📖 Bab 6: Bara di Balik Tahta
Malam di Santa Cruz selalu terasa lebih tajam ketika pengkhianatan mulai berhembus di udara. Di dunia ini, kesetiaan hanya bertahan selama kekuasaan masih kuat—dan Rayder tahu, siapa pun yang lengah akan mati lebih dulu. Di ruang gelap sebuah gudang di pinggiran kota, Rayder berdiri tegap di depan meja kayu tua. Di depannya, Mendoza duduk dengan tatapan dingin yang sulit dibaca. Moya bersandar di dinding, menyembunyikan kegelisahan di balik ekspresinya yang tenang. Di belakang mereka, Ghost berdiri tanpa suara—bayangan yang siap menumpahkan darah kapan saja. Panggilan Ujian: Perintah dari Mendoza Mendoza mengisap cerutunya perlahan sebelum akhirnya berbicara. Suaranya berat, seperti beban yang menekan di udara. “Ada orang yang membelot.” Kalimat itu meluncur tanpa emosi, tetapi maknanya lebih dalam dari yang terlihat. Rayder menajamkan pandangannya. “Siapa?” Mendoza menggeser sebuah berkas tipis ke arahnya. “Juan Morales. Mantan kapten di jalur perbatasan. Dia sekarang bekerja untuk Kartel Gardigo.” Rayder membuka berkas itu. Foto di dalamnya menunjukkan seorang pria bertubuh besar dengan bekas luka di leher. Wajah Juan familiar—dulu, dia orang kepercayaan Mendoza di jalur penyelundupan utama ke Tinarkko. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Rayder tanpa basa-basi. Mendoza menatapnya tajam, seolah menguji ketegasan di balik kata-katanya. “Temukan dia. Bawa kembali hidup-hidup… atau kirimkan mayatnya padaku.” Percakapan di Balik Bayang-Bayang Setelah pertemuan berakhir, Rayder dan Moya berjalan keluar menuju Cadillac hitam yang terparkir di depan rumah besar Mendoza. Ghost berjalan beberapa langkah di belakang mereka, diam seperti biasa. Moya membuka pintu mobil, tetapi sebelum masuk, dia menoleh ke Rayder. “Kau tahu ini bukan sekadar perintah biasa, kan?” Rayder menyalakan rokoknya, menghembuskan asap perlahan sebelum menjawab. “Tentu saja. Ini ujian. Mendoza ingin tahu siapa di antara kita yang benar-benar setia—atau siapa yang pertama kali berkhianat.” Moya terkekeh tipis, tetapi di balik tawanya ada ketegangan yang terasa jelas. “Dia mengincar kita, Rayder. Kita terlalu besar untuk dibiarkan hidup tanpa kendali.” Rayder menatap Moya dalam-dalam. “Kalau begitu, kita pastikan dia tidak punya alasan untuk mencurigai kita. Untuk saat ini.” Ghost: Algojo yang Tak Terlihat Di perjalanan menuju markas mereka, Rayder menoleh ke arah Ghost yang duduk di kursi penumpang depan. “Aku butuh kau untuk menemukan Juan lebih cepat dari orang-orang Mendoza,” ujar Rayder tegas. Ghost mengangguk tanpa ragu. “Pertanyaan satu: kau ingin dia hidup atau mati?” Rayder menyeringai samar. “Kita lihat dulu apa yang dia tahu. Kalau dia berharga, kita simpan. Kalau tidak…” Ghost tidak butuh penjelasan lebih lanjut. Baginya, memenggal kepala pengkhianat bukan masalah. Moya Memainkan Kartu Diplomasi Sementara Ghost menghilang ke dalam bayang-bayang untuk melacak Juan, Moya memanfaatkan koneksi politiknya. Dia mengatur pertemuan rahasia dengan Senator Fausto, sosok yang sebelumnya mereka tekan untuk melindungi jalur bisnis kartel di tingkat pemerintahan. Di ruang belakang sebuah restoran mewah di Tinarkko, Moya duduk di seberang Fausto yang tampak gelisah. “Mendoza memerintahkan eksekusi,” kata Moya langsung ke pokok permasalahan. Fausto meletakkan gelas anggur di tangannya, matanya menyipit curiga. “Dan kau datang menemuiku kenapa?” Moya menyeringai kecil. “Aku ingin tahu apakah dia bekerja sendiri atau ada pihak lain yang menarik tali di belakang layar.” Fausto tertawa hambar. “Kau tahu Mendoza. Dia tidak suka berbagi kekuasaan. Tapi… belakangan ini, aku mendengar dia mulai menghubungi pihak-pihak di Kartel Gardigo.” Moya mengangguk perlahan, mengingatkan dirinya sendiri bahwa permainan ini semakin berbahaya. “Kalau dia mengkhianati kita lebih dulu, aku ingin tahu sebelum itu terjadi.” Pemburuan Dimulai Dua hari kemudian, Ghost melaporkan temuan pertamanya. “Juan bersembunyi di peternakan tua di luar kota,” lapornya singkat di depan Rayder dan Moya. “Dijaga oleh enam orang. Semuanya bersenjata.” Rayder tersenyum tipis. “Bagus. Kita ambil dia malam ini.” Moya menatap Rayder lama. “Kalau ini jebakan, kita semua mati.” “Kalau kita tidak bertindak cepat, Mendoza yang akan menyingkirkan kita duluan,” balas Rayder tajam. Moya menghela napas panjang sebelum mengangguk. “Baiklah. Kita lakukan dengan caraku—cepat, bersih, dan tanpa jejak.” ---Bab 11: Fondasi Kekuasaan 1. Meja Bundar Tanpa Mahkota Gudang bawah tanah di Distrik Sur kini berubah menjadi pusat komando Rayder. Tak ada lampu kristal, hanya cahaya redup dari lampu gantung industri. Di meja bundar dari kayu kasar, duduklah empat orang yang tak pernah disatukan siapa pun selain Rayder. Rayder memecah keheningan. “Kita bukan lagi anak buah siapa-siapa. Mulai hari ini, kita adalah poros baru.” Moya mengangguk pelan, kedua tangannya saling bertaut di atas meja. “Dan setiap poros butuh sistem. Kalau tidak, kita hanya jadi pemimpin setengah matang.” “Setengah matang masih bisa membakar,” sahut Ghost dingin, bekas luka di pelipisnya terlihat jelas di bawah cahaya. “Tapi kalau ini semua jadi pertunjukan demokrasi, aku keluar sekarang.” “Tidak, Ghost,” potong Rayder. “Kau di sini bukan untuk berdebat. Kau bagian dari fondasi. Sama seperti Moya, Sergio, dan Zorro.” Sergio—berbadan tambun, dengan mata waspada layaknya pedagang ulung—mengangguk. “Aku sudah dapatk
Bab 11: Empat Pilar Tanpa MahkotaLangit Santa Cruz sore itu memerah, seolah membakar sisa-sisa darah yang mengering di jalan-jalan belakang pelabuhan. Di dermaga tua, tempat kapal-kapal penyelundup biasa bersandar, Rayder berdiri diam menghadap laut, diapit oleh tiga sosok yang kelak menjadi tonggak kekuasaannya.Moya "Mago" Bomb berdiri dengan jas krem, tangannya memegang catatan kecil, wajahnya tenang namun matanya penuh hitungan. Di sebelahnya, Ghost Rivas, mengenakan jaket militer hitam, wajahnya kosong tanpa emosi. Di belakang, menyender ke mobil Range Rover, Rafael "Zorro" Morales menyalakan cerutu, mengamati dari jauh sambil tersenyum tipis.“Ini bukan tentang senjata saja,” kata Rayder lirih. “Santa Cruz tak bisa dikuasai hanya dengan darah. Kita butuh akar. Politik. Ekonomi. Narasi.”Moya mengangguk. “Dan legitimasi. Kita perlu buat publik percaya, kita ini bukan monster. Kita ini sistem baru.”Rayder menatapnya. “Dan siapa yang kau rasa cocok jadi wajah sistem baru itu?”Mo
Bab 10 – Pisau di Meja MakanJamuan BeracunRuangan makan itu megah tapi sunyi. Lampu gantung kristal bergoyang pelan. Di tengah meja panjang, duduk empat tokoh: Rayder, Rafael Morales, Moya, dan seorang tamu dari luar kota—Don Belisario, utusan dari kartel Rivales.Rayder menyeka tangannya, menatap Rafael tanpa senyum.Rayder:"Jadi, Rafael... katamu dia hanya ingin berdiskusi?"Rafael:“Betul. Mereka ingin jalur dagang ke timur. Tidak lebih.”Moya:"Dan kau percaya begitu saja?"Don Belisario:"Kami datang dengan itikad baik. Santa Cruz terlalu besar untuk dilawan, tapi bisa diajak bicara."Rayder mencelupkan roti ke saus, lalu menaruhnya kembali tanpa makan.Rayder:"Orang yang terlalu banyak bicara biasanya takut. Apa yang sebenarnya kalian mau?"Don Belisario (senyum tenang):"Aliansi. Kami bantu kalian ekspor senjata. Kalian buka jalur utara untuk kami. Tidak ada darah."Rayder tertawa kecil. Dingin.Rayder:"Kau datang ke meja ini bawa janji. Tapi aku tahu Rivales menyuap dua k
BAB 9: Retakan Dalam Bayanagan.Ketegangan di Ruang Tengah Di ruang rapat utama, Moya dan Rafael kembali bertemu. Keduanya mulai menunjukkan ketidaknyamanan yang lebih terang. “Rayder menyimpan terlalu banyak rahasia,” ucap Rafael. “Kita semua punya rahasia,” jawab Moya tenang. “Bukan begitu maksudku. Dia mulai curiga ke semua orang. Bahkan padaku.” Moya meneguk kopinya, lalu berkata pelan, “Mungkin memang waktunya kita siapkan rencana darurat. Kalau dia jatuh, kita tidak boleh jatuh bersamanya.” “Rencana seperti apa?” “Sesuatu yang tak akan membuat kita terjebak di tengah perang saudara,” ucap Moya tanpa menatap Rafael. Serangan Tak Terduga dari Kartel Rivales Dini hari, markas gudang timur Rayder meledak. Api membumbung tinggi, mengguncang satu blok penuh. Tim Ghost langsung meluncur ke lokasi, tapi sudah terlambat. Tiga orang tewas. Dua truk berisi senjata dan uang hangus. Rayder berdiri di depan puing-puing. Mulutnya kaku. Mata menyala marah. “Mereka masuk terlalu dalam
Bab 8: Luka yang Tidak Terlihat Luka Psikologis dan Ketegangan dalam Organisasi Pagi di Santa Cruz terasa lebih sunyi dari biasanya. Di markas utama, Rayder duduk diam di ruangannya. Pistol tergeletak di meja, pelurunya belum terisi kembali sejak eksekusi kemarin malam. Tapi suara jeritan dari gudang itu masih terngiang di kepalanya. Moya masuk tanpa permisi, membawa secangkir kopi. Tatapannya lurus, ekspresinya datar. "Kau tidak tidur, ya?" tanyanya. Rayder tidak menjawab. Hanya memandangi dinding. "Kau sudah membuat peringatan ke Rivales. Tapi kau juga meninggalkan ketakutan di anak buah sendiri." "Aku tak butuh loyalitas yang dibangun dari rasa aman," balas Rayder. "Aku butuh ketakutan yang menjaga mereka tetap bergerak." Moya duduk, meletakkan laporan di meja. "Ada yang harus kau lihat. Salah satu informan kita dibunuh. Disiksa dulu." Rayder membaca laporan itu cepat. Ekspresi wajahnya tak berubah, tapi napasnya lebih berat. "Mereka balas dendam." "Kemungkinan besar," uc
Bayang-Bayang Pengkhianatan Malam itu udara terasa berat di markas utama. Rayder berdiri di balkon lantai dua, menatap kilauan lampu kota Santa Cruz yang terasa jauh dari jangkauannya. Di bawah, suara mesin mobil dan langkah kaki para anak buahnya terdengar samar. Operasi balasan terhadap kartel Rivales berjalan lancar, tetapi di dalam dirinya, Moya merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang tidak beres."Kau yakin ini sudah cukup?" Suara Moya memecah keheningan. Ia berdiri di belakang Rayder, kedua tangannya terlipat di depan dada. Ada ketegangan yang jelas di matanya.Rayder tidak menoleh. "Kita sudah memberi mereka peringatan. Jika mereka masih berani bergerak, aku pastikan itu jadi langkah terakhir mereka."Moya melangkah mendekat. "Tapi kau tahu mereka tidak akan berhenti begitu saja. Rivales bukan kartel kecil. Jika kita terlalu keras, mereka akan membalas dengan cara yang lebih brutal."Rayder menghela napas panjang, akhirnya berbalik menghadap Moya. Sorot matanya tajam, teta