Share

Bab 7. Terjebak Hujan

Part 7

"Hahaha ..." Untuk pertama kalinya Safira tertawa lepas. "Dasar bocah, gombalanmu ini ada-ada aja."

"Aku senang lihat Mbak Safira tertawa," sahut Abiyya. Ia tersenyum sambil menatap Safira dengan lekat.

Safira duduk di atas rerumputan, menikmati indahnya pemandangan dari atas bukit. Sesekali ia melemparkan bebatuan kecil. Mereka mengeksplor bukit itu, berjalan-jalan kecil menikmati keindahan sang pencipta. Hingga tanpa terasa dua jam terlewati begitu cepat.

"Mbak, sholat dulu yuk, di bawah ada mushola kecil."

Safira mengangguk. Mereka turun bersama, tangan Abiyya selalu menggandeng Safira, tak membiarkan wanita itu jatuh. Walaupun tempat wisata ini masih sepi pengunjung, tapi disediakan tempat salat, serta perlengkapannya. Hanya saja, tak ada pedagang yang berjualan karena sering merugi.

Mereka melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, lalu berdoa dalam hatinya masing-masing.

Kruyuuuuk ... Perut Safira berbunyi. Mereka saling berpandangan sejenak.

"Mbak laper?"

Safira mengangguk malu-malu. Abiyya justru tertawa.

"Ya sudah, ayo kita cari makan!" ajak pemuda itu.

"Gak punya duit."

"Ya elah mbak, tenang aja kalau cuma buat jajanin mbak bakso dua mangkok duitku masih cukup kok. Ayo!"

Safira masih terdiam, ia enggan beranjak dari duduknya.

"Mbak mau ditinggal di sini? Apa gak takut kalau nanti ada ular?"

"Hah? Ular?" Safira terlonjak kaget.

Abiyya mengangguk.

"Hiih, gak mau ah! Aku gak mau digigit ular!" tukas Safira langsung bangkit. Safira menerima uluran tangan sang suami menuju motornya yang masih jauh berada di bawah.

Nafas Safira terengah-engah karena kelelahan. Dari tadi asyik menaiki bukit.

"Nih minum dulu! Masih muda naik turun segitu aja dah capek. Hmmm payah!" celetuk Abi.

Safira melotot. "Capek tau! Aku kan gak terbiasa!"

"Ya, nanti bakalan terbiasa, Mbak. Mbak mau kan kalau aku ajak pergi-pergi lagi?"

"Beuh ternyata ada maunya!"

Abiyya tertawa. "Ya sudah. Ayo naik, Mbak!"

Abiyya melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Mencari warung pinggir jalan.

"Ayo turun, Mbak. Kita makan di sini."

Safira memperhatikan warung sederhana. "Serius mau makan di sini?"

"Iyalah, ini satu-satunya warung yang kita jumpai. Jangan harap ada cafe kayak di kota-kota. Ini kan daerah pegunungan, jauh dari pusat kota."

Abiyya langsung masuk dan memesan makanan di sana.

"Bu, ada menu apa aja?"

"Ada nasi rames, mie kuah, mie goreng juga ada."

"Mbak mau pesan apa?" tanya Abiyya.

"Mie kuah aja sama telor."

"Yakin mau pesan mie lagi? Tadi pagi kan udah mie? Nanti makin kriting lho ususnya."

"Ya udah nasi rames aja."

Abiyya mengangguk. "Bu, nasi rames plus rendang telornya dua ya. Minumnya teh manis aja."

"Baik, Mas."

Ibu penjual warung itu segera melayani pesanan Abi. Tak perlu menunggu lama, dua piring nasi rames dan dua gelas teh manis dihidangkan di atas meja.

"Silakan dinikmati, Mas, Mbak."

"Makasih, Bu."

Keduanya menikmati makan siang bersama. Safira tampak lahap memakannya, hingga habis tak bersisa. Tak ada rasa malu-malu lagi menghabiskan makanan di hadapan Abi.

"Alhamdulillah kenyang ..."

Mereka duduk-duduk sejenak di warung, meski hati Safira tampak gundah, karena tas beserta isinya raib digondol jambret.

Abiyya membayar makanannya, tak lupa membeli roti dan air mineral serta permen.

"Mbak, ayo jalan lagi, perjalanan kita masih panjang lho!"

Safira mengangguk. Abiyya kembali memacu sepeda motornya.

"Kita mau kemana?"

"Dah tenang aja, aku mau ajak Mbak Safira keliling lagi."

Abiyya mengajak Safira berkeliling, mereka berhenti di mushola terdekat untuk kembali melaksanakan kewajiban umat muslim. Tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat hingga masuk waktu isya. Tapi langit malam terlihat begitu gelap, terlebih suara gemuruh guntur mulai menggelegar. Suasana makin gelap, mendung kelabu menggelayut di atas langit. Angin pun semilir terasa dingin. Rintik hujan mulai menitik.

"Mbak, kita berteduh dulu ya, dah gerimis."

"Berteduh dimana?"

"Itu di depan kayaknya ada warung lagi," sahut Abiyya saat melihat lampu penerangan di depan sana.

Safira mengangguk. Abiyya menghentikan motornya tepat di bangunan yang menyerupai gubuk, terbuat dari anyaman bambu. Di samping warung amben-amben bambu di sampingnya, atapnya terbuat dari asbes. Lampu bohlam menjadi penerang tempat itu Namun warung itu tampak sepi, sang empunya udah pulang ke rumah.

Mereka duduk di amben bambu itu. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hingga suasana terasa begitu dingin. Jalanan yang begitu sepi menambah suasana makin mencekam. Yang terdengar hanya derasnya air hujan yang turun membasahi bumi.

Safira menoleh ke kiri dan ke kanan, tak ia lihat pemandangan lain selain kaki-kaki hujan yang menitik.

"Hei bocah! Kok malah tidur sih?" tukas Safira saat melihat Abiyya dengan santainya justru berbaring di sana.

"Emangnya mau ngapain lagi, mending tidur lah, Mbak!" sahutnya santai.

"Ya tapi kan--"

"Udah tidur aja, Mbak. Hujannya juga masih lama. Noh liat, tambah deras aja kan?"

"Duh, kita terjebak di sini dong. Kalau hujannya sampai pagi gimana? Mana udah malam, hapeku ilang lagi. Aaarrrggh!"

"Dah tidur aja, Mbak. Mengeluh pun tak ada gunanya, tidak bisa memperbaiki keadaan."

Abiyya berbaring lagi, memejamkan mata.

"Iiih, dasar bocah! Gak bisa diajak serius. Masa tidur di tempat ini sih? Kalau ada apa-apa gimana?" gerutu Safira kesal.

"Terus maunya gimana? Mau nerobos hujan?"

Safira menggeleng pelan. "Kalau sampai tengah malam kita terjebak di sini gimana?"

"Ya gak apa-apa kan ama suami sendiri. Ngapain takut?"

"Nanti ada hantu gimana?"

"Merem aja gak usah dilihat."

"Kalau ada hewan buas gimana?"

"Gak ada, Mbak."

"Kalau ada orang jahat gimana?"

"Gak ada, Mbak. Berdoa aja mbak, minta perlindungan Allah. Udah deh, percaya aja, kita akan baik-baik saja."

Safira terdiam. Malam semakin dingin terasa begitu menusuk kulit.

"Bocah, bangun dong! Aku tidur dimana?"

Abiyya membuka matanya lagi lalu menepuk-nepuk amben di sampingnya.

"Ih ogah, nanti kamu malah curi-curi kesempatan."

"Ya udah di situ aja tuh," tunjuk Abiyya.

"Gak mau ah, takut."

"Ya udah, terserah mbak aja."

Ck! Terpaksa Safira berbaring di samping sang suami.

"Bodohnya aku, kenapa tadi ngikutin kata-kata bocah tengil itu, mana perut laper lagi! Huh!" Safira bersungut-sungut kesal.

"Aku ada roti dan air minum, kalau mbak laper bisa makan ini!" Abiyya memang belum tidur, ia akhirnya terjaga kembali. Mengambil roti dan botol air minum dalam tasnya.

"Nih, dimakan dulu, bisa buat ganjel perut."

Safira memang kelaparan, ia pun memakan roti itu. "Kamu gak makan?"

"Enggak buat mbak aja. Aku udah kenyang."

Abiyya justru melepas jaket yang ia kenakan, lalu disampirkannya ke punggung sang istri.

"Pakai ini biar mbak gak kedinginan."

Untuk sesaat Safira tertegun dengan perlakuan Abiyya. "Terima kasih."

Setelah semalaman terjebak di warung akibat hujan, akhirnya keesokan paginya mereka bisa pulang kembali.

"Yeeaay akhirnya kita bisa pulang!" sorak Safira gembira.

***

"Kalian dari mana saja semalaman tidak pulang?" tegur Aditya saat mereka sampai di rumah. Hatinya mulai panas kembali melihat kedekatan Safira dan Abiyya, apalagi saat melihat Safira mengenakan jaket sang adik.

"Bulan madu. Iya kan, Mbak?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
abiyya bikin Adit marah aja wkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status