersamaku aku selalu memcurigainya.

"Kenapa lama sekali, dek? Apa papa meminta hal yang aneh-aneh lagi?" tuding Pras saat Aruna sudah duduk disisi ranjang disebelahnya.

Aku menggeleng, memang papa tidak meminta apa-apa, aku menatap wajah tampan suamiku.

"Mas, kembalilah kekamar kalian?" pinta Aruna.

"Ini kamar kita, dek!" balas Pras.

"Tidak perlu aku jelaskan, pergilah mas, Nisa juga istrimu sekarang."

"Jangan berlaku dzolim." balasku mengingatkan, meskipun hati ini tercabik-cabik saat mengatakannya.

"Jika ditunda, sampai kapan keinginan papa akan terwujud." ujarku mengingatkan.

"Dia hanya istri diatas kertas, malam ini mas tetap akan tidur disini meskipun tanpa seizin darimu." timpal mas Pras, lalu tidur membelakangiku.

Aku hanya bisa menghembus nafas kasar, lalu membaringkan tubuhku disebelah mas Pras, menatap punggung lelakiku, ini pertama kalinya kami tidur tanpa saling memeluk, seperti ada jarak tak kasat mata yang membentengi kami.

Andai permintaan papa tidak serumit ini, mungkin kami adalah pasangan yang paling bahagia dimuka bumi, aku sangat beruntung memiliki pasangam seperti mas Pras, dia selalu menjaga perasaanku, aku tahu cintanya begitu besar untukku.

Mas Pras membalikkan tubuhnya menghadapku lalu menarik tubuh ini kedalam pelukannya.

"Bahkan beberapa menit tidur membelakangi kamu mas tidak sanggup, dek!" ujar lelakiku.

Aku membenamkan wajahku didada bidang mas Pras, mencium aroma yang sudah menjadi candu bagiku.

"Semoga kita diberi kemudahan dalam menghadapi ujian ini, mas!" ujarku.

Mas Pras hanya diam sambil mencium keningku, tanpa menjawab doa yang aku ucapkan.

***

Hari ini kami pamit dengan kedua orangtua mas Pras.

"Nis, sebaiknya kamu tinggal dirumah kami saja." pintaku saat kami sudah berada didalam mobil.

"jangan mbak, tidak baik jika kita berdua satu atap, kita hanya manusia biasa tidak menutup kemungkinan perselisihan dan kesalahpahaman akan terjadi."

"Jadi, biarkan aku tinggal ditempat lamaku." ujar Nisa.

Aku mengerti maksud dari perkataan Nisa, dia tidak ingin melukai hatiku, tapi apa aku sanggup jika mas Pras membagi waktunya untuk istrinya yang lain, dan mulai sekarang sepertinya aku harus menyiapkan hati jika sewaktu-waktu mas Pras tidak pulang kerumah.

"Ya sudah, jika itu keinginan kamu." balasku.

Sepi ... Tidak ada yang memulai pembicaraan, kami sibuk dengan fikiran kami masing-masing.

"Mas, antar aku terlebih dahulu?" pintaku memecahkan keheningan, aku ingin memberi waktu untuk mas Pras dengan istri keduanya.

"Kita antar Nisa pulang terlebih dahulu, dek!" balas mas Pras.

"Bukankah rumah kita lebih dekat? Aku ingin istirahat, mas! Kepalaku pusing." alasanku.

"Kamu sakit, dek?" mas Pras meletakkan punggung tangannya dikeningku, terlihat jelas kekhawatiran dari raut wajahnya.

Dari balik kaca bisa kulihat Nisa memalingkan wajahnya kearah jendela, aku bisa pastikan wanita itu tengah cemburu, meskipun mereka menikah tanpa cinta tapi sekarang mas Pras sudah menjadi suaminya.

"Aku hanya sedikit pusing, mas! mas saja ya yang antar Nisa?" bujukku.

hm! hanya itu yang terucap dari bibir mas Pras, mobil berbelok kearah kompleks perumahan.

Mas Pras mengikutiku turun dari mobil, aku menghentikannya saat ingin mengantarku kedalam.

"Ini hanya alasan kamu saja kan, dek?" pernyataan mas Pras tepat sasaran.

Aku hanya diam menatapnya, pergilah mas! kalian butuh pendekatan." balasku.

"Terserah kamu, dek!" jawab mas Pras lalu berbalik kembali menuju mobilnya.

"Cepat sehat ya, mbak?" ujar Nisa sambil melambaikan tangannya, aku hanya menganggukan kepala lalu membalas lambaian tangan maduku.

Melangkah gontai memasuki rumah yang sudah dua tahun aku tempati bersama mas Pras, baru kali ini aku merasakan rumah ini terasa hampa, biasanya aku selalu merasakan kebahagiaan jika berada didalamnya.

Membuatkan sarapan pagi untuk kami berdua, mengantarkan mas Pras sampai kedepan pintu saat akan berangkat kekantor, setelah berberes aku membersihkan tubuhku lalu video call saat jam istirahat mas Pras dikantor.

menunggu kepulangannya saat sore hari dan hampir setiap malam kami menghabiskan makan malam romantis yang diciptakan oleh mas Pras sendiri.

Tidak melewati liburan ala-ala kami jika waktu libur kantor mas Pras tiba, kami selalu berdua bagaikan prangko tidak pernah terpisahkan, hanya pekerjaan mas Pras yang membatasi waktu berdua kami.

Apa sekarang aku sanggup melewati hari-hari tanpa suamiku? Bahkan memikirkannya aku tidak berani, aku mebiarkan waktu seperti ini mengalir.

Aku memegang dadaku yang kian sesak, memikirkan mas Pras yang satu mobil dengan istri keduanya lalu saat mereka sampai, apa mereka akan melanjutkan hal yang tertunda semalam?

Fikiranku berkecamuk, aku terluka, luka yang tak terlihat tapi mampu mengoyakkan setiap persendianku.

Aku meringkuk ditempat tidur, bayangan mas Pras dan Nisa menari-nari dihadapanku.

Astaghfirullah ... Ya Allah hilangkanlah rasa sakit ini, membayangkannya saja aku tidak mampu.

Setelah cukup tenang, aku membuka ponsel, mengetikkan kata pencarian disalah satu aplikasi diponselku tentang poligami, lama aku mendengarkan ceramah dari salah satu ustadz ternama tersebut.

Aku sendiri tidak yakin, sampai batas mana keikhlasan hati untuk berbagi suami?

by : nouvallin30

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status