Share

3. setengah jam

Author: Ria Abdullah
last update Huling Na-update: 2024-08-27 10:21:35

Aku merasa lapar sehingga memutuskan untuk keluar dari kamar setelah sedikit menenangkan diri dan mengganti baju. Kubuka pintu untuk pergi ke dapur, entah kenapa... sial sekali aku harus berpapasan dengan Ayah.

Kami bertemu di ambang pintu dan saling canggung, saling menghalangi jalan lalu pada akhirnya Ayah yang minggir dari hadapanku. Biasanya kami akan saling tertawa dan saling memberikan sentuhan kasih sayang sebagai anak dan ayah, tapi kali ini aku benar-benar tidak sudi menatap atau menyentuhnya.

Astaghfirullah, aku minta ampun kepada Allah tapi untuk saat ini aku belum bisa menerima kenyataan yang ada. Melihat tatapan mataku yang sudah berbeda, ayahku lalu menggumam, "Bersikaplah dengan wajar, seperti biasa," bisiknya.

Aku mengernyit dan memicingkan mata. Ingin kujawab omongannya dengan kata-kata pedas tapi puncak dari semua kebencianku adalah tak sudi lagi mengatakan apa apa.

Aku tetap diam saja sampai ayah menarik kembali tanganku. "Bersikaplah biasa," ujarnya dengan penekanan.

"Ayah yang harusnya sadar dan berhenti untuk pura pura biasa saja padahal ayah yang bejat," jawabku sambil melepaskan cengkraman tangannya dari tanganku dengan kasar.

Tak mampu dipungkiri, kenyataan bahwa aku kini sangat membenci ayah mungkin adalah sesuatu yang sulit ayah terima. Tapi aku tak peduli, masa bodoh dengannya.

Usai makan kulihat ayah dan adikku sedang bercengkrama di ruang tengah. Mereka mengobrol seperti biasa, adikku asyik menceritakan keseharian dan tentang sahabat sahabatnya yang belagu banyak tingkah. Dan seperti biasa pun ayah akan merangkulnya lalu memberinya pengertian dan nasehat yang terdengar bijak agar adikku tidak terpengaruh dengan pergaulan yang salah atau mengikuti tingkah-tingkah yang menyimpang. Sebenarnya itu baik, tapi menyadari kesalahan ayah, aku jadi jijik padanya.

*

"Bunda, sampai kapan bunda akan diam saja seperti ini?"

Begitu tanyaku suatu hari.

"Bunda akan diam selamanya, sampai masalah yang ada terlupakan dengan sendirinya."

"Apakah bunda pikir, dengan menganggap itu akan hilang dengan sendirinya kami yang di sini akan baik-baik saja? Kenapa Bunda bodoh sekali."

"Ayahmu sudah telanjur menikah, meminta seorang lelaki untuk menceraikan istrinya demi keegoisan agar dia mencukupi kasih sayang padaku dan isi piringku adalah tindakan buruk dan dosa. Bunda ini hanya wanita, hanya istri yang harus menurut pada suami dan aturan agama."

"Tapi bagaimana dengan hati Bunda? Mengapa Bunda tidak sekalipun protes atau memperingatkan Ayah minimal memberinya ultimatum bahwa kalau Ayah terus melakukan perbuatannya, maka bunda akan memberikan ganjaran?!"

"Terlalu mahal kata-kata yang akan aku ucapkan kepada lelaki yang sudah bebal hati dan jiwanya."

Kalimat dari Bunda seketika membuatku terdiam. Aku terkejut, apakah ini maksudnya bahwa ibuku sudah kehilangan rasa? Apakah dia hanya menjalani rumah tangga sebagai formalitas dan memaksa penderitaannya demi melihat kami anak-anak tumbuh dengan baik dan terjamin masa depan kami?

"Sungguhkah ini demi kami?" tanyaku dengan rasa tenggorokan yang hampir kering.

"Iya Alana, Bunda mohon ya, demi kalian, demi Adek Indira yang masih membutuhkan ayah. Bunda mohon, jangan buat keributan," ujar Bunda sambil menyentuh tanganku. Tetap aja ada rasa 'mangkel' dalam hatiku. Tetap ada rasa keberatan atas sikap bunda yang hanya mengalah saja. Ya Allah, aku sesak sekali.

*

Tok tok ....

Aku yang sedang sibuk mengerjakan tugas tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan di pintu kamar. Adikku yang selalu ceria memanggil lalu menyembulkan kepalanya dari balik pintu dengan senyum yang riang.

"Ayah memanggil."

"Untuk apaa?" tanyaku dingin, mendengar dia mengatakan kata ayah saja membuatku muak.

"Mungkin seperti biasa .... akan membagikan uang jajan."

Biasanya momen membagikan uang jajan bulanan adalah hal yang menyenangkan antara Aku dan Indira. Kami biasanya akan bersaing tentang pengeluaran sekolah agar Ayah memberikan kami uang lebih. Setelah diberi uang kami anak-anaknya akan tertawa bahagia dan merasa puas.

Namun kali ini, aku benar-benar malas menemui ayah. Rasanya persetan dengan uang sekolah. Aku ingin menolaknya sebagai bentuk kebencian dan protesku. Aku akan mencari kerja paruh waktu dan bertahan hidup tanpa bantuan ayah, tapi tetap saja, itu adalah konsep yang sulit diwujudkan bagiku yang masih duduk di bangku kelas dua SMA.

"Ayo Kak, kenapa diam saja?"

"Ada bunda gak?"

"Iya, ada."

Deg.

Hatiku mulai merasa tidak tenang dan tidak karuan. Apakah sekarang ayah akan mengungkapkan kejujuran pada semua orang? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Indira.

"Emangnya ayah mau apa?" tanyaku dengan malas.

"Gak tahu, ayo dong kak buruan turun ke bawah."

"Iya iya ...." Dengan malas kututup buku catatan dan segera turun ke ruang tengah. Di sana ada ayah, ibu dan adikku yang asyik dengan makanan ringan dan tontonan TV.

Ayah dan Bunda tidak duduk berdekatan melainkan selalu ada jarak diantara mereka. Aku baru memahami kenapa ayah dan ibuku tidak pernah duduk berdekatan dan saling merangkul seperti layaknya suami istri yang lain. Mungkin ibuku sudah kehilangan rasa dan benci, tapi dia tetap menunjukkan kebaikannya di hadapan kami.

"Ayah ingin mengatakan sesuatu," ucap ayah membuka percakapan.

"Ayah... Aku pikir ayah akan membagikan uang bulanan kami?" tanyaku dengan isyarat mencegah.

"Betul, tapi sebelumnya aku ingin bicara...."

"Jika bicara akan menyakiti kami, sebaiknya jangan diungkapkan sekarang. Kami tidak akan siap dengan hal hal yang menyakitkan," jawabku dengan wajah tegas. Tentu saja ucapanku membuat adikku mengernyit heran dan tidak paham.

"Kakak ngomong apa sih?"

"Gak ada, kamu coba ke kamar deh, ambilkan laptopmu, aku mau pinjam," suruhku pada Indira.

"Tumben...."

"Laptopku ngehang." Padahal aku ingin mencari alasan saja agar aku bisa menjauhkan adikku dari ruang tengah. Setelah dia pergi aku segera mengalihkan tatapanku kepada ayah dan bertanya apa sebenarnya yang akan dia katakan.

"Apa mau ayah? Apa ayah mau jujur dan membunuh kami perlahan?"

"Justru karena kamu sudah tahu, aku ingin adikmu juga tahu," jawab ayah dengan dingin. Kali ini aku melihat ekspresi wajahnya, terlihat liar dan asing sekali bukan seperti ayah yang kukenal.

"Lalu apa setelahnya."

"Karena kalian sudah tahu aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa. Aku tidak bisa selamanya menyimpan Priska. Kami ingin mengadakan resepsi pernikahan setelah bertahun-tahun menyembunyikan segalanya."

Apa?! Pernikahan yang disembunyikan saja sudah sakit, apalagi sekarang dia ingin merencanakan sebuah resepsi! Kurang ajar sekali ayahku ini, tidakkah dia memikirkan Ibuku dan beban ekonomi yang sedang kita hadapi? Ah, rasanya aku ingin membanting kursi.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
punya anak tolol krn ibunya juga tolol dan g punya kemampuan buat mandiri. bersembunyi dibalik kata patuh sama imam. mampuslah kalian
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • MALAIKAT PENCURI AYAH   100

    Pada akhirnya setelah diskusi panjang lebar dan keluargaku membujukku, maka aku pun setuju untuk pulang ke rumah keluarga dan ahli warisku. Sebetulnya aku tidak terlalu ingin bersama mereka tapi bagi mereka tidak aman diriku untuk tinggal sendiri di tengah teror dan ancaman keluarga Tante Priska.Meski nantinya keluarga Priska tidak akan lagi menemuiku, tapi tetap saja keluargaku khawatir tentang diri ini yang sendirian karena aku adalah anak perempuan. Belum lagi usaha kedai yang mungkin tak akan bisa kukelola dengan maksimal. Kedai itu terancam gulung tikar sebentar lagi.*Aku pindah ke rumah nenekku, tinggal di sebuah kamar di lantai dua bersebelahan dengan kamar oma. Sikap Oma berubah drastis, dia yang tadinya biasa saja, jadi sangat perhatian dan sayang. Mungkin karena besarnya rasa bersalah padaku dan Bunda. Nenek jadi sangat lembut, penuh kasih sayang dan berusaha memenuhi kebutuhanku.Om dan tanteku juga sama, mereka mendukung dan menyayangiku, mereka mencarikan kampus yang

  • MALAIKAT PENCURI AYAH   99

    Hari itu kutemani ayah pergi ke rumah sakit jiwa di mana Bunda dirawat sekaligus ditahan. Saat pertama kali mendaftar di lorong rumah sakit dan bilang kalau kami ingin bertemu Bunda naifa, aroma khas rumah sakit serta sedikit aroma busuk mulai menguar di penciumanku.Aku juga mendengar teriakan dan suara tawa melengking yang berasal dari para pasien yang mungkin sedang berhalusinasi atau teringat dengan peristiwa traumatis mereka. Aku bisa merasakan betul tekanan dan prihatin dengan nasib pasien yang ada di situ. Aku yakin bukan keinginan mereka untuk ada di sana tapi keadaan dan mental mereka yang membuat mereka tertahan.Kami diantarkan oleh dua orang perawat ke sebuah kamar yang berada di lantai 2 dan jauh di ujung lorong sayap timur. Saat melewati koridor, aku bisa melihat di sebelah kanan dan kiri, ruang pasien yang dilapisi kaca dan jaring jeruji, berisi mereka dengan aneka tingkah laku dan keluhan. Ada yang hanya duduk di ranjang sambil menerawang menatap jendela, ada yang b

  • MALAIKAT PENCURI AYAH   98

    "Aku tidak akan ikut campur kalau Tante ingin berpisah atau tetap bersama ayah, tapi ada sedikit yang mengganjal hatiku karena tiba-tiba tante ingin mendapat permintaan maaf dari ibuku. Kalian berdua sama-sama salah dan sama-sama kena getahnya, kenapa tidak saling merangkul dan saling memaafkan satu sama lain saja, tanpa harus menuntut satu harus bersujud kepada yang lain?""Maaf, ibumu telah membunuh anakku.""Kehadiranmu juga telah membunuh adikku.""Ia membuatku mendapatkan kesialan bertubi-tubi.""Karena kehadiranmu kami kehilangan ayah dan rumah, keluarga kami hancur hubungan kami dengan nenek kami juga hancur, apa Tante ingin kita mengadu nasib?""Baiklah kau menang!"wanita itu akhirnya menyerah dan hanya mendengkuskan nafas sambil terlihat kesal padaku. Dia dalam keadaan sakit dan sedih sementara dia kesal dan tidak mau menatap wajahku. Dia benahi selimutnya sendiri karena hawa AC yang mulai dingin.Kuhampiri wanita itu, lalu kubantu dia untuk memperbaiki selimut, ku tawarkan j

  • MALAIKAT PENCURI AYAH   97

    "Dengar anak suamiku! Aku sedang sakit, bersedih dan ditimpa kesulitan bertubi-tubi. Aku tidak mau kehadiranmu mengeruhkan suasana dan membuat diriku makin depresi. jadi dengan penuh hormat, aku memintamu untuk meninggalkanku sendiri saja,"ucapnya sambil mengarahkan tangan ke pintu yang pertama bahwa dia mau tidak mau terpaksa mengusirku."Aduh Tante, kalau aku tidak menjaga lantas siapa yang akan membantumu pergi ke kamar mandi dan mengawasimu, kau bisa pingsan dan saluran infus itu bisa terlepas dari tanganmu dan berdarah. Harus menjagamu Demi rasa baktiku kepada ayahku. Aku tidak akan tahan terus bicara dan menatap wajahmu jadi aku akan mengawasimu dari luar, kataka. Saja kalau kamu butuh sesuatu," ucapku ketika hendak membalikkan badan dan pergi."Kau tidak perlu susah payah, urus saja ibumu yang pembunuh itu," jawabnya dengan sombong, aku tersentak saat wanita itu menyebut ibuku dengan sebutan pembunuh. Emosiku tiba-tiba ingin naik kepala Andai saja aku tidak berusaha mengendali

  • MALAIKAT PENCURI AYAH   96

    Aku menelpon ayah dalam perjalanan pulang dari persidangan Bunda. Aku ingin tahu Ayah sedang apa. Apakah dia sudah sampai di rumah atau belum. Kalau belum Aku ingin sekalian pergi menjemputnya karena Ayah tidak membawa motor melainkan dia menggunakan ojek online."Halo assalamualaikum ayah...""Ya, walaikum salam."Suasana di sekitar Ayah terdengar sangat ramai dan lalu lalang orang serta keriuhan yang sulit kujelaskan, aku tidak bisa berasumsi kalau dia sedang di kantor karena tidak mungkin suasana di kantor sampai seperti pasar. Ada suara jeritan orang yang menangis dan beberapa yang lain terdengar bicara dan sulit dimengerti Apa yang sedang mereka katakan."Ayah di mana sekarang, apa yang sedang Ayah lakukan?""Ayah sedang di rumah sakit, Tante Priska menelpon ayah dan meminta ayah datang ke sini," jawabnya dengan suara pelan.Tadinya aku ingin menceritakan tentang keadaan Bunda dan putusan apa yang bunda dapatkan tapi mendengar nama tante Priska disebutkan aku jadi kesal dan mengu

  • MALAIKAT PENCURI AYAH   95

    "Lalu apa pilihan Ayah, apa Ayah akan pulang dengan kami atau kembali ke Tante Priska?"Pertanyaanku itu cukup membuat ayah terhenyak dan diam saja. Dia menggeleng lalu mendesah pelan."Tidak keduanya." Ayah mendesah dan memilih beranjak dari tempat duduknya, ia trtatih pelan dengan tongkatnya menuju ke kamar.Dari belakang siluet tubuh ayah terlihat kurus, sedikit bungkuk, hilang semua wibawa dan ketegapan dirinya sejak musibah yang menimpa. Pun Tante Priska yang kini babak belur dihujam masalah demi masalah. Kasihan, tapi harus bagaimana lagi.Kini, yang harus kufokuskan adalah tentang ibuku yang menjalani hukumannya, entah berapa tahun dia di penjara aku tak tahu. Semoga hakim mempertimbangkan ketidak stabilan mentalnya agar ibuku bisa diampuni dan diberi keringanan. Meski menurut orang lain egois bahwa aku berharap ibuku yang seorang pembunuh berencana tidak dihukum berat karena gangguan jiwa, tapi aku tetap berharap itu terjadi. Semoga ada keajaiban.*Seminggu kemudian.Pagi se

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status