Mengikhlaskan adiknya untuk Genta memang bukan perkara yang mudah untuk Aaron selama ini. Tapi sifat pemaaf yang banyak diturunkan oleh ibunya, membuatnya harus menerima keberadaan Genta dalam kehidupan Olivia. Meski tak pernah bisa berkomunikasi dengan baik dengan adik iparnya, nyatanya Aaron juga tetap memberikan fasilitas terbaik untuk suami Olivia itu. Terbukti, setelah waktu itu membelikan sebuah rumah untuk keduanya, Aaron pun membiarkan Genta menempati posisi yang lumayan penting di perusahaannya. Bagi Genta sendiri, sikap acuh kakak iparnya padanya terkadang memang menyesakkan, tapi tetap masih bisa dimakluminya. Apalagi, Aaron bukan tipe kakak ipar yang sering mencampuri urusan rumah tangganya dengan Olivia, selain hanya untuk mengatur dimana mereka harus tinggal dan apa pekerjaan yang pantas untuknya sebagai seseorang yang telah menyandang marga Winata. Hal lainnya lagi tentang Aaron, sepertinya tak terlalu mengganggu Genta. Apalagi setelah dia berniat untuk memperbaiki keh
Seharian itu, Olivia tampak hanya berbaring saja di di kamarnya. Situasi yang terjadi antara dirinya dengan sang kakak rupanya telah sangat benar-benar mempengaruhi moodnya. Hal itu tentu tak mengherankan, mengingat selama ini Aaron selalu menjadi garda terdepan dalam setiap masalahnya. Kakaknya itulah yang setiap saat selalu ada untuk menyelesaikan semua masalah yang sedang dihadapinya. Jadi, jika saat ini justru Aaron yang menjadi penyebab kekecewaannya, tentu Olivia merasa sangat terpuruk. Kemarahannya pada sang kakak bahkan membuatnya sampai tak mau menemui saat Aaron mengunjunginya malam sebelumnya untuk mengajaknya bicara. Genta, tentu tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Demi agar sang kakak ipar melihat kesungguhannya untuk berubah, dia harus memutar otak untuk membuat istrinya kembali berbaikan dan memaafkan Aaron. “Sayang, mau ikut aku nggak?” tanyanya saat memasuki kamar. Dilihatnya Olivia masih tidur membelakangi pintu dan bergelung selimut tebal. Tak seperti biasanya, Oli
Setelah membisu semalaman, Alea pun akhirnya memutuskan untuk menceritakan pada Dena apa yang terjadi saat dirinya sedang bersama dengan Aaron hari sebelumnya. Dena yang melihat sahabatnya begitu murung sejak kepulangannya itu, mencoba mendengarkan Alea dengan serius. Tentu saja masih dengan terus berpura-pura rebahan di atas tempat tidurnya dalam rangka melanjutkan sandiwara kecelakaan sebelumnya. “Jadi pas Aaron mengajakku ke panti asuhan milik keluarganya, adiknya datang, Den,” kata Alea mengawali ceritanya. “Si Olivia itu?” tanya Dena, lupa lupa ingat dengan nama adik Aaron. Alea pun mengangguk. “Lalu apa yang terjadi?” lanjutnya dengan rasa penasaran. “Dia marah-marah sama kakaknya. Aku juga kena imbas kemarahannya. Lucu kan, Den? Aku pikir kemarin waktu Aaron berulang kali minta maaf sama aku itu, adiknya juga sudah tahu. Ternyata cuma dia sendiri aslinya yang ingin minta maaf. Adiknya sama sekali nggak tahu apa-apa.” Alea tersenyum getir mengakhiri kalimatnya. “Loh, bukanny
Dua kabar yang diterima Aaron malam itu benar-benar mengaduk-aduk perasaannya. Genta yang mengabari lewat pesan bahwa Olivia sudah reda dari amarahnya, membuat lelaki itu sangat lega. Tapi kejadian itu tak berlangsung lama, karena kemudian Dena mengirimkan chat dan melaporkan bahwa Alea benar benar memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya. Seharusnya, redanya amarah adiknya membuat dia akan bisa lebih fokus menjalankan misinya dengan Alea. Penerimaan Olivia dengan kehadiran Alea dalam kehidupan mereka seharusnya menjadi hal baik yang akan melancarkan pula proyek barunya, tapi ternyata Alea justru terlanjur memutuskan hal lain. Alhasil, semalaman Aaron tak bisa memejamkan mata. Kegundahannya itu pun terbawa olehnya hingga sampai di kantor. Bahkan di tengah-tengah meeting dengan para bawahannya, Aaron tak lepas dari ponselnya untuk menghubungi Dena dan memantau soal Alea. Dalam hati dia berharap Dena memiliki ide cemerlang lagi untuk bisa mencegah Alea pergi.Sore itu juga saat
Wanita bertubuh ramping dengan balutan blazer dan celana panjang bahan itu mengayunkan langkah lelahnya menuju ruang guru usai mengajar di kelas XII 5. Ruangan itu sudah nampak sepi, hanya tersisa beberapa guru saja yang masih tinggal dan sedang bersiap-siap untuk pulang. Di belakang meja kerjanya, seperti biasa Geng Trio Rumpi, bu Lukman, bu Setya, dan bu Rika terlihat masih asik berbisik-bisik serius. "Pada lagi ngegosip apa hayoo?" goda wanita berwajah manis itu sambil mendudukkan diri di kursi depan mereka. "Itu lho bu Lea, denger-denger nih ada siswa yang lagi hamil. Bu Lea udah tau belum?" tanya bu Lukman penuh semangat melihat kedatangan Alea. "Hah? Serius, Bu? Jangan-jangan cuma gosip?" Wanita itu seperti biasa, tak mudah termakan dengan berita yang belum pasti kebenarannya. "Sebenarnya baru tebakan sih," ucap bu Lukman disertai dengan cengirannya. "Tapi kayaknya bener deh. Soalnya sudah santer beritanya diantara anak-anak kelas XII. Kayak tadi tuh ya, pas saya ngajar di
Kaget bercampur kecewa membuat Alea bahkan tak sempat menitikkan air mata. Dengan getir dia pun melangkah kembali turun, melupakan niat awalnya mengambil kacamata yang tertinggal di dalam kelas. "Ketemu nggak bu kacamatanya? Lhoh ... lhoh ... bu Lea kok wajahnya pucat gitu, kenapa Bu?" Bu Lukman langsung menghujaninya dengan pertanyaan melihat wanita itu menuruni tangga dengan lesu. Alea tahu dia tidak mungkin menceritakan kejadian yang dilihatnya di lantai atas tadi pada temen-temannya itu. Apa jadinya jika mereka tahu? Pernikahan yang baru seumur jagung itu pastilah akan hancur dalam sekejap. Terlebih aib yang akan ditanggungnya setelah semua orang mengetahui hal itu. "Eh iya bu, ketemu kok," bohong Alea. "Oh ya Bu Rika, suami saya kayaknya ada kerjaan lemburan mendadak dari pak kepala sekolah. Saya boleh nebeng sampai rumah nggak?" "Oo ya tentu boleh dong. Ayo deh kita pulang sekarang. Udah mau sore juga ini, bu ibu." Bu Rika pun segera menggandeng lengan Alea menuju ke motorny
Alea yakin orang-orang pasti akan bertanya-tanya jika hari ini sikapnya berubah drastis pada suaminya saat di sekolah. Sejujurnya Alea belum sanggup menjadi bahan gunjingan seisi penghuni sekolah itu. Jadi Alea pun memutuskan untuk tetap berangkat ke tempat kerja bersama Genta. Walau pada kenyataan, perasaannya sudah tak lagi sama terhadap suaminya. Sebenarnya, Alea bisa melihat raut tertekan di wajah Genta. Apalagi setelah pembicaraan mereka sore sebelumnya Alea tak lagi mengajak lelaki itu untuk bertegur sapa. Saat keduanya sampai di sekolah pun, kebiasaan Genta yang suka beramah tamah dengan teman-teman kantornya hari ini sedikit berkurang. Lelaki itu lebih banyak berdiam diri di meja kerjanya. Alea sendiri, nyatanya juga tak mudah untuk bersikap biasa saja. Apalagi saat hari ini dia mau tak mau harus memasuki kelas XII 2. Kelas dimana Olivia Alexandra Winata belajar. Jantung Alea berdegup sangat kencang hingga sampai di ruangan itu. Alea sama sekali tak tahu apakah Olivia menya
Dan benar saja, beberapa menit kemudian staf Tata Usaha yang naik ke lantai atas memberitahu bahwa ada seorang wali murid yang ingin menemuinya. Alea pun bergegas ke meja piket, menitipkan tugas untuk kelas berikutnya. ...Di ruang tamu, ruang yang biasa digunakan para guru menemui para orang tua atau wali murid untuk membicarakan masalah yang agak privasi, pemuda tadi telah duduk menunggunya. Dengan sedikit canggung Alea menjabat tangan, bersikap seolah dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya. Pemuda itu pun menyambut uluran tangan Alea sembari bangkit dari duduknya. Beberapa detik di ruangan itu, barulah Alea memperhatikan dengan seksama sosok tamunya. Seorang pemuda yang ditaksirnya berusia sekitar 25 tahun, atau mungkin kurang. Dengan postur tinggi tegap, bahkan sepertinya lebih tinggi dari suaminya. Penampilannya yang kekinian dengan wajah tak kalah dengan artis-artis jaman sekarang. Dari garis wajahnya memang sangat mirip dengan Olivia. Mungkin memang benar pe