“Ricardo! Teleponmu berdering, cepatlah angkat, berisik sekali!” ujar Samantha di tengah tidurnya yang lelap.
“Hm, bukan punyaku itu punyamu,” balas Ricardo sambil membalikkan punggungnya kembali tidur.Bunyi gawainya terus saja berdering membuat Samantha akhirnya terbangun. Dilihat jam dinding sudah pukul dua dini hari. Diambilnya gawai di sebelah meja kecil samping ranjang dan melihat nama Brenda pada layarnya. “Ngapain Brenda telepon aku?” pikir Samantha.“Halo?” jawab Samantha.“Halo dengan nyonya Samantha ibu dari Brenda?” tanya seorang laki-laki dibalik gawai milik Brenda.“Betul, i… ini dengan siapa saya berbicara?” tanya Samantha ragu. Dia merasa bahwa Brenda masih ada di kamarnya sebelum dia pergi tidur. Samantha berpikir kemungkinan ini penipuan, tapi bagaimana bisa gawainya ada di orang lain?“Saya, Indra dari kepolisian lalu lintas. Mobil anak nyonya dengan pPetugas itu meninggalkannya sebentar. Karin duduk di kursi tunggu, menatap lorong-lorong rumah sakit yang terasa begitu asing namun menyimpan luka lama. Tak lama kemudian, seorang wanita tua berseragam batik rumah sakit datang menghampirinya. “Nona Karin, saya Bu Rina. Saya dulu bertugas di bagian administrasi, setelah saya cek, nyonya Safira adalah pasien yang melahirkan kembar laki-laki dan perempuan lima tahun yang lalu. Disitu data yang tertulis. Karin menatap tajam ke arah Bu Rina. “Bu, saya ingin tahu… tanggal berapa tepatnya Safira Dimitri melahirkan anak kembar itu?” Bu Rina membuka kembali catatan di tangannya, lalu menjawab pelan, “Tanggal 5 April… lima tahun yang lalu.” Jantung Karin seperti dihantam keras dari dalam. “Itu… tanggal saya melahirkan juga,” gumamnya, matanya membulat. “Saya ingat betul. Tanggal 5 April. Saya melahirkan bayi kembar. Laki-laki dan perempuan.”
Anak-anak puas bermain hingga akhirnya Brigitta menyuruh pulang karena sudah sore. Di dalam mobil, perjalanan dari mall menuju rumah keluarga Lucas Brigitta, terasa lebih sunyi dibanding saat mereka berangkat. Anak-anak tertidur pulas di kursi belakang, kepala mereka bersandar ke sisi masing-masing. Jaslyn masih memegang balon pink di tangannya, sementara Jason memeluk boneka dinosaurus kecil yang dibelinya tadi.Brigitta menoleh ke arah Karin yang duduk di sampingnya. “Mereka jarang setenang ini,” ucapnya pelan sambil tersenyum.Karin membalas senyum kecil. “Mungkin karena mereka kelelahan.”Brigitta mengangguk. “Tapi ini lelah yang bahagia. Terima kasih, ya, Karin. Aku senang kamu ikut hari ini.”Sesampainya di rumah, para pengasuh segera membantu mengangkat anak-anak ke kamar. Karin duduk sebentar di ruang tamu, merasa canggung apakah ia harus langsung pamit atau menunggu.Brigitta muncul da
Langkah kaki Karin terdengar ringan namun gugup ketika ia melintasi lobby ECorp. Senyum para staf resepsionis, suara mesin fotokopi, dan aroma kopi dari pantry kantor seharusnya terasa biasa saja—tapi tidak hari ini. Ada getaran aneh di dadanya yang belum juga mereda sejak ia melangkah keluar dari apartemen tadi pagi.Ciuman kilat itu. Di dalam mobil. Singkat, tapi... menusuk.Karin menunduk, menatap refleksinya di lift kaca. Bibirnya sempat terbuka, ingin bertanya—tapi kepada siapa?Begitu lift terbuka di lantai 20, Karin menarik napas dalam. Ia mengenakan setelan kerja rapi seperti biasa, tetapi hatinya jauh dari biasa.Saat pintu ruangan Ethan dibuka oleh Erika, Karin masuk dengan tenang, memeluk tablet dan folder kerja.Ethan sedang berdiri di depan jendela, memandangi gedung-gedung Jakarta yang bersinar tertimpa matahari pagi. Ia tampak... biasa saja.Terlalu biasa.
Anak perempuan dengan rambut bergelombang sebahu, mendekati Karin tanpa ragu. “Hai Tante Karin,” katanya sambil menatap langsung ke mata Karin. Matanya bulat, hidungnya mungil.Jason, si anak laki-laki, menyusul adiknya dan berdiri di sebelah Karin. Ia mengamati Karin tanpa suara, lalu tersenyum kecil. Ada kedalaman tak biasa di mata anak itu. Entah kenapa, Karin merasa... familiar.“Kalian... manis sekali,” ucap Karin dengan suara bergetar.Brigitta muncul dari dapur membawa nampan kue. Ia tersenyum hangat. “Maaf, anak-anak selalu histeris kalau tahu ada tamu.”“Mereka kembar, ya?” tanya Karin, berusaha tetap terdengar ringan walau hatinya masih berkecamuk.Brigitta mengangguk. “Iya.” Lalu ia menatap Karin. “Kamu suka anak-anak, Karin?”Karin menahan napas sejenak. “Iya… sangat.”Namun pikirannya masih terhenti di satu pertanyaan.Siapa
Rapat eksekutif selesai tepat pukul 16.30.Para manajer mulai keluar dari ruang rapat satu per satu, membawa berkas dan laptop mereka. Karin yang duduk di sisi kanan Ethan, segera merapikan notulensi di tabletnya, siap kembali ke meja kerja.Namun saat ia berdiri, suara Ethan menghentikannya. “Karin.”Ia menoleh. Ethan masih duduk, satu tangan bersandar di meja, menatapnya singkat.“Kamu bisa langsung pulang sekarang.”Karin sempat bingung. “Pulang? Tapi masih—”“Aku yang akan menjemputmu nanti malam. Undangan makan malam dari Mommy.” ucap Ethan. "Aku tidak ingin acaranya terlalu malam."Akhirnya Karin mengangguk pelan. “Baik, Tuan Ethan. Saya akan bersiap.”Ethan hanya mengangguk singkat, lalu berdiri dari kursinya dan berjalan keluar ruangan, diikuti oleh Erick yang masih sibuk dengan panggilan telepon.*Lan
Brenda bersandar santai di dinding, tetap memperhatikan Ethan yang berdiri di depan pintu unit Karin. Ethan sudah beberapa kali menekan bel, tapi tak ada jawaban dari dalam. Ia mengecek jam tangannya. Wajahnya tetap datar, tapi ada bayangan frustrasi di sorot matanya. “Sepertinya… dia belum bangun,” komentar Brenda dengan nada ringan, mencoba membuka percakapan lagi. Ethan tidak menoleh. Tangannya kembali menekan bel, lalu menghela napas dan mundur selangkah. “Kalau tidak keberatan…” suara Brenda kembali terdengar, lebih manis, “…bolehkah aku tahu namamu?” Tak ada respons. Brenda masih mencoba menggoda “Atau mungkin… aku boleh simpan nomor kontakmu? Siapa tahu… butuh bantuan soal unit di sini.” Ethan akhirnya menoleh, menatap Brenda langsung. Tatapannya tajam, tanpa senyum. “Maaf. Tidak perlu.” Kalimat itu singkat. Dingin. Tegas. Ethan