Share

part 5

Aku merasakan pelukan hangat seseorang saat mengerjabkan mata ini, perlahan membuka mata karena kepalaku terasa begitu berat.

Aku melirik jam didinding, astahhfirullah! Ternyata hari sudah malam, aku melewati 3 waktu shalat, acara ijab pukul 10 pagi dan sekarang sudah memasuki waktu isya.

Mungkin karena pergerakanku, mas Pras terbangun tanpa memalingkan tatapannya dari wajahku.

"Kenapa tidak membangunkanku." balasku menatapnya, mas Pras semakin mengeratkan pelukannya saat aku ingin beranjak.

"Mas tahu aku melewatkan waktu shalatku." Pras menatap wajah istrinya, meskipun Aruna marah tapi dimatanya itu ekspresi yang sangat menggemaskan.

Pras langsung mencuri kecupan dibibir tipis istrinya dan membuat yang empunya melotot.

"Mas sangat mencintaimu, dek!" balas Pras.

"Bukankah mas seharusnya dikamar Nisa?" Aruna menautkan Alisnya, tanpa menjawab pernyataan cinta suaminya, dia tidak boleh egois bagaimanapun Pras bukan miliknya seorang sekarang.

"Mas nggak bisa, Dek! Mana bisa mas bersama wanita lain sedangkan kekasih hati mas meringkuk menahan kesedihan seorang diri." balas Pras.

Aruna berusaha menahan tangisnya meskipun linangan itu tidak bisa disembunyikan, dia tidak ingin jika suaminya berlaku dzolim dengan istrinya yang lain, Aruna tidak ingin membawa suaminya kedalam api neraka karena tidak berlaku adil.

"Mas, sekarang Nisa juga istrimu! Perlakukan dia sama seperti mas memperlakukanku."

"Bagaimana kecewanya Nisa saat malam malam pertamanya suami yang baru tadi pagi mengucapkan ijab kabul tidak bersamanya." Aruna mencoba memberi pengertian terhadap suaminya.

"Jangan berpura-pura tegar, dek! Mas tahu apa yang kamu rasakan saat ini."

"Itu sudah menjadi resikonya menikahi pria yang jelas-jelas telah memiliki istri." balas Pras sengit.

"Mas lupa, siapa yang memintanya? bahkan beberapa kali Nisa menolak, ucapan terimakasihpun tidak cukup untuk membalas pengorbanannya, dia mengorbankan masa depannya untuk membantuku, mas." Aruna menatap sendu Pras.

"Apa kamu yakin jika alasan Nisa menerima pernikahan ini hanya karena kasihan terhadapmu?" tanya Pras menautkan alisnya.

"Mas tidak yakin!" lanjutnya kemudian.

"Apapun alasannya, Nisa sudah membantu kita, dan sekarang aku minta mas kembali kekamar Nisa." Aruna mendorong tubuh suaminya.

"Aku mau shalat." timpalnya kemudian lalu beranjak kekamar mandi tanpa mendengar ucapan panjang lebar dari suaminya.

Aruna menatap penampilannya didepan cermin, bahkan gamis yang dia pakai saat mengantarkan wanita yang akan dinikahi suaminya sendiri masih melekat ditubuhnya.

Tubuh Aruna merosot, pertahanan yang sedari tadi dia tahan dihadapan suaminya akhirnya runtuh juga.

Mencoba tegar dan ikhlas menerima kenyataan ini tidak semudah yang kubayangkan, kesakitan ini mengerogoti hati ini, sakit ... ya Allah aku benar-benar belum siap menjalani kisah rumah tanggaku selanjutnya, bathin Aruna menahan sesak didadanya.

Setelah cukup puas menangis, Aruna langsung membersihkan tubuhnya lalu mengambil wudhu, nasi sudah menjadi bubur, apa yang perlu disesali lagi.

Saat keluar dari kamar mandi ternyata mas Pras masih berada ditempat tidur, tatapannya kosong menatap kelangit-langit kamar.

"Mas masih disini?" ujarku sambil memasang mukenah.

"Hm ... tunggu mas, kita berjamaah." Pinta Pras yang langsung turun dari tempat tidur dan gegas menuju kamar mandi.

Aruna membentangkan sajadah untuk mereka berdua, tidak lama suaminya sudah keluar dari kamar mandi.

Seseorang mengetuk pintu setelah mereka baru saja menyelesaikan shalat, Aruna langsung membuka pintu, dihadapannya tengah berdiri wanita yang baru tadi pagi sah menjadi istri kedua suaminya.

Padahal kami berteman baik, tapi sekarang entah kenapa saat bertemu menjadi sangat canggung, mungkin karena perbedaan status, dulu berteman sekarang menjadi kakak dan adik madu.

"Mbak, makanannya sudah siap! Nisa tunggu dimeja makan." ujar Nisa.

"Baiklah, tapi tunggu! Tadi kamu paggil aku apa?" tanyaku mungkin saja aku salah dengar.

"Oh, itu! Mbak, mulai sekarang aku akan memanggil kamu, mbak! Bukankah mbak istri pertama mas Pras, dan bagiku tidak pantas jika aku hanya memanggil nama saja." ujar Nisa.

"Senyaman kamu saja." jawabku singkat, aku tidak ingin menambah beban fikiran ini hanya karena perkara panggilan.

"Aku duluan ya, mbak?" ujar Nisa pamit.

"Hm ..." balasku lalu beranjak masuk kedalam, mengganti mukenah dengan pakaian santai tidak lupa jilbab instan untuk menutupi rambutku, hanya dirumah orangtua mas Pras aku mengenakkan jilbab jika didalam rumah, jika dirumah sendiri aku lebih suka memakai daster rumahan karena disana hanya kami berdua.

Mas Pras menggandengku menuju ruang makan, disana sudah ada kedua orangtua suamiku dan Nisa, bahkan didalam rumahpun Nisa tetap memakai gamis dengan stelan hijab panjangnya.

Nisa sangat mudah mencuri perhatian orangtua mas Pras, terlihat dari cara mereka mengobrol tanpa menyadari kehadiran kami yang sudah berada disini.

Apa aku cemburu? Astaghfirullah, jangan pernah memiliki sifat iri hati seperti itu Aruna, bathinku menyadarkan diri sendiri.

Deheman mas Pras mengalihkan tatapan mereka, aku lihat malam ini papa terlihat lebih sehat, aku mengulas senyum saat papa melihat kearahku.

Mas Pras menarik kursi untukku disebelahnya, entah hanya perasaanku Nisa melampaui dua kursi seperti membiarkan tempat itu kosong untuk kami, tapi aku coba mengabaikannya.

Dari ekor mataku aku bisa melihat ekspresi tak biasa dari raut Nisa, tapi hanya sekilas lalu dia kembali seperti semula, apa dia cemburu melihat mas Pras memperlakukanku seperti ini?

Saat ingin mengambil makanan Nisa terlebih dahulu berdiri, mengisi nasi keatas piring untuk mas Pras lalu untukku dilanjutkan untuk mama dan papa.

Aku mencoba menahan gejolak yang tidak bisa aku ungkapkan, beberapa kali beristighfar didalam hati, ingat Aruna, dia juga istri dari suamimu, dan juga menantu dikeluarga ini, jangan pernah kamu melupakan itu karena kamu sendiri lah yang membawanya ketengah-tengah keluarga ini, Aruna mencoba untuk mengingatkan dirinya.

"Ini hari pertamaku disini, izinkan aku melayani kalian semua?" ujar Nisa menekankan kata semua, aku tahu dia tidak ingin terjadi kesalahpahaman.

Aku membiarkan Nisa mengerjakan tugasku seperti biasanya, membiarkan dia melayanai suaminya untuk pertama kali, aku tahu jika Pras tidak menyukai hal ini, di hanya memakan beberapa suap makanan dipiring begitupun aku, nasi yang kumakan terasa hambar.

Kami makan dalam keadaan diam, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring, setelah makan malam mama dan papa mengajak mas Pras bersantai diruang tamu sedangkan aku dan Nisa membereskan sisa makanan.

Kami seperti kakak adik yang sedang berbagi tugas, aku membersihkan meja makan sedangkan Nisa mencuci piring.

Tidak ada yang memulai pembicaraan, kudengar helaan nafas dari mulut Nisa, dia berbalik lalu menatapku.

"Inilah yang aku takutkan, kita tidak akan bisa seperti dulu lagi, aku bisa memaklumi posisi kamu mbak, wanita mana yang rela berbagi suami."

"Tapi bisakah kamu menganggapku seperti biasa, mbak? tidak kaku seperti ini?" balas Nisa mengeluh.

"Benar ... Aku seperti menjaga jarak dengannya, tapi aku benar-benar belum bisa menerima keadaan ini seutuhnya."

"Maaf, Nis? aku hanya belum terbiasa." balasku singkat.

"Aku mengerti, dan aku harap mbak tidak menjadikanku musuh, Aku bukan madu yang jahat seperti yang diceritakan dinovel-novel." ujar Nisa lalu membalikkan tubuhnya kembali membelakangiku.

BY : NOUVALLIN30

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status