Sulit untuk bisa percaya, bahwa pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dia punya, tega mengkhianati dengan cara yang begitu licik. Rasanya begitu menyakitkan dan dia benar-benar tidak tahu harus percaya pada siapa sekarang. Aaron telah memarkirkan mobil di depan minimarket. Dia berniat untuk menyelidiki lebih jauh mengenai pamannya untuk bisa menemukan lebih banyak petunjuk. Namun, ketika dia sampai di sana, dia hanya membiarkan dirinya duduk saja di dalam mobil. Menatap ke gedung supermarket dan masih berpikir. Kenapa pamannya begitu tega? Apa salah dia dan adiknya?Sudah selama hampir sepuluh menit, pemuda itu hanya duduk terdiam di kursi pengemudi dengan tangan menggenggam setir. Seolah dengan memelototi pintu masuk supermarket itu, dia akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaannya. Namun tentu saja, itu tak memberinya apapun.Dia hanya tidak yakin, apa yang akan dilakukannya setelah dia masuk nanti. Bagaimana caranya mencari petunjuk itu? Kebingungan itu membuat
Dari begitu banyak tempat di Jakarta, kenapa dia harus bertemu dengan pria itu lagi sekarang. Itu membuat Alea mulai berpikir tentang nasib yang tidak berada di pihaknya. Bahkan mungkin Tuhan sedang membencinya karena perceraian yang pernah dilakukannya. Alea tak lagi bisa mengerti apakah saat ini dia sedang marah atau malu? Baru beberapa waktu berada di Jakarta, namun ketidakberuntungan terus saja mengikutinya. Dari mulai banyaknya lamaran di lembaga-lembaga pendidikan yang ditolak, lalu dirinya harus terima saat sahabatnya menawari bekerja di tempat dimana tatapan manajernya sering sangat kurang ajar padanya. Dan sekarang, kenapa dia harus juga dipertemukan dengan lelaki yang hanya membuka kembali luka lamanya?"Kamu kok cemberut gitu sih, Al. Kenapa?" Dena mencubit sisi perut Alea, membuat gadis itu memekik kesakitan dan balas mencubit lengan sahabatnya yang sekarang nyengir seolah tidak berdosa. Alea mengangkat bahunya, berharap itu cukup untuk menjawab pertanyaan Dena. Lagi pul
Pemuda berparas rupawan itu, baru saja masuk ke dalam apartemennya. Ruangan itu terlihat sama persis seperti saat dia meninggalkannya. Dia berjalan melalui ruang tamu tanpa repot-repot menyalakan lampu utama, sehingga ruangan itu kini hanya diterangi oleh cahaya redup yang menggambarkan bayang-bayang benda di dalamnya.Keadaan itu rupanya sama seperti suasana hatinya saat ini yang muram. Alih-alih pergi ke kamar dan tidur, pemuda itu malah menghempaskan tubuh ke sofa sembari memijat pelipisnya. Kepalanya terasa sangat berat. Tubuhnya mungkin tidak terlalu lelah, tapi pikirannya serasa bekerja tanpa henti. Kepergiannya ke Jakarta yang sejatinya untuk menghindari Genta, suami adiknya, sekaligus mengambil alih perusahaan setelah sekian lama dipegang oleh sang paman, ternyata justru memberinya masalah tak disangka-sangka.Tak hanya itu, dia pun harus segera mencarikan Olivia tempat tinggal agar adik dan suaminya itu tak terlalu lama timggal di apartemennya nanti. Semua masalah yang membua
Sejak meninggalkan ruangan keponakannya, suasana hati Rendy jadi berubah sangat buruk. Rencana yang sebelumnya dia kira akan berjalan dengan sempurna, tiba-tiba kini sepertinya akan menjadi berantakan. Dia sama sekali tak pernah mengantisipasi jika keponakannya itu akan ikut campur dengan urusan supermarket. Terlebih lagi, hal itu dilakukannya begitu mendadak. Padahal sebelumnya, keponakannya itu terlihat tak tertarik saat dirinya mencetuskan ide pertama kali tentang pembelian bisnis itu. Rendy mulai berpikir jika anak itu memiliki tujuan lain.Rendy bukan jenis orang yang percaya dengan sesuatu yang disebut 'kebetulan'. Itulah kenapa dia juga tidak percaya dengan alasan Aaron yang tiba-tiba mengatasnamakan mendiang mamanya untuk mengambil alih pengelolaan supermarket yang baru saja dibelinya.Anak itu pasti telah mengetahui sesuatu tentang dirinya dan dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang. Jika tidak, semua rencana yang telah disusun selama bertahun-tahun bisa hancur berantaka
Rama terlihat duduk di salah satu bangku sebuah restoran yang sebelumnya telah disepakati untuk bertemu dengan Rendy. Pemuda itu tengah menyesap secangkir espresso yang telah dipesannya beberapa menit yang lalu. Beberapa detik kemudian dia mengangkat tangannya, melirik arloji yang melingkar di pergelangan kirinya. Sudah lima belas menit berlalu, tapi pria yang meminta untuk bertemu dengannya itu tak kunjung menampakkan diri.Padahal sebelumnya, Rendy sedikit memaksa saat ingin menemuinya pada jam makan siang. Jika bukan karena prospek uang yang menjanjikan, Rama pasti sudah pergi dari tempat itu sejak tadi.'Lima menit lagi, jika tak muncul juga, aku tinggal saja,' batinnya. Dua kakinya mulai bergerak-gerak tak tenang di bawah meja. Kepalanya sesekali menoleh ke kanan dan kiri memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Entah sudah berapa kali dia pandangi arloji di tangan kirinya itu sambil berdecak. "Sudah lama nunggu ya, Ram?" tanya suara bariton dari balik punggung Rama. Rama yan
Pagi itu, Aaron berada satu meja bersama Olivia dan Genta di ruang makan. Meski dia senang adiknya akhirnya menyusulnya ke Jakarta, perasaannya pada iparnya itu masih tetap sama.Aaron sepertinya belum bisa menerima fakta bahwa pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu kini menjadi adik iparnya."Kakak nggak berangkat ke kantor hari ini?" celetuk Olivia di tengah aktivitasnya mengunyah nasi goreng buatan kakaknya.Kedua pria di meja makan itu langsung menghentikan kunyahannya. Genta yang sedari tiba di apartemen Aaron terlihat makin pendiam, hanya melirik istrinya sekilas. Kemudian dia kembali berpura-pura sibuk dengan makanan di piringnya. Sejujurnya dia pun merasa sangat tak nyaman berada di dalam satu rumah dengan kakak iparnya itu. "Makanannya dihabisin dulu, baru ngomong," ucap Aaron yang beberapa detik kemudian telah selesai dengan sarapannya.Ditegur kakaknya seperti itu, Olivia hanya merengut. Lalu mengikuti suaminya untuk fokus pada makanannya. Sejenak kemudian, dia pu
"Dah laper belum, Al?" tanya Dena, menarik perhatian sahabatnya yang sebelumnya masih sibuk melayani pelanggan. Seolah diberi aba-aba, perut Alea pun langsung berbunyi. Itu tak mengherankan, mengingat dia dan Dena tidak sempat sarapan pagi ini dan beberapa menit lagi memang sudah jam makan siang. "Lapar sih. Memangnya mau makan sekarang?" Alea mengernyit. Matanya segera saja celingukan, takut kalau-kalau ada yang mendengar percakapan mereka. "Iya, yuk." Dena langsung meraih lengan sahabatnya, tapi Alea masih juga tak bergerak. "Masih lima belas menit lagi jam istirahatnya, Den. Nggak enak sama yang lain," sergah Alea dengan wajah bingung. Bukan apa-apa, dia tak ingin saja terlihat dispesialkan di tempat kerjanya itu karena Dena sering mengajaknya keluar sebelum jam istirahat. Meskipun tak pernah mendapat teguran dari atasan mereka, Alea tetap merasa bersalah. "Rama nggak akan marah cuma gara-gara masalah sepele kayak gini, Al. Ayolah, aku udah lapar nih. Pagi tadi kan kita nggak
Beberapa hari sudah berlalu sejak Alea melihat kehadiran Aaron di tempatnya bekerja. Namun karena belum ada tanda-tanda adanya pekerjaan baru yang lebih baik dari pekerjaannya sekarang, Alea masih tetap pergi bekerja seperti biasa. Sayangnya, Dena pun tampaknya masih belum mendapatkan informasi apapun mengenai kehadiran Aaron beberapa hari yang lalu di tempat itu dari Rama.Pria itu mendadak menjadi super sibuk, entah apa yang sebenarnya sedang dia kerjakan. Dia yang biasanya tiba-tiba muncul di kost Dena untuk mengajaknya keluar, akhir-akhir ini bahkan jarang menghubungi gadis itu. Pun sangat susah untuk dihubungi.Sampai siang itu sepertinya Dena sudah berada pada suasana hati yang buruk dan Alea yakin itu semua karena pria bernama Rama.Setahu Alea, Rama memang sama sekali bukan tipe lelaki idaman Dena. Namun Alea merasa wajar saja jika Dena jadi begitu murung kala pria yang selalu mensupport dari segi finansial itu menghilang tanpa kabar padahal sebenarnya sosoknya bisa ditemui d