Dean benar-benar serius dengan ucapannya. Tak peduli dengan izin Kakeknya, ia mempersiapkan pernikahannya dengan Kara secepat mungkin. Ia juga meminta Hendra untuk mendatangi Ayah Kara di Bandung untuk melamar Kara secara resmi. Untungnya Paman dan Bibi Dean yang lainnya mendukung dan turut membantu pernikahan Dean. Mulai dari menyiapkan gedung, baju pengantin, dan semua tetek bengek yang harus ada di upacara pernikahan.
Pernikahan mereka pun juga sudah di daftarkan di KUA yang dijadwalkan akan berlangsung 2 minggu lagi. Semua persiapan dilakukan secepat dan serapi mungkin.
Kara yang mempercayakan semua pernikahan ini pada Dean hanya bisa menunggu dengan sedikit perasaan waswas. Untung saja semua keluarganya setuju dan tak ada yang menaruh curiga. Sehingga ia bisa terus mengikuti alur sandiwara ini dengan baik. Apalagi ia tak perlu repot-repot mempersiapkan pernikahan ini. Keluarga Dean benar-benar mengambil alih semuanya dari A-Z.
Seperti saat ini, ia tau-ta
Ballrom utama di sebuah hotel bintang 5 terlihat indah dengan hiasan serba putih yang banyak di dominasi oleh bunga mawar putih dan Lily. Tamu undangan yang berasal dari berbagai kalangan pun satu persatu mulai datang dan memenuhi kursi yang tersedia di Ballroom mewah itu. Terlihat keluarga Dean duduk di sebuah meja bundar besar bersama dengan keluarga Kara yang sudah berada di jakarta sejak tiga hari lalu. Dua minggu sejak fitting gaun pengantin terasa sangat cepat. akhirnya tepat hari ini Dean dan Kara akan melangsungkan pernikahan. Di ruang ganti, Kara mengamati pantulan dirinya di depan cermin dengan perasaan yang campur aduk. Ia tak terlihat seperti dirinya sendiri. Ia tak menyangka jika dirinya bisa secantik ini mengenakan gaun pernikahan. Ada perasaan aneh muncul di dalam hatinya, ia memang belum ingin menikah sekarang, tapi bukan berarti ia tak ingin menikah, namun bagaimana jika ini adalah pernikahan satu-satunya dalam hidupnya?&nb
Kara masuk ke dalam kamar barunya untuk pertama kali. Semua barang-barangnya memang sudah di pindahkan ke rumah Dean sejak dua hari yang lalu, sehingga ia bisa langsung menempati kamarnya. Dean pun sepertinya juga menata barang-barangnya dengan baik sehingga terlihat rapi dan nyaman untuk di tempati. Ia pun mengganti pakaiannya dengan pakaian yang lebih nyaman lalu duduk di meja komputernya. "Ah iya, gue harus setor naskah ke Pak Sunil dulu." Setelah mengirim naskahnya, ia pun berniat untuk menelepon Rumi, namun saat layar ponselnya tak sengaja menampilkan foto pernikahannya tadi membuatnya berhenti sejenak. Foto itu adalah foto yang Gilang kirimkan padanya yang dia ambil dengan kameranya. Ia melihat seluruh anggota keluarnya tersenyum bahagia di atas pelaminan bersama ia dan Dean. Dan lagi-lagi wajahnya memanas, ia pun mematikan layar ponselnya lalu bertelungkup di atas meja sambil menahan air matanya agar tak jatuh lagi. "Gak apa-apa K
Kara memasukan ponselnya dengan kesal ke dalam saku jaketnya begitu membaca pesan chat yang masuk dari Dean. Kenapa Pria itu tau saja jika ia sedang berada di minimarket sekarang. Sampai-sampai ia menyuruhnya membeli sabun mandi. “Baru sehari, dia udah nyuruh-nyuruh gue!” gumam Kara sambil memasukkan sabun cair ke dalam keranjang belanjanya. Setelah mendapatkan semua barang yang ia butuhkan, ia pun segera pergi ke kasir untuk membayar semuanya. Setelah itu ia keluar dari minimarket yang memang ada di lantai pertama Apartemen Dean. Ia agak kesulitan karena tak membawa tote bag, dan kebetulan stok tote bag di minimarket pun juga sedang habis. Ia pun berjalan dengan susah payah membawa semua belanjaannya menuju lift. Namun langkahnya tertahan karena ada tiga Ibu-ibu yang menghalangi jalannya. “Kaya Istrinya Pak Dean.” selidik Bu Bambang, Ibu RT Winter Garden Apartement yang mencoba melihat wajah Kara dibalik tumpukan barang belanjaan Kar
Selesai rapat gabungan di kantornya, Dean berniat ingin memeriksa file kasus yang baru datang ke mejanya tadi pagi. Namun ia mengurungkan niatnya karena tiba-tiba ia teringat dengan Ibunya. Ia belum mengunjunginya karena sibuk mengurus pernikahannya kemarin. Ia hanya memantau perkembangan Ibunya lewat Suster yang bertanggung jawab menjaga Ibunya. Ia pun memakai jasnya kembali lalu mengambil kunci mobilnya dan pergi ke area parkir untuk mengambil mobilnya. Tak lupa sebelum ia pergi ke Rumah Sakit, ia mampir ke toko Donat untuk membeli Donat favorit Ibunya. Keadaan Ibu Dean pun sudah membaik, ia sudah keluar dari ruang ICU sejak seminggu yang lalu dan kini telah kembali ke kamarnya. Tak makan waktu lama, mobil sedan hitam Dean sudah memasuki area parkir Rumah sakit. Ia pun langsung menuju kamar Ibunya yang berada di lantai 3. “Bu Karin.” panggil Dean yang mengintip sedikit dari balik pintu. “Pak Pengacara!” seru Karin yang senang karena su
“Pokoknya saya mau nuntut orang ini atas kasus penyerangan!” kelakar Pria bernama Jody, Pria yang ribut dengan Kara di Taman. “Yang harusnya masuk penjara itu lo! Orang yang main kekerasan dengan anak kecil!” sahut Kara tak kalah emosi. “Coba tolong tenang dulu, jelasin dari awal sebenarnya ada apa.” lerai Pak Dodo, Petugas keamanan di Apartemen Winter Garden. “Pak Dodo, Bu Dean ini mengatakan yang sebenarnya, liat nih, tangan Si Jojo sampe biru begini.” tambah Bu Bambang yang mengenali anak kecil itu. Anak kecil berumur tujuh tahun itu bernama Jojo, dia tinggal di unit 506 yang berada di lantai 5. “Iya Pak Dodo, bawa aja nih orang ke kantor polisi!” tambah Bu Haikal ikut memanas-manasi. “Haduh Ibu-ibu, sabar dulu, coba saya mau tanya Jojo dulu, Jojo, bener kamu di pukul sama Om ini?” tanya Pak Dodo. Jojo tak menjawab, ia hanya diam sambil bersembunyi di belakang Kara. “Dia pasti syok, sampe gak bisa bicara.” ketus Kara sambil
Dean merapatkan jaket traningnya lalu masuk ke dalam lift, namun belum sempat pintu lift itu tertutup, sebuah bola plastik melesat cepat di depannya dan mendarat mulus tepat di wajahnya. Pekikan kencang langsung keluar dari mulutnya dan dilanjuti dengan ringisan panjang karena wajahnya terasa panas. Ia pun menahan pintu lift agar tidak tertutup dan memeriksa sekitarnya untuk melihat siapa yang melempar bola ke wajahnya. Dan tak butuh waktu lama, ia langsung bisa melihat sosok kecil dengan hoodie merah yang sebelumnya sudah pernah ia lihat. “Anak itu lagi!” geramnya lalu keluar dari lift dan mengejar anak itu yang turun ke lantai bawah lewat tangga darurat. Langkah kaki Dean yang tiga kali lebih besar dari anak itu tentu dapat mengejarnya dengan mudah. Sehingga ia berhasil menarik kupluk hoodie anak itu dan membuatnya berhenti berlari. “KETANGKEP!” serunya puas, ia memang sudah gemas dengan anak ini karena anak ini pula yang mengerjai wajahnya
Kara turun dari atas motor ojek onlinenya begitu sampai di depan lobby Apartemen Winter Garden. Setelah itu ia bergegas masuk ke dalam gedung dan berjalan ke arah lift. Namun saat melintasi minimarket, ia jadi memutar tubuhnya karena mengingat jika ia harus membeli alat tulis, karena alat tulisnya tertinggal di rumah lamanya. Ia pun segera pergi ke rak yang memajang perlengkapan alat tulis. Dan setelah mengambil tiga buah pulpen, satu pensil, dan rautan, ia langsung menuju kasir untuk membayar. Namun saat mengantre, matanya tak sengaja menangkap sosok anak kecil yang ia lihat di taman waktu itu. “Jojo!” Seru Kara. Jojo yang selalu tampil dengan hoodie merah berlogo Iron Man itu langsung tersenyum saat Kara memanggilnya. “Kamu ngapain di sini?” tanya Kara karena Jojo sedang berdiri di depan freezer ice cream yang ada di minimarket. “Aku mau beli Ice Cream.” sahutnya. “Oh, mau pilih yang mana? Biar Tante ambilin.” tawar Kara karena stok
Kara membuka matanya saat jam beker di atas meja kerjanya berbunyi. Dengan malas ia merangkak untuk mematikan jam yang berbunyi dengan sangat keras itu. Sambil menguap ia menguncir rambutnya ke atas lalu mencari ponselnya yang sepertinya ikut tertimbun di bawah selimut. Namun tiba-tiba saja ia jadi ingat kejadian tadi malam. "Oh iya, Dean!" Ia pun langsung keluar dari kamarnya dan menuju kamar Dean yang ada di sebelah kamarnya. Ia mengetuk pintu itu lagi seperti semalam sambil memanggil nama Dean berkali-kali. Namun tak ada jawaban, ia pun mencoba membuka kenop pintu itu dengan perlahan. Kara agak terkejut karena pintu itu tak terkunci seperti biasanya. Dengah hati-hati Kara menyembulkan kepalanya untuk melihat keadaan di dalam kamar Dean. Ia tak menyadari adanya tanda-tanda pria itu ada di sana. Kamarnya pun terlihat sangat berantakan. Ia pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam dan langsung berdecak heran saat melihat kasur Dean penuh dengan noda da