Share

MAGNOLIA KISS
MAGNOLIA KISS
Author: kikie azure

[PAGE 1] BECAUSE OF MY BOYFRIEND

Tidak pernah terbayangkan oleh Ana bahwa hari ini Ia benar-benar dipecat oleh HRD di tempat kerjanya selama lima tahun terakhir dan dipermalukan didepan umum hanya karena seorang cowok bernama Victor.

Victor Julian Owen adalah cowok bertubuh tinggi bergaya American Style yang selalu wangi setiap saat. Yah, Victor memang macho dan tergolong cowok seksi di mata Ana. Victor juga seorang cowok keturunan konglemerat karena Orang Tua Victor mempunyai ratusan cabang Pom Bensin di seluruh Indonesia. Tidak heran banyak manusia-manusia mulai dari cabe-cabean, tante-tante, bahkan terong-terongan yang mengincarnya. Hanya saja, Victor sudah jatuh cinta pada seorang cewek bernama Magnoliana atau biasa di panggil Ana. Saking cintanya Victor pada Ana, dia sangat over protektif terhadap pacarnya tersebut.

"Sorry sayang, aku lakuin ini demi kebaikan kamu," jelas Victor, duduk disebelah Ana yang kini sedang menangis sesunggukan setelah kehilangan pekerjaan yang ia tekuni bertahun-tahun. "I don't like you to do this! Pakai baju seksi? Jalan di catwalk? Oh My God.. You are mine honey. You were born for me!"

"Kamu tau kan pekerjaanku selama ini buat bayar kuliah dan hidupku? Harusnya kamu tau!" gertak Ana.

"Don't worry.. kamu calon istri aku, aku akan biayain kuliah kamu, kos kamu, bahkan semua kebutuhan kamu sampai selesai kuliah dan kita bisa menikah. Okay?"

Tawaran Victor mungkin adalah impian para semua cewek di dunia ini. Siapa yang tidak mau mempunyai cowok seloyal dia?

"Victor.. kamu tau sendiri kan aku paling nggak suka disogok sama uang kamu?"

"Hey.. calm down baby." Victor menyentuh wajah Ana dengan kedua tangannya. "I know.. I know you. You must know too.. you are so beautiful, I don't want you to get hurt. So I will always protect you."

Ana terdiam, sedetik kemudian ia menelan air liurnya. Didalam mobil yang gelap di parkiran kos-kosannya, hanya ada mereka berdua karena waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Ia menatap kedua mata Victor yang saat ini menatapnya dengan tajam dan penuh arti. Tatapan yang mengatakan bahawa Ia hanya milik Victor seorang. Tidak tahan dengan tatapan tajam itu, Ana menutup kedua matanya.

Victor memeluknya.

****

"Ada seminar apa kata lo?"

"Seminar tentang kecantikan, lo tau? Pembicaranya itu dokter muda ganteng banget sumpah. Diusia muda dia udah punya banyak klinik. Kita harus datang," ajak Wendy.

"Ya paling buka klinik pakai duit bokapnya."

"Astaga Magnoliana Hana Moana! Lo kenapa sih sensi banget sama pengusaha-pengusaha muda?"

Ana mengangkat bahunya sambil terus mengetik revision tesis yang sedang ia kerjakan agar bisa secepat mungkin mendapat gelar S2.

"Gara-gara si Victor? Pacar ganteng lo yang kaya raya tapi posesif itu?" tanya Wendy lagi.

Ana terdiam sejenak, ia berhenti mengetik lalu mengalihkan pandangannya pada Wendy. "Wen, gue nggak bahagia sama Victor. Lo tau kan sekarang pekerjaan gue jadi model catwalk udah hilang gara-gara dia ngomel-ngomel ke atasan gue pas gue pakai mini dress?"

Wendy mengangguk-angguk.

"Masa pas gue habis show, dia dibelakang panggung marah-marah ke bos gue terus katanya mau nuntut bos gue, Wen!! Akhirnya gue di pecat.. mulai dari jadi EO, Penulis sampai Model.. gaji paling gede itu waktu gue jadi Model. Hiks..."

Suasana hati Ana menjadi buruk ketika ia ingat kejadian kemarin malam. Ingin menangis, namun Ana sudah tidak sanggup menangis saking kesalnya.

HP Ana bergetar, ia segera mengangkat sebuah panggilan yang masuk kedalam Handphone-nya.

"Hallo," jawab Ana sambil menyandarkan tubuhnya pada kasur empuk di kosannya.

"Sayang, aku di depan kos kamu. Buruan gih turun, aku tunggu."

"Hah? Mau kemana?"

"Mau kasih kamu surprise."

Ana menghela nafasnya. "Kok dadakan sih?"

"Udah nggak usah protes, aku tunggu di depan."

Klik.

Sambungan terputus.

"Si Victor?" tanya Wendy yang sudah bisa menebak dari raut wajah Ana.

Ana mengangguk.

"Yaudah buruan ganti baju, nanti dia nerobos kosan lagi kaya dulu."

Ana berdiri dari lantai kamarnya kemudian bercermin pada meja rias yang tak jauh darinya. Ia hanya melepaskan tali rambutnya dan menyisir rambut panjangnya menggunakan jari-jari lentiknya, menyemprotkan beberapa semprot parfum kemudian memakai liptint kesukaannya lalu berjalan meninggalkan Wendy.

"Nggak ganti baju?" tanya Wendy sambil memperhatikan style sahabatnya yang hanya menggunakan kaos putih Convers dan hotpan biru tersebut.

"Nggak."

Wendy menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ketika Ana keluar dari gerbang kos, dilihatnya mobil putih Victor terparkir tak jauh dari pohon rindang di sebelah kiri. Ana masuk ke dalam mobil Victor kemudian memasang sabuk pengamannya.

"You look so pretty," ucap Victor yang sangat tergila-gila dengan wajah Ana.

"Padahal belum mandi," sahut jutek Ana.

"No problem," respon Victor kemudian mulai menjalankan mobilnya.

Disepanjang perjalanan Victor sibuk menceritakan tentang seluruh kekayaan keluarganya, tentang apapun yang keluarganya miliki dan hal itu benar-benar membuat Ana ingin loncat dari mobil.

"Papa aku kemarin buka cabang pom bensin baru di daerah Sleman jadi makin sibuk aja sampai ga bisa pulang."

"Oh..."

"Mama juga, kemana-mana selalu ikut Papa. Tapi waktu Papa kerja, Mama sibuk shopping. Hahahaha...," tawa dan oceh Victor walau terkadang Ana tidak merespon obrolannya.

"...."

"Yah nanti kalau kita nikah, kamu pasti bisa bahagia kaya Mamaku. Aku akan berikan kamu apapun. Tapi setelah menikah, kamu harus selalu ada disisi aku."

"Kalau aku ada acara sama teman-teman aku, kamu mau ikut aku?" tanya Ana.

"Em.. kalau kamu mau ketemu teman kamu silahkan, tapi aku harus ikut. Kalau aku lagi sibuk, aku akan suruh bodyguard buat jagain kamu."

Ana tertawa licik. "Tch.. bodyguard? Emang aku ratu kerajaan Inggris?"

"Sayang.. kamu itu cantik, pasti banyak orang diluar sana yang berniat buruk buat kamu. Jadi aku harus maksimal jagain kamu."

Ana terdiam.

"Oh iya.. kata ortuku lusa mereka pulang, mau ketemu sama kamu."

"Aku?"

"Iya.. mau kenalan sama kamu, masa kita udah pacaran setengah tahun lebih kamu belum aku kenal ortuku. Aku serius sama kamu, jadi secepatnya kita harus temu keluarga."

"Oh..."

Mobil Victor melaju sedikit lamban karena padatnya kendaraan di kota yang terkenal dingin dan selalu menjadi objek wisata setiap harinya. Tepatnya di kota Malang. Sebuah kota yang tidak seluas ibu kota, namun mempunyai khas tersendiri. Kota yang padat akan mahasiswa dari berbagai macam kota bahkan Negara asing, kota yang sering macet akhir-akhir ini tapi membuat siapa saja betah tinggal disana karena hawa nya yang sejuk dan selalu membuat kesan tersendiri bagi para perantau.

Tidaklah lama mengemudi dari kota Malang menuju kota Batu menggunakan sebuah mobil, hanya memakan waktu kurang lebih 40 menit jika jalan tidak macet.

"Kamu nggak pengen naik itu?" tanya Ana sambil melihat Bianglala yang kini sedang berputar-putar di Alun-alun Batu pada sore hari.

"Bianglala?"

Ana mengangguk.

"Nggak ah, kaya anak kecil. Norak, kampungan."

"Ya karena hidup kamu terlalu mewah, jadi sebuah mainan yang bisa bikin orang bahagia kamu anggap rendah."

"C-mon Ana, kalau kamu mau naik wahana.. aku bisa ajak kamu ke Disney Land.. Besok?"

"Nggak punya paspor," jawabnya malas.

"Yaudah kalau gitu.. setelah kamu bikin paspor, aku ajak kesana. Oke?"

Ana mengangkat bahunya.

"Sayang tunggu sini ya... Jangan kemana-mana, oke?"

Victor berjalan menuju suatu tempat sedangkan Ana duduk di sebuah kursi yang ada di kawasan Alun-alun. Walau hari ini bukanlah hari libur, para wisatawan masih banyak berkunjung dan hampir dari semua pengunjung tertib membuang sampah pada tempatnya.

"Ana?"

"Loh? Yudhit?"

Wajah Ana yang tadi kaku membeku kini mulai berekspresi. Kegirangan dan senyum terpancar pada dirinya. Bahkan saking riangnya, ia memeluk Yudhit yang kini sedang didekatnya.

"Yaampun udah berapa lama kita nggak ketemu?" tanya Yudhit, teman Ana saat melakukan KKN di pedasaan. Ia memang akrab dengan Yudhit karena mereka satu kelompok saat itu.

"Lama bangettt!! Kabar kamu gimana, Dhit?"

"Baik banget.. kamu?"

"Em..." Ana hanya tersenyum sambil mengangkat bahu. "Eh kamu ngapain kesini?"

"Oh iya anterin sepupu aku dari Jakarta, tuh mereka lagi di susu KUD. Kamu?"

"Aku... sama cowok aku."

"Si Calvin?"

"Bukan.. itu udah putus. Hahaha..."

"Ohh.. aku denger sih sekarang dia udah punya label musik sendiri, udah sukses."

"Oh ya?"

"Iya.. tapi kata anak-anak sih. Oh iya.. nomor HP kamu berapa? Kali aja suatu saat bisa reuni..."

"Nomer kamu aja berapa, nanti aku chat..." Ana mengeluarkan handphone dari dalam saku celananya karena ia memang tidak membawa tas, hanya HP dan selembar uang lima puluh ribu yang ia letakkan di balik casing HP nya.

Belum Ana mulai mengetik ejaan demi ejaan yang disebutkan Yudhit, Victor datang mengejutkan dan langsung membanting HP Ana sampai membuat beberapa orang terkejut dengan ulahnya.

"Lo siapa? Ngapain lo deketin cewek gue?" tanyanya, membuat semua perhatian tertuju pada mereka.

"VICTOR!"

"Kamu diam!" ujarnya kasar sambil mendorong tubuh Ana menjauhinya sedangkan ia mendekatkan dirinya pada Yudhit.

"LO NGAPAIN MINTA-MINTA NOMOR CEWEK GUE?" Wajah Victor benar-benar marah, seperti hendak memangsa sesuatu.

"VICTOR!" Ana kembali menengahi Victor dan Yudhit. Yudhit terlihat begitu bingung. "Please.. dia teman aku dia sahabat aku!"

"Aku nggak peduli dia sahabat kamu! Nggak ada cowok yang boleh deket sama kamu selain aku," jelasnya garang.

Yudhit tertawa kecil. "Ini cowok kamu?" tanyanya pada Ana. "An, saran gue.. cari cowok lain." Yudhit menepuk bahu Ana dan berbalik hendak meninggalkan Ana, hanya saja Victor mulai menyerangnya dengan menonjok bagian wajah Yudhit, membuat Ana berteriak ketakutan.

"VICTOR!"

Petugas keamanan berlarian mencoba meleraikan keributan lalu menyuruh Victor maupun Yudhit ke pos pengamanan. Tanpa mempedulikan petugas keamanan, Victor dengan arogannya malah mengancam para petugas lalu menarik Ana menjauh dari mereka.

Ana menangis didalam mobil sedangkan Victor hanya diam menatapnya.

"Pokoknya aku mau putus."

"Nggak bisa."

"VICTOR!"

"Kamu mau mutusin aku gara-gara cowok itu doang?"

"Aku nggak mau punya cowok kasar kaya kamu!" ujar Ana sambil mencoba menghentikan tangisnya.

"Terus aku harus gimana biar kamu bisa maafin aku?"

"Kamu balik ke alun-alun terus minta maaf sama teman aku."

"Nggak bakal terjadi hal kaya gitu, Ana."

Tidak peduli dengan permintaan Ana, Victor mengemudikan mobilnya menuju arah Malang. Sepanjang perjalanan, mereka tidak berbicara sama sekali. Mereka dalam keheningan dan kepedihan masing-masing.

****

"Ana, lo kenapa?" tanya Wendy.

Ana memeluk Wendy yang ternyata masih berada di kamarnya sambil mengerjalan tesis dari siang tadi. Ia menangis dipelukan Wendy, sahabat terbaiknya sejak SMA sampai merantau di kota Malang yang kini sama-sama menempuh S2 dan bertempat tinggal sama.

"Victor Wen.. dia masa berantem di tempat umum. Gue malu... hiks..."

Wendy membelai rambut Ana, Wendy memang bersifat sangat dewasa dan keibuan di umurnya yang sepantaran dengan Ana.

"Gue mau putus, tapi dia nggak mau. Gue harus gimana? Hiks..."

"Yaudah.. lo jangan temuin dia dulu sementara ini."

"Tapi lo tau kan Wen, dia tu nekat. Waktu itu aja nerobos kos kita sampai gue malu sama anak kos lain."

"Iya juga sih.. Jalan satu-satunya ya lo harus cepat-cepat wisuda, terus lo balik ke Surabaya tanpa sepengetahuan dia Na..."

"Hiks...."

"Tesis lo udah selesai belum?"

Ana menganggukan kepalanya. "Tinggal sidang... Elo? Kita kan harus wisuda bareng..."

"Iya sama, gue udah kok... Yaudah lo jangan cengeng deh umur lo tahun ini udah dua lima..."

Ana mengangguk.

****

Menggunakan heels berukuran tinggi, mini dress berwarna putih tulang, riasan wajah tipis namun flawless, rambut diurai bergelombang.. Ana tampak sangat cantik dan anggun duduk di ruang makan rumah Victor yang bak istana kerajaan.

Dengan senyum palsu ia terus tersenyum pada orang tua Victor yang kini duduk didepannya sambil terus memperhatikannya dari atas kebawah, membuatnya risih dan tidak berselera makan walau hidangan di rumah Victor ini sangatlah lezat karena di buat oleh koki-koki profesional. Ana baru sadar, pacarnya bukan hanya kaya namun sangat kaya.

Ana terpaksa berbaikan dengan Victor karena Victor mengancam akan menerobos dan membuat keributan di kosannya hari ini. Itulah Victor, bisa melakukan apapun yang ia mau.

"Kamu S2 ambil jurusan Ilkom ya katanya?" tanya tante Vicka, ibunda Victor.

"Iya tante."

"Oh.. ternyata selain cantik, kamu juga pintar ya," puji tante Vicka.

Ana hanya tersenyum.

"Tante dulu sih kuliah di UI, disana ketemu sama papanya Victor. Terus tante nggak lanjut kuliah.. Tante pikir ngapain tante harus kuliah sedangkan Papanya Victor udah mapan. Hihihi...," ceritanya.

"Keluarga Mama itu orang-orang terpandang sayang, ada yang jadi Mentri, DPR, Dokter... keren pokoknya," jelas Victor.

Ana hanya tersenyum lagi dan membatin didalam hati.

'Nggak anaknya nggak mamanya sama aja sombongnya, ngapain dulu aku terima Victor jadi pacarku,' batin Ana.

"Oh iya.. pasti keluarga kamu juga dari keluarga yang selevel sama kita ya?" tanya Frans, Ayah Victor.

Ana terdiam begitupun Victor.

"Yaiyalah Pa.. kelihatan kali dari style nya," sahut tante Vicka.

"Orang tua kamu kerja apa?" tanya Om Frans.

Ana meletakkan garpu dan pisaunya di atas meja, kemudian mulai menatap kedua orang tua Victor. "Sejak SMA.. saya sendiri. Mama saya nggak tau kemana, saya juga nggak tau Papa saya kemana," jawab Ana.

Terlihat di mata Ana, kedua orang tua Victor saling pandang dan salah tingkah.

"Sayang, dulu bukannya kamu bilang orang tua kamu kan calon gubernur.. gimana sih?" sahut Victor.

"Aku bohong, karena kamu maksa aku untuk jawab jadi aku harus bohong dan aku asal ngomong," jawab Ana.

"Victor! Kamu mau Mama restuin kamu sama dia?" tanya tante Vicka yang mulai terlihat aslinya. "Jangan harap Mama restuin kamu kalau pacar kamu nggak jelas kaya gini!"

"Ma! Victor nggak peduli, yang jelas Victor cuman mau Ana bukan yang lain."

Ana tersenyum arogan seperti di drama-drama Korea. "Victor, kamu udah dengar sendiri kan? Kita nggak direstuin. Jadi kita putus, itu lebih baik."

Ana berdiri dari kursi makan, tanpa pamit dan berterima kasih ia pergi meninggalkan acara dinner.

Victor terdiam beberapa menit didepan kedua orang tuanya yang saat ini sangat kesal padanya.

"Pokoknya aku nggak mau nikah kalau nggak sama dia," ucap Victor, ia ikut pergi meninggalkan kedua orangtuanya.

Victor berlari keluar rumahnya untuk menyusul Ana, dilihatnya Ana sedang berjalan cepat menyusuri gelapnya perumahan didaerah rumahnya yang selalu sepi setiap malamnya.

"Ana!" Victor menarik tangan Ana.

Wajah Ana mulai sembap karena menangis.

"Ana kamu jangan pergi, aku nggak mau kehilangan kamu," jelas Victor dengan wajahnya yang sangat menyedihkan campur mengerikan. "Aku tau kamu bohong kan tentang identitas orang tua kamu biar kamu bisa lepas dari aku. Iya kan?"

Ana menggelengkan kepalanya. "Nggak, aku jujur. Aku nggak punya orang tua. Kamu tau kan dari dulu aku selalu kerja pagi siang malam, cari beasiswa sana sini.. biar apa? Biar aku bisa hidup. Kita berbeda, aku nggak layak buat kamu dan yang terpenting.. aku nggak sayang apalagi cinta sama kamu."

Wajah Victor berubah, wajah yang tadi mengisyaratkan seperti 'jangan pergi' berubah menjadi wajah yang berisyarat 'wanita licik'. Sangat mengerikan. "Terus kenapa kamu dulu terima aku jadi pacar kamu?" tanyanya dengan nada suara berbeda.

Tatapan dan suara Victor kali ini berhasil membuat Ana merinding. Kali ini didepannya seperti bukan Victor yang biasanya. Selama enam bulan lebih Ana berpacaran dengan Victor, baru kali ini Ana melihat sisi lain dari Victor.

"Karena kamu selalu maksa aku buat jadi pacar kamu, aku nggak tega lihat kamu yang setiap hari berusaha dapatin aku untuk jadi milik kamu," jawab Ana sejujur mungkin.

"Kamu sendiri tau kan aku susah dapatin kamu, oleh karena itu.. nggak semudah itu kamu pergi dari aku."

Ana terdiam. Ia benar-benar ketakutan kali ini. Victor seperti hendak memangsanya.

"Sampai kapanpun, kamu milik aku."

"...."

Victor menarik paksa Ana, membawa gadis itu ikut bersamanya dan memasuki mobilnya kemudian ia mengendarai mobilnya dengan kencang.

"Aku anter kamu pulang, kamu masih jadi milik aku."

Ana menahan isak tangisnya.

Semakin lama mengemudi Victor semakin kencang menjalankan mobilnya walau jalanan terbilang cukup padat. Tidak terhitung jumlahnya ia mengerem mendadak dan hampir menabrak kendaraan lain disekelilingnya. Victor berkendara seperti orang mabuk sampai akhirnya ia berhenti didepan kos-kosan Ana, didalam perumahan sepi layaknya perumahan Victor.

Ketika Victor hendak membelai rambut Ana, Ana menepis tangan Victor dengan gemetar.

"Please.. aku nggak bisa sama kamu. Jangan paksa aku," pinta Ana dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aku bakal bunuh diri kalau kamu putusin aku."

"Victor..."

"Aku sayang kamu, kalau kamu putusin aku, kamu bisa liat sendiri gimana keadaan aku."

Bibir Ana mulai gemetar.

Victor seperti orang psiko. Melihat bibir dan tangan Ana bergemetar, ia menarik tangan Ana kearahnya lalu mencium bibir Ana dengan sebuah kecupan. "Kamu cantik kalau ketakutan. I like it, baby."

Ana menundukkan kepalanya. "Aku.. mau putus."

BRAK!

Victor mendadak meng-gas mobilnya sedikit hingga menbarak beton gerbang kos-kosan Ana. Membuat Ana semakin ketakutan dan beberapa penghuni kos keluar dari kosan, begitu juga dengan satpam karena menghasilkan suara yang nyaring.

"Ada apa mas?" tanya satpam kosan Ana.

"Maaf pak nggak sengaja ke gas," ujar Victor, keluar dari mobil.

"Haduh mas.. untung gerbangnya nggak papa. Kalau ketauan yang punya kos bisa marah besar," jelas pak satpam.

Victor hanya tersenyum.

"Tapi mobil mas agak penyok.. nabrak baja sih."

"Nggak papa kok pak. Nanti kalau yang punya rumah ini mau ganti rugi biar saya bayar, setiap hari saya kesini kok," respon Victor sambil membukakan pintu mobil agar Ana bisa keluar. "Udah malam, masuk gih. Nanti aku kabarin kalau udah sampai ya sayang," jelasnya sambil membelai rambut Ana.

Ana tidak merespon Victor, ia langsung memasuki kosannya.

Ana meletakkan tasnya di atas meja lalu ia menangis sambil memeluk kakinya.

"Ana..." Wendy datang dan segera menenangkannya karena Wendy tau Ana tidak akan menangis jika bukan karena Victor.

Melihat kondisi Ana yang ketakutan seperti orang trauma, lantas Wendy memeluk Ana erat.

To Be Continue...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status