"Hi—Hilma... namanya Hilma, Bu," kata Zafar, ia tau gadis itu sedang sangat ketakutan, terlihat dari tangannya yang saling bertautan dan sedikit gemetar.
"Oh... Hilma. Ya sudah, kalian istirahat dulu, sepertinya Hilma sangat lelah." Bu Hani tersenyum pada gadis itu."Ayo, kamar kita di atas. Bawa tehnya," ajak Zafar, pria itu membawa tas berisi baju Hilma kemudian menaiki tangga.Hilma meletakan teh manis kembali ke nampak, kemudian memngangkatnya. Ia mengangguk pada Bu Hani yang sedari tadi memperhatikannya, membuat Hilma berkeringat dingin dengan jantung yang sudah berdegup tak karuan.Saat kakinya ingin menaiki tangga, gadis itu lebih dulu menatap ke atas. Andai saja ada kamar kosong yang lain, kecil pun tak apa. Ia lebih baik tidur di sana daripada harus satu kamar dengan Zafar.Pada akhirnya dia hanya bisa menghela napas, kemudian menaiki anak tangga satu per satu. Sesampainya di atas, ia melihat pintu kamar terbuka, kemudian Hilma masuk ke sana."Taruh sini aja tehnya," ujar Zafar, saat melihat Hilma tengah berdiri di depan pintu."Saya mau mandi dulu. Kamu kalau mau tidur, tidur aja di kasur. Saya biar tidur di sofa, jangan lupa tutup pintunya."Hilma mengangguk. Ia meletakan teh itu di meja, kemudian menutup pintu. Matanya menyisir setiap sudut kamar itu, betapa rapi dan bersih. Berbanding terbalik dengan kamarnya di desa."Lebih baik aku tidur, sebentar lagi subuh. Jangan sampai aku kesiangan solat subuh," gumamnya, ia menatap ranjang yang berukuran 160×200 itu, lengkap dengan bad cover yang tertata di sana.Hilma ragu, ia memilih untuk tidur di sofa saja, biarkan Zafar yang tidur di ranjang. Ia mengambil satu bantal, menatanya di sofa kemudian berdoa, lalu memejamkan mata.Lima belas menit berlalu, Zafar merasakan tubuhnya yang segar setelah mandi menggunakan air hangat. Ia keluar sudah memakai baju dan berniat untuk tidur.Namun, pria itu menggeleng saat melihat Hilma sedang terlelap di sofa. Pelan ia mendekat, berdiri di menatap gadis itu."Apakah aku berdosa karena telah memanfaatkan dia dalam situasi ini? Karena aku, dia harus menanggung malu, dan yang parahnya lagi aku membuat Bapaknya kecewa."Zafar merasa bersalah untuk hal ini. Tapi di sisi lain ia juga merasa senang, karena akhirnya Sinta yang selalu mengancam akan bunuh diri dan menyakiti dirinya sendiri saat Zafar akan memutuskan hubungan dengannya, kini dia pergi.Pria itu mengambil selimut dari lemari, kemudian menyelimutkannya pada Hilma. Ia pun berbaring di kasur, dan mulai terlelap karena lelah.***Sayup-sayup suara adzan berkumandang, gadis itu yang biasanya bangun saat tarhim, tapi kini adzan sudah berkumandang saja ia masih terlelap.Lelah seharian menangis, di tambah perjalanan yang cukup jauh. Memang sangat menguras energi. Begitu juga dengan Zafar, pria itu masih sangat pulas sambil memeluk guling. .Sekitar jam lima lebih, Hilma menggeliat, matanya perlahan terbuka menatap sekeliling, gadis itu tak sengaja melihat jam, yang di mana adzan sudah terlewat."Astaghfirullahalazim!" Hilma sontak bangun, ia tersadar jika adzan tadi sama sekali tidak ia dengar. Buru-buru ia ke kamar mandi untuk berwudhu. Setelah memakai mukena yang ia bawa di tasnya, gadis itu bingung kiblat mengarah ke mana. Dibukanya gorden kamar olehnya, tapi sayang fajar belum terlihat.Mendengar suara cetekan kompor dari bawah, gadis itu tanpa pikir panjang turun. Awalnya ia ragu saat sudah sampai setengah tangga, tapi ia berpikir lagi, daripada tidak solat karena tak tau arah kiblat, lebih baik ia memberanikan diri bertanya pada orang di bawah.Ia melihat Bu Hani yang sedang membuat kopi di dapur, gadis itu perlahan mendekat, yang disadari oleh Bu Hani jika ada Hilma di sana."Ehh, udah bangun... Udah solat?" tanya Bu Hani, yang melihat Hilma mengenakan mukena dengan sajadah di tangannya."Maaf, Bu. Sa—saya... Tidak tau arah kiblatnya. Jadi...." Hilma merasa lututnya itu sangat lemas di hadapkan dengan sang mertua di pagi buta begini."Ohh, kamu tau di kamar ada rak buku? Nah, itu arah kiblatnya. Gih solat dulu, nanti keburu siang.""Makasih, Bu. Kalau begitu saya solat dulu. Permisi...." Hilma menunduk padanya, kemudian kembali ke atas.Bu Hani menggeleng melihat tingkah menantu barunya itu. Kemudian mimik wajahnya berubah saat menyadari sesuatu, kenapa Hilma bertanya sampai turun ke bawah sedangkan di atas ada Zafar?Wanita itu yakin, jika anaknya itu masih tertidur pulas.Hilma yang baru selesai melaksanakan solat subuh, ia menatap Zafar yang masih tidur. Ingin sekali membangunkan, tapi ia urung. Kemudian Hilma memilih kembali ke bawah setelah merapikan alat solat.Ia melihat Bu Hani yang sedang memotong sosis dan bakso. Sepertinya dia akan membuat nasi goreng."Maaf, Bu. Bisa saya bantu?" tanya Hilma memberanikan diri. Ia sebelumnya sudah mengatur napas agar lebih tenang."Boleh dong, sini-sini. Udah solatnya?"Hilma mengangguk dan tersenyum.Setelah itu hening terjadi. Hilma masih takut ibunya Zafar tidak menyukainya. Jadi, dia hanya diam di dapur sambil mencari-cari apa yang bisa dibantu."Bisa ngulek?" tanya Bu Hani."Bisa, Bu."Ia memberikan ulekan yang sudah berisi bawang dan juga cabe. Meminta tolong untuk Hilma menguleknya.Hilma mengulek dalam diam. Ia sebenarnya ingin bertanya, tapi takut. Apa ibunya Zafar ini tidak masalah kalau anaknya tiba-tiba menikah dengan gadis desa?"Pasti Zafar belum bangun, kan? Ibu itu sudah pusing tau ngedidik dia itu, entah harus dengan cara apalagi biar dia sadar, dan keluar dari pergaulannya yang ishh, begitu lah pokonya." Bu Hani memulai percakapan.Hilma yang sedang mengulek, mendengarkan dengan baik."Beruntung akhirnya dia dinikahkan sama kamu, Neng, yang sopan santun dan juga lugu. Ibu itu senang dia bisa lepas dari pacarnya yang, ih... kamu tau, Neng, dia pakai rok aja selebar kain sebret Ibu! Tuh dis tuh, si Sinta namanya."Hilma sedikit tersenyum saat Bu Hani bercerita layaknya mereka sudah kenal lama."Terus ya, si Zafar itu jarang banget pulang ke rumah, seminggu paling cuma dua kali dia pulang, eh sekalinya pulang dalam keadaan mabuk berat. Ya Alloh, Neng... Ibu itu udah stres banget ngadepin dia sumpah. Padahal dalam keluarga Ibu dan Ayahnya, gak ada yang begitu. Cuma dia doang sendiri. Kadang Ibu malu, makanya kemarin sengaja dia di kirim ke kampung biar ngelanjutin usaha konveksi ayahnya di sana."Bu Hani yang sedang mengupasi wortel kemudian menatap serius pada Hilma. "Memang bener ya, kalian dinikahkan karena di fitnah? Kok bisa, Neng?" tanya Bu Hani.Hilma yang sudah selesai mengulek, ia kemudian menggeser ulekan itu. "Mmm, sebenarnya... waktu itu dia dan saya satu saung saat hujan. Entah kenapa dia jadi menggigil dan saya liat, dia seperti sulit bernapas. Karena tak tega dan saja juga panik, akhirnya bantuin dia, nyelimutin setengah tangannya agar sedikit lebih hangat. Tapi tak lama warga datang dan...."Mata gadis itu sudah memanas, ia tak mampu untuk melanjutkan kejadian yang di mana itu adalah kejadian terburuk di dalam hidupnya.Bu Hani yang melihat Hilma hanya diam, ia mengusap pundak gadis itu lembut. "Sudah, tak apa. Maaf ya, karena ibu bertanya hal itu jadi bikin kamu sedih.""Tak apa, Bu. Ibu... Gak ngebenci Hilma, kan?"Bu Hani tersenyum mengusap tangan gadis itu. "Enggak, dong, memang apa yang kamu lakukan sampai ibu bisa membenci kamu?"Hilma yang semula menatap ibu mertuanya itu, kini ia kembali menunduk. "Hilma takut jika Ibu tak suka, karena aku hanyalah gadis desa yang bahkan tidak berpendidikan.""Kamu pikir Ibu dari kota? Ibu juga dari desa, Neng, justru bagi ibu, gadis desa sepertimu ini lah yang selama ini ibu harapkan untuk Zafar.""Ada rasa lega di dalam hati gadis itu, ia bersyukur karena Bu Hani ternyata sangat baik padanya. Bayang-bayang mendapatkan caci maki, kini musnah sudah. Keduanya kembali ngobrol ngalor-ngidul, lebih tepatnya Bu Hani yang terus berbicara. Hilma hanya diam sesekali tersenyum saat ada hal yang lucu, yang diceritakan oleh mertuanya itu. ***"Mudah-mudahan aku betah di sini, dan tidak ketakutan lagi," ujar Hilma, menatap diri di cermin, gadis itu baru selesai mengenakan pakaian selepas mandi tadi. "Biasa saja.""Hah!" Hilma yang terkejut medengar Zafar yang tiba-tiba mendekat. Sekilas ia melihat suaminya itu tersenyum, kemudian kembali datar. "Sampai kapan takut terus. Kamu kan udah liat Ibu sebaiknya apa sama kamu. Sampai aku aja anaknya, malah kena omel," kata Zafar ngedumel. "Ayo turun!" Pria itu sedikit berteriak dari luar lamar. "Iya," jawab Hilma, sambil mengekor pria itu turun. Matanya melotot saat Zafar menunggu dan kemudian menggenggam tangan Hilma. Gadis itu merasa tak nyam
Bu Hani yang sedang berbincang dengan suaminya dikagetkan dengan Zafar yang tiba-tiba saja datang dari belakang. Mereka yang kebetulan sedang membicarakan hal itu, kesempatan bagi mereka untuk mempertanyakan seuatu hal pada Zafar, mumpung gadis itu tidak ada di sana. Sedangkan Zafar yang tadi ingin mengambil minum, mendadak diam karena tatapan kedua orang tuanya pada dia. "Ibu tidak mau basa basi, Zafar. Setidaknya kamu bisa memutuskan dulu baik-baik sebelum mengambil sebuah keputusan. Bagaimana dengan orang tua gadis itu saat kamu bicara akan menikahinya. Sedangkan mereka kenal denganmu saja tidak.""Apa kata orang tua dia saat tau kalian akan dinikahkan?"Zafar yang terus mendapatkan pertanyaan secara bertubi-tubi malah diam. Dia bingung harus menjawab yang mana dulu. Sedangkan orang tua Hilma, pria itu tak begitu yakin hafal. Karena yang ada di sana hanya Bapaknya saja, bahkan saat ijab qobul pun tidak ada lagi selain dia. Pak Jaidi menatap dengan serius, hatinya masih ragu jika
"Yang apa, Bu?" tanya Hilma penasaran. "Hipotermia." Bu Hani mematikan kompor lebih dulu, kemudian berbalik menghadapi Hilma yang sudah menunggu penjelasan darinya. "Hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun drastis hingga di bawah 35oC. Akibatnya, jantung dan organ vital lainnya gagal berfungsi. Jika tidak segera ditangani, hipotermia dapat menyebabkan henti jantung, gangguan sistem pernapasan, bahkan kematian."Hilma mengingat bagaimna waktu itu Zafar seperti sesak bernapas, bahkan saat di arak oleh warga, dia seperti lemas tak berdaya. "Saya tidak tau kapan dan kenapa dia bisa memiliki penyakit itu. Semuanya karena dia karang ada di rumah, seringnya di luar, bahkan dalam seminggu belum tentu dia akan pulang ke rumah." Bu Hani menepuk pundak Hilma lembut. "Makasih ya, karena kamu sudah berusaha menyelamatkan anak saya, meskipun pada akhirnya kalian harus menghadapi hal ini. Tapi di sisi lain, saya bahagia Zafar menikau denganmu, karena hal ini Sinta pergi. Perempuan tak
Sayup-sayup suara adzan terdengar dari masjid, membuat gadis itu mencoba terbangun. Tapi ia merasakan tangannya berat, ia membuka mata perlahan, di sana, Zafar tertidur pulas di tangan istrinya itu. Hilma yang masih setengah sadar hanya diam sejenak. "Astaghfirullahalazim!" Kemudian dia langsung duduk menarik tangannya dari sang suami, membuat pria itu terbangun karena kaget mendengar jeritan Hilma."Kamu ngapain tidur di tangan aku! Katanya gak boleh melewati batas, ini malah kamu yang melanggar aturan itu gimana sih—""Suut!" Zafar dengan cepat membungkam mulut gadis itu, dia yang tadi duduk berbaring kembali karena Zafar mendorongnya. Hal itu membuat keduanya kini berdekatan, Zafar perlahan menurunkan tangan yang dipakai untuk membungkam Hilma, sedangkan gadis itu hanya diam tak berkutik karena terkejut. "Nah begitu diam! Masih pagi banget juga, nanti kalo Ibu denger apa kata dia. Berisik!""Ishh!" Sekuat tenaga Hilma mendorong pria itu agar menjauh darinya. Kemudian dia bangkit
"Maksudnya kamu udah punya pacar?" tanya Bu Hani bingung. Hilma yang keceplosan hanya diam berpikir, jika dibilang pacaran, tidak juga. Karena dia dengan Ajat tidak saling mengutarakan rasa cinta. "Bukan begitu, Bu. Maksud saya....""Oh... Kamu sudah ada pria yang dikagumin begitu? Tapi karena kejadian ini malah hilang harapan?"Gadis itu menggaruk kepalanya sambil tersenyum kecil. "Begitu, Bu," jawabnya pelan. Bu Hani mengangguk paham. "Kamu mau nerusin pernikahan ini atau kalian minta banding, bawa kasus ini ke jalur hukum. Ibu siap membantu jika memang kalian tidak melakukan apa-apa.""Jalur hukum, maksudnya polisi begitu, Bu?" Bu Hani mengangguk. Sedangkan Hilma diam, bukan tidak mau. Tapi ia paham betul bagaimna sifat watak warga desa di sana. Jika sampai kejadian ini dibawa ke jalur hukum, bahkan sang Bapak pun tidak akan pernah menerima Hilma kembali. "Maaf, Bu. Bukan saya tidak mau. Tapi sulit berada di posisi sekarang. Daripada saya tidak dianggap anak oleh Bapak lagi,
Hampir saja aku menyebutkan siapa orang yang aku cintai selama ini padanya. Tapi meskipun dia tahu juga apa salahnya, toh dia tidak akan mungkin merasa sakit hati bukan? Selang bebrapa hari aku di sini, merasa sangat bosan dan suntuk. Kerjaan itu-itu saja, dan hanya begitu-begitu saja, lain seperti di desa, kalau suntuk bisa pergi ke sawah menikmati pemandangan alam yang Alloh ciptakan. Huff.... Semakin lama di sini aku pasti akan titingkuheun, kalau bahasa Indonesia apa ya, aku juga kurang tau. Yang pasti kaki akan terasa kaku karena hanya jalan ke atas, bawah, teras lagi, dapur lagi. Begitu saja terus.Mana di sini dihadapkan dengan seorang pria yang setiap hari ada saja ulahnya. Kalau aku yang jadi Bu Hani, sudah emosi jiwa dibuatnya. Sedang asik melamun malam-malam, Tiba-tiba pintu diketuk, tak lama Bu Hani muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lalu masuk. Aku membenarkan posisi duduk dan bergeser agar Ibu duduk di sebelahku. "Besok hari Kamis, kita siap-siap ke desa ya. Ibu
"Apa yang bisa Bapak lakukan selain memberikan kalian restu dan doa. Nak, Bapak bukan orang yang punya, Bapak tidak punya apa-apa untuk diberikan pada kalian selain doa dan restu Bapak. Setelah di pikirkan bermalam-malam, Bapak sadar bahwa anak kesayanganku ini tidak mungkin melakukan hal yang di mana itu akan merusak dirinya dan juga menyakiti Bapak."Hilma menangis mendengar itu, keduanya dibawa ke dalam pelukan Pak Hasan. Di sela-sela tangis, gadis itu menatap Zafar yang juga tengah menatapnya sadari tadi. Keduanya saling melempar senyum dengan air mata yang sudah membasahi pipi. Karena hari semakin larut, Hilma pulang ke rumah, sedangkan Zafar, menginap di rumah Haji Burhan. Hilma sangat bahagia ketika mereka menaiki sepeda tua berdua. Jalan di tengah-tengah sawah, rembulan yang menyinari malam itu. Ia memeluk erat sang Bapak, menikmati embusan angin malam yang terasa dingin. Wangi tanah basah yang Hilma rindukan ia menikmati wangi itu sepanjang jalan. Sampai di rumah, mereka m
"Neng, ayo dipakai dulu kebayanya!""Oh, iya!" Hilma segera menutup kembali surat yang baru saja ia baca. Gadis itu menyimpannya di atas lemari kecil, kemudian berdiri untuk dipakaikan kebaya dan juga singger Sunda. Tiga puluh menit berlalu, kini Hilma sudah siap. Ia nampak sangat anggun dengan kebaya putih menjuntai panjang, juga make-up yang membuat aura penyanyinya keluar. MUA itu sampai tersenyum takjup. Hilma yang selama ini terpoles lipstik saja belum pernah, sekalinya di makupin sangat manglingi sekali. "Masya Allah... Cantik banget, Neng," ujar MUA itu. Ia bergegas ke luar untuk memanggil Pak Hasan. Wanita beranak dua itu membawanya ke kamar, memperlihatkan betapa cantiknya sang anak. Pak Hasan diam sejenak menatap dari atas sampai bawah, matanya memerah menahan tangis. Terharu melihat sang anak yang sangat cantik sekali dengan riasan itu. "Nuhun, Des, sudah bikin anak Mamang cantik sekali begini," ujarnya. "Sama-sama, Mang. Ayo Desi foto dulu buat kenang-kenangan." Wani