Share

ARWAH BUANGAN

Pola asuh membentuk pribadi seorang anak ketika tumbuh, didikan yang angkuh malah menciptakan pembunuh.

Apa yang dibutuh harusnya di dapat dengan sungguh-sungguh. Tak peduli meski pun ricuh dan gemuruh.

Ada masa kelam yang harus di telusuri lebih dalam, semakin paham makin jauh tenggelam. membentuk kebencian dan dendam yang seiring berjalannya waktu semakin tajam.

*

Di saat waktu kosong perempuan itu malah mendengar suara lain. Samar dan lemah.

"Ibuuu ...."

Perempuan itu terkejut dan langsung membuka mata, lalu melihat-lihat keadaan sekitar yang masih menggelap. "Apa barusan aku tertidur dan bermimpi?" gumamnya bingung.

"Ibuu, Ibuu...."

Sekali lagi perempuan itu dikagetkan oleh suara yang muncul dari hutan. Kali ini terdengar memelas dan manja. Ia sampai dibuatnya, membuat air kolam menyapu tepian hingga tumpah cukup banyak akibat gerak tubuhnya yang spontan.

Ada yang membuat perempuan paruh baya itu penasaran, panggilan itu terasa familier di telinganya. Dengan saksama, ia memperhatikan daun-daun jati yang bergoyang-goyang terkena terpaan angin. Lantas, tepat di belakang pohonnya, di mana area gelap sudah mendominasi, ia melihat sosok berbaju putih tengah berdiri.

Dari jarak yang tak dekat tersebut, dirinya bisa melihat postur tubuh dan ekspresi wajah makhluk itu menyerupai anaknya Laras Atau mungkinkah dia benar-benar Laras, pikirnya. Perempuan yang masih berada dalam kolam itu segera menegakkan tubuh, kemudian memandang area pepohonan semak dengan lekat. la takut salah lihat sekaligus khawatir kalau itu memanglah anaknya.

"Bu, ibuu ayo pergi. Ikut denganku ...."

"Laras? Kenapa kamu ada di situ?" Perempuan paruh baya itu tergemap berdiri.

"Ikut denganku, ibuu.. JIWAKU MEMBUSUK DINERAKA..."

"Laras, jangan pergi ke mana-mana!" cegah perempuan itu seraya melangkah keluar dari kolam. Lantas, ia seperti diingatkan sesuatu. Bukankah Laras tak bisa bicara?

"Larass!" panggilnya.

"Berhenti!" Suara Ki Ageng Romo menghentikan kehendaknya untuk mengejar sosok mirip Laras ke dalam hutan.

"Kenapa dia malah mengajakku pergi?" tukas perempuan itu cepat.

Ki Ageng Romo berdecak, lalu berjalan mendekati perempuan itu. "Kalau memang dasarnya lembek, memang tidak akan begitu saja kuat terhadap ujian," ujarnya seraya memberikan kain katun hitam pada perempuan itu.

"Apa yang kau lihat, bukan seperti apa yang kau pikirkan. Menurutmu, apa dia Laras, anakmu?" Ki Ageng Romo meluruskan telunjuknya ke arah pohon jati putih di ambang hutan. "Lihat betul-betul!"

Perempuan itu seketika terpaku. Sosok yang menyerupai Laras telah berubah menjadi makhluk yang terbungkus kain hitam basah bercampur lumpur. "A-apa itu?"

"Arwah buangan." Ki Ageng Romo berbalik, hendak kembali ke dalam rumah. Di langkah-langkah pelannya ia berkata, "Dia terusir dari alam lain, tapi juga tak diterima di alam ini. Siasat jahatnya seperti tadi, mengambil perhatian manusia. Dan kalau kau pergi bersamanya, kau akan lenyap. Tidak berada di alam lain, tidak juga menempati dunia ini. Kau mau seperti itu?"

Perempuan itu buru-buru melilitkan kain hitam di badanya, lalu bergegas mengikuti langkah Ki Ageng Romo. Ia tidak ingin kalau harus dikuntit makhluk tak berwujud seperti itu terus-terusan. Saat sampai di belakang tubuh Ki Ageng Romo, perempuan itu kembali mendapatkan nasehat.

"Kamu harusnya tidak mudah terperdaya, Bagaimana bisa kamu menjatuhkan Adam yang dikategorikan golongan orang-orang sholeh, kalau cobaan sekecil ini saja gampang membuatmu goyah." Ki Ageng Romo melirik perempuan itu dengan sengit. "Kalau kau tidak bertanggung jawab sepenuhnya kepada anakmu, lebih baik kau kuburkan lagi anakmu itu."

Perempuan itu terdiam, mengepalkan tangannya dengan kuat. Ucapan Ki Ageng Romo memang terdengar kurang ajar. Namun, perempuan itu pun tidak bisa memungkiri kalau dirinya memang gampang terperdaya dan mudah terkena siasat pihak-pihak yang merugikannya. Namun, perempuan itu tidak akan mengulangi apa yang terjadi di masa lalu.

"Iblis menggunakan kenangan Laras untuk memperdayamu. Dari mana iblis bisa tahu? Dia bisa tahu rasa bersalah kita, dan menggunakannya untuk menyerang kita sebagai distraksi," ucap Ki Ageng Romo.

Malam yang gelap karena himpunan kabut dan gerimis, seolah tak menapaki tempat lain. Bagai dua alam berbeda, ada bagian langit yang hanya dilingkupi awan pekat.

Namun, awan tebal nan hitam itu seolah berusaha membalut purnama.

Di bawah naungan cahaya bulan yang sedikit tertutup awan.

Dari kejauhan, sudah terlihat sebuah pintu dengan pahatan dua kepala kambing yang saling bertemu di bagian atas. Saat sudah berada di depan, Ki Ageng Romo mendorongnya dengan perlahan, hingga ruangan yang hanya diterangi oleh obor-obor menggantung di beberapa sisi itu terbuka lebar.

Berjalan beberapa langkah saja, ruangan tersebut langsung disuguhi oleh anak tangga menuju ruangan bawah. Pria tua itu menuruninya dengan perlahan. Diikuti oleh perempuan yang mengekor dibelakangnya. Suasana yang begitu sepi, membuat suara langkah kaki terdengar menggema.

Di penghujung anak tangga, ia melihat altar yang sudah diisi dengan berbagai macam sesajen. Dupa mengepulkan asap, membuat ruangan itu mengeluarkan bau khas.

Ki Ageng Romo menyeringai, ia mulai duduk di depan altarnya dengan beralaskan tikar. Pria tua itu membentangkan kain putih di atas sebuah meja panjang. Kemudian, ia membacakan mantra terlebih dahulu. Gagak di luar saling menyahut, seolah menyambut kedatangan seseorang.

Aktivitas melafalkan mantra selesai. Ki Ageng Romo menyusun kerangka Laras di atas kain putih tersebut sampai benar-benar rapi. Di sampingnya ada sebuah tong besar berisi air untuk menyucikan diri.

Tak lupa ia menyiapkan air yang dianggapnya suci dalam tong besar. Air tersebut sudah dipenuhi kembang tuju rupa.

Perlahan, Ki Ageng Romo mulai menyiramkan air tersebut dari ujung kaki hingga kepala. Lantas, Ki Ageng Romo tertawa begitu puas.

Perlahan Ki Ageng Romo mulai mengguyurkan air dari tong menggunakan gayung yang terbuat dari batok kelapa ke badannya sendiri. Setelah dirasa semua basah, Ki Ageng Romo mulai menyatukan telapak tangan.

Suara gonggongan anjing di luar membuat suasana ruangan yang temboknya terbuat dari batu alam itu terasa begitu merinding. Ki Ageng Romo masih fokus memejamkan mata, merapal mantra yang biasa ia gunakan untuk menyambut bulan purnama.

Api yang bertengger dalam petromaks bergoyang-goyang, padahal tidak ada angin di sana. Seketika mata Ki Ageng Romo terbuka, ia merasa mendapat bisikan aneh barusan.

Kembali, pria beralis tebal itu memejamkan mata, hingga sebuah suara raungan terdengar nyaring. Sedikit tersentak, Ki Ageng Romo membuka mata. la dikagetkan oleh sosok hitam bertanduk runcing membentuk asap yang memutar di depannya.

Kedatangan sosok itu membuatnya tertunduk seketika seraya menyatukan telapak tangan. "YA IBLIS, YANG AGUNG, YA IBLIS, YANG AGUNG " ucapnya penuh rasa hormat.

Ki Ageng Romo berdiri dan menghampiri perempuan itu yang mulai tercenung. "Berhentilah bertanya kenapa? Berhentilah bermain dengan nalar-nalar konyolmu itu di sini, atau kamu tidak akan pernah sampai pada tujuanmu!"

TO BE CONTINUED

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status