Share

Bab. 6

Ku tekan tombol lantai 10 ketika aku memasuki lift. Aku akan ke ruangan Pak Jatmiko atasan kami untuk menyerahkan semua laporan yang telah selesai ku kerjakan. Aku menarik napas lega, sebab seluruh laporan selesai tepat waktu. Itu artinya rencanaku mengajak Aiswa dan Ibu jalan jalan ke puncak bisa terealisasi.

"Tiiiit!" Pintu lift terbuka. Seorang pria berpostur tinggi dengan kaca mata hitam masuk ke dalam lift. Awalnya aku begitu cuek dengan kehadiran lelaki itu. Tapi selanjutnya, aku benar benar terper angah begitu menyadari siapa pria tersebut.

Fattan lagi ?

Huuh...bagaimana bisa aku bertemu pria arogan ini lagi sih?

"Apa jangan jangan dia mengikutiku?" Pikiranku mulai berprasangka.

"Tiiiit!" Pintu lift kembali terbuka. Empat orang karyawan wanita dengan busana yang elegan dan riasan sedikit menor pun masuk. Mereka adalah Siska, Melani, Wina dan seorang karyawan baru yang belum ku kenal. Mereka terkenal aktif di grup lambe turah.

Ruangan di dalam lift terasa sangat sumpek sekarang. Bukan karna masuknya ke empat wanita itu tadi. Tapi, lebih tepatnya karna empat wanita tadi saling berebut untuk bisa berdiri didekat si pria arogan itu. Hingga menggeser posisiku menjadi tersudut di pojokan lift.

Fiuuuh, mereka tanpa malu malu seolah mencari perhatian pria arogan itu. Ada yang mengibas ngibaskan rambut panjangnya, ada yang menatap Fattan sambil senyum senyum, dan yang lebih gila, seorang dari mereka juga ada yang sengaja berdiri sangat dekat dan hampir menempelkan bagian tubuhnya pada Fattan.

Ciiih! Aku merasa sangat risih dengan pemandangan tersebut. Rasanya ingin sekali melempar mereka semua keluar dari hadapanku. Tapi sebelum ku lakukan itu semua, untung ke empat wanita itu sudah terlebih dulu keluar.

Aku menarik napas lega, setidaknya oksigen di dalam lift kini kembali normal. Apalagi harus menyaksikan polah menjijikkan para wanita tadi.

Kulirik pria itu sekilas. Rasa jengkel kembali hinggap di pikiranku. Apalagi melihatnya tadi yang seakan akan menikmati dirinya dihimpit beberapa wanita. Boro boro menggeser sedikit tubuhnya dari kerumunan mereka. Sekedar menegur mereka pun juga tidak ia lakukan. Buaya!

" Gubraaak!" Guncangan tiba tiba terasa di dalam lift sebelum akhirnya berhenti melaju. Membuat tubuhku hilang keseimbangan sehingga terhuyung dan menubruk benda di depanku.

Oh tidak!

Liftnya macet ! 

Sontak membuat pikiranku panik. Jujur saja, terjebak didalam lift seperti ini adalah pengalaman pertama seumur hidupku. Apalagi bersama seorang pria asing seperti ini. Ya Tuhan, rasanya aku ingin sekali punya ilmu menghilang sekarang!

Pikiranku semakin kacau. Ku pejamkan mata sambil terus memeluk erat benda yang tadi ku tabrak. Sementara mulutku komat kamit merapalkan doa.

Tapi tunggu! 

Kenapa benda yang ku tubruk tadi terasa hangat dan empuk? Aromanya juga sangat wangi, tapi tidak membuat enek. Rasanya sangat nyaman memeluknya.

"Buka matamu dan lepaskan kedua tanganmu! Napasku jadi semakin sesak."

"Ap - ap - apaaa? Benda itu bisa ngomong? Bahkan suaranya sangat maskulin!" 

Dengan cepat kubuka kedua mataku, dan serta merta kulepaskan pelukan.

Aku terkesiap. Berkali kali kukerjapkan kelopak mataku, tak percaya apa yang kulihat. Kututup mulutku yang kini melongo karna menyadari sesuatu.

Oh my God! 

Berarti..., berarti benda yang dari tadi ku peluk itu adalah..."Pria arogan"!

"Mesum!" Tangannya mengibas ngibaskan jasnya dari bekas pelukanku tadi. Sok bersih banget ! Siapa juga yang mau sengaja nubruk dia?

"Siapa mesum? Kamu tuh mesum! Sengaja kan ngikutin aku dari tadi?" Aku tak mau kalah, enak aja ngatain aku mesum.

"Apa pentingnya kamu untukku, sampai aku harus ngikutin kamu, " ujarnya tak terima tuduhanku. Satu sudut bibirnya terangkat ke atas tersenyum miring.

Aku mendengus kesal. Kutangkup kedua tanganku di depan dada. Aku memasang wajah angkuh.

"Kemarin bertemu kamu, aku sial karna harus kena tilang. Dan sekarang ada kamu disini, lift mati!" kataku judes.

Lelaki itu diam beberapa saat. Perlahan memutar tubuhnya ke arahku seraya melepas kacamatanya. Lalu berjalan beberapa langkah maju. Membuat diriku pun reflek mundur ke belakang.

"Oke, anggap saja aku mengikutimu. Dan aku mesum!" Dia terus melangkah maju dengan ekspresi dingin menatapku. Menggiringku mundur hingga punggungku menabrak dinding. 

"Kau? Kau mau apa?" Aku mulai panik. Kedua tangannya kini telah mengepal pada dinding, mengunci tubuhku.

"Disini hanya ada kita berdua. Bagaimana kalau kita?" Mata elangnya menatapku tajam dengan senyum menyeringai. Membuatku semakin takut.

"Menjauuuh!" Aku berusaha mendorong tubuhnya.

Keringat dingin bercucuran membasahi tubuhku. Napasku terasa sangat sesak dan tersengal. Bayangan perlakuan kasar lelaki yang telah menodaiku dulu, kini kembali muncul. Aku benar benar ketakutan sekarang.

Suasana kurasa semakin mencekam karna pria itu tak sedikitpun bergeming. Bahkan semakin mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku bergidik ngeri, dan semakin kuat memejamkan mataku. 

"Tuhan, selamatkan aku !" Aku hampir menangis.

"Bagaimana kalau kita...." Bisiknya pelan di telingaku. Hembusan napasnya sangat terasa menyapu pipiku.

"Bagaimana kalau kita bersihkan wajahmu dari sisa nasi makan siangmu ?" Kurasakan sebuah sentuhan kecil di sudut bibirku.

Apaaa? 

Ku buka pelan pelan kedua kelopak mataku, namun tak berani membukanya secara penuh. Aku masih shock!

Awalnya hanya samar samar terlihat bayangan wajahnya. Lama lama semakin jelas, kulihat wajahnya dengan senyum yang sangat aneh menurutku. Senyumnya sangat jelek! Bagaimana tidak, dia tersenyum mengejek sambil memutar mutar jari telunjuknya di depanku.

Mataku melotot melihat benda putih di atas jarinya. Benar ternyata, seperti katanya tadi. Sebutir nasi!

"Gubraaak!" Sebuah guncangan kembali terjadi membuat tubuhku lagi lagi terdorong ke depan. Untung seseorang menangkap tubuhku, sehingga aku tak sampai jatuh terjungkir.

Lift mulai berjalan normal. Aku menjadi sangat lega.

"Sudah puas belum peluknya?"

Haaah? 

Lagi lagi aku terperangah. Sadar apa yang telah terjadi, aku buru buru mendorong tubuhnya. 

Sial! Dia malah menahan tubuhku tetap dalam pelukannya. Aku mendongak, melotot marah padanya. 

"Kenapa lagi lagi aku sampai memeluknya sih?" dengus hatiku kesal.

Sekejap kemudian lift pun berhenti. Cepat ia lepaskan pelukan sebelum pintu mulai terbuka.

 

"Percayalah, kamu bukan tipeku!" ujatnya angkuh. Sebal! Apalagi masih dengan gayanya yang arogan dia kembali memakai kaca mata hitamnya dan melenggang keluar begitu saja.

Hatiku bertambah dongkol mendengar cuitannya. "Awas saja kau, pria mesum!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status