Share

[PAGE 3] NEW JOB

Ana duduk disebuah sofa berwarna cream sambil memutar matanya keatas, kekanan dan kekiri memperhatikan dekorasi kantor milik orang tua Calvin setelah menandatangani kontrak yang disuguhkan dengan gaji menarik baginya tanpa pikir panjang. Diatas meja ada segelas soda dan cookies untuk cemilan, tapi tidak setetespun ia minum karena sudah merasa kenyang saat membaca kontrak pekerjaan yang diberikan padanya barusan.

Tidak lama kemudian Calvin datang dari arah pintu sambil membawa sebuah kunci mobil di tangan kanannya.

"Barang-barang pindahan kamu dimana?" tanya Calvin sambil duduk disebelah Ana.

"Di rumah Wendy, kemarin kan aku pindahan bareng dia. Sementara aku tinggal dirumahnya."

"Mantan kamu tau?"

Ana menggelengkan kepalanya. "Pasti nggak tau, karena seisi kos aku nggak ada yang tau dimana asal aku."

"Oh.. baguslah." Calvin tersenyum manis padanya. "Oh iya, bukannya kamu ada rumah disini?"

Ana terdiam.

"Rumah kamu yang dulu?"

Ana menghembuskan nafasnya. "Hemmm.. ada sih. Tapi aku nggak mau kesana."

"Kenapa?"

"Papa aku nikah lagi beberapa tahun lalu, disana ada orang asing."

Kini Calvin yang terdiam.

"Papa bilang mau nikah lagi. Sejak itu aku nggak pernah datang kerumah itu."

"...."

"Aku udah nggak punya siapa-siapa."

"Kamu masih punya aku."

Ana menoleh kearah Calvin. Calvin menatapnya begitu hangat. Mereka terdiam dalam lamunan.

"Vin," panggil seorang cowok dari arah pintu, membuyarkan lamunan mereka berdua.

"Ups.. sorry ganggu!" ucap Tian, sahabat Calvin. "Gue keluar atau masuk nih?" godanya.

"Tch, ganggu aja lo. Ada apa?" tanya Calvin.

Tian berjalan kearah Calvin dan duduk di depan Calvin, disambung dengan kedatangan seorang sahabat Calvin lagi dari arah pintu yang mengikuti jejak Tian duduk disebelah Tian.

Ana mengangkat alisnya ketika melihat sosok yang pernah ia jumpai beberapa pecan lalu.

"Kamu...," Tian memandang Ana. "Kamu cantik."

Ana hanya tersenyum sambil melirik-lirik kecil pada seorang cowok yang duduk disamping Tian. "Kenalin, gue Sebastian. Tapi dipanggil Tian, kalau manggil sayang juga boleh," ujar cowok berambut coklat begitu terang ala boyband Korea memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan yang diiringi tawa Calvin.

"Ana...," Ana menyambut tangan Tian.

"Ana aja? Nama lengkap?" goda Tian lagi.

"Magnoliana Hana Moana," beber Ana.

"So beautiful like your face."

Ana tertawa kecil.

"Oh iya, ini Alan...," ungkap Tian, memperkenalkan cowok yang sedikit dingin disebelahnya.

Alan hanya tersenyum simpul padanya.

"Alan itu cowok idaman setelah gue disini," jelas Tian. "Dia keturunan Korea, bokapnya orang Korea. Tingginya Alan seratus Sembilan puluh sentimeter dikurangi tiga sentimeter. Pekerjaan mapan banget, hobi diem, sifat cuek tapi baik."

"Kok lo yang jelasin?" Ana tertawa mendegar penjelasan Tian.

"Soalnya dia irit ngomong, hahaha...," jawab Calvin yang diikuti tawa Ana maupun Tian kecuali Alan.

"Iya halo," jawab Calvin tiba-tiba setelah mengangkat telpon di HP-nya. Ia menjauh dari kerumunan.

Sementara Calvin menelpon Tian sibuk bercerita tentang dirinya yang katanya punya banyak cewek, playboy, suka putus nyambung namun Tian tidak pernah memutuskan cewek hanya saja cewek-cewek yang memutuskannya. Tian begitu lucu dan nyambung diajak bicara sedangkan Alan hanya diam mematung sambil membaca sebuah Koran dengan kaki diangkat satu.

"Ana, kayaknya aku nggak bisa antar kamu ke Wendy. Aku ada urusan mendadak," kata Calvin dengan wajah tidak tega.

"Oh nggak papa kan banyak Ojek Online, aku bisa naik apa aja kok," jelas Ana sambil tersenyum.

Calvin mengangguk. "Jangan pulang malam-malam ya, aku berangkat dulu." Calvin mengacak-acak rambut Ana kemudian pergi meninggalkan ruangan.

"Kamu sama Calvin pacaran?" tanya Tian yang berhasil membuat Ana tersedak karena tegukan pertama Fanta yang ia minum sehingga sedikit menimbulkan noda di baju putihnya.

"Sorry-sorry!" Tian memberikan Ana tisu.

"Nggak papa, hehe."

"...."

"Calvin teman baik aku waktu kuliah," jawab Ana.

"Oh..."

"Aku ke toilet dulu ya," pamit Ana meninggalkan Tian dan Alan.

Ana memasuki toilet yang dimana didalam toilet ada dua orang gadis-gadis cantik sedang ngobrol. Mereka adalah trainee perusahaan Calvin. Mereka ramah, menyambut Ana dengan senyuman. Ana balas tersenyum pada mereka. Ana mengambil tisu lalu membasahi tisunya dan mengelap bajunya menggunakan tisu basah tersebut, walau noda fanta tidak langsung menghilang ia berhasil sedikit menyamarkan warna noda. Tidak lama ia di toilet, ia keluar dari dalam toilet dan menuju ke ruangan Calvin yang tak jauh dari toilet.

"Aku pulang dulu ya," pamit Ana mengambil tasnya diatas sofa.

"Kan masih sore, sini dulu aja," kata Tian.

"Aku mau ke suatu tempat soalnya.. besok kan kesini lagi."

"Mau aku anter?" tawar Tian.

"Boleh?" tanya Ana dengan raut gembira.

Tian mengangguk. "Kita nganggur kok, ya kan, Lan?"

Alan memandang Tian dengan kesal. "Lo kan tadi berangkat nebeng gue."

"Iya maksud gue, gue kan nebeng lo. Sekalin nebengin Ana, oke?" cengir Tian.

"Nggak usah.. aku sendiri aja nggak papa," potong Ana.

Tidak pikir panjang Alan beranjak dari tempat duduknya dan keluar dari ruangan, diikuti Tian yang menarik tangan Ana untuk ikut bersama mereka.

Tidak terbayangkan oleh Ana sebelumnya kini ia duduk di belakang Tian dan Alan, menikmati panasnya udara di ibu kota Jawa Timur walau sore sudah menghampiri. Karena banyaknya debu mereka menutup kaca mobil dan membiarkan AC menyala.

"Yakin kamu turun sini?" tanya Tian.

"Iya.. makasih ya udah dianter," jelas Ana tersenyum ramah. "Hati-hati ya..."

"Yaudah kalau ada apa-apa hubungin kita, oke?"

Ana mengangguk kemudian melambaikan tangan pada Tian dan Alan saat mobil mereka mulai menjauh didepan sebuah perumahan.

Ana memasuki perumahan yang sudah lama sekali tidak ia kunjungi. Ia berjalan kaki sambil menikmati suanasa sore yang tidak sesejuk di kota Malang. Kakinya melangkah setapak demi setapak untuk bisa sampai di depan sebuah rumah yang berdiri megah di Blok E nomor 20.

Sebuah rumah bertingkat dengan halaman luas dilengkapi satpam untuk menjaga keamanan. Rumah yang menyimpan banyak kenangan masa kecilnya sampai berumur sepuluh tahun, rumah yang membuatnya menangis hampir setiap hari saat menginjak umur sebelas tahun, dan rumah yang membuatnya menjadi anak pemarah sejak remaja. Ana memandang dekat dari balik pohon. Sejujurnya masih ada beberapa benda yang ingin ia bawa keluar dari rumah itu, namun untuk menginjakan kaki saja ia benar-benar tidak sudi.

Tidaklah lama Ana berdiri memandangi rumah itu, ia membalikkan badannya dan berjalan menjauhi tempat tinggalnya. Berjalan lunglai sambil terngiang betapa bahagian saat ia masih bisa berkumpul dengan orang tuanya.

"Hei," panggil seseorang menghentikan langkah Ana.

Ana membalikkan badannya setelah agak jauh berjalan.

Didepannya kini berdiri seorang cowok bertubuh tak jauh tinggi dari tingginya, hanya selisih beberapa sentimeter.

"Arya," katanya tiba-tiba memperkenalkan diri. "Kamu?"

"Ana."

"I know."

Menganggap itu adalah hal iseng, Ana membalikkan tubuhnya dan berjalan meninggalkan Arya. Arya berjalan cepat lalu menghalangi langkahnya.

"Kamu nggak kenal aku?" tanya Arya.

Tidak mempedulikan Arya, Ana masih melanjutkan perjalanannya.

"Hei girls, stop please." Arya menarik tangan Ana.

"Apaan sih!" gerutu Ana, berbalik lalu berjalan cepat lagi.

Arya masih mengejarnya, Arya menarik tangan Ana lagi.

"Lepasin!" pinta Ana, mengayun-ayunkan tangannya agar cowok yang tidak ia kenal sama sekali itu melepaskannya. "Lepasin atau gue teriak?"

"Silahkan. Aku perlu bicara sama kamu."

"Mau lo apa?" tanya Ana dengan nada kesal.

TIT!

Bunyi klakson mobil membuat Arya melepaskan tangan Ana dari cengkramannya. Tak disangka datang, seorang cowok bernama Alan turun dari mobil dan menghampiri Ana.

"Barang lo ketinggalan di mobil gue," kata Alan, memberikan handphone Ana.

Ana mengambil handphone-nya.

Alan menatap tajam Arya, begitu juga dengan Arya.

"Mau bareng pulang?" tawar Alan.

Ana mengangguk.

"Yaudah masuk dulu," suruh Alan.

Ana masuk kedalam mobil Alan. Tidak lama kemudian Alan menyusulnya dan mulai mengemudikan mobil.

Ana bernafas lega didalam mobil Alan, ia tidak menyangka ada keajaiban hari ini.

"Makasih ya, untung kamu datang," kata Ana.

"Siapa?" tanya Alan.

"Hm?"

"Cowok yang tadi."

"Nggak tau, sok kenal. Aneh."

"Lo nggak kenal?"

"Enggak."

"Oh."

Ini pertama kalinya Ana dan Alan berbincang, walau Alan sudah menyelamatkan hidupnya, Ana tetap merasa kesal karena Alan begitu dingin.

"Oh iya, kamu dokter Ryu yang waktu di Malang kan?" tanya Ana membuka kembali pembicaraan saat diperjalanan. "Aku nggak nyangka ketemu kamu lagi, ternyata kamu temennya Calvin."

"Ya.. kadang aku urusin trainee-trainee nya si Calvin, aku sponsor make up mereka," jawab Alan tidak menoleh sama sekali.

"Oh.. kalau Tian?"

"Tian pengurus."

"Oh..."

"Alamatmu dimana?"

****

Ana merebahkan badannya di kasur empuk milik Wendy sambil menatap langit-langit kamar Wendy yang dihiasi dengan bintang bulan melalui lampu proyektor sedangkan Wendy berbaring disebelahnya sambil menggunakan masker wajah sambil bermain HP.

"Nggak kerasa ya Na, udah dua minggu aja kita ninggalin Malang," ujar Wendy sambil melihat foto-foto di I*******m yang mana teman-teman kuliahnya berfoto di kota Malang.

"Iya.. tapi gue lega, seenggaknya udah nggak ada Victor. Gue bisa hidup normal lagi."

"Iya.. gue juga lega sahabat gue bisa ceria kaya dulu."

Ana tertawa kecil.

"Dulu waktu lo sama Victor, lo berubah drastis. Lo jadi cewek penakut, parnoan banget pokoknya. Berkebalikan banget sama sifat asli lo yang kaya gini."

"Iya gue tau dan gue sadar gue berubah."

"Yaudah yang penting sekarang lo udah bebas, yakan?"

"Hu um..."

"Oh iya, betah nggak lo di kantor Calvin?"

"Betah banget, staf-stafnya baik semua. Disana juga gue sering ketemu artis-artisnya Calvin. Kerjaannya nyantai. Seneng gue kerja disana. Lo? Tempat kerja lo gimana?"

"Duh tempat kerja gue nggak enak, ntar deh gue keluar kalau udah dapat kerja baru."

Wendy bekerja di sebuah perusahaan minuman sebagai PR. Wendy selalu mengeluh setiap hari karena tugasnya yang menumpuk dan bosnya galak. Yah, memang nyaman tidaknya pekerjaan yang utama adalah karena faktor lingkungan. Jika karyawan bisa saling mendukung satu sama lain, pekerjaan seberat apapun tidak akan menjadi beban. Alangkah baiknya kalian bisa memperlakukan manusia selayaknya manusia.

"Oiya Wen, gue udah lama numpang disini. Gue mau cari kos aja."

"Duh nggak usah, Ana! Lo tinggal sini aja ortu gue seneng banget."

"Iya tapi gue nggak bisa Wen, gue harus mandiri udah umur segini."

"Bilang aja lo mau ngekos biar bisa nyelundupin cowok ke kamar lo. Iya kan?" goda Wendy.

"Apaan sih pikiran lo kacau! Hahaha." Ana menimpuk Wendy dengan gulingnya.

****

Di malam hari, gerimis menyapa gelapnya malam. Jalanan kering disapu basah oleh rintikan hujan. Para pemotor menggunakan jas hujan mereka untuk menutupi tubuh mereka agar tidak menjadi basah. Para pengendara mobil melajukan kendaraan mereka begitu kencang karena jalanan terasa longgar.

Duduklah seorang bapak-bapak disebelah seorang putrinya. Bapak berkacamata itu terlihat sangat lelah tetapi masih terkesan berwibawa.

"Kamu beberapa minggu lalu ke rumah, ya? Ngintip dari balik pohon."

Walau Ana tidak mengetahui darimana Papanya tahu akan hal ini ia tidak ingin ambil pusing. Ia tidak mau bertanya. Biarkan penasaran ini tenggelam dalam pikirannya. "Iya."

"Kenapa nggak masuk rumah? Itu rumah kamu."

"Itu rumah Mama," sahut Ana sambil memandangi kendaraan lalu lalang dari dalam mobil yang terparkir didepan kantornya.

"Lupain Mama kamu, dia sudah meninggalkanmu."

"Bedanya sama Papa apa? Papa juga nikah sama perempuan lain tanpa restu dari Ana!"

Pak Denis terdiam.

"Ana nggak akan pernah mau jadi anak Papa lagi sampai istri terbaru Papa keluar dari rumah peninggalan Mama."

Ana keluar dari dalam mobil, membiarkan dirinya terkena oleh tetesan air hujan dan meninggalkan Papanya yang kini sedang memandang kepergiannya.

Pukul 22.10...

Ana duduk di pos satpam kantor sambil meletakkan kepalanya diatas tangannya yang terlipat di meja. Tidak bisa ia pungkiri dan ia hindari, hatinya malam ini benar-benar kacau dan ia sedang menangis karena teringat akan orangtuanya yang sama-sama meninggalkannya.

"Ana?" panggil Calvin, masuk ke dalam pos satpam.

Ana menaikkan kepalanya. Dipandangnya Calvin dengan uraian air mata.

"Kamu kenapa? Kok belum pulang malah nangis disini?"

"Calvin...."

Mencoba menenangkan Ana berjam-jam, kini Ana tertidur pulas di sofa kamar apartemen Calvin. Ya, malam ini Ana ikut pulang ke kediaman Calvin karena Ana tidak ingin pulang ke rumah Wendy semalam ini. Ia percaya bahwa Calvin tidak akan melukainya, ia begitu mempercayai Calvin. Tidak lama kemudian Calvin tidur di sofa sebelah yang ukurannya agak pendek disbanding ukuran sofa yang Ana tiduri.

Detik demi detik mengantarkan mereka berdua di pengantar hari. Waktu menujukkan tepat jam lima pagi namun sinar matahari sudah masuk melalui kaca menyilaukan mereka berdua karena korden tidak tertutup. Calvin bangun terlebih dahulu. Ia mandi dan membersihkan badan, lalu mulai memanggang roti.

Saat mencium aroma roti, Ana terbangun dari tidur pulasnya. Membuka matanya perlahan, melihat Calvin duduk di sofa depannya sambil tersenyum menyambut paginya. Ia salah tingkah.

"Biasa aja Na, anggap aja rumah sendiri."

Ana tersenyum.

Ting-tong.

Bel kamar Calvin berbunyi, membuat Ana kebingungan terlebih lagi ketika dilihat siapa yang datang, dia adalah Alan.

"Aku sembunyi apa ya?" tanya Ana, berdiri didepan pintu disebelah Calvin.

"Nggak usah."

"Tapi kalau dia salah paham?"

"Tenang aja, Alan cuek," jawab Calvin tanpa pikir panjang membuka pintu.

Kini tidak dibatasi apapun, mereka bertiga saling bertatap muka. Wajah Alan terkejut melihat kehadiran Ana pagi-pagi di kamar Calvin, namun ia bisa menguasai dirinya dan langsung masuk ke dalam kamar Calvin.

"Tumben lo pagi-pagi kesini, ada apa?" tanya Calvin.

"Kamar gue beda satu lantai sama kamar lo, gue tiap hari kesini. Ada masalah?" tanya Alan.

"Ya enggak, tumben aja," jawab Calvin.

"Gue minta sarapan," jelas Alan.

"Ambil tuh semua bawa aja ke kamar lo," ujar Calvin sambil menuju dapur meninggalkan Ana dan Alan.

"Lo tidur disini?" tanya Alan kemudian.

Ana mengangguk. "Tapi kita nggak ngapa-ngapain."

"Lo nggak punya rumah?" tanya Alan lagi dengan tatapan elang.

Ana menggelengkan kepalanya.

"Lo cewek apaan? Walau Calvin temen lo, seenggaknya lo punya harga diri. Ngapain tidur di kamar cowok?"

"Maksud lo gue nggak punya harga diri?" tanya balik Ana mulai emosi.

"Kurang lebih...."

"Terus masalah lo apa? Lo nggak ada hak marah ke gue! Mau gue tidur ama siapa aja bukan urusan elo!"

Alan menahan emosinya. Calvin datang sambil membawa dua gelas kopi.

"Udah lah Lan, kemarin dia sakit. Jadi gue bawa ke tempat gue. Mana tega gue biarin dia sendirian di kantor malam-malam," sambung Calvin. Calvin memang tipikal cowok tenang dan dewasa. Setelah mengantar kopi Calvin kembali memasuki dapurnya yang ada di paling ujung ruangan, tak terlihat dari ruang tamu.

Semenit, dua menit, lima menit.. Calvin keluar dari dapurnya.

"Lan, bisa tolong antarin Ana pulang? Gue harus ke Jakarta habis ini dadakan," pinta Calvin sambil merapikan pakaiannya.

Alan dan Ana saling pandang.

"Anter dia dulu ke rumah temennya, sekalian lo tunggu ajak dia ke kantor," lanjut Calvin.

"Nggak usah, aku pulang sendiri, Vin. Thanks ya kemarin, kamu hati-hati," sahut Ana, berdiri dari sofa, meraih tasnya lalu meninggalkan ruangan Calvin.

Ana berjalan di koridor gedung apartemen berlantai 23 dengan bangunan yang mengelilingi kolam renang. Apartemen tempat tinggal Calvin begitu mewah, hampir terbentuk seperti kota minimalis karena ada marketmall dan lain-lain. Tidak terbayangkan untuk Ana berapa harga sebulan jika ia ingin menempati apartemen ini dan berapa harga beli per ruangan. Tinggal di kosan saja sudah cukup baginya.

Memasuki lift, keluar dari lift.. Ia melangkahkan kakinya dengan mata mengantuk ketika jam hampir menunjukkan pukul enam pagi. Ia berdiri dipinggir jalan apartement sambil menunggu ojek online-nya datang menjemput karena baginya hemat adalah yang terpenting untuk menopang biaya hidup.

Tidak seberapa lama menunggu abang ojol datang didepannya, memberikan helm padanya agar bisa digunakan untuk menambah keselamatan penumpang. Ketika Ana memasang helmnya, tiba-tiba Alan melepaskan helm itu dan memberikannya kembali pada abang ojol sambil memberi selembar uang berwarna merah.

"Bawa aja bang, dia saya antar," ujar Alan.

Tukang ojol itu kebingungan, begitu juga Ana.

"Beneran nih mas?" tanya ojol itu memastikan.

Alan mengangguk.

"Makasih ya, mas. Permisi mas, neng.. semoga hubungannya langgeng nggak berantem-berantem," ujar ojol lalu menghilang dihadapan Ana dan Alan.

"Mau lo apa sih?" tanya Ana kesal.

"Gue anter aja, Calvin yang minta."

Alan menarik Ana untuk memasuki mobilnya yang terparkir di parkiran luar apartemen.

"Calvin berapa hari di Jakarta?" tanya Ana, membuka pembicaraan ketika Alan sedang mengemudi untuk mengantarkan Ana ke rumah Wendy.

"Kalau lo penasaran tanya sendiri ke dia," jawab Alan jutek.

Ana menahan emosinya. "Iya nanti gue tanya."

"Udah ngapain aja semalam ama Calvin?" tanyna balik Alan, membuat Ana terbengong-bengong.

"Maksud lo gue ngelakuin hal-hal kotor kaya pikiran lo gitu?" tanya Ana lagi dengan kesal.

"Jangan jadi pelakor, Calvin bentar lagi mau tunangan."

Jlep.

Ana terdiam.

"Jangan ganggu hubungan Calvin sama adek gue."

"Oh sorry.. gue nggak tau. Gue juga nggak ada maksud deketin Calvin.

"Masa?"

"Iya.. Calvin cuman teman baik gue," jelas Ana sambil tersenyum.

Baginya walau Calvin pernah ada di masa lalunya, pernah menjadi mantan terindahnya, jika ia kembali bersama Calvin bukanlah sebuah hal yang menyenangkan. Bagi Ana memang tidak ada hal yang tidak mungkin, termasuk bersahabat dengan mantan tanpa rasa cemburu dan saling menyukai lagi.

"Terus adek lo dimana?" tanya Ana.

"Di Bandung."

"Oh... sekalian lah si Calvin ngapel," cengir Ana. "Oh iya, lo kan dokter kok kayaknya pengangguran gitu tiap hari main ke tempat Calvin?"

"Jadwal gue nggak padat, yang kerjain semua dokter-dokter di klinik," jawab Alan.

Keduanya dalam keheningan sambil menikmati berita pagi melalui radio. Setelah hampir mengemudi kurang lebih satu jam, Alan mulai memasuki area perumahan rumah Wendy.

"Lo pasti jomblo ya?"

"Ha?" Alan terkejut mendengar pertanyaan Ana yang tiba-tiba nyelentang.

"Pasti lo jomblo. Mana mau cewek sama lo. Udah jutek, judes, sok cool, pemarah... nggak ada yang betah," ejek Ana sambil tertawa kecil bermaksud untuk membuatnya lebih dekat dengan Alan agar suasana pertemanannya se asik dengan Calvin dan Tian.

Tiba-tiba Alan menghentikan mobilnya.

"Sorry bercanda," tambah Ana kemudian. Ana sadar Calvin saat ini BT mendengar ejekannya. "Gue punya saran sih sebagai teman buat elo. Jadi cowok jangan cuek bebek, jangan dingin ke cewek.. secakep apapun elo yang ada lo bakal nggak laku seumur hidup kecuali cewek-cewek itu cuman niat buat morotin duit elo dan pastinya karena gue akuin lo lumayang ganteng sih, jadi...."

Kiss.

Ana terdiam dibuatnya.

Tiba-tiba Alan mencium bibirnya, menyerangnya. Bibir Alan terasa hangat dan manis di bibir Ana. Setelah mengecup bibir Ana, Alan menjauhkan wajahnya dari Ana.

Ana memandang wajah Alan dengan begitu dekat, dengan jantung yang berlari kencang, dengan nafas yang terengah-engah dan penuh pertanyaan di kepala kenapa tiba-tiba Alan, cowok yang begitu dingin padanya tiba-tiba menciumnya. Jarak pandang mereka hanya berkisar lima senti, Alan menyondongkan tubuhnya pada Ana.

"Maksud lo ap..."

Kiss.

Alan lagi-lagi mencium Ana. Tangan kiri Alan melingkar di kepala Ana. Ana tidak bisa berkutik dibuatnya. Ketika Ana menjauhkan kepalanya, Alan malah menariknya.

Empat detik, lima detik, enam detik, tujuh detik...

Alan berhasil membuat basah bibir Ana.

Alan berhasil membuat Ana terdiam dengan wajah semerah tomat.

"Jangan rewel," bisik Alan.

Seperti tidak terjadi apapun, Alan kembali mengemudikan mobilnya yang tak jauh dari rumah Wendy. Hanya sekitar tiga menit, Alan menghentikan mobilnya lagi didepan rumah berwarna coklat.

"Ini rumahnya?"

Ana mengangguk.

Ia masih gugup. Bahkan detak jantungnya terdengar di telinga Alan.

"Gue tunggu, maksimal lima belas menit," ucap Alan ketika Ana hendak keluar dari mobilnya.

"Kamu.. kamu tinggal aja," kata Ana. Ia tidak berani sama sekali memandang wajah Alan.

"Udah nggak usah rewel, mau aku cium lagi?" goda Alan.

Blak.

Ana menutup kencang pintu mobil Alan lalu berjalan kaku ala robot memasuki rumah Wendy. Alan tersenyum jail melihatnya.

To be continue...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status