Share

PUNCAK KHARJA

Segala masalah mencoba di tuntaskan sampai ke akar. Terduga yang bersalah berusaha di kejar, tapi entah mengapa rasanya konflik seperti berputar-putar.

Ada dalang yang sulit di bongkar, sehingga konflik pun sulit di cecar. Siapa yang seharusnya perlu di hajar. ?

*

Perempuan itu refleks menutup mulut begitu bau kamboja menyengat hidung. Kegelapan memudar saat perempuan itu sudah berada di depan jembatan. Empat buah obor menyala di tiap sisi jembatan.

Perempuan itu mengambil napas panjang, kemudian meneruskan perjalanan. Cahaya bulan kini terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Suara burung dan serangga tak terdengar lagi.

Suasananya teramat hening. Perempuan itu bahkan bisa mendengar suara embusan napas sendiri. Kunang-kunang menyambut Perempuan itu saat dirinya sampai di sebuah gapura yang berdiri kokoh namun terlihat sangat usang, tertutupi oleh tumbuhan rambat yang memberi kesan betapa tak terurusnya tempat ini. bertuliskan desa Puncak Kharja.

Lolongan anjing tiba-tiba terdengar entah dari mana. Mobilnya melaju menghempas kerlipan cahaya milik kumpulan kunang-kunang tersebut dengan kecepatan sedang. Ia benci mahluk itu. Kata orang tua dahulu, serangga itu adalah kuku orang mati, pertanda hal buruk akan terjadi.

Ia bergidik ngeri mendengarnya. Hawa dingin menusuk lehernya, seakan belum cukup membuat dirinya ketakutan.Tubuhnya seketika menegang ketika mendengar suara raungan yang tiba-tiba. Sontak bulu kuduknya meremang dan jantungnya berdetak cepat seperti akan meledak.

Ia dengan gemetar mengamati sekeliling, mencari pemilik suara raungan barusan. la dengan cepat menutup mulut dengan salah satu tangannya ketika bau bangkai menyingkirkan aroma kamboja. Perutnya serasa diaduk- aduk dan ususnya laksana diluruskan paksa.

Mobilnya tetap melaju, selagi ia masih bisa menahan rasa mualnya. melewati rindangnya pepohonan bambu tiap sisi, serta bebatuan yang jadi alas dari ujung sampai ujung.

Ia melajukan mobil dengan sedikit dipercepat agar segera sampai di tempat tujuan sebenarnya. Namun akses jalan yang sulit membuat ia kwalahan menghadapinya.

Di tambah di sini penerangannya sangat minim hanya mengandalkan sorot dari lampu mobil saja. Perempuan itu mulai fokus pada jalanan yang kini telah berubah, di dominasi sebuah pasir. Ini sangat berbahaya karna kendaraan apa pun bisa tergelincir akibat pasir basah yang ada di sekitar sini.

Saat berada di pertengahan area hutan belantara. Perempuan itu akhirnya memuntahkan isi perut. la sampai harus berjongkok keluar dari kendaraan roda empatnya, untuk lebih mudah mengosongkan perut. la cukup terbantu berkat pijatan seseorang di lehernya.

"Terimakasih," ucapnya

Saat menyadari hal yang tak semestinya terjadi, mata perempuan itu seketika terbelalak. Keringat dingin tiba-tiba mengucur deras. Lehernya terasa basah karena cairan kental. Ia yakin itu bukan minyak angin seperti dugaan sebelumnya, tetapi ia tak sudi untuk sekadar menerka jawaban. la lebih memilih berdiri dan segera enyah dari kawasan ini.

Di luar dugaan, rasa mual mengocok perutnya lagi. Bau busuk kian menyengat bersamaan dengan langkahnya yang semakin dekat dengan pintu mobilnya.

Setelah usai dengan rasa mualnya. Dengan jalan sedikit tertatih lemas, ia mulai mengatur nafasnya. "Ini semua belum usai. Sedikit lagi dan aku akan segera sampai di tempat tujuanku,"

Di saat mobil melaju lambat di jalanan kasar dan berbatu ia melihat ada sosok orang yang berpakaian lusuh.

Khas pakaian orang-orang desa jawa pada umumnya. Berjejer di antara pepohonan, mereka diam berdiri begitu saja tanpa ekspresi.

Wujudnya tidak terlalu jelas karna terhalang kabut. Dan sebagian lagi terhalang oleh semak belukar.

Semakin mobil melaju, semakin banyak sosok orang-orang yang terlihat berlusin-lusin.

"Persetan! Apa lagi ini!" tanyanya dalam hati. Digelayuti rasa kecemasan.

Suasana hari yang sedikit lembab, semakin pekat dengan hadirnya kabut yang menebal. Desau angin di luar sana membuat

dedaunan melambai-lambai kedinginan. Suara binatang pun begitu senyap, seolah tergemap akan sambutan dunia terhadap kedatangan seseorang yang baru saja sampai di tempat tujuannya.

Napas lega terembus dari mulut perempuat tersebut. ketika berhasil melewati tempat angker itu. meski bagian bawah mobilnya terkena goresan ujung-ujung batu runcing serta dahan pohon yang berserakan.

"Akhirnya ...." Ia melepas sabuk pengaman dan segera mendorong pintu mobil.

Seorang kakek tua tampak duduk di bale-bale depan rumah. Tatapannya yang tajam terus memperhatikan kemunculan seorang perempuan yang keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan dengan langkah lebar ke arahnya.

Kini dua insan manusia sudah saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka ada tas besar yang basah dan kotor. Begitu pun dengan penampakan perempuan itu yang kacau, duduk menggigil dengan pandangan tajam.

"Mari masuk dulu cah ayu." Pinta seorang kakek tua renta yang sering disebut Ki Ageng Romo

Perempuan itu mengekor di belakang Ki Ageng Romo, memasuki rumah yang minim pencahayaan. Lampu minyak menempel di beberapa bagian tiang rumah. Perempuan itu merasa sedang tersesat di zaman dulu, ketika jalur listrik belum memenuhi kebutuhan masyarakat. Mungkin nenek moyangnya yang mengalami hal demikian.

Langkah perempuan itu melambat, ia lalu menatap punggung Ki Ageng Romo yang menjauh. Kesadarannya yang berada di ambang lamunan, menarik sebuah energi di dalam rumah kayu sederhana tersebut, melayang dan meliuk sebelum akhirnya terhenti di belakangnya.

Di detik selanjutnya, perempuan itu berjingkat kaget ketika mendengar suara mendeham disertai tepukan di bahunya. Namun, tak ada siapa pun di dekat perempuan itu.

ia pun segera tersadar, lalu gegas mengikuti Ki Ageng Romo ke halaman belakang rumah. Perempuan itu dibawa ke sebuah kolam yang terbuat dari susunan bongkahan batu andesit. Air yang menggenang di kolam batu itu pun tampak jernih sampai-sampai bagian dasarnya dapat terlihat.

Ada sebuah ledeng bambu yang mengalirkan air ke dalam kolam berbentuk lingkaran tak sempurna itu. Kesan sejuk membuat perempuan itu bergidik. Apalagi gerimis baru saja berakhir.

"Ada apa, Ki? Kenapa membawaku ke sini?"

"Mandilah kalau kau mau bermalam di sini, dan aku akan menyusun kerangka anakmu," ucap Ki Ageng Romo.

Perempuan itu kembali melirik kolam. Ada beberapa helai daun sri rezeki dan bunga kemboja putih yang mengambang di permukaannya. Sebagian ada yang memenuhi tepian, beberapa lagi telah menyumbat celah pembuangan. Celah itu sengaja dibentuk agar air tidak begitu memenuhi kolam.

Perempuan itu diminta berendam oleh Ki Ageng Romo. Perempuan itu bukan hanya menanggalkan pakaian, tetapi juga rasa tak peduli pada gigil yang mulai merengkuh kulit. Sendirian sebelum pagi menjelang, Perempuan itu mulai melangkahi batas kolam hingga airnya tumpah ke tepian. la lantas duduk menenggelamkan tubuh hingga sebatas dada. Air yang begitu dingin itu seolah menyatu dengan raganya.

Beberapa menit berlalu, Perempuan itu mulai merasakan perubahan suhu pada air. Dingin yang seperti menyengat kulitnya tadi, perlahan berubah sedikit normal. Entah itu bentuk penyesuaian dengan hawa dari dalam tubuhnya atau memang airnya sudah ditambahkan jampi-jampi?

Menyoal tentang jampi-jampi, perempuan itu jadi memikirkan ucapan Ki Ageng Romo tentang tekadnya yang masih lembek. Benar apa kata si tua itu, hal-hal kejam di luar sana bisa saja menyerangnya dengan mudah, seperti apa yang terjadi pada anaknya. Sementara dirinya masih saja memikirkan

kemustahilan yang terjadi, padahal peduli apa dengan semua itu. Karena yang jelas saat ini, ia sudah menempuh jalan untuk anaknya kembali.

Kekuatan gaib atau apalah itu, perempuan itu akan menyebutnya sebagai keajaiban. Sungguh akan berbenturan jika dikaitkan dengan nalar. Kini, ia akan berusaha membiasakan diri untuk berteman dengan klenik demi kelangsungan hidupnya dan kesengsaraan untuk Adam.

Perempuan itu merendahkan badannya hingga air naik ke batas leher. ia memejam, menikmati suara walang kerik yang nyaring. Suara belalang malam itu memiliki jeda sebelum berdering lagi.

TO BE CONTINUED....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status