Share

PART 5

"Apa semua itu benar, Genta?" Lelaki baya yang rambutnya sudah memutih semua itu terlihat sangat gusar. Wajahnya seketika memerah sesaat setelah Alea menyudahi penjelasannya yang panjang lebar.

Malam itu, Alea memang sengaja memaksa Genta untuk segera berbicara dengan orangtua mereka. Alea sudah tidak sanggup lagi menahan perasaan itu sendirian.

"Aku masih belum sanggup bicara pada mereka, Al. Mereka pasti akan marah besar." Begitu ucap suaminya saat Alea mengemukakan pendapatnya untuk segera membicarakan masalah itu dengan orangtua mereka.

"Kamu takut orangtua kita marah, Mas? Lalu kenapa waktu itu kamu menikahiku sedangkan kamu telah berbuat tidak senonoh dengan wanita lain? Apakah itu adil buat aku?"

"Seharusnya kamu tidak menjebakku dalam masalahmu. Aku sekarang benar-benar merasa telah kamu jebak, Mas. Kamu jahat, sungguh jahat!"

"Al, jangan begitu. Aku sama sekali tidak tahu kalau dia ham ..."

"Itu bukan alasan! Seharusnya dengan siapa kamu tidur, dengan dia lah kamu menikah. Bukan seperti ini cara kamu. Kenapa, hah? Kenapa kamu malah menikahiku dan bukan dia? Kamu hanya ingin status kan? Memiliki istri yang usianya sepadan, pendidikan sepadan, dan bukan bocah ingusan yang bisa kamu tipu untuk kamu ajak tidur? Menyedihkan sekali kamu, Mas!" Emosi Alea meledak.

"Jaga bicara kamu, Al. Aku bukan seperti itu!"

Pembicaraan itu pun akhirnya membawa mereka untuk terpaksa menyelesaikan masalah lebih cepat. Alea sengaja menelpon orangtua dan mertuanya untuk segera datang. Lalu dia pun mulai menceritakan semua yang telah dia alami.

"Kamu benar-benar anak tidak tahu diri, Genta! Bapak menyekolahkan kamu tinggi-tinggi bukan untuk membuatmu jadi manusia tak tahu adab seperti ini. Benar-benar kamu telah mempermalukan nama baik keluarga."

Pak Dharma tak bisa lagi menahan kemarahan juga rasa malunya pada keluarga besan. Hampir saja orang tua itu memukulkan tinjunya pada anak bungsunya yang dia gadang-gadang dan dia banggakan sebagai seorang bermartabat dan berpendidikan itu. Genta pun nyaris terkena pukulan sang ayah andai saja bu Dharma tidak segera mencekal tubuh suaminya.

"Sudah pak! Sudah! Sabar."

Sementara itu, ayah Alea, pak Ridwan, berusaha menahan diri untuk tak meluapkan juga emosinya pada sang menantu. Meskipun tentu saja rasanya telah tercoreng dengan adanya peristiwa itu. Dia sangat hafal sifat putri semata wayangnya. Alea pasti akan meminta cerai dari suaminya. Putri tercintanya itu bukan orang yang suka mementingkan dirinya sendiri. Apalagi jika itu menyangkut hak orang lain.

Alea lembut hati dari kecil. Dengan teman-temannya dia lebih banyak mengalah dan sangat penyayang. Itulah kenapa saat di usianya yg ke 27 saat ada seorang pemuda tampan, sopan, dan sudah memiliki pekerjaan yang bagus meminangnya, pak Ridwan tak berpikir dua kali untuk menerimanya. Apalagi Genta juga berasal dari keluarga baik dan berpendidikan.

Namun siapa sangka, rupanya menyerahkan anak semata wayangnya pada Genta rupanya adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukannya selama menjadi ayah Alea.

Alea yang tak kuasa lagi membendung air matanya kini tengah berada dalam dekapan ibunya. Sakit dan sangat perih hatinya karena membayangkan sebentar lagi dia pasti akan menyandang status sebagai janda. Di usia perkawinannya yang baru hitungan minggu. Sungguh sangat menyedihkan.

.

.

.

Hari itu Alea dan Genta masih berangkat bersama ke tempat kerja mereka. Rencananya mereka akan menghadap kepala sekolah untuk membicarakan persoalan mereka.

Sebenarnya malam itu orangtua Alea bersikeras untuk membawa Alea pulang, namun Alea meminta waktu untuk menyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri. Hingga dengan terpaksa ibunda Alea pun mengikhlaskan putrinya untuk tetap tinggal sementara bersama lelaki yang telah menyakitinya itu.

Sekolah terasa lebih sepi saat mereka sampai. Bukan karena tak ada orang, tapi beberapa pasang mata yang melihat Alea dan Genta sampai di parkiran langsung membungkan mulut, tak seperti biasa.

Saat Alea sedang meletakkan helm di atas jok motor suaminya, tiba-tiba Pak Sis, juru kunci sekolah, tergopoh-gopoh mendatangi mereka.

"Pak Genta, Bu Lea, diminta langsung ke ruang Pak Giyono. Beliau sudah menunggu dari tadi," katanya dengan nada tergesa pada sepasang suami istri itu. Genta menoleh ke arah istrinya dengan lemas. Dia yakin kepala sekolah telah mengetahui permasalahan ini.

"Pak Kepala sudah datang sepagi ini, pak Sis?" tanya Alea sedikit heran, karena pemilik sekolah swasta itu tidak biasanya datang sebelum para gurunya.

"Sudah, Bu. Sudah dari jam 6 tadi Pak Giyono sampai di sini," jelasnya.

"Baik, terimakasih Pak. Kami akan segera kesana," kata Alea tegas. Sementara wajah Genta makin terlihat pucat saja.

.

.

.

Pak Giyono, bukan hanya kepala sekolah di tempat mereka mengajar, dia juga adalah pemilik dari yayasan yang mengelola sekolah itu. Usianya yang sudah setengah abad dengan wajah berwibawa, juga caranya memimpin yayasan pendidikannya ini dengan sangat disiplin membuat para guru dan staf sangat hormat dan segan padanya.

Wajah kerasnya nampak sedikit tegang saat melihat Alea dan Genta memasuki ruangannya. Dari kursi kebesarannya, lelaki itu memperhatikan sepasang suami istri yang baru sebulan lalu dia hadiri pesta pernikahannya yang sangat meriah itu.

"Silahkan duduk, Bu Lea, Pak Genta," sambutnya. Alea dan Genta segera menuruti perintah untuk duduk di hadapan orang tua itu.

Pak Giyono tak segera bicara. Dia justru hanya memandangi Genta lekat seperti sedang mencari suatu kebenaran di dalam wajah lelaki di samping Alea itu. Sementara terlihat sangat salah tingkah dan hanya menundukkan wajah.

"Saya harap Pak Genta dan Bu Lea sudah tahu kenapa saya panggil sepagi ini." Terdengar helaan napas berat dari lelaki tua itu.

"Pagi ini, saya telah mengeluarkan dua buah surat keputusan. Saya sengaja datang pagi-pagi sekali karena beritanya baru saya dengar semalam dari wakil kepala sekolah." Pak Giyono menghentikan kalimatnya sejenak, lalu memandang Alea dengan sorot mata melembut. Sorot mata yang berbeda dari saat dia menatap ke arah Genta.

"Bu Lea, apa anda sehat hari ini?" tanya orang tua itu.

"Alhamdulillah Pak, saya sehat," jawab Alea sembari mengangguk.

"Baiklah. Begini bapak dan ibu ... jujur saja, surat keputusan yang pertama ini saya keluarkan dengan sangat berat hati. Sangat disayangkan saya harus melakukan ini, tapi saya benar-benar malu karena kejadian ini belum pernah saya alami selama bertahun-tahun saya mengelola yayasan saya ini. Saya mengeluarkan surat pengeluaran atas nama anak Olivia Alexandra Winata yang duduk di kelas XII 2 karena kondisinya sekarang ini sedang mengandung. Saya sudah cross cek dengan yang bersangkutan, dan anak itu membenarkannya. Jadi mulai hari ini, anak tersebut sudah bukan siswa sekolah ini lagi." Mendengar kalimat panjang itu entah kenapa perasaan Alea terasa miris. Beberapa bulan lagi anak itu seharusnya bisa menghadapi ujian nasional, tapi hari ini justru dia harus dikeluarkan dari sekolah.

"Lalu yang kedua, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika keputusan saya ini akan ada efek buruk bagi kehidupan pernikahan anda berdua. Dengan berat hati juga, terhitung hari ini, saya memberhentikan pak Genta sebagai pengajar tetap di yayasan ini."

Saat Pak Giyono menyelesaikan kalimatnya, refleks Alea menoleh ke arah Genta. Terlihat lelaki itu sama terkejutnya seperti Alea.

"Tapi, Pak ..."

Nyatanya hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut menganga Genta karena sejujurnya dia tak punya pembelaan diri atas masalah yang sedang dihadapinya.

"Bu Lea, jika anda masih bersedia membantu saya mengajar anak-anak didik saya disini, saya akan sangat berterima kasih," ucap orangtua itu kemudian pada Alea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status