Share

PART 6

"Kamu benar-benar mau ninggalin aku, Al?"

Genta menghampiri istrinya yang sedang mengemasi barang-barang ke dalam tas besarnya.

"Apa lagi yang kamu harapkan dariku, Mas? Pernikahan ini sudah tak mungkin bisa dipertahankan lagi. Apa kamu masih nggak ngerti juga?"

Alya menghentikan sejenak kesibukannya, menatap wajah suaminya dengan malas.

"Aku akan memperbaiki semuanya, Al. Kasih aku kesempatan." Alea makin jengah menatapnya. Masih saja lelaki itu seolah tak paham dengan apa yang telah terjadi dalam rumah tangganya. Wanita itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tanda frustasi.

"Apanya yang bisa kamu perbaiki, Mas? Coba beritahu aku, apanya? Apa kamu bisa mengembalikan keadaan kita seperti sebelum ini? Sebelum aku melihat kalian berdua berpelukan di tempat sepi itu? Sebelum kamu menikahi aku? Bisa kamu, Mas? Bisa tidak?" Kali ini Alea sedikit berteriak. Tak mampu lagi dibendungnya air bening yang sedari tadi sudah sesak di kelopak matanya. Suaminya ini benar-benar keterlaluan dan tak tahu diri rupanya.

"Tapi aku benar-benar nggak tau kalau anak itu hamil, Al. Aku nggak tau. Aku bersumpah, aku nggak tau."

"Apa kamu juga mau bilang kamu sedang tak sadar saat dulu melakukan perbuatan tak pantas itu dengannya? Begitu, Mas?"

"Al ...."

"Cukup! Semuanya sudah cukup. Tidak ada lagi hal yang perlu kita perdebatkan atau bicarakan lagi. Aku sudah memutuskan semuanya, Mas. Dan aku tak mungkin lagi bisa hidup sama kamu. Titik!"

"Tapi, Al. Aku cinta sama kamu. Aku nggak bisa kalau kamu ninggalin aku seperti ini?"

"Dia lebih nggak bisa lagi, Mas. Dia nggak akan bisa hidup tanpa kamu. Dia mengandung anak kamu. Kamu ngerti nggak sih, Mas? Kamu nggak kasihan sama anak itu? Atau kamu sudah nggak punya hati nurani? Dia itu yatim piatu, Mas. Lalu seenaknya saja kamu mau membiarkannya hidup menanggung malu dengan anak yang lahir tanpa ayah? Tega kamu berbuat begitu?"

Kali ini Genta terdiam. Dia tak menyangka bahwa istrinya bahkan sudah tahu banyak hal tentang Olivia. Entah dari siapa Alea mendengar bahwa Olivia sudah tak punya orangtua lagi. Tapi sepanjang dia mengenal istrinya itu, Alea bukan tipe orang yang suka ingin tahu masalah orang lain.

"Aku akan kembali ke rumah bapak hari ini. Tentang rumah ini, aku sudah ikhlaskan. Jika kamu masih ingin menempatinya dan melanjutkan kekurangan pembayarannya, kamu tidak perlu memikirkan untuk mengembalikan uang yang pernah aku gunakan untuk ikut andil dalam pembayaran rumah ini. Secepatnya aku akan mengajukan gugatan ceraiku agar kamu bisa lebih cepat bertanggung jawab pada orang yang seharusnya kamu nikahi."

"Al, jangan begitu. Aku nggak mau berakhir seperti ini. Ini nggak adil buat kamu, Al."

"Dengan menikahiku setelah kamu berbuat dosa dengan wanita lain saja itu pun sebenarnya sudah nggak adil buat aku, Mas. Jadi nggak perlu kamu mengungkit-ungkit keadilan buat aku. Aku pergi," pamit Alea tiba-tiba. Wanita itu segera mengangkat tas besarnya dan membawanya ke luar rumah menuju motor matic yang sudah disiapkannya sedari tadi.

Genta yang panik bergegas mengejarnya, meski dia tahu sepertinya tak akan mungkin bisa mencegah kepergian istrinya kali ini. Alea pun tak menggubris suaminya yang terus memohon untuk dimaafkan. Wanita itu pergi meninggalkan rumah dengan linangan air mata di wajah yang telah tertutup oleh helm warna hitamnya.

Genta masih terpaku di teras rumah minimalis itu, menatap istrinya yang kian menjauh meninggalkan rumah mereka. Lelaki itu masih tak percaya bahwa rumah tangganya ternyata harus berakhir seperti ini. Benar-benar tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

'Maafkan aku, Al,' gumamnya dalam hati.

.

.

.

Bu Ridwan menyambut putri semata wayangnya dengan prihatin. Saat sampai di dalam rumah, Alea yang telah menahan luapan perasaannya, tak mampu lagi bertahan. Dia menangis sejadinya di pangkuan sang ibu. Dengan lembut, wanita paruh baya itu mengelus punggung dan kepala sang putri, membiarkannya luruh dalam kesedihannya hingga tangisannya mulai reda.

"Sudah, tidak perlu kamu tangisi lagi lelaki itu. Dia tidak pantas mendapatkan air matamu, Al."

Pak Ridwan muncul di pintu kamar Alea setelah beberapa saat lamanya dibiarkannya anak dan istrinya larut dalam kesedihan.

"Bapakmu benar, Al. Tidak perlu kamu tangisi lagi apa yang sudah terjadi. Kalau kamu memang merasa rumah tanggamu sudah tidak mungkin lagi diperbaiki, ikhlaskan saja. Insya Allah setelah ini kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari apa yang pernah kamu miliki. Yakinlah itu, karena Allah tak pernah menguji hambanya dengan sesuatu yang tak mampu dia pikul."

Alea bangkit dari pangkuan sang ibu, menghapus air mata yang masih membasahi wajahnya, lalu mengangguk demi untuk membuat kedua oranguanya tak ikut larut dalam kesedihannya.

"Terima kasih, Pak, Bu. Lea nggak tau gimana jadinya jika tanpa kalian." Alea memeluk kedua orangtuanya erat. Merasa masih sangat beruntung ada mereka di saat-saat terpuruknya seperti ini.

.

.

.

"Lalu apa rencanamu setelah ini, Al?" tanya pak Ridwan malam itu saat ketiganya sedang menikmati makan malam.

"Biarkan dia beristirahat dulu, Pak. Jangan langsung dipaksa untuk memutuskan apa langkah selanjutnya. Biarkan saja semaunya Alea," sela bu Ridwan.

"Tidak apa-apa, Bu. Bapak benar, Lea memang sudah harus segera melupakan semua ini. Jujur sebelum pulang ke sini, Lea sudah memikirkan semuanya. Lea sudah punya rencana apa yang akan Lea lakukan setelah ini."

"Apa itu, Al?" tanya pak Ridwan penasaran.

"Besok Lea akan urus gugatan cerai, Pak."

"Apa sudah kamu pikirkan semuanya itu baik-baik, Al?" tanya sang ibu.

"Sudah, Bu. Tidak mungkin lagi Lea hidup bersama mas Genta."

"Bagus. Bapak senang kamu bisa berpikir jernih dalam situasi seperti ini, Al. Bapak bukannya senang kamu bercerai dari suaminu. Tapi kesalahan Genta ini sudah sangat fatal. Bapak tidak terima kamu diperlakukan seperti ini olehnya. Bapak juga tidak mungkin membiarkanmu masih bersama dengan lelaki seperti Genta itu."

"Iya, Pak. Lea sudah memikirkan semua itu dengan matang sebelum memutuskan. Jadi insyaAllah tak akan ada penyesalan di kemudian hari. Setelah itu, Lea juga akan ke sekolah. Lea berencana resign dari mengajar."

"Lhoh, kenapa Al? Bukannya kemarin kamu bilang bahwa pak Giyono tetap ingin kamu mengajar di sekolahnya?"

"Itu benar, Bu. Tapi Lea yang tidak sanggup, Bu. Kembali ke sekolah itu rasanya hanya akan menggores luka lagi. Lea harus pindah dari tempat itu."

"Lalu rencana kamu mau pindah kemana, Al?"

"Lea akan pergi ke Jakarta, Pak. Lea akan mencari kerja di sana. Lea sudah menghubungi sahabat Lea yang di sana."

"Jadi kamu akan pergi dari kota ini?" Bu Ridwan menatap anaknya dengan mata sendu.

"Iya, Bu. Untuk sementara waktu Lea akan di sana. Lea ingin melupakan semuanya dengan lebih mudah."

Bu Ridwan dan pak Ridwan saling berpandangan. Pak Ridwan mengangguk kala melihat ada raut cemas di mata sang istri, seolah ingin mengatakan pada istrinya bahwa Alea akan baik-baik saja. Bu Ridwan pun segera tahu bahwa suaminya sependapat dengan sang putri. Mungkin memang inilah jalan yang terbaik untuk Alea.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bumi
yg ditunggu sekian pirnama......akhirnya up juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status