Share

Bab 4

"Hi—Hilma... namanya Hilma, Bu," kata Zafar, ia tau gadis itu sedang sangat ketakutan, terlihat dari tangannya yang saling bertautan dan sedikit gemetar.

"Oh... Hilma. Ya sudah, kalian istirahat dulu, sepertinya Hilma sangat lelah." Bu Hani tersenyum pada gadis itu.

"Ayo, kamar kita di atas. Bawa tehnya," ajak Zafar, pria itu membawa tas berisi baju Hilma kemudian menaiki tangga.

Hilma meletakan teh manis kembali ke nampak, kemudian memngangkatnya. Ia mengangguk pada Bu Hani yang sedari tadi memperhatikannya, membuat Hilma berkeringat dingin dengan jantung yang sudah berdegup tak karuan.

Saat kakinya ingin menaiki tangga, gadis itu lebih dulu menatap ke atas. Andai saja ada kamar kosong yang lain, kecil pun tak apa. Ia lebih baik tidur di sana daripada harus satu kamar dengan Zafar.

Pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas, kemudian menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di atas, ia melihat pintu kamar terbuka, kemudian Hilma masuk ke sana.

"Taruh sini aja tehnya," ujar Zafar, saat melihat Hilma tengah berdiri di depan pintu.

"Saya mau mandi dulu. Kamu kalau mau tidur, tidur aja di kasur. Saya biar tidur di sofa, jangan lupa tutup pintunya."

Hilma mengangguk. Ia meletakan teh itu di meja, kemudian menutup pintu. Matanya menyisir setiap sudut kamar itu, betapa rapi dan bersih. Berbanding terbalik dengan kamarnya di desa.

"Lebih baik aku tidur, sebentar lagi subuh. Jangan sampai aku kesiangan solat subuh," gumamnya, ia menatap ranjang yang berukuran 160×200 itu, lengkap dengan bad cover yang tertata di sana.

Hilma ragu, ia memilih untuk tidur di sofa saja, biarkan Zafar yang tidur di ranjang. Ia mengambil satu bantal, menatanya di sofa kemudian berdoa, lalu memejamkan mata.

Lima belas menit berlalu, Zafar merasakan tubuhnya yang segar setelah mandi menggunakan air hangat. Ia keluar sudah memakai baju dan berniat untuk tidur.

Namun, pria itu menggeleng saat melihat Hilma sedang terlelap di sofa. Pelan ia mendekat, berdiri di menatap gadis itu.

"Apakah aku berdosa karena telah memanfaatkan dia dalam situasi ini? Karena aku, dia harus menanggung malu, dan yang parahnya lagi aku membuat Bapaknya kecewa."

Zafar merasa bersalah untuk hal ini. Tapi di sisi lain ia juga merasa senang, karena akhirnya Sinta yang selalu mengancam akan bunuh diri dan menyakiti dirinya sendiri saat Zafar akan memutuskan hubungan dengannya, kini dia pergi.

Pria itu mengambil selimut dari lemari, kemudian menyelimutkannya pada Hilma. Ia pun berbaring di kasur, dan mulai terlelap karena lelah.

***

Sayup-sayup suara adzan berkumandang, gadis itu yang biasanya bangun saat tarhim, tapi kini adzan sudah berkumandang saja ia masih terlelap.

Lelah seharian menangis, di tambah perjalanan yang cukup jauh. Memang sangat menguras energi. Begitu juga dengan Zafar, pria itu masih sangat pulas sambil memeluk guling. .

Sekitar jam lima lebih, Hilma menggeliat, matanya perlahan terbuka menatap sekeliling, gadis itu tak sengaja melihat jam, yang di mana adzan sudah terlewat.

"Astaghfirullahalazim!" Hilma sontak bangun, ia tersadar jika adzan tadi sama sekali tidak ia dengar. Buru-buru ia ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah memakai mukena yang ia bawa di tasnya, gadis itu bingung kiblat mengarah ke mana. Dibukanya gorden kamar olehnya, tapi sayang fajar belum terlihat.

Mendengar suara cetekan kompor dari bawah, gadis itu tanpa pikir panjang turun. Awalnya ia ragu saat sudah sampai setengah tangga, tapi ia berpikir lagi, daripada tidak solat karena tak tau arah kiblat, lebih baik ia memberanikan diri bertanya pada orang di bawah.

Ia melihat Bu Hani yang sedang membuat kopi di dapur, gadis itu perlahan mendekat, yang disadari oleh Bu Hani jika ada Hilma di sana.

"Ehh, udah bangun... Udah solat?" tanya Bu Hani, yang melihat Hilma mengenakan mukena dengan sajadah di tangannya.

"Maaf, Bu. Sa—saya... Tidak tau arah kiblatnya. Jadi...." Hilma merasa lututnya itu sangat lemas di hadapkan dengan sang mertua di pagi buta begini.

"Ohh, kamu tau di kamar ada rak buku? Nah, itu arah kiblatnya. Gih solat dulu, nanti keburu siang."

"Makasih, Bu. Kalau begitu saya solat dulu. Permisi...." Hilma menunduk padanya, kemudian kembali ke atas.

Bu Hani menggeleng melihat tingkah menantu barunya itu. Kemudian mimik wajahnya berubah saat menyadari sesuatu, kenapa Hilma bertanya sampai turun ke bawah sedangkan di atas ada Zafar?

Wanita itu yakin, jika anaknya itu masih tertidur pulas.

Hilma yang baru selesai melaksanakan solat subuh, ia menatap Zafar yang masih tidur. Ingin sekali membangunkan, tapi ia urung. Kemudian Hilma memilih kembali ke bawah setelah merapikan alat solat.

Ia melihat Bu Hani yang sedang memotong sosis dan bakso. Sepertinya dia akan membuat nasi goreng.

"Maaf, Bu. Bisa saya bantu?" tanya Hilma memberanikan diri. Ia sebelumnya sudah mengatur napas agar lebih tenang.

"Boleh dong, sini-sini. Udah solatnya?"

Hilma mengangguk dan tersenyum.

Setelah itu hening terjadi. Hilma masih takut ibunya Zafar tidak menyukainya. Jadi, dia hanya diam di dapur sambil mencari-cari apa yang bisa dibantu.

"Bisa ngulek?" tanya Bu Hani.

"Bisa, Bu."

Ia memberikan ulekan yang sudah berisi bawang dan juga cabe. Meminta tolong untuk Hilma menguleknya.

Hilma mengulek dalam diam. Ia sebenarnya ingin bertanya, tapi takut. Apa ibunya Zafar ini tidak masalah kalau anaknya tiba-tiba menikah dengan gadis desa?

"Pasti Zafar belum bangun, kan? Ibu itu sudah pusing tau ngedidik dia itu, entah harus dengan cara apalagi biar dia sadar, dan keluar dari pergaulannya yang ishh, begitu lah pokonya." Bu Hani memulai percakapan.

Hilma yang sedang mengulek, mendengarkan dengan baik.

"Beruntung akhirnya dia dinikahkan sama kamu, Neng, yang sopan santun dan juga lugu. Ibu itu senang dia bisa lepas dari pacarnya yang, ih... kamu tau, Neng, dia pakai rok aja selebar kain sebret Ibu! Tuh dis tuh, si Sinta namanya."

Hilma sedikit tersenyum saat Bu Hani bercerita layaknya mereka sudah kenal lama.

"Terus ya, si Zafar itu jarang banget pulang ke rumah, seminggu paling cuma dua kali dia pulang, eh sekalinya pulang dalam keadaan mabuk berat. Ya Alloh, Neng... Ibu itu udah stres banget ngadepin dia sumpah. Padahal dalam keluarga Ibu dan Ayahnya, gak ada yang begitu. Cuma dia doang sendiri. Kadang Ibu malu, makanya kemarin sengaja dia di kirim ke kampung biar ngelanjutin usaha konveksi ayahnya di sana."

Bu Hani yang sedang mengupasi wortel kemudian menatap serius pada Hilma. "Memang bener ya, kalian dinikahkan karena di fitnah? Kok bisa, Neng?" tanya Bu Hani.

Hilma yang sudah selesai mengulek, ia kemudian menggeser ulekan itu. "Mmm, sebenarnya... waktu itu dia dan saya satu saung saat hujan. Entah kenapa dia jadi menggigil dan saya liat, dia seperti sulit bernapas. Karena tak tega dan saja juga panik, akhirnya bantuin dia, nyelimutin setengah tangannya agar sedikit lebih hangat. Tapi tak lama warga datang dan...."

Mata gadis itu sudah memanas, ia tak mampu untuk melanjutkan kejadian yang di mana itu adalah kejadian terburuk di dalam hidupnya.

Bu Hani yang melihat Hilma hanya diam, ia mengusap pundak gadis itu lembut. "Sudah, tak apa. Maaf ya, karena ibu bertanya hal itu jadi bikin kamu sedih."

"Tak apa, Bu. Ibu... Gak ngebenci Hilma, kan?"

Bu Hani tersenyum mengusap tangan gadis itu. "Enggak, dong, memang apa yang kamu lakukan sampai ibu bisa membenci kamu?"

Hilma yang semula menatap ibu mertuanya itu, kini ia kembali menunduk. "Hilma takut jika Ibu tak suka, karena aku hanyalah gadis desa yang bahkan tidak berpendidikan."

"Kamu pikir Ibu dari kota? Ibu juga dari desa, Neng, justru bagi ibu, gadis desa sepertimu ini lah yang selama ini ibu harapkan untuk Zafar."

"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status