Share

Bab 9

Berkali kali kulirik jam  dipergelangan tanganku. Huuh, waktu terasa begitu lambat

"Bu Aina, apa ada saran yang ingin disampaikan sebelum rapat ini di akhiri?" Teguran Pak Daniel selaku pemimpin rapat sedikit mengejutkanku. Untung aku masih bisa mendengarnya dengan baik, meski pikiranku sedikit kurang konsen.

"Eh,tidak! Tidak ada, Pak!" Aku mendongak  menatap sang moderator dengan ekspresi yakin. Tentu saja untuk menutupi keterkejutanku saat namaku tiba tiba disebut. Lalu selanjutnya sedikit ku edarkan pandangan pada para peserta rapat lainnya.

Seeeeett! Sekilas mataku bersitatap dengan seseorang yang sepertinya melihatku dengan begitu serius. 

"Dion!" pekikku dalam hati.

Ia nampak sedikit gelagapan  begitu menyadari tatapan kami bertemu. Sebelum detik selanjutnya aku lebih memilih membuang pandanganku ke arah lain. Tapi aku merasa seperti ada yang janggal. "Oh ya, Nita. Dimana Nita? Bukankah harusnya hari ini dia masih mengikuti rapat bersama Dion mewakili perusahaannya ?"

"Ah sudahlah, ngapain juga aku mikirin mereka ?" Aku menghalau pikiranku sendiri.

"Oke..karna sudah tidak ada pertanyaan dan saran yang diajukan lagi, maka rapat hari ini kami nyatakan selesai." Suara Pak Daniel kembali terdengar menutup agenda rapat.

Pak Edwin selaku Presiden Direktur perusahaan adalah yang pertama kali meninggalkan ruangan. Pria paruh baya itu berjalan tegap dengan kawalan beberapa orang staf kepercayaannya. Setelahnya, baru disusul para karyawan berjalan keluar ruangan.

"Aina!"

"Aina!" 

Aku memutar badan memastikan siapa yang tengah berseru memanggil namaku. Mataku menangkap bayangan seorang pria dengan wajah sedikit bule sedang berlari kecil ke arahku.

"Ya, ada yang bisa saya bantu, Pak Daniel?"

"Ooh, nggak!"

"Serius Pak?" tanyaku tak yakin.

"Hahaha!" Pria itu justru tertawa. Orang aneh.

"Sebenarnya saya hanya ingin mengajak makan siang bersama nanti." ungkapnya berterus terang akhirnya.

Lagi!

Entah ini tawaran yang sama ke berapa kali darinya. Setelah sebelum sebelumnya aku selalu menolak semua tawaran itu. Sepertinya ia tak pernah menyerah.

"Emmm, maaf sekali Pak. Saya..." Aku menggigit bibir bawahku. Ragu meneruskan kata kataku.

"Tapi saya sudah ijin pulang lebih awal sekarang, ada urusan penting yang harus saya selesaikan." kilahku mengelak dari ajakannya. 

"Ooh!" Pak Daniel mengendikkan kedua bahunya. Mungkin memang sudah menebak jawabanku sebelumnya. Hehe

"Oke. Mungkin lain kali." Pak Daniel kembali tersenyum atas penolakanku.

"Yup!" Aku membalas senyumnya  sekilas sebelum berlalu meninggalkannya.

Ya, beginilah aku! Seorang wanita yang rasanya sudah tak ada selera menanggapi setiap pendekatan dari para laki laki. Tak ayal sebagian dari mereka kemudian menyebutku dengan "Si Nona Salju".

💖💖💖

Ditmpat parkir.

"Aina!"

"Aina!"

Huff! Aku  memutar bola malas. Siapa lagi yang berteriak teriak memanggilku. Apa mereka tidak tahu kalau aku sedang sangat tergesa.

Demi apa? Terpaksa aku membalikkan badan. Tak baik juga mengabaikan orang yang sudah berulangkali memanggil kita, kan? 

"Dion?"pekikku.

"Apa kamu akan ada acara keluar hari ini ?" Dion berjalan mendekat seraya tangannya mengulurkan remot mobil sebelum membuka pintunya.

Duh, udah negatif thinking aja aku, aku pikir dia sengaja membuntutiku. Ternyata mobilnya memang terparkir persis disebelah mobilku.

"Oh, iya." Aku hanya mengangguk lalu segera masuk kedalam mobil.

"Maaf Dion, aku buru buru!" 

"Bagaimana kabar anakmu, Aina?"

Deg! Pertanyaan Dion barusan membuat detak jantungku sesaat seperti terhenti.

 "Baik. Alhamdulillah baik," jawabku pada akhirnya. Kupaksakan sebuah senyuman menutupi kecanggunganku. Bagaimanapun ini adalah pertama kalinya aku bicara dengan orang yang pernah mengisi hatiku setelah sekian lama tak bertemu.

"Kamu sendiri gimana, apa kamu dan Nita sudah punya anak?" Ya Tuhan, terasa begitu sesak dadaku menanyakan hal ini padanya.

Dion menghela napas berat beberapa saat. Disusul ekspresi wajahnya yang berubah pias dan datar. Ekspresi yang sulit kuartikan.

"Kami sudah enam tahun ini menikah dan menantikan kelahiran seorang anak. Tapi rupanya, Tuhan belum mempercayakannya pada  kami." Dion berucap lesu.

"Aina., aku dan Nita sampai kini belum mempunyai anak !"

"Ma - maaf!" Aku merasa sedikit menyesal.

"Tak apa!" Dion tersenyum smirk. Aah, senyuman itu, senyum yang dulu pernah membuatku jatuh hati.

"A - Aina! Kamu ternyata masih seperti yang dulu!"

"Hmm?" Aku mengernyitkan kedua alisku. Tak mengerti maksud ucapan lelaki di depanku.

"Selalu banyak laki laki yang mengejarmu, meski kau sedingin salju bagi mereka, Miss Snow?" Dion mengucapkan kata kata itu dengan sedikit penekanan di ujung kalimat.

Hah? Aku melongo. Apa dia melihat saat tadi Pak Daniel mencoba mengajakku makan bersama? Jujur, ada sedikit debar di jantungku saat mendengar ucapannya barusan.

"Dion, bukankah hati yang dingin ini dulu pernah luluh karnamu? Sebelum takdir berkata lain untuk kisah kita hingga akhirnya menjadi seperti ini. Kehangatanmu yang sanggup meluluhkan salju di hatiku, kini sudah menjadi milik sahabatku sendiri," batinku berkecamuk mengingat lagi akan semuanya.

"Maaf Dion, aku harus segera pergi. Sampai jumpa!" Kututup pintu mobil dan segera menginjak pedal gas, meninggalkan Dion yang masih terus menatapku hingga mobilku makin menjauh dan hilang dari penglihatannya.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status