POV. Author
Nita tak pernah menyangka jika setelah hampir 6 tahun tak ada kabar sama sekali akhirnya bertemu dengan Aina secara kebetulan.Terakhir kali Nita dan Dion pergi ke rumah Aina, rumah itu telah kosong. Kata tetangga disitu, Aina dan Ibunya sudah 2 bulan pindah. Hanya memang tak ada yang tahu persis mereka pindah kemana.Sedangkan sebelum sebelumnya Nita tak pernah bertemu dengan Aina tiap kali berkunjung ke rumahnya. Ia hanya ditemani Ibunya mengobrol di sofa ruang tamu."Maafkan Aina ya nak Nita, Aina memang sedang tidak ingin bertemu siapapun!" "Iya Bu. Nita ngerti kok. Nita turut prihatin dengan keadaan Aina sekarang." Nita mengusap lembut bahu ibu dari sahabatnya tersebut."Aina benar benar terpukul dengan apa yang menimpanya. Saat ini Ibu hanya bisa lebih menjaganya." Mata Bu Marni nampak berkaca kaca mengingat keadaan putrinya."Ibu yang sabar, ya!"Bu Marni semakin terisak saat meceritakan bagaimana depresi Aina yang membuatnya selalu mengurung diri di rumah. Bahkan beberapa kali Aina pingsan setelah berteriak teriak histeris."Dua kali Ibu mendapati obat penggugur kandungan di laci meja kamarnya. Ibu tidak tahu dari mana ia mendapatkannya .""Tapi Bu, Darimana Ibu tahu bahwa itu adalah obat....""Ibu diam diam mengambil obat itu, dan menanyakannya kepada bidan yang biasa Ibu undang kemari untuk memeriksa Aina."Bu Marni menarik napas dalam. Diwajahnya terlukis jelas gurat kesedihan akibat apa yang menimpa putrinya kini."Ibu sudah pernah kehilangan anak sebelumnya. Kakak Aina dulu meninggal saat usianya masih terlalu dini. Bahkan sebelum Aina lahir." Mata Bu Marni menerawang jauh, seolah melihat gambaran peristiwa masa lalu disana."Itulah sebabnya Ibu begitu takut kehilangan Aina. Ibu tahu obat obatan itu sangat berbahaya bagi keselamatan Aina."Nita sedikit terperangah mendengar semua cerita Bu Marni. Diam diam disudut hatinya kini terselip perasaan bersalah pada sahabatnya. Karna kini, Dion dan dirinya telah menjalin hubungan serius. Tepatnya hanya selang beberapa saat setelah Dion putus dari Aina.Diakui atau tidak, putusnya hubungan Aina dengan Dion membawa keberuntungan bagi Nita. Bagaimana tidak? Kedekatan mulai terjalin saat Dion sering berkeluh kesah padanya. Sejak itu, Nita terus memberi perhatian lebih untuk Dion. Hingga hati laki laki yang dulu seolah selalu menolaknya itu pun akhirnya luluh dan menerima cinta Nita.💖💖💖Telah lama Nita menyukai Dion. Meski Kenyataannya Dion lebih memilih Aina dibanding dirinya. Pun semakin ia tekan perasaannya untuk Dion karna memandang persahabatannya dengan Aina, semakin ia merasa tersiksa dengan perasaannya. Hingga satu sore, dirinya mengundang Dion ke sebuah taman. Bahkan secara terang terangan menyatakan cintanya untuk Dion. "Aku menyukaimu Dion sangat menyukaimu. Tak bisakah kamu membuka sedikit hatimu untukku Dion?"Dion terlonjak kaget mendengar penuturan Nita. Jantungnya rasa tertembus peluru. Bagaimana bisa? Nita, sahabat kekasihnya tengah menembaknya. "Nita menyukai dirinya".Lelaki tinggi berkulit putih dengan kacamata yang membingkai mata elangnya itu sempat terdiam beberapa saat. Ia berusaha tetap tenang. Berpikir bagaimana menolak Nita dengan tidak menyakiti perasaannya.Aah, ironi sekali! Sehalus apapun kata kata Dion, penolakan cinta tetap saja satu hal yang menyakitkan! "Terimakasih untuk rasa yang kamu punya untukku, Nita. Tapi maaf, aku sudah memilih Aina. Bahkan kami sudah bertunangan." Dion memperlihatkan cincin di jari manisnya.Mata Nita terbelalak saat itu juga. Pasalnya ia tak pernah tahu pertunangan itu. Hatinya begitu perih saat ia tahu hubungan Aina dan Dion ternyata sudah dalam tahap yang serius. Aina tidak pernah menceritakan hal itu padanya. Mungkin Aina memang sangat merahasiakannya, bagaimanapun mereka masih berstatus siswa sekolah. Yang bagi banyak orang masih hal yang tabu. Karena mereka pasti akan berpikrir dan mencap " Kecil kecil sudah kebelet kawin."Dion sendiri adalah lelaki yang sudah mapan dan bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang lumayan. Usianya sudah 23 tahun, beda 5 tahun dengan Aina juga Nita yang masih sepantaran. "Aku sangat mencintai Aina, dan bersedia menunggunya 5 tahun kedepan. Memberinya kesempatan mengejar cita citanya." Sungguh sebuah kalimat yang manis dari seorang pria kepada wanitanya. Semanis senyum lelaki itu saat mengucapkannya. Tapi sayang seribu sayang, wanita beruntung itu bukanlah dirinya, Nita."Dion!" panggil Nita lagi pada lelaki bermata leo itu. "Apakah kamu juga akan menolak jika aku menawarkan sebuah hubungan rahasia?"Dion mengernyit, tak mengerti ucapan perempuan didepannya itu. "Maksudmu, Nita?"Jadikan aku yang kedua Dion. Pacar rahasiamu. Aku mohon!" Nita dengan sangat gamblang mengatakannya.Nita tak lagi peduli bila Dion memandang rendah dirinya. Cinta telah membutakannya. Ia rela mengorbankan harga diri juga persahabatannya asal Dion mau menerima cintanya.Dion berjalan mendekat pada Nita. Menatap intens kedua manik sahabat dari kekasihnya itu. Kedua tangannya kemudian menangkup kedua bahu Nita." Sekali lagi maaf, Nita. Aku hanya mencintai Aina!"Deeeeghhh! Jantung Nita seperti ditusuk ribuan pedang. Sakit tak berdarah atas penolakan cintanya!"Apa kurangnya aku dibanding Aina, Dion? Aku bahkan mungkin mencintaimu lebih dari Aina!" Nita melangkah mundur beberapa langkah dengan tangis yang mulai pecah."Nita! A - a - aku...,""Kenapa? Kenapa Dion?" Nita histeris disela isakannya. Menatap Dion penuh amarah sebelum akhirnya ia berlari pergi.Tinggalah Dion melongo ditempat melihat kepergian Nita. Beberapa orang ditaman yang melihatnya tengah saling berbisik. Dion mengusap kasar rambutnya, risih menjadi pusat perhatian.Sekilas kulirik lelaki di sampingku. Dalam hati berkata, "Kenapa Fattan gak bilang kalau Mamanya dan Aiswa sudah saling mengenal?"Tapi di saat yang sama, ekor mataku menangkap Fattan yang tengah terbengong menatap dua orang yang masih saling berpelukan di depan kami. Mulut lelaki itu sedikit menganga, kedua matanya pun melebar. Dari ekspresinya, sepertinya ia juga sama terkejutnya denganku.Tunggu!Kalau begitu, itu berarti Fattan juga tidak tahu kalau keduanya memang telah saling kenal sebelumnya?"Fattan, Aina, Ayo masuk! Malah bengong kalian berdua!" titah Mama Fattan yang sedikit mengejutkan kami. "Fattan, kamu kenapa sih melongo begitu. Jelek, tahu?""Haa...?" secara hampir bersamaan aku dan Fattan menjawab. "Ma, Mama kok ga bilang kalau udah kenal sama Aiswa?" sembur Fattan langsung begitu memasuki rumah. Pertanyaan yang juga mewakili rasa penasaranku."Lah, Mama sendiri juga ga tahu kalau ternyata Aiswa ini adalah anak dari Aina," Mama Fattan melihat ke arahku.Aku tertunduk.
"Loyo banget keliatannya kamu, Na!" Wina mendekatiku, menoel lenganku. Lalu dengan suara berbisik dia kembali berkata, "Begadang ya? Mikirin ayang Polisi ya?" Pletaakk!Aku menjitak jidatnya. "Duuh...! Semena mena banget sih, Na!" katanya cemberut sambil mengusap usap jidatnya. Bibirnya mengerucut. Hingga gemas aku rasanya, ingin mengikatnya dengan karet.Aku terkekeh. "Salah sendiri jahil. Punya temen satu, mulutnya suka suka rada blong remnya," ujarku."Nah, situ ngelamun aja kerjaannya. Ntar kesambet setan jomblo, baru tahu rasa loh. Minta dikawin dia! Ha ha...""Yeee... Pantesnya tuh ya, tuh Setan ama kamu. Klop sama sama jahil, sama sama jomblo juga!""Enak aja ngatain jomblo! Gue punya Pak Daniel, tahu?" dan Wina langsung membekap mulutnya kemudian. "Alamak, keceplosan!lMataku membola, menatap Wina serius. Tapi tatapanku itu hanya dibalas nyengir kuda tak jelas olehnya."Oh, akhirnya, bebas sudah satu pria gak akan mengejarku lagi!" aku menarik napas panjang dan menghembuskan
"Kamu sudah siap?" Fattan bertanya ke sekian kalinya dengan pertanyaan yang sama, sejak dari ia menjemputku di rumah, hingga perjalanan menuju rumahnya.Dan aku sendiri hanya mengangguk tiap kali ia bertanya demikian.Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu yakin dengan kesiapanku. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan wanita yang paling penting di hidup Fattan selama ini. Mamanya. Jujur saja, aku sangat nervous. Berkali kali kumenghela napas panjang untuk mengurangi kegugupan. Tapi sepertinya sama sekali tak berhasil.Ciiittt...!Rem mobil berdecit pelan saat mobil memasuki sebuah garasi yang sangat luas. "Keluar!" titah Fattan disertai senyum manisnya. Ia juga mencubit gemas pipiku. "Tenang saja, Ibuku adalah wanita teranggun di dunia. Dia bukan singa yang akan menerkammu. Ha ha..."Fattan terkekeh memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi. Aku segera keluar dari mobil setelah pintu mobil terbuka secara otomatis. Pemandangan yang tak biasa kini tersuguh di depan mataku. Bagaimana ti
"Gimana, bagus kan, Ma? Surprize dari kita?" Aiswa bertanya masih dengan senyum lebar di bibirnya. Alih alih menjawab pertanyaannya, diriku yang masih mematung karna shock, hanya mampu melongo tanpa seucap kata pun."Bagaimana Aiswa bisa berada di sini sekarang? Bahkan mungkin tiba lebih dulu dariku! Bukankah tadi kata Ibu, Aiswa sudah tidur lebih awal? Dan undangan makan malam itu, palsu?Seribu pertanyaan itu kini saling berjejal di pikiranku.Kupandang Fattan juga Aiswa bergantian. Rona ceria di wajah mereka mungkin sangat kontras dengan wajahku yang pucat pasi saat ini.Fattan melepaskan gandengan tangannya dari Aiswa. Ia kemudian berjalan menuju sebuah meja. Menuang segelas air putih dari sebuah dispenser. Lalu kembali berbalik kepada kami. "Minumlah!" titahnya, menyodorkan gelas kepadaku. Sepertinya ia mulai paham tentangku yang belum juga pulih dari keterkejutan.Tanpa menjawab lagi aku pun meraih gelas tersebut, dan menenggak isinya hingga tandas. Perlahan napasku yang tadinya
"Na, mau makan siang bareng?" tanya Winda yang kini telah berdiri di samping mejaku."Aduh, kayaknya ga deh Win! Kerjaan aku masih numpuk banget soalnya," tolakku halus seraya menggelengkan kepala. "Tapi nitip aja kali, ya?""Emm... gimana ya?" Winda menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibirnya. Pura pura berpikir. Menggodaku!Spontan saja kucubit pinggangnya. Membuatnya memekik geli, "Auu..., iya - iya, aku beliin! Ha ha ha...""Ehm... ehm...!" Mendengar suara deheman, aku dan Winda refleks menghentikan candaan kami. Hampir bersamaan kami menoleh. Sesosok pria dengan langkahnya yang tegap berjalan menghampiri kami."Eh, Pak Daniel!" sapa Winda pertama kali. Sementara aku hanya tersenyum dan menganggkukkan kepala melihat kehadirannya. "Kayaknya ada yang bakal diajak makan siang bareng, nih!" celetuk Winda melirik lirik ke arahku. Hmm, lagi bersiap siap usil dia rupanya!Aku melotot, dengan maksud supaya Winda berhenti berceloteh dan menggodaku. Karna memang dirinya sudah hapal di
"Bengong! Gimana, diterima tidak?" dia kembali bertanya."Aaah...?" aku makin tergagap. Ya ampun! Orang ini benar benar ga ada basa basinya menanyakan hal seperti ini, ya? To the point saja maunya. Melamarku dengan cara seperti ini. Sungguh nggak ada romantis romantisnya sama sekali!Eiiits...! Apa? Romantis? Lah, malah pikiranku kemana mana ini jadinya! Aku menepuk jidat frustasi."Aina!" kudengar Ibu memanggil. Kemudian setelahnya, ia sudah berdiri di ambang pintu. Raut mukanya kulihat seketika berubah canggung saat menatap ke dalam ruangan. Ah, iya! Jarak aku dan Fattan berdiri rupanya begitu dekat. "Maaf, mengganggu!" ucap Ibu sedikit kikuk."Nggak kok, Bu! Ada apa?" tanyaku. Dan di saat yang bersamaan, Fattan pun memutar badan ke arah Ibu berdiri. Ia lalu tersenyum dan menyapa, "Oh, Ibu?""Emm... Aina, ada tamu untukmu!" Ibu berkata mengungkapkan maksudnya menghampiri kami. Ekspresinya nampak ragu ketika mengatakannya."Tamu?" ulangku, sedikit mengernyit. Perasaan tidak ada tema